Al-An’am Ayat 51, Tidak ada pelindung dan pemberi syafa’at, kecuali Allah Ta’ala

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 16: Syafaat

Dalil Ke-1

Firman Allah Ta’ala,

وَأَنذِرْ بِهِ ٱلَّذِينَ يَخَافُونَ أَن يُحْشَرُوٓا۟ إِلَىٰ رَبِّهِمْ ۙ لَيْسَ لَهُم مِّن دُونِهِۦ وَلِىٌّۭ وَلَا شَفِيعٌۭ لَّعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhan-nya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada “seorang pelindung dan pemberi syafaat pun selain dari Allah, agar mereka bertakwa.” (Al-An’am: 51)

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Bahwasannya, ketika kaum musyrikin membenarkan perbuatan syirik yang mereka lakukan, seperti berdoa kepada malaikat, para nabi, dan para wali, yang mereka katakan, “Kami mengetahui bahwa mereka adalah makhluk, namun mereka memiliki kedudukan di sisi Allah, sehingga kami menginginkan dari mereka agar mereka memberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” Maka, dengan bab ini penulis ingin menegakkan hujjah-hujjah bahwa hal tersebut betul-betul merupakan kesyirikan yang nyata dan dilarang oleh Allah, juga sekaligus penulis ingin menerangkan kebatilan semua sarana yang mengantarkan kepada perbuatan syirik tersebut.

Asya fa’ah: bentuk masdar dari kata syafa’a yang berarti menggabungkan sesuatu kepada yang semisalnya. Kalau engkau mengatakaan, “Syafa’tu asy-syai’a syafa’an.” artinya aku menggabungkannya kepada yang satu itu. Memberi syafa’at padanya artinya membantunya untuk mendapatkan sesuatu yang dia cari (dia tuntut) dari seseorang yang memiliki sesuatu itu.

لَيْسَ لَهُم مِّن دُونِهِۦ وَلِيٌّۭ: ‘tidak ada bagi mereka seorang wali dan pemberi syafa’at’: artinya dalam keadaan tidak memiliki seorang wali pun yang akan menolong mereka, juga tidak memiliki pemberi syafa’at yang akan memberi mereka syafa’at.

Makna Ayat Secara Global

Allah Ta’ala berkata kepada Nabi-Nya ﷺ, “Berilah rasa takut dengan Al-Qur’an kepada orang-orang yang merasa takut kepada Rabb-nya dari kalangan orang-orang yang memiliki hati yang mengerti, yang mengingat bahwa mereka akan berdiri di hadapan Rabb mereka tanpa ditemani seorang kerabat yang akan menolongnya dan perantara yang akan memberinya syafa’at -di sisi Allah- tanpa seizin Allah, agar mereka melakukan persiapan untuk hal itu, sehingga mereka mengerjakan amalan-amalan di dunia ini, yang dengannya Allah akan menyelamatkannya dari adzab-Nya pada hari kiamat”.

Hubungan antara Ayat dan Bab

Dalam ayat ini ada bantahan terhadap kaum musyrikin yang berdoa kepada para nabi dan orang-orang saleh untuk meminta syafa’at dari mereka.

Faedah Ayat

  1. Bantahan terhadap kaum musyrikin yang bertaqarrub kepada para nabi dan orang-orang shalih dalam rangka meminta syafaat dari mereka.
  2. Disyariatkannya memberi nasihat dan peringatan tentang hari kiamat.
  3. Bahwa orang yang beriman adalah orang yang dapat mengambil manfaat dan nasihat.



Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 16 Syafa’at

Bab tentang syafaat

Syafaat secara bahasa: dari kata as-syafa yang bermakna menggabungkan atau menyatukan. Atau lawannya dari ganjil, yaitu genap. Dikatakan genap karena yang satu bergabung dengan yang kedua, dan yang kedua ini menggenapkannya.

Syafaat secara istilah adalah perantaraan untuk orang lain dalam mendatangkan manfaat atau menolak bahaya.

Misalnya di vonis 4 tahun oleh hakim, kemudian ada orang yang memberi syafaat, dia berkata kepada hakim bahwa hukuman 4 tahun ini terlalu berat, harusnya dikurangi menjadi satu tahun. Maka dia meminta keringanan hukum. Ini adalah syafaat, tapi ini dikatakan syafaat sayya. Syafaat yang jelek, karena hukum tidak boleh ada syafaat karena terkait dengan hudud, hal yang telah dipastikan.

Berilah syafaat maka kalian akan mendapat pahala. yaitu membantu orang.

Syafaat ada dua jenis:

  1. Yang dinafikan, syahadat yang dicari atau diminta kepada selain Allah padahal yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah.
  2. Yang ditetapkan, syafaat yang diminta dari Allah untuk ahli tauhid saja.

Dua ketentuan mendapatkan syafaat:

  1. Allah memberi izin kepada orang yang memberi syafaat
  2. Allah ridha kepada orang yang disyafaati.

Tiga sudut syafaat

  1. Pemilik syafaat, yaitu Allah Ta’ala
  2. Yang dimintai syafaat
  3. Orang yang meminta syafaat.

Nabi dikatakan pemberi syafaat, maksudnya memohonkan kepada Allah untuk umatnya.

Bentuk-bentuk syafaat:

Syafaat khusus untuk Nabi Muhammad ﷺ, tidak berlaku untuk yang lain. Ada tiga:

  1. Syafaat Uzma (terbesar), ketika di padang mahsyar dengan penantian yang lama, matahari didekatkan, Allah murka yang tidak pernah sebelumnya, dan tidak akan pernah setelahnya. Manusia dalam keadaan menanti hisab. 1 hari seperti 1000 atau 50000 tahun. Maka manusia mendatangi para Nabi. Hinga mendatangi Nabi ﷺ, yang berdoa kepada Allah untuk dimulai persidangan.
  2. Syafaat nabi ﷺ mengetuk pintu syurga untuk membuka syurga.
  3. Syafaat nabi ﷺ bagi pamannya Abu Thalib yang mendapatkan keringan siksa di neraka.

Syafaat bagi ahli sunnah

Yaitu dipertengahan, artinya tidak berlebihan dan juga tidak meremehkan. Terdapat golongan yang berlebihan dan ada yang meremehkan akan syafaat..

Yahudi dan Nasrani mengingkari adanya syafaat, sebagaimana Khawarij dan Mu’tazilah yang mengingkari syafaat untuk pelaku dosa besar.

Kelompok yang berlebihan dalam menetapkannya: orang sufi, khurafat, sampai dia tetapkan syafaat bisa didapatkan dari hal-hal yang tidak disyariatkan. Minta syafaat kepada orang fajir yang dikenal dengan kefasikan. Kadang mereka katakan syafaat diberikan kepada kaum musyrikin. Ada yang mengatakan bahwa Abu Lahab diringankan siksaan karena bergembira dengan Maulid Nabi Muhammad.

Dalil 1: Surat Al-An’am ayat 51, “Berilah peringatan terhadap orang-orang yang takut. Peringatannya adalah mereka akan dikumpulkan kepada Rabb mereka. Tidak ada yang mempunya pelindung dan pemberi syafaat pun.

Sisi pendalilan: Ayat ini diterangkan tidak ada yang bisa memberi syafaat, karena hanya milik Allah saja. Ini dalil tentang batilnya syafaat dari selain Allah. Batil meminta syafaat dari Nabi dan orang shalih.

Faedah ayat:

  1. Bantahan terhadap kaum musyrikin yang meminta syafaat kepada nabi dan orang salih
  2. Syafaat yang dinafikan, yaitu syafaat kepada selain Allah.
  3. Terdapat pentingnya rasa takut.
  4. Disyaratkan memberi nasihat tentang hari kiamat.
  5. Isyarat melakukan amalan yang menjadi sebab mendapatkan syafaat daripada Allah.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

Tafsir Surat Nuh Ayat 23

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 18 Faktor yang Mengakibatkan Anak Adam Menjadi Kafir dan Meninggalkan Agama Mereka, yaitu Sikap Melampaui Batas kepada Orang-Orang Shalih.

Dalam Ash-Shahih, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhu, bahwa mengenai firman Allah Ta’ala,

وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّۭا وَلَا سُوَاعًۭا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًۭا

Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata, ‘Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan kepada) sembahan-sembahan kalian, (terutama) janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan kepada) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr” (Nuh: 23)

Beliau menafsirkan, “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, syaitan membisikan kepada mereka, ‘Dirikanlah gambar-gambar pada majelis-majelis mereka, tempat mereka pernah mengadakan pertemuan, dan namailah (gambar-gambar) itu dengan nama mereka.’ Orang-orang itu pun melaksanakan (bisikan syaitan) tersebut, tetapi (patung-patung mereka) belum disembah (ketika itu). Hingga, setelah orang-orang (yang mendirikan patung itu) meninggal dan manusia melupakan ilmu (agama), barulah (patung-patung) tadi disembah.”

Ibnu Qayyim berkata, “Banyak kalangan Salaf yang berkata, ‘Setelah mereka meninggal, orang-orang pun sering mendatangi kuburan mereka (untuk beri’tikaf), lalu mendirikan gambar-gambar mereka. Kemudian setelah masa demi masa berlalu, akhirnya mereka pun disembah.'”

Biografi

Ibnul Qayyim adalah Al-Imam Al-‘Alamah Muhamad bin Abi Bakr bin Ayyub Az-Zariy Ad-Dimasysqy, murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau meninggal pada 751 H -semoga Allah merahmati beliau-. Beliau memiliki karya-karya tulis yang bermanfaat dan terkenal.

Makna Atsar Secara Global

Ibnu ‘Abbas Radhyallahu Anhu menafsirkan ayat yang mulia ini dengan (tafsiran) bahwasannya sembahan-sembahan yang disebutkan oleh Allah bahwa kaum Nabi Nuh saling berwasiat untuk terus menyembahnya setelah Nabi Nuh Alaihi Salam melarang mereka dari berbuat kesyirikan kepada Allah. Bahwa pada asalnya sembahan-sembahan tersebut adalah nama orang-orang shalih dari kalangan mereka, yang mereka bersikap berlebih-lebihan kepada orang-orang shalih tersebut disebabkan oleh tipu daya syaithan terhadap mereka, sehingga mereka membuat gambar-gambar orang-orang shalih tersebut. Kemudian berubahlah perkara dengan gambar-gambar ini hingga menjadi patung-patung yang disembah dari selain Allah.

Adapun yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim, semakna dengan apa yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhariy, kecuali bahwa beliau (Ibnul Qayyim) menyebutkan bahwa perkara i’tikaf di atas kuburan orang-orang shalih itu dilakukan sebelum mereka membuat gambar-gambarnya. Maka hal ini dapat menambahkan (menguatkan) keterangan yang telah lalu bahwa i’tikaf di atas kubur juga merupakan sebab terjadinya peribadahan terhadap kubur tersebut.

Hubungan antara Atsar dan Bab

Atsar di atas menunjukkan bahwa sikap berlebihan terhadap orang-orang shalih merupakan sebab penyembahan kepada mereka dari selain Allah.

Faedah Atsar

  1. Bahwa sikap ghuluw ‘berlebihan’ terhadap orang-orang saleh merupakan sebab peribadahan kepada mereka dari selain Allah dan peninggalan agama secara keseluruhan.
  2. Peringatan dari membuat gambar dan menggantungkan gambar, terutama gambar orang-orang yang diagungkan.
  3. Peringatan dari tipu daya syaitan dan tawarannya yang batil dalam bentuk kebenaran.
  4. Peringatan dari berbagai macam bid’ah meskipun pelakunya bermaksud baik.
  5. Bahwa perkara ini merupakan perantara kepada syirik maka wajib dihindari.
  6. Mengetahui nilai keberadaan ilmu dan bahaya hilangnya ilmu.
  7. Bahwa sebab hilangnya ilmu adalah dengan meninggalkan ulama.
  8. Peringatan terhadap sikap taqlid karena sikap tersebut dapat mengakibatkan pelakunya keluar dari Islam.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Sumber:

    Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

    Bab 18 Faktor yang Mengakibatkan Anak Adam Menjadi Kafir dan Meninggalkan Agama Mereka, yaitu Sikap Melampaui Batas kepada Orang-Orang Shalih.

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 18 Faktor yang Mengakibatkan Anak Adam Menjadi Kafir dan Meninggalkan Agama Mereka, yaitu Sikap Melampaui Batas kepada Orang-Orang Shalih.

    Firman Allah Ta’ala:

    يَـٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَـٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ

    Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas (yang telah ditentukan Allah) dalam agama kalian.” (An-Nisa: 171)

    Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

    Setelah penulis rahimahullah menjelaskan sebagian perbuatan para penyembah kubur terhadap orang yang sudah meninggal dunia, berupa berbagai kesyirikan yang bertentangan dengan tauhid, dalam bab ini, beliau ingin menjelaskan sebab-sebab terjadinya hal tersebut agar seseorang berhati-hati dan menjauhkan diri darinya, yaitu sikap berlebihan kepada orang-orang shalih.

    Al-Ghuluw ‘melampaui batas’: yakni melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam mengagungkan, baik dengan ucapan maupun dengan keyakinan, serta melewati batas dari hal-hal yang telah Allah Ta’ala perintahkan.

    Fi Sholihin ‘terhadap orang-orang shalih’: yaitu dari kalangan Nabi, para wali dan selainnya.

    Ahli Kitab: yakni orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani.

    La taghulu fi dinikum ‘janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian’: artinya jangan kalian melampaui batas dari apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian. Maka orang-orang Nasrani telah berlebihan terhadap Isa, sedangkan orang-orang Yahudi telah berlebihan terhadap ‘Uzair’.

    Makna Ayat Secara Global

    Allah melarang orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashara untuk melampaui batas terhadap (ketentuan) yang telah Allah tetapkan untuk mereka. Yaitu, agar mereka tidak mengangkat makhluk pada kedudukan yang melebihi kedudukan (makhluk) yang telah Allah tetapkan, dan (agar mereka tidak) mendudukkan (makhluk) pada kedudukan yang tidak pantas ditempati oleh siapapun, kecuali Allah.

    Hubungan antara Ayat dan Bab

    Bahwa pada ayat ini, terdapat larangan terhadap sikap ghuluw ‘berlebih-lebihan’ secara mutlak, sehingga mencakup sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih. Meskipun ditujukan kepada ahlul kitab, ucapan dalam ayat tersebut sesungguhnya berlaku secara umum, yang menjangkau seluruh umat manusia, sebagai peringatan bagi mereka supaya mereka tidak memperlakukan Nabi mereka dan orang-orang shalih dari kalangan mereka sebagaimana perlakuan orang-orang Nashara kepada Isa dan orang-orang Yahudi kepada Uzair.

    Faedah Ayat

    1. Diharamkan sikap ghuluw ‘berlebih-lebihan’ terhadap individu-individu dalam amalan-amalan dan pada yang selainnya.
    2. Bantahan terhadap orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan yang menyerupai mereka dalam sikap ghuluw mereka terhadap seseorang pada amalan-amalan dan yang selainnya.
    3. Anjuran untuk senantiasa bersikap pertengahan dalam beragama dan dalam segala urusan, yaitu antara dua sikap: sikap berlebihan dan sikap meremehkan.
    4. Peringatan terhadap perbuatan syirik, sebab-sebab (kesyirikan) dan perkara-perkara yang mengantar kepada (kesyirikan)

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Sumber:

    Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

    Hadits mengenai kisah kematian Abu Thalib

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 17 Firman (Allah) Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai” (Al-Qashash: 56)

    Dalam As-Shahih dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, (ayahnya) berkata, “Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, datanglah Rasulullah kepadanya, dan saat itu Abdullah bin Abi Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya, maka (Rasulullah) berkata kepadanya,

    Wahai pamanku, ucapkanlah La Ilaha Illallah, suatu kalimat yang dapat kujadikan sebagai hujjah untukmu di sisi Allah

    Namun, kedua orang itu berkata, ‘Apakah engkau membenci agama Abdul Muththalib?’

    Nabi pun mengulangi ucapan (beliau) kepada paman (beliau), tetapi kedua orang itu juga mengulang-ulangi perkataan mereka kepadanya. Maka, akhir perkataannya adalah bahwa ia masih tetap berada pada agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La Ilaha Illallah.

    Oleh karena itu, Nabi bersabda, ‘Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu sepanjang aku tidak dilarang

    Maka, Allah ﷻ menurunkan (firman-Nya), ‘Nabi dan orang-orang yang beriman tidaklah patut memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun (orang-orang musyrik) itu adalah kaum kerabat(-nya)’ (At-Taubah: 113)

    Mengenai Abu Thalib, Allah menurunkan (firman-Nya), ‘Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah‘ (Al-Qashash: 56)

    Biografi

    Ibnu Musayyib adalah Sa’id bin Al-Musayyib, salah seorang ulama dan ahli fikih serta termasuk kibar tabiin. Beliau meninggal setelah 90 H.

    Makna Hadits Secara Global

    Adalah Abu Thalib seorang yang senantiasa melindungi Nabi ﷺ dari gangguan kaumnya. Dia melakukan perlindungan yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain, sehingga Nabi ﷺ sangat bersemangat terhadap hidayah pamannya tersebut. Di antara upaya beliau dalam rangka semangatnya tersebut adalah bahwa beliau menjenguknya ketika sakit. Maka Nabi ﷺ mendatanginya ketika dia sedang dalam sakaratul maut dan menawarkan, (untuk masuk) Islam, agar Islam menjadi penutup bagi kehidupannya, sehingga dia mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Nabi ﷺ meminta agar Abu Thalib mengucapkan kalimat tauhid La Ilaha Illallah, Sedangkan kaum musyrikin menawarkan agar Abu Thalib tetap dalam agama nenek moyangnya yaitu agama kesyirikan, karena mereka mengetahui bahwa kalimat ini menunjukkan penolakan terhadap kesyirikan serta pengikhlasan ibadah hanya kepada Allah semata.

    Nabi ﷺ mengulangi permintaannya kepada Abu Thalib agar melafadzhkan syahadat (_La Ilaha Illallah) itu, tetapi kaum musyrikin juga mengulangi bantahannya sehingga mereka telah menjadi sebab perpalingannya dari kebenaran dan kematiannya di atas kesyirikan.

    Kemudian ketika itu, Nabi ﷺ bersumpah untuk memintakan ampun baginya kepada Allah selama hal itu tidak dilarang (oleh Allah). Maka Allah menurunkan larangan tentang hal tersebut dan menjelaskan bahwa hidayah itu di tangan Allah, dan Allahlah yang memberikan keutamaan dengan hidayah itu kepada siapa yang Dia kehendaki. Hal ini karena Allah lebih mengetahui orang-orang yang pantas mendapatkan hidayah dan orang-orang yang tidak pantas mendapatkan (hidayah) tersebut.

    Hubungan antara Hadits dan Bab

    Bahwasannya Ar-Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam tidak berkuasa untuk memberi manfaat kepada orang yang paling dekat dengan dirinya, yang menunjukkan akan batilnya bergantung kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam untuk mendapatkan manfaat atau menolak bahaya, apalagi kepada selainnya.

    Faedah Hadits

    1. Bolehnya menjenguk orang musyrik yang sakit apabila diharapkan dapat masuk Islam.
    2. Bahayanya sahabat yang jelek dan teman yang jahat bagi seseorang.
    3. Bahwa makna kalimat La Ilaha Illallah adalah meninggalkan peribadahan kepada patung, para wali, dan orang shalih, serta mengesakan peribadahan hanya untuk Allah, dan bahwasannya orang-orang musyrikin mengetahui maknanya.
    4. Bahwasannya siapa saja yang mengucapkan La Illaha Illallah dengan mengetahui (makna kalimat tersebut) dan penuh keyakinan (tidak ragu) serta mengimani (kalimat) itu, dia telah masuk Islam.
    5. Bahwa semua amalan itu bergantung pada (amalan) yang terakhir.
    6. Diharamkan memintakan ampun untuk orang-orang musyrikin, juga diharamkan untuk loyal dan mencintai mereka.
    7. Batilnya bergantung kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan yang lainnya dalam usaha mencari manfaat dan menolak bahaya.
    8. Bantahan terhadap orang yang meyakini keislaman Abu Thalib.
    9. Bahanya taqlid kepada nenek moyang dan para pembesar dengan menjadikan ucapan-ucapan mereka sebagai hujah untuk rujukan ketika terjadi perselisihan.

    Sumber:

    Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 17

    Hadits ini menafsirkan ayat yang sebelumnya.

    Periwayat hadits Ibnul Musayyab merupakan salah satu Al-Fuqoha As-Sab’a, tujuh ahli fikih kota Madinah, yaitu:

    1. Urwa bin Zubair bin Awwam
    2. Ubaidullah bin Abdillah bin Usbah bin Mas’ud
    3. Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar As-Syidiq.
    4. Syaid bin Musayyab
    5. Abu Bakr bin Abdurahman bin Harits
    6. Sulaiman bin Yasar
    7. Khariya bin Zaid.

    Ibnul Musayyab adalah imamnya para tabi’in dari sisi ilmu. Tabi’in paling afdhal adalah Uwais Al-Qarni karena Nabi memberikan hadits yang mengisyaratkan akan hal itu, yaitu Nabi berkata kepada Umar, “Nanti akan datang seorang lelaki yang bernama Uwais dari Bani Qarun. Apabila ketemu dia, minta supaya didoakan. Akan tetapi dari sisi ilmu, Ibnul Musayyab lebih utama.

    Ayahnya, Al-Musayyab, adalah seorang sahabat, demikian pula kakeknya, Hazn, adalah seorang sahabat. Hazn meninggal di Yamama, ketika perang melawan Musailamah Al-Kadzab. Sedangkan ayahnya, Al-Musayyab, wafat di masa khilafah Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu.

    Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, beliau didatangi oleh Rasulullah ﷺ. Hal ini menunjukkan bolehnya mengunjungi orang kafir yang sedang sakit, apabila ada maslahat atau apabila diharapkan masuk Islam. Waktu itu di sisi Nabi ada Abdullahi bin Ummaya dan Abu Jahal.

    Periwayat hadits Al-Musayyab hadir pada kejadian ini, sehingga masuk Islam. Demikian pula Abdullahi bin Ummaya, pentolan Quraisy, masuk Islam. Abu Jahal mati di atas kekafiran, yang gelarannya adalah Firaun di tengah umat ini.

    Maka, Nabi berkata, “Wahai Pamanku, katakanlah La Ilaha Illallah“. Terdapat kewajiban mengucapkan La Ilaha Illallah bagi yang ingin selamat dari api neraka dan masuk ke dalam Islam. Menunjukkan tidak cukup hanya menunjukkan pembelaan dan kecintaan, tapi harus ditegaskan dengan berucap La Ilaha Illallah.

    Suatu kalimat yang dapat menjadikannya sebagai hujjah di sisi Allah“. Maksudnya, ucapan La Ilaha Illallah menjadi argumen di mana Nabi Muhammad akan membelanya di depan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa amalan itu tergantung penutupnya. Apabila penutupnya berucap La Ilaha Illallah, maka akan bermanfaat.

    Namun kedua orang itu, Abdullahi bin Ummaya dan Abu Jahal, berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau membenci agama Abdul Muthalib?” Hal ini menunjukkan bahwa kaum musyrikin mengerti konsekuensi makna ucapan La Ilaha Illallah, yaitu dia harus kafir terhadap segala yang diibadahi selain daripada Allah dan berlepas diri dari agama kaum musyrikin. Sehingga kedua orang ini berupaya untuk tetap berada di kaum musyrikin dengan berkata, “Apakah engkau benci kepada agama Abdul Muthalib?”

    Nabi ﷺ mengulangi ucapan kepada Abu Thalib, tetapi mereka berdua juga mengulangi perkataan mereka kepada Abu Thalib.

    Maka akhir perkataan Abu Thalib masih berada di atas agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan La Ilaha Illallah.

    Hal ini menunjukkan buruknya teman duduk karena andaikata tidak ada teman yang jelek ini, mungkin Abu Thalib masuk Islam. Dua teman jelek ini membuat Abu Thalib meninggal di atas kekufuran. Sehingga peringatan besar agar mengawasi teman duduknya karena bisa membawanya kepada kebinasaan.

    Kemudian Nabi ﷺ bersabda, “Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu sepanjang aku tidak dilarang“. Maka Allah menurunkan firmannya, “Nabi dan orang-orang yang beriman tidaklah patut memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik” (At-Taubah: 113). Setelah tampak jelas bahwa mereka adalah penghuni neraka jahim, walaupun kaum musyrikin itu kerabatnya sendiri. Ayat ini menunjukkan larangan untuk memohonkan ampun bagi kaum musyrikin sekalipun kerabatnya. Setelah tampak jelas, maksudnya menunjukkan kejelasan bahwa mereka adalah penghuni neraka jahim.

    Allah menurunkan firmannya tentang Abu Thalib, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) takkan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

    Hadis ini menerangkan makna ayat dan menunjukkan bahwa Nabi ﷺ adalah manusia yang paling dekat dengan Allah, tidak bisa memberikan manfaat hidayah kepada pamannya. Sehingga batilnya bergantung kepada Nabi dalam mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Apabila terhadap Nabi saja hal yang batil, maka selain Nabi lebih batil lagi.

    Faedah hadits:

    Pertama, bolehnya mengunjungi orang kafir yang sakit apabila diajak masuk Islam.

    Kedua, bahayanya berteman dengan teman yang buruk.

    Ketiga, makna La Ilaha Illallah adalah meninggalkan peribadatan kepada berhala, wali-wali, dan orang sholeh serta mengesakan Allah dengan ibadah. Kaum musyrikin mengetahui akan makna ini.

    Keempat, siapa yang berucap La Ilaha Illallah di atas ilmu dan keyakinan serta meyakininya, maka masuk dalam Islam.

    Kelima, amalan tergantung pada penutupnya.

    Keenam, haramnya memohonkan ampun untuk kaum musyrikin. Sebagaimana diharamkan memberi loyalitas dan kecintaan kepada mereka.

    Ketujuh, batilnya bergantung kepada Nabi dan selainnya dalam mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.

    Kedelapan, bantahan terhadap orang yang mengatakan Abu Thalib masuk Islam.

    Kesembilan, bahaya fanatik terhadap bapak-bapak dan nenek moyang. Hal ini yang menjadikan Abu Thalib tidak mau masuk Islam.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Bab 17 Firman (Allah) Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai” (Al-Qashash: 56)

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 17 Firman (Allah) Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai” (Al-Qashash: 56)

    Kelengkapan Ayat

    إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

    Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allahlah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah” (Al-Qashash: 56)

    Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

    Bab ini merupakan bantahan terhadap para penyembah kubur yang meyakini bahwa para nabi dan orang-orang shalih bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Sisi bantahan tersebut adalah bahwa Nabi telah berusaha sekuat tenaga untuk memberi hidayah kepada pamannya (ketika masih hidup), tetapi beliau tidak berhasil. Kemudian, Nabi mendoakan kebaikan untuk pemannya setelah kematian (paman)nya, tetapi beliau dilarang melakukan hal itu. Lalu, Allah Subhanahu menyebutkan bahwa Rasul tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang dia cintai. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi tidak berkuasa untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya sehingga batallah sikap bergantung kepada Nabi dalam usaha mendapatkan manfaat dan menolak bahaya, lebih-lebih bergantung kepada selain beliau.

    Innaka ‘sesungguhnya kamu’: ucapan ini ditujukan kepada Nabi .

    La Tahdii ‘kamu tidak dapat memberi petunjuk’: yakni tidak dapat memberi hidayah taufik untuk masuk Islam. Adapun hidayah dalam arti berdakwah dan memberikan keterangan, maka Rasul kuasa atasnya. Allah berfirman,

    وَإِنَّكَ لَتَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ

    Sesungguhnya engkau betul-betul memberi hidayah kepada kalan yang lurus” (Asy-Syu’ra: 52)

    Man Ahbabta ‘orang yang kamu cintai’: untuk mendapatkan hidayah.

    Walakinnallaha yahdii mayyasyaa‘ ‘akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki’: yakni memberi taufik untuk masuk Islam.

    Wahuwa a’lamu bilmuhtadiin ‘dan Dia lebih mengetahui orang yang mendapat petunjuk’: yakni lebih mengetahui orang-orang yang pantas mendapat hidayah dan orang-orang yang pantas sesat.

    Makna Ayat Secara Global

    Allah Ta’ala mengatakan kepada Rasul-Nya : sesungguhnya kamu tidak mampu memberi taufik untuk masuk Islam kepada orang yang kamu cintai, tetapi hal itu ada di tangan Allah. Dialah yang memberi taufik kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia yang lebih mengetahui orang-orang yang berhak mendapat hidayah dan orang-orang yang tidak berhak mendapat (hidayah).

    Hubungan antara Ayat dan Bab

    Pada ayat ini terdapat dalil yang jelas bahwa Rasul tidak memiliki kekuasaan terhadap menfaat dan bahaya, tidak pula memberikan atau menghalangi, dan bahwa perkara itu semuanya ada di tangan Allah. Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap orang-orang yang menyeru (meminta) Nabi dalam rangka menghilangkan kesulitan-kesulitan mereka dan memenuhi keperluan-keperluan mereka.

    Faedah Ayat

    1. Bantahan terhadap orang-orang yang menyakini para wali dapat memberi manfaat atau bahaya serta ikut mengatur segala urusan melalui karamahnya setelah meninggal.
    2. Bahwa hidayah taufik berada di tangan Allah Subhanahu.
    3. Penetapan sifat ilmu bagi bagi Allah Subhanahu.
    4. Penetapan sifat hikmah bagi Allah Subhanahu.
    5. Penetapan batilnya bergantung kepada selain Allah.

    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 17

    Bab ini datang setelah pembahasan syafa’at dan masih berkaitan dengan beberapa bab sebelumnya, untuk menjelaskan tentang keharusan memurnikan tauhid hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Telah diterangkan tentang malaikat, hamba Allah yang paling dekat; mereka juga adalah makhluk yang perlu kepada Allah. Demikian pula manusia yang juga makhluk yang perlu kepada Allah, termasuk para rasul dan para wali. Semuanya adalah makhluk yang tidak berhak untuk diibadahi.

    Juga telah diketahui bahwa syafaat hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kepada siapa saja yang beribadah kepada selain Allah, kepada hal yang tidak mampu kecuali Allah. Maka hal ini termasuk kepada kesyirikan.

    Maka dalam bab ini, penulis ingin menegaskan bahwa syafaat itu murni milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad tidak berserikat dalam hal ini. Seseorang yang beliau cintai saja tidak mampu memberi hidayah.

    Sehingga ibadah kepada Nabi adalah ibadah yang batil. Apabila ibadah kepada Nabi yang merupakan makhluk yang paling afdhal dianggap batil, maka beribadah kepada selain beliau menjadi lebih batil lagi.

    Terdapat dua penekanan pada Bab ini:

    1. Penjelasan bahwa syafaat hanya milik Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad , hamba yang paling dekat dengan Allah, tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang dia cintai.
    2. Penegasan terhadap kaum musyrikin yang meyakini para Nabi dan orang-orang shalih memiliki manfaat dan bisa menolak bahaya. Apabila Nabi Muhammad tidak bisa memberi hidayah kepada siapa yang beliau cintai, maka hidayah itu hanya diminta dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Bab firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, Akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia lah, Allah, yang paling tahu siapa yang berhak mendapatkan hidayah tersebut.

    Hidayah, terkait dengan pembahasan Bab ini, terbagi menjadi dua:

    1. Hidayah Ad-dalala wal irsyad, yaitu hidayah yang menunjukan, mengarahkan dan membimbing.
    2. Hidayah At-taufiq wal ilham, hidayah ini hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Hidayah yang dinafikan dalam ayat ini, bahwa Nabi tidak bisa memberikan hidayah yaitu hidayah At-taufiq wal ilham. Nabi Muhammad tidak bisa memberi taufiq dan ilham kepada siapa yang kamu cintai sehingga masuk ke dalam Islam. Hidayah at-taufiq wal ilham hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Ayat ini semisal dengan Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah: “Bukan atas engkau, Nabi Muhammad, memberi hidayah kepada mereka“.

    Hidayah Ad-dalala wal Irsyad, yaitu menunjukkan, mengajak, dan membimbing. Hidayah ini ditetapkan untuk Nabi Muhammad . Nabi Muhammad mengajak manusia ke jalan Allah, menunjukkan segala hal yang diperlukan oleh manusia. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Asy-Syura, “Dan engkau, Nabi Muhammad, sungguh memberi hidayah kepada jalan yang lurus“.

    Demikian juga firman Allah, “Adapun Tsamud, kami telah beri hidayah kepadanya. Tapi dia lebih mencintai kebutaan di atas petunjuk atau hidayah“. Hidayah di sini juga adalah hidayah Ad-dalala wal irsyad.

    Al-Qur’an perlu ditadaburi makna-maknanya sehingga tidak salah mengartikan bahwa terdapat kontradiksi dalam Al-Qur’an. Seperti dua ayat di atas, bahwa Nabi Muhammad tidak bisa memberi hidayah, kemudian di ayat yang lain Nabi Muhammad bisa memberi hidayah. Banyak dari kaum pembenci Islam yang mengungkap ayat-ayat seperti ini dengan tujuan membuat umat Islam ragu terhadap agamanya.

    Beberapa pelajaran dari ayat ini:

    Pertama, terdapat bantahan terhadap kaum musyrikin yang meyakini para nabi dan wali-wali, bahwa mereka bisa memberi manfaat dan menolak bahaya.

    Kedua, hidayah, taufik, dan ilham hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Ketiga, dalam ayat bahwa kecintaan yang bersifat tabiat kepada orang kafir, tidak dipermasalahkan. Misalkan seorang Muslim mencintai ayahnya yang kafir. Cintanya karena ayahnya, bukan kekafirannya. Dalam ayat “Siapa yang engkau cintai“. Allah tidak menegur Nabi yang mencintai pamannya, Abu Thalib.

    Keempat, terdapat penetapan ilmu hanya untuk Allah dan penetapan hikmah hanya untuk Allah.

    Kelima, terdapat batilnya bergantung kepada selain Allah.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Sumber:

    Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

    Inabah – Kembali kepada Allah

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

    Kitab Tsalastatul Ushul

    Landasan Pertama: Mengenal Allah

    Ibadah dan Bentuk-Bentuknya: Inabah – Kembali kepada Allah

    Terjemahan Kitab

    Dalil inabah adalah firman (Allah) Ta’ala:

    وَأَنِيبُوٓا۟ إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا۟ لَهُۥ

    “Dan kembalilah kalian kepada Rabb kalian, dan berserahdirilah kepada-Nya (Al-Zumar: 54)

    Pembahasan

    Pertama: Definisi Inabah

    Makna global inabah adalah kembali kepada Allah. Inabah hati artinya cinta kepada Allah, mengingat Allah, dan membesarkan Allah. Adapan anggota badannya menunjukan inabah hati nya yaitu selalu dalam ketaatan, ikhlas akan ibadah yang dilakukan dan mencontoh nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

    Makna terperinci dari Inabah, mengandung empat perkara:

    1. Kecintaan kepada Allah
    2. Tunduk dan merendah kepada Allah
    3. Selalu menghadap menuju kepada Allah
    4. Berpaling dari segala yang selain dari Allah.

    Taubat termasuk salah satu bentuk dari Inabah, yaitu kembali kepada Allah. Akan tetapi inabah cakupannya lebih luas.

    Kedua: Tafsir ayat surat Al-Zumar yang menunjukkan bahwa inabah adalah ibadah

    Dalil inabah terdapat pada surat Al-Zumar ayat 4. “Dan kembalilah kepada Rabb kalian dan berserah dirilah kepada -Nya.”

    Berislam atau berserah diri dengan segala bentuk keislaman. Terdapat dua bentuk dalam berislam, yaitu islam kauni dan islam syar’i. Islam kauni artinya ketundukan kepada setiap ketentuan Allah Subhanahu Wata’alla. Adapaun islam syar’i adalah ketundukan terhadap syariat Allah.

    Ketika Allah memerintahkan untuk “Kembalillah kalian kepada Rabb kalian“, maka menunjukkan Allah cinta kepada hal tersebut. Sesuatu yang dicintai oleh Allah, maka itu adalah ibadah. Apabila sesuatu itu Ibadah, maka kaidahnya harus ikhlas hanya untuk Allah. Apabila menyerahkannya kepada selain Allah, maka kesyirikan.

    Wallahu Ta’ala ‘Alam

    Sumber:

    • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
    • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

    Khasyyah – Takut

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

    Kitab Tsalastatul Ushul

    Landasan Pertama: Mengenal Allah

    Ibadah dan Bentuk-Bentuknya: Khasyyah – Takut

    Terjemahan Kitab

    Dalil khasyyah adalah firman (Allah) Ta’ala:

    فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِى

    Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku (saja)” (Al-Baqarah: 150)

    Pembahasan

    Pertama: Definisi Khasyyah

    AL-Khasyyah sama dengan Al-Khauf yang artinya rasa takut akan tetapi perbedaannya Al-Khasyyah disertai dengan ilmu pengetahun terhadap siapa yang dia takuti. Permisalan dari Al-Khauf adalah apabila seseorang takut kepada seseorang akan tetapi dia belum melihat orang yang ditakuti tersebut, dia belum tahu apakah bisa mengalahkannya atau tidak. Sedangkan Al-Khasyyah apabila takut kepada seseorang dan dia tahu orang yang dia takuti tersebut bisa membahayakannya.

    Sifat Al-Khasyyah disandarkan kepada ulama, sebagaimana ayat berikut:

    إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَـٰٓؤُا۟ ۗ

    Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” (Fatir: 28)

    Para ulama adalah orang-orang yang mengerti akan keagungan dan kebesaran Allah.

    Sama halnya dengan Al-Khauf dalam Al-Khasyyah juga harus ada Raja (rasa harapan) sehingga tidak menjadi putus asa demikian juga sebaliknya Raja’ tanpa adanya Khasyyah akan menyebabkan merasa aman dari makar Allah.

    Kedua: Tafsir ayat surat Al-Baqarah yang menunjukkan bahwa khasyyah adalah ibadah

    Dalil Khasyyah adalah “Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku (saja)“.

    Terdapat dua pendalilan:

    1. Dilarang takut kepada mereka.
    2. Diperintah takut kepada Allah semata.

    Peintah untuk takut kepada Allah menunjukan bahwa khasyyah adalah sesuatu yang di ridhai Allah. Sesuatu yang di ridhai Allah adalah ibadah. Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas untuk Allah semata. Sehingga Khasyyah kepada selain Allah, maka itu adalah kesyirikan.

    Wallahu Ta’ala ‘Alam

    Sumber:

    • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
    • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

    Raghbah ‘Harap’, Rahbah ‘Takut’, dan Khusyuk

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

    Kitab Tsalastatul Ushul

    Landasan Pertama: Mengenal Allah

    Ibadah dan Bentuk-Bentuknya: Raghbah ‘Harap’, Rahbah ‘Takut’, dan Khusyuk

    Terjemahan Kitab

    Dalil raghbah, rahbah, dan khusyuk adalah firman (Allah) Ta’ala,

    إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَـٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًۭا وَرَهَبًۭا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَـٰشِعِينَ

    “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas . Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Al-Anbiya: 90)

    Pembahasan

    Pertama: Definisi raghbah, rahbah, dan khusyuk

    Ar-raghbah artinya mencari jalan untuk sampai kepada sesuatu yang dicintai. Definisinya hampir sama dengan Ar-raja’ yaitu semangat, ketamakan atau keinginan untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Persamaan keduanya adalah sama-sama harapan. Adapun perbedaaanya adalah, ar-raja berarti keinginan akan tetapi ar-raghbah berarti menempuh jalan untuk kesana.

    Misalnya seseorang ingin masuk surga. Keinginan untuk masuk surga adalah raja. Kemudian untuk masuk surga, maka semangat beramal shaleh. Semangat beramal shaleh tersebut adalah raghbah. Bisa juga dikatakan hasil dari raja adalah raghbah atau keinginan untuk masuk surga menghasilkan semangat dalam mencari amal shaleh.

    Ar-rahbah adalah rasa takut. Hampir sama dengan Al-Khauf. Akan tetapi Ar-Rahbah ada amalan untuk menghindari rasa takut.

    Ibnul Qoyim berkata Ar-rahbah adalah memperhatikan dengan seksama bagaimana lari dari hal yang tidak baik. Sehingga tidak hanya takut tapi mencari jalan untuk lari darinya.

    Khauf lawannya adalah Raja sedangkan Raghbah lawannya adalah Rahbah.

    Al-Khusyuk adalah merendah kepada keagungan Allah. Khusyuk ada pada hati dan anggota badan. Khyusuk juga berarti menundukan kepada Allah, tenang, tumaninah. Asalnya khusyuk adalah dalam hati yang kemudian menghasilkan buahnya pada anggota badan.

    Kedua: Tafsir ayat surat Al-Anbiya yang menunjukkan bahwa raghbah, rahbah, dan khusyuk adalah ibadah

    Dalil raghbah, rahbah, dan khusyuk adalah firman (Allah) Ta’ala dalam surat Al-Anbiya ayat 90. Dalam surat Al-Anbiya disebutkan Nab-Nabi, kemudian ayat ini, “Sesungguhnya mereka (para nabi) bersegera dalam kebaikan”. Bersegera menunjukan kecintaan sehingga bersegera dalam kebaikan. Mereka beribadah kepada Kami dengan raghbah rasa harapan dan rahbah rasa takut. Rasa takut dan harapan ini disertai dengan amalan. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk.

    Sehingga jelas sisi pendalilan bahwa mereka dipuji oleh Allah karena mereka beribadah dengan raghbah, rahbah, dan khusyuk. Sesuatu yang dipuji oleh Allah berarti sesuatu itu dicintai dan diridhai oleh Allah. Karena raghbah, rahbah, dan khusyuk dicintai dan diridhai oleh Allah, maka ketiganya adalah Ibadah. Kaidahnya dalam Ibadah harus ikhlash kepada Allah dan apabila dipalingkan untuk selain Allah maka hukumnya kesyirikan.

    Wallahu Ta’ala ‘Alam

    Sumber:

    • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
    • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

    Tawakkal

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

    Kitab Tsalastatul Ushul

    Landasan Pertama: Mengenal Allah

    Ibadah dan Bentuk-Bentuknya: Tawakkal

    Terjemahan Kitab

    Dalil tawakkal adalah firman (Allah) Ta’ala,

    وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

    “Dan hanya kepada Allah-lah kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman” (Al-Ma’idah: 23)

    Juga firman (Allah) Ta’ala:

    وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

    “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (Ath-Thalaq: 3)

    Pembahasan

    Pertama: Definisi Tawakkal

    Tawakkal artinya ketulusan didalam menyerahkan diri dan bersandar kepada Allah serta menampakan kelemahannya.

    Tawakkal adalah wasilah menuju Inaba (jenis ibadah yang akan dibahas selanjutnya).

    Hakikat pada Tawakkal:

    1. Bersandarnya hati hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala semata.
    2. Mengambil sebab.
    3. Tidak melihat kepada sebab setelah mendapatkan apa yang dicari.

    Misalnya tawakkal orang yang sakit, maka pertama sandarkan sakitnya kepada Allah, berserah diri kepada Allah, tampakkan kelemahannya dan bersandar penuh kepada Allah.

    Kedua, mengambil sebab dengan berobat ke dokter. Nabi memerintahkan untuk berobat, “Berobatlah hamba-hamba Allah“.

    Dalam hadits Umar bin Khatab Radhyiallahu Anhu, Nabi Shallallahu Wasallam bersabda, “Andaikata kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka kalian akan diberi rezeki seperti burung diberi rezeki. Pergi diwaktu pagi dalam perut kosong dan kembali diwaktu sore dalam keadaan sudah penuh“. Burung diberi rezeki dengan tidak diam di sarangnya, akan tetapi burung keluar mencari rezeki. Dengan keluar dari sangkarnya, maka burung telah mengambil sebab. Burung tidak mempunyai gudang makanan disarangnya tapi bertawakal dengan upayanya.

    Nabi Nuh Alaihi Salam ketika akan diselamatkan bersama kaumnya disuruh mengambil sebab dengan membuat perahu agar selamat. Allah maha mampu menyelamatkan tanpa ada perahu, tidak ada kesulitan bagi Allah. Akan tetapi sudah digariskan dalam kehidupan harus mengambil sebab.

    Mariam Alaihi Salam ketika akan melahirkan, disuruh melahirkan dibawah pohon kurma. Diperintah untuk menggerakan dari ranting atau dahan pohon kurma agar berjatuhan kurma-kurma basah. Padahal pohon kurma apabila dipukul keraspun tidak jatuh buahnya kebawah. Akan tetapi Allah menyuruh untuk mengambil sebab agar buahnya jatuh.

    Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berperang dengan baju besi, masuk ke Mekkah memakai topi besai. Semuanya ini adalah mengambil sebab.

    Ketiga, apabila telah sembuh dengan berobat, maka jangan dibilang bahwa kesembuhannya dikarenakan obat nya. Akan tetapi disandarkan semata kepada Allah Ta’ala, anugerah dari Allah. Dia lah yang memberikan kesembuhan.

    Kedua: Bentuk-bentuk Tawakkal

    Syeikh Al-Utsaimin Rahimahullah Ta’ala menyebutkan empat bentuk tawakkal:

    1. Bersandar kepada Allah, ini yang telah dibahas diatas
    2. Tawakkalu Sirr, yaitu bersandar kepada orang yang sudah mati dalam mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Ini termasuk dalam syirik akbar.
    3. Tawakkal kepada orang lain yang bisa dilakukan oleh orang tersebut akan tetapi dia merasa tingginya derajat orang tersebut dan rendahnya derajat dia. Ini termasuk syirik asghar dikarenakan kuatnya ketergantungan hati dan bersndar kepada orang. Misalkan ada orang yang bersandar dalam rezekinya kepada seseorang. Dia melihat orang tersebut punya kedudukan yang tinggi dan tanpa orang ini, dia tidak bisa seperti itu. Maka ini adalah bentuk syirik asghar, karena dia sangat kuat bergantung kepada orang tersebut. Adapun menjadikan orang tersebut hanya sebagai sebab saja dengan tetapi bersandar kepada Allah Ta’ala, maka tidak mengapa. Dilihat dari kekuatan bersandarnya hati kepada seseorang agar tidak berlebihan.
    4. Taukil yaitu diwakilkan kepada orang lain apa yang dikerjakan. Misalnya mewakilkan kepada orang lain dalam pekerjannya. Hal ini tidak ada masalah.

    Ketiga: Tafsir dua ayat yang berisi dalil bahwa tawakkal adalah ibadah

    (tidak ada penjelasannya)

    Wallahu Ta’ala ‘Alam

    Sumber:

    • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
    • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

    Firman Allah Ta’ala, “Sehingga apabila rasa takut dari hati (para malaikat) itu telah dihilangkan, mereka betanya, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka pun menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba: 23)

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 15: Firman Allah Ta’ala, “Sehingga apabila rasa takut dari hati (para malaikat) itu telah dihilangkan, mereka betanya, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka pun menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba’: 23)

    Dalil Ke-1

    Firman Allah Ta’ala:

    حَتَّىٰٓ إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا۟ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ۖ قَالُوا۟ ٱلْحَقَّ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْكَبِيرُ

    Sehingga apabila rasa takut dari hati (para malaikat) itu telah dihilangkan, mereka betanya, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka pun menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba’ : 23)

    Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

    Pada bab ini, terapat penjelasan tentang keadaan para malaikat, bahwa mereka adalah yang terkuat dan terbesar diantara apa-apa yang disembah selain Allah. Apabila keadaan mereka seperti itu terhadap Allah – sebagaimana disebutkan bahwa mereka mengagungkan dan takut kepada Allah -, maka bagaimana mereka diseru/disembah bersama Allah, dan apalagi selain mereka (para malaikat tersebut).

    Dalam hal ini ada bantahan terhadap seluruh kaum musyrikin yang menyeru bersama Allah sesuatu yang (keadaannya) sangat jauh dengan malaikat (dari sisi kekuatan dan kebesarannya).

    Makna Ayat Secara Global

    Allah mengabarkan tentang para malaikat, bahwa ketika mereka mendengar wahyu dari Allah kepada Jibril, ketika itu mereka sangat ketakutan, karena pengagungan dan pemuliaan kepada Allah bahkan mereka gemetar sampai seperti pingsan. Ketika rasa ketakutan itu sudah hilang dari hati mereka, mulailah saling bertanya. Mereka berkata, “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” (Saba: 23).

    Maka mereka menjawab, “(Perkataan) yang benar. Dan Dialah Yang Maha Tinggi di atas segala sesuatu dan Maha Besar, yang tidak ada yang lebih besar dan lebih agung daripada Allah.”

    Faedah Ayat

    1. Bantahan terhadap semua kelompok musyrikin yang beribadah kepada Allah juga kepada mereka yang tidak mendekati apalagi menyamai malaikat pada salah satu dari sifat-sifatnya.
    2. Penetapan sifat kalam/berbicara bagi Allah, sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah.
    3. Bahwa kalam Allah Subhanahu Wa Ta’ala (ucapan Allah) itu bukan makhluk, sebab mereka para malaikat berkata “Apalah yang telah difirmankan/dikatakan oleh Rabb kalian?” tidak mengatakan “Apa yang telah diciptakan oleh Rabb-mu?”
    4. Penetapan ketinggian Allah Subhanahu di atas seluruh makhluk-Nya.
    5. Penetapan kebesaran/keagungan Allah.

    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 15 Firman Allah Ta’ala – Saba: 23

    Telah diangkat dari hati malaikat (rasa takut), mereka bertanya apa yang di firmankan oleh Rabb kalian. Mereka menjawab perkataan yang benar.

    Bab ini berkaitan dengan Bab sebelumnya yang menjelaskan kebatilan sesembahan kaum musrikin. Bab sebelumnya dijelaskan bahwa manusia khususnya para Rasul tidak memiliki kemampuan apapun, tidak bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Pada Bab ini akan dijelaskan bahwa Malaikat juga adalah makhluk dan hamba Allah yang tidak memiliki suatu apapun.

    Penulis membawakan dari dari Surat Saba’ ayat 23 ini dikarenakan dua hal:

    Pertama, Malaikat tunduk dibawah kekuasaan Allah, sehingga tidak berhak untuk diibadahi. Malaikat adalah makhluk Allah yang apabila Allah berfirman, maka mereka tersungkur pingsan. Mereka tidak memiliki sesuatu apapun, sehingga tidak berhak untuk diibadahi.

    Kedua, Semua makhluk penduduk langit dan bumi, tidak berhak untuk diibadahi. Pada bab sebelumnya dijelaskan mengenai makhluk penduduk bumi (para rasul). Pada Bab ini dijelaskan megenai makhluk penduduk langit (para malaikat).

    Ini terdapat bantahan kepada seluruh lapisan kaum musyrikin. Apabila malaikat dan para nabi saja tidak berhak untuk diibadahi, apalagi yang lainnya. Mereka lebih tidak berhak untuk diibadahi.

    Makna Ayat

    Malaikat tersungkur pingsan ketiga mendengar firman Allah yang disampaikan kepada Jibril. Kemudian malaikat berkata “Apa yang telah di firmankan oleh Rabb-mu?”. Ini menunjukkan bahwa malaikat cinta dengan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kemudian dikatakan Allah berfirman dengan ucapan yang haq.

    Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Allah mempunyai sifat ‘ulu (ketinggian). Sifat ketinggian Allah mencakup 3 hal:

    1. ‘Ulu Al-Qodar, ketinggian dalam kemampuan. Allah Yang Maha Tinggi dalam kemampuannya
    2. ‘Ulu Al-Qohar, ketinggian dalam penaklukan dan penguasaan. Allah Yang Maha Tinggi dalam penaklukan dan penguasaan.
    3. ‘Ulu Ad-Dzat, ketinggian dalam dzat-Nya. Allah Yang Maha Tinggi dalam Dzat-Nya

    Allah menerangkan diri-Nya berada diatas langit dalam berbagai ayat dan Allah menerangkan dalam Al-Qur’an bahwa Dia beristiwa diatas Arsy. Serta Rasulullah menjelaskan tentang ketinggian dzat Allah di atas langit, diatas seluruh makhluk.

    Dalam Al-Qur’an nama asmaul husna yang bermakna ketinggian Allah ada tiga, yaitu: Al-Aliyyu, Al-‘Ala, dan Al-Muta’al.

    Al-Kabir, artinya yang maha besar. Tidak ada yang lebih besar dan lebih agung dari-Nya.

    Ayat ini bersambung dengan ayat sebelumnya yang nanti akan dibawahakan oleh penulis pada bab Syafaat. Ayat ini dikatakan para ulama bahwa dia memutus akar-akar kesyirikan dari hati.

    Faedah Ayat

    • Bantahan terhadap seluruh kaum musyrikin yang beribadah kepada Allah bersama dengan selain Allah, termasuk dengan malaikat dan lainnya.
    • Terdapat dalil bahwa malaikat mempunya rasa takut, memiliki hati, memiliki jasad tidak hanya sekedar ruh, memiliki akal.
    • Penetapan sifat Al-Kalam bagi Allah
    • Firman Allah adalah hak.
    • Penetapan bahwa kalam Allah bukan makhluk.
    • Penetapan sifat Allah Al-‘Ulu, dari kata Al-Aliyyun yang bermakna ketinggian
    • Penetapan sifat Al-Kabir, kebesaran dan keagungan Allah.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Referensi:

    Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.