Tentang Menyembelih untuk Selain Allah – Dalil 3

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 9: Tentang Menyembelih untuk Selain Allah

Dalil 3:

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ telah menuturkan empat kalimat kepadaku,

Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah/kejahatan. Allah melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah.‘”

Diriwayatkan oleh Muslim.

Allah melaknat“, laknat dari Allah berarti Allah mengusir dan menjauhkan, sedang laknat dari makhluk berarti caci makian dan doa kejelekan.

Menyembelih untuk selain Allah”, yakni untuk patung-patung, para wali, dan orang-orang shalih, jin atau selainnya.

Melaknat kedua orang tua”, yang dimaksud dengan keduanya adalah bapak dan ibunya (dalam garis keturunan) terus ke atas. Sama saja, baik dia melaknat secara langsung maupun dia menjadi sebab adanya laknat terhadap orang tuanya, yaitu karena ia melaknat orang tua seseorang kemudian orang tersebut balas melaknat orang tuanya.

Melindungi pelaku/perkara Bid’ah”, berarti ridha kepada (pelaku/perkara) tersebut.

Mengubah tanda-tanda bumi”, tanda-tanda bumi berarti garis-garis batas yang memisahkan antara milikmu dan milik tetanggamu, maka mengubah (tanda-tadan bumi) adalah dengan memajukan atau memundurkan (garis-garis batas dari tempat yang semestinya).

Makna Hadits secara Global

Rasulullah ﷺ memperingatkan umatnya terhadap empat kejahatan. Beliau mengabarkan bahwa Allah Ta’ala mengusir dan menjauhkan pelaku salah satu di antara perkara tadi dari rahmat-Nya. Empat perkara itu adalah:

Pertama: bertaqarrub dengan menyembelih untuk selain Allah karena hal itu berarti memalingkan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak mendapatkan peribadahan.

Kedua: orang yang mendoakan kejelekan terhadap kedua orang tuanya, baik dengan melaknat atau mencaci maki keduanya maupun dengan menjadi sebab terjadinya hal tersebut. (Menjadi sebab terjadinya hal tersebut) yaitu dengan munculnya perbuatan tersebut dari dirinya terhadap kedua orang tua seseorang sehingga orang tersebut membalas dengan perbuatan yang sama terhadapnya.

Ketiga: orang yang melindungi pelaku kejahatan yang pantas mendapatkan hukuman syar’i, lalu menghalangi pelaksanaan hukuman tersebut kepada orang itu, atau ia ridha kepada kebid’ahan dalam agama dan mengakui (mendukung) kebid’ahan itu.

Keempat: pengubah tanda-tanda batas tanah, yang (tanda-tanda) itu memisahkan hak-hak pemiliknya masing-masing, dengan cara memajukan atau memundurkan (tanda-tanda) itu dari tempat sesungguhnya. Sehingga, oleh sebab itu, terjadilah pengambilan (penyerobotan) sebagian ranah orang lain secara zhalim.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Bahwa, di dalam hadits ini, terdapat dalil tentang besarnya keharaman menyembelih untuk selain Allah, bahwa pelakunya adalah yang pertama mendapat laknat dari Allah.

Faedah Hadits

  1. Bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah diharamkan dengan pengharaman yang sangat, dan merupakan suatu kesyirikan yang berada pada garis terdepan di antara dosa-dosa besar.
  2. Bahwa penyembelihan adalah suatu ibadah sehingga wajib diserahkan hanya kepada Allah semata.
  3. Pengharaman melankat dan mencaci maki kedua orang tua, baik secara langsung maupun menjadi sebab terjadinya hal itu.
  4. Pengharaman membantu dan melindungi para pelaku kejahatan dari penerapan hukum syar’i terhadap mereka, dan pengharaman ridha terhadap kebid’ahan.
  5. Keharaman mengubah batas-batas tanah dengan cara memajukan atau memundurkan (batas-batas) itu.
  6. Pembolehan melaknat bebagai jenis orang fasiq dalam rangka mencegah manusia dari kemaksiatan.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 9 Tentang Menyembelih untuk Selain Allah 1

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata Rasulullah ﷺ telah menceritakan empat kalimat kepadaku.

Ini adalah cara Rasulullah dalam mendidik, yaitu memberikan jumlah angka yang disampaikan dalam hal ini empat kalimat. Namun tidak berarti hanya empat kalimat saja, tapi ada banyak yang lainnya.

Pertama: Allah melaknat siapa yang menyembelih untuk selain Allah.

Laknat artinya pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Dari empat kalimat yang pertama disebutkan adalah menyembelih untuk selain Allah. Hal ini menunjukan perkara yang paling besar dari empat yang dilaknat ini.

Kata laknat ini menunjukan bahwa hal tersebut adalah dosa besar. Kriteria bahwa suatu dosa termasuk dosa besar ada beberapa cirinya, salah satunya adalah perbuatan yang dilaknat Allah. Dosa besar mencakup kesyirikan dan selain kesyirikan.

Menyembelih selain untuk Allah termasuk untuk jin, malaikat, nabi, orang sudah meninggal dan lainnya. Atau menyembelih dengan tidak menyebut nama Allah (Bismillah) misalkan dikatakan Al-Masih, Latta, Uzza, dan lainnya.

Penyembelihan ada dua macam:

  1. Penyembelihan kebiasan yang sifatnya bukan Ibadah. Misalkan menyembelih kambing dengan menyebut “Bismillah” dengan tujuan untuk di makan.
  2. Penyembelihan yang bersifat ibadah. Ada beberapa macam:
    • Untuk bertaqarrub kepada Allah seperti untuk Qurban, Akikah, dan ketika Haji.Ini adalah Ibadah maka ketika dimaksukdkan untuk selain Allah maka hukumnya syirik akbar.
    • Untuk bertaqarrub kepada selain Allah seperti untuk kuburan, Jin, malaikat, maka ini masuk dalam syirik Akbar.
    • Untuk acara bid’ah (yang tidak disyariatkan) seperti untuk maulid walaupun dengan menyebut nama Allah, maka ini masuk pada yang diharamkan. Hal ini diharamkan karena bisa menjadi pintu pengantar pada hal yang lebih besar.

Apabila seseorang menjadi sebab terjadi sesuatu, maka hukumnya sama dengan melakukan sesuatu tersebut. Misalnya ada yang berkata, “Kamu membunuh si Fulan”, maka orang itu pergi membunuh dan terjadi pembunuhan. Maka di qishash bukan orang yang membunuh saja, tapi juga orang yang memerintah membunuh, karena dia menjadi sebab pembunuhan tersebut.

Jangan sampai seseorang membuka sesuatu yang menyebabkan terbuka pintu keharaman di tempat yang lain. Dalam hal ini seseorang mencela orang tua orang lain, maka orang tuanya dicela juga oleh orang lain.

Ketiga: Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengadakan perkara baru (bid’ah atau kejahatan) atau hal yang baru.

Terdapat dua arti dari “Muhdatsan” bisa pelaku bid’ah / kejahatannya atau perkara bid’ah atau kejahatan. Yang pertama Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah atau yang kedua orang yang berbuat bid’ah.

Muhdatsan adalah yang mengadakan Al-Ihdats. Al-Ihdats banyak bentuknya diantaranya berbuat bid’ah, menumpahkan darah, melampaui batas. Contohnya dalam kasus pembunuhan maka Allah melaknat orang yang melindungi pembunuh dan orang yang membunuhnya. Hal ini termasuk dalam dosa besar.

Hal ini juga berlaku bagi pemilik tanah maupun bukan pemilik tanah.

Wallahu Ta’ala A’lam

Tentang Menyembelih untuk Selain Allah – Dalil 2

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 9: Tentang Menyembelih untuk Selain Allah

Dalil 2, Firman Allah Ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ

Maka dirikanlah salat karena Tuhan-mu dan berkurbanlah. (Al-Kautsar: 2)

Makna Ayat secara Global

Allah memerintahkan Nabi-Nya ﷺ untuk ikhlas kepada Allah dalam shalat dan penyembelihannya, yang menyelisihi kaum musyrikin yang menyembah kepada selain Allah dan menyembelih untuk berhala.

Hubungan antara Ayat dan Bab

Bahwa menyembelih adalah suatu ibadah sehingga (ibadah) tersebut wajib diikhlaskan hanya kepada Allah, sedangkan memalingkan (ibadah) itu kepada selain Allah adalah syirik besar.

Faedah Ayat

  1. Bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah syirik besar sebab (menyembelih) adalah ibadah sehingga memalingkan ibadah kepada selain Allah adalah syirik besar.
  2. Bahwa shalat dan penyembelihan tergolong ibadah-ibadah yang paling agung.
  3. Bhawa shalat dan penyembelihan untuk Allah termasuk ke dalam bentuk syukur atas nikmat Allah yang paling nyata karena ayat tersebut datang dengan huruf fa yang menunjukan kepada sebab. Sehingga, mengamalkan (ibadah) tersebut adalah sebab dalam menegakkan kesyukuran kepada pemberian Allah berupa Al-Kautsar.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 9 Tentang Menyembelih untuk Selain Allah 1

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Maka dirikanlah salat karena Tuhan-mu dan berkurbanlah.” (Al-Kautsar: 2). Maksudnya shalatlah untuk Rabbmu dan menyembelih juga untuk Rabbmu.

Terdapat dua perintah yaitu shalat dan penyembelihan yang digabungkan pada satu tempat. Hal ini menunjukkan ibadah yang besar. Shalat menunjukkan kedekatan kepada Allah, kerendahan diri, menunjukkan kefakirannya, bersujud menghinakan diri kepada Rabbnya. Adapun menyembelih menunjukkan kekuatan, keyakinan, dan berbaik sangka kepada Rabbnya dengan mengeluarkan hartanya. Apabila orang yang merasa cukup tidak ada keperluan kepada Allah maka tidak akan menyembelih.

Sisi pendaliannya adalah perintah untuk shalat dan menyembelih. Nahr artinya menyembelih. Kata ini banyak dipakai dalam penyembelihan unta akan tetapi digunakan untuk penyembelihan selain unta. Umumnya penyembelihan menggunakan kata Ad-Dzabh. Perbedaan menyembelih unta adalah unta disembelihnya di pangkal leher, mendekati keadaan akan tetapi hewan lain (kambing dan sapi) disembelihnya di ujung leher mendekati kepala.

Nahr adalah Ibadah kepada Allah. Sehingga apabila memalingkan ibadah kepada selain Allah maka hukumnya syirik besar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Tentang Menyembelih untuk Selain Allah – Dalil 1

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 9: Tentang Menyembelih untuk Selain Allah

Dalil 1, Firman Allah Ta’ala:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ ١٦٢لَا شَرِيكَ لَهُۥ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُسْلِمِينَ ١٦٣

Katakanlah, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Al-An’am: 162-163)

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Pada bab ini, terdapat penjelasan tentang salah satu jenis kesyirikan yang merupakan lawan dari tauhid.

Makna Ayat secara Global

Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada orang-orang musyrikin, yang menyembah selain Allah dan menyembelih untuk selain Allah, “Sesungguhnya aku mengikhlaskan untuk Allah: shalatku, sembelihanku, dan segala hal berupa keimanan dan amal shalih yang aku hidup dan mati di atas hal itu. Semua hal itu kutujukan kepada Allah semata, dan aku tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, bertolak belakang dengan sesuatu berupa kesyirikan yang kalian berada di atas (kesyirikan) tersebut”.

Hubungan antara Ayat dan Bab

Ayat ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk selain Allah tergolong sebagai kesyirikan.

Faedah Ayat

  1. Bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah syirik besar karena Allah menggandengkan (penyebutan di dalam ayat) dengan shalat. Sebagaimana, seseorang yang mengerjakan shalat untuk selain Allah berarti dia telah berbuat kesyirikan, demikian pula orang yang menyembelih untuk selain Allh berarti dia telah berbuat kesyirikan.
  2. Bahwa shalat dan menyembelih termasuk sebagai ibadah yang paling agung.
  3. Kewajiban untuk ikhlas kepada Allah dalam semua peribadahan.
  4. Bahwa ibadah-ibadah adalah taufiqiyyah -yaitu hanya bergantung pada perintah pembuat syariat- berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku”.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 9 Tentang Menyembelih untuk Selain Allah 1

Dalam bab ini dijelaskan mengenai hukum menyembelih kepada selain Allah Ta’ala. Dalam bab ini terdapat ancaman-ancaman yang menunjukkan larangan menyembelih kepada selain Allah Ta’ala. Juga dijelaskan bahwa penyembelihan itu adalah ibadah kepada Allah. Sehingga apabila dipalingkan kepada selain Allah maka hukumnya adalah syirik akbar yang mengeluarkan dan keislaman. Diantaranya: menyembelih untuk kuburan, pepohonan, bebatuan, malaikat, Nabi, Jin dan selainnya.

Kaidahnya: memalingkan suatu ibadah yang merupakan kekhususan Allah kepada selain Allah, maka hukumnya adalah syirik akbar.

Terdapat 4 dalil dalam bab ini yang terdiri dari 2 ayat Al-Qur’an dan 2 hadits.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Katakanlah, “Sesungguhnya salatku, ibadahku (penyembelihanku), hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Al-An’am: 162-163).

Tafsir Ayat:

Katakanlah“, ini adalah kata perintah kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk mengatakan kepada kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah dan menyembelih kepada selain Allah. Sesungguhnya shalatku dan sembelihanku, apa yang aku hidup dan mati di atasnya berupa keimanan dan amal saleh, semuanya milik (ikhlas) Allah Rabbul ‘Alamin. Tidak ada tandingan bagi Allah dalam segala jenis ibadah.

Dengan itulah saya diperintah“, ini menunjukkan bahwa agama datangnya dari perintah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui wahyu. Sehingga semua yang disampaikan oleh nabi adalah perintah Allah kepada Nabi-nya.

Dan saya adalah orang yang paling pertama berislam“, maksudnya di antara umat Islam beliau ﷺ yang paling pertama berislam. Keislaman setiap Nabi mendahului keislaman kaumnya.

Sisi pendalilannya adalah pada kata “An-Nusuk“, yang bermakna penyembelihan adalah ibadah untuk Allah dan tidak boleh berserikat di dalamnya. Sehingga memalingkan penyembelihan kepada selain Allah, maka hukumnya adalah syirik akbar. Sebagaimana melaksanakan shalat kepada selain Allah, maka menyembelih kepada selain Allah juga hukumnya syirik.

Wallahu Ta’ala A’lam

Ali-‘Imran Ayat 118-119: Larangan Menjadikan Teman Kepercayaan Diluar Kalanganmu.

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ بِطَانَةًۭ مِّن دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًۭا وَدُّوا۟ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ ٱلْبَغْضَآءُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ وَمَا تُخْفِى صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلْـَٔايَـٰتِ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ ١١٨هَـٰٓأَنتُمْ أُو۟لَآءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلَا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِٱلْكِتَـٰبِ كُلِّهِۦ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوٓا۟ ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا۟ عَضُّوا۟ عَلَيْكُمُ ٱلْأَنَامِلَ مِنَ ٱلْغَيْظِ ۚ قُلْ مُوتُوا۟ بِغَيْظِكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ ١١٩

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata, “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka), “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.” (Ali-‘Imran: 118-119)


Ini adalah peringatan Allah ﷻ untuk hamba-hambaNya dari tindakan mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka, menjadikan mereka sahabat-sahabat terpercaya, dan teman-teman dekat, menampakkan dan membuka rahasia-rahasia kaum Mukminin kepada mereka.

Lalu Allah ﷻ menjelaskan kepada hamba-hambaNya yang beriman tentang perkara-perkara yang mengharuskan mereka berlepas diri dari tindakan menjadikan orang-orang kafir itu sebagai sahabat terpercaya, karena merekaلَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا “tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu.” Mereka berusaha tanpa pernah lelah, dalam mengakibat-kan kemudaratan bagi kalian, dan sungguh telah nampak adanya kebencian dari perkataan dan ketergelinciran lisan mereka. Kebencian dan permusuhan yang disembunyikan oleh hati mereka أَكْبَرُ “adalah lebih besar lagi” daripada sesuatu yang dinampakkan oleh mereka berupa perkataan maupun perbuatan mereka.

Bila kalian mempunyai pemahaman dan akal pikiran, maka sungguh Allah ﷻ telah menjelaskan bagi kalian perkara mereka. Lalu apa faktor yang mengharuskan untuk mencintai mereka dan menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman terpercaya, padahal kalian mengetahui adanya penyimpangan agama yang besar pada mereka dan juga pada balasan kebaikan kalian terhadap mereka? Kalian itu adalah orang-orang yang istiqamah berpegang teguh pada agama-agama para Rasul. Kalian beriman kepada semua Rasul yang diutus oleh Allah ﷻ dan kepada setiap kitab yang diturunkan olehNya, sedang mereka mengingkari kitab yang paling utama dan Rasul yang paling mulia. Kalian memberikan mereka (semua) cinta dan kasih sayang yang sama sekali mereka tidak memberikan imbalan minimal yang setimpal untuk kalian. Lalu bagaimana bisa kalian mencintai mereka sedang mereka tidak mencintai kalian. Mereka menjilat kalian dan berlaku nifak terhadap kalian? Dan bila mereka menjumpai kalian, قَالُوا آمَنَّا “mereka berkata, ‘Kami beriman,’ dan apabila mereka menyendiri” bersama dengan kelompok mereka sendiri,عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ “mereka menggigit ujung jari” disebabkan karena kemarahan yang besar dan kebencian mereka terhadap kalian dan agama kalian.


Allah ﷻberfirman, قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ ِ “Katakanlah (kepada mereka), ‘Matilah kamu karena kemarahanmu itu‘.” Maksudnya, kalian akan menyaksikan kemuliaan Islam dan kehinaan kufur yang akan membuat kalian mendapatkan keburukan, dan kalian meninggal disebabkan amarah kalian sehingga kalian tidak mendapatkan penawar untuknya seperti yang kalian inginkan.
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ “Sesungguhnya Allah ﷻ mengetahui segala isi hati.” Karena itu Allah ﷻ menjelaskan kepada hamba-hambaNya yang Mukmin apa yang dikandung oleh hati musuh-musuh agama dari orang-orang kafir dan munafik.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Sumber:

Quran Tadabbur, https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bekalislam.qurantadabbur

Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu, dan Sejenisnya – Dalil Ke-2

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 8: Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu, dan Sejenisnya

Dalil Ke-2:

Dari Abu Waqid Al-Laitsiy, beliau berkata, “Kami keluar (untuk berperang) bersama Rasulullah ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (baru memeluk Islam). (Ketika itu) kaum musyrikin mempunyai sebatang pohon bidara tempat mereka berdiam diri dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka. (Pohon) itu dinamakan Dzatu Anwath. Oleh karena itu, tatkala melewati sebatang pohon bidara, kami pun berkata, “Wahai Rasulullah buatkanlah Dzatu Anwath untuk kami sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah bersabda, “Allahu Akbar – Sungguh itu merupakan tradisi (orang-orang sebelum kalian)-. Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian berkata seperti Bani Israil berkata kepada Musa, ‘Buatkanlah sembahan untuk kami sebagaimana mereka mempunyaia sembahan-sembahan. ‘Musa menjawab, ‘Sungguh kalian adalah kaum jahil.’ Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian‘.”.


Biografi

Abu Aqid Al-Laitsiy adalah Al-Harits bin ‘Auf, seorang sahabat yang terkenal, meninggal pada 68 H dalam usia delapan puluh lima tahun.

Makna Hadits Secara Global

Abu Waqid mengabarkan suatu kejadian yang mengandung hal yang menakjubkan juga nasihat. Yaitu, mereka berperang bersama Rasulullah melawan suku Hawazin, sedang mereka baru saja memeluk Islam sehingga perkara kesyirikan tersembunyi bagi mereka. Ketika melihat perbuatan kaum musyrikin berupa meminta berkah kepada pohon, mereka pun meminta kepada Rasulullah agar dibuatkan pohon yang sama. Maka, Rasulullah bertakbir sebagai pengingkaran terhadap permintaan mereka dan pengagungan kepada Allah serta sebagai bentuk keheranan atas ucapan tersebut. Rasulullah juga mengabarkan bahwa ucapan (meminta dibuatkan pohon) itu menyerupai ucapan kaum (Nabi) Musa kepada Musa, “Jadikanlah bagi kami sembahan sebagaimana mereka mempunyai sembahan,” ketika (kaum Nabi Musa) melihat penyembah patung, juga (mengabarkan) bahwa permintaan mereka untuk dibuatkan pohon Dzatu Anwath berjalan di atas jalan (kaum Nabi Musa). Kemudian, Rasulullah mengabarkan bahwa umat ini akan mengikuti jalan orang-orang Yahudi dan Nashara, akan menempuh manhaj-manhaj orang-orang itu, dan mengerjakan perbuatan (orang-orang) tersebut. Itu adalah kabar yang bermakna celaan dan peringatan terhadap perbuatan tersebut.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Dalam hadits tersebut, terdapat dalil bahwa mencari berkah kepada pohon dan selainnya tergolong sebagai kesyirikan dan peribadahan kepada selain Allah.

Faedah Hadits

  1. Bahwa mencari berkah kepada pepohonan tergolong sebagai kesyirikan, demikian kepada bebatuan dan selainnya.
  2. Bahwa orang yang berpindah dari kebatilan -yang sudah menjadi adat kebiasannya- tidaklah aman dari masih adanya sisa-sisa kebiasaan tersebut di dalam hatinya.
  3. Bahwa sebab terjadinya peribadahan kepada patung adalah karena pengagungan dan beri’tikaf di sisi (patung) serta mencari berkah kepada (patung) itu.
  4. Bahwasannya manusia kadang beranggapan baik kepada sesuatu yang dia sangka dapat mendekatkannya kepada Allah, padahal sesuatu itu justru menjauhkannya dari Allah.
  5. Bahwasannya seorang muslim seyogyanya bertasbih dan bertakbir ketika mendengar sesuatu yang tidak pantas diucapkan dalam agama atau ketika mendengar sesuatu yang mengherankan.
  6. Pengabaran tentang terjadinya kesyirikan pada umat ini, dan sungguh (hal itu) telah terjadi.
  7. Menunjukkan salah satu tanda kenabian , yaitu terjadinya kesyirikan pada umat ini sebagaimana yang beliau kabarkan.
  8. Larangan menyerupai orang-orang jahiliyah, Yahudi, dan Nasrani, kecuali hal-hal yang dalil tunjukan bahwa hal itu termasuk ke dalam agama kita.
  9. Bahwa yang dianggap dalam hukum adalah makna, bukan nama, karena Nabi telah menjadikan permintaan mereka seperti permintaan Bani Israil dan tidak melihat keadaan mereka, yang (Bani Israil) menamakan (sembahan)nya dengan Dzatu Anwath.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi HafizahullahBab 8 Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu dan Sejenisnya

Abu Aqid Al-Laitsiy adalah Al-Harits bin ‘Auf, seorang sahabat yang terkenal, meninggal pada 68 H dalam usia delapan puluh lima tahun. Beliau sudah masuk Islam sebelum fatthu Mekkah dan membawa bendera dari sukunya.

Dalam riwayat lain disebutkan mereka berperang setelah penaklukan mekkah dan jumlah mereka lebih dari seribu.

Pohon bidara yang dijadikan sesembahan dinamakan Dzatu Anwath. Dinamakan demikian karena banyaknya senjata yang digantung pada pohon tersebut.

Kaum musyrikin beritikaf di Dzatu Anwath. Itikaf merupakan salah satu bentuk ibadah. Dengan tujuan untuk mencari keberkahan.

Mereka menggantung senjata-senjatan nya di Dzatu Anwath untuk mengharapkan berkah.

Sebab-sebab melakukan kesyirikan:

  1. Taqlid, Ikut-ikutan
  2. Jahil terhadap agama
  3. Ghuluw terhadap orang-orang shaleh
  4. Tasyabuh terhadap orang-orang kafir
  5. Mengagungkan dari peninggalan-peninggalan

Awal sejarah masuknya kesyirikan adalah Amar bin Nuaim yang menemukan berhala-berhala yang sudah tertanam dibawah pasir. Beliau sedang tidur didaerah situ, kemudian syaitan mendatanginya lewat mimpi. Kemudian membawa berhala tersebut kebangsa Arab dan diibadahi.

Mereka yang baru masuk Islam ingin dibuatkan pohon yang bisa dipakai itikaf dan digantungkan senjata seperti Dzatu Anwath. Udzurnya disini adalah dikarenakan mereka baru masuk Islam.

Rasulullah berkata “Allahu Akbar”, sebagian riwayat “Subhanallah”. Hal dikatakan karena keheranan kenapa bisa seperti ini.

Nabi mengabarkan akan datang orang-orang yang mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.

Ucapan ini seperti apa yang diucapkan bani israil kepada Nabi Musa.

Yang dilihat adalah Hakikat, sebagaimana shabat ingin dibuatkan pohon Dzatu Anwath, tapi Nabi mengukumi ucapan itu sema seperti ucapan Bani Israil yaitu “Buatkan untuk kami berhala (sesembahan). Kesamaannya adalah mereka sama-sama meminta menjadikan sesuatu yang diibadahi selain Allah.

Sama halnya dengan orang masa kini bahwa mereka beribadah hanya kepada Allah, tapi mereka pergi kekuburan untuk mendekatkan diri. Sehingga hakikatnya adalah sama.

Kekeliuran dalam Tabaruk

Sebagian orang ada yang membolehkan bertabaruk dengan orang yang shaleh (jejaknya dan bekasnya).

Imam Nawawi menyebutkan dalam sebagian hadits, diantaranya ketika Nabi mentahnik Abdullah bin Tolha, Imam Nawawi membolehkan meminta hal seperti itu kepada orang shaleh. Ini adalah hal yang dianggap keliru oleh para ulama, dikarenakan:

  1. Berbeda antara Nabi dan orang Shaleh. Tidak ada orang shaleh yang sampai sederejat dengan Nabi. Ada yang terkait dengan Nabi tapi khusus untuk Nabi, seperti Nabi meludah, para saahabat berebut. Ini adalah kekhususan untuk Nabi.
  2. Andaikata benar bahwa ada orang shaleh, maka perlu dalil khusus.
  3. Para sahabat tidak pernah melakukan hal yang seperti itu. Hanya nabi saja yang diperlakukan seperti itu.

Pembahasan:

Pertama: Penafsiran ayat surah An-Najm

Al-Lat adalah nama batu atau nama orang yang diagungkan kuburnya.

Al-Uzza adalah nama pohon.

Al-Manat adalah nama berhala.

Sehingga bertabaruk dengan bebatuan dan pepohonan termasuk kepada kesyirikan.

Kedua: Pengenalan bentuk perkara/pengharapan yang mereka minta

Mereka meminta dijadikan untuk mereka pohon untuk mereka bertabarruk dengannya.

Ketiga: Keberadaan mereka yang belum melakukannya.

Para sahabat baru meminta belum melakukan bertabarruk kepada pohon. Mereka menyangka itu bagus. Mereka tidak melakukan karena Nabi melarangnya dan mereka taat kepada nabi.

Orang yang baru belajar belum tahu perkara-perkara. Begitu mengetahuinya, hukumnya maka ditinggalkan.

Keempat: Keberadaan mereka yang menghendaki taqarrub (pendekatan diri / peribadahan) kepada Allah dengan hal itu karena persangkaan mereka bahwa Allah mencintainya.

Mereka ketika meminta kepada Nabi agar menjadikan pohon untuk bertabarruk, mereka menganggap bahwa hal tersebut mendekatkan diri mereka kepada Allah. Tidak mungkin shahabat meminta sesuatu untuk bermaksiat, apalagi berbuat kesyirikan.

Kelima: Sesungguhnya, jika mereka tidak mengetahui hal ini, selain dari mereka lebih patut atas ketidaktahuan tersebut.

Apabila para shahabat meminta seperti ini karena sangkaan mereka untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dan mereka tidak tahu tentang hal tersebut, maka selain dari para shahabat lebih pantas untuk tidak mengetahui akan hal ini.

Keenam: Mereka dijanjikan kebaikan dan janji mendapatkan ampunan yang janji tersebut tidak diberikan kepada selain mereka.

Para sahabat dijanjikan kebaikan dan pengampunan dan mereka bersama Nabi , yang tidak dimiliki oleh yang lain. Akan tetapi Nabi tetap menegur para sahabat. Sehingga apabila terjadi bukan para sahabat maka akan lebih ditegur dan diingkari lagi.

Ketujuh: Bahwa Nabi tidak memberi udzur bagi mereka terhadap perkara tersebut, tetapi beliau menyanggah mereka dengan sabda beliau , “Allahu Akbar, sesungguhnya hal tersebut adalah tradisi orang-orang sebelum engkau. Sungguh kalian akan mengikuti tradisi-tradisi kaum sebelum kalian.” Oleh karena itu, beliau menegur keras perkara tersebut dan tiga hal ini.

Nabi menegur dengan tiga hal:

  1. Bertakbir, menunjukan pengingkaran
  2. Itu adalah jalannya orang sebelum kalian.
  3. Sungguh kalian akan mengikuti jalan mereka.

Kedelapan: Perkara besar -yang menjadi tujuan hadits-: beliau () mengabarkan bahwasannya permintaan mereka serupa dengan permintaan Bani Israil ketika mereka mengatakan kepada Musa. Firman Alla Ta’ala yang artinya “Adakanlah suatu sembahan bagi kami” (Al-A’raf: 138).

Maksudnya bahwa para sahabat yang meminta pohon untuk dijadikan berkah, hal ini diserupakan dengan permintaan Bani Israil yang meminta sesembahan. Apabila kita sudah jelas akan hakikat kesyirikan maka apabila berubah bentuk dan penamaan kita akan mengetahui hakikatnya.

Terdapat pengajaran dari Nabi bahwa mengingkari sesuatu dengan dalil agar lebih kuat dan diterima.

Kesembilan: Peniadaan hal ini adalah tergolong sebagai bagian dari makna La Ilaha Illallah, bersamaan dengan kedalaman dan kesamaran (hal tersebut) bagi mereka.

Nabi mengingkari orang yang meminta pohon untuk bertabarruk, merupakan sebagian bagian dari makna La Ilaha Illallah, yaitu An-Nafi (penafikan).

Tidak meyakini keberkahan pada pepohonan, batuan, dan selainnya, itu adalah bagian dari makna La Ilaha Illallah. Andaikata tidak bertentangan dengan makna La Ilaha Illallah, maka Nabi tidak akan mengingkari mereka.

Shahabat saja luput dalam hal ini, bagaimana pula dengan yang bukan sahabat?. Bahkan orang yang berilmu juga bisa luput dalam hal ini, bagaimana pula dengan orang awam?

Kesepuluh: Bahwa beliau () bersumpah atas fatwa, sedang beliau tidak akan bersumpah, kecuali untuk kemaslahatan.

Rasulullah bersumpah “demi jiwaku berada ditangannya”, menunjukkan penting dan besarnya masalah ini.

Kesebelas: Syirik terbagi menjadi syirik besar dan syirik kecil. (Hal ini) karena mereka (para sahabat) tidaklah menjadi murtad karena perkara ini.

Kedua belas: Perkara mereka (para sahabat), “Kami baru-baru saja meninggalkan masa kekufuran,” menunjukkan bahwa selain mereka tidaklah ‘jahil’ akan hal itu.

Maksudnya sahabat yang sudah lama masuk Islam mengetahui bahwa itu adalah hal yang keliru. Perkara ini hanya terjadi kepada para sahabat yang baru masuk Islam.

Ketiga belas: Bertakbir karena ada sesuatu yang mengejutkan. (Hal ini) berbeda dengan pendapat yang menganggapnya makruh.

Bertakbir dibolehkan apabila takjub pada sesuatu karena Nabi melakukannya. Bukan seperti orang jaman sekarang yang ikut-ikutan bertakbir di jalanan.

Keempat belas: Kaidah “saddu adz-dzara’i” pencegahan dini dengan menutup segala sarana.

saddu artinya mencegah. dzara’i artinya yang bisa membawa. Sehingga artinya pencegahan dini dengan menutup segala sarana yang bisa mengantar kepada hal yang dilarang.

Hadits ini termasuk pada saddu adz-dzara’i, begitu sahabat meminta pohon untuk dibuat bertabaruuk, maka Nabi langsung mengingkarinya agar tidak menjurus kepada perbuatan.

Kaidah ini merupakan salah satu pembahasan pokok di berbagai tempat. Ibnu Qoyim menyebutkan 99 dalil untuk kaidah saddu adz-dzara’i ini.

Kelima belas: Larangan terhadap menyerupakan diri dengan kaum jahiliyah.

Larangan tasyabuhnya yaitu melarang mengikuti orang jahilyah dalam bertabarruk dengan pohon. Dan Nabi mengabarkan bahwa ini adalah jalannya orang musyrikin sebelum mereka.

Ini juga kaidah larangan bertasyabuh dengan orang jahiliyah, kufur, dan syirik.

Keenam belas: -Menampakan- kemarahan pada saat pengajaran.

Menampakan kemarahan ketika pengajaran dibolehkan. Nabi mengingkari dengan perkataan Allahu Akbar yang menunjukkan kemarahan beliau akan terjadinya hal tersebut.

Ketujuh belas: Kaidah umum pada sabda beliau (), “Sesungguhnya hal tersebut adalah tradisi

Kaidah menyeluruh bahwa apa saja dari jalan (tradisi) orang-orang kafir adalah tercela.

Kedelapan belas: Perkara ini adalah salah satu dari sekian tanda kenabian karena hal tersebut terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan.

Nabi pernah mengabarkan bahwa “mereka akan mengikuti jalan orang-orang sebelum mereka” dan terjadi pada kejadian ini. Ini menunjukkan tanda kenabian , yaitu nabi mengabarkan sesuatu yang akan terjadi dan terjadi sebagaimana yang nabi kabarkan.

Kesembilan belas: Segala sesuatu, yang dengannya Allah mencela kaum Yahudi dan Nashara di dalam Al-Qur’an, juga berlaku bagi kita.

Ketika para sahabat berkata “Jadikan untuk kami Dztu Anwath, ya Rasulullah, sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.” Nabi menyebutkan celaan Allah Ta’ala terhadap Bani Israil didalam Al-Qur’an. Nabi Musa berkata kepada mereka “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)” (Al-A’raf: 138) . Maka celaan terhadap kaum Yahudi dan Nashara di dalam Al-Qur’an, maka juga berlaku bagi kita.

Seperti ayat yang artinya “Wahai Ahlu Kitab janganlah extrim dengan agama kalian”. Maka larangan ini tidak berlaku bagi ahlul kitab saja, tapi juga berlaku bagi kita, dilarang ekstrim dalam agama.

Kedua puluh: Sesuatu yang baku menurut mereka (sahabat) bahwa setiap bentuk peribadahan berdasarkan pada perintah (syar’i). Dengan demikian, hadits tersebut mengandung penegasan akan pertanyaan-pertanyaan di kubur. Adapun (pertanyaan) “siapa Rabb-mu?” adalah sesuatu yang jelas adanya. Pertanyaan “siapa Nabi-mu?” adalah berupa pengabaran beliau () akan berita-berita gaib. Sementara itu, pertanyaan “apa agama-mu?” adalah disadur dari perkataan mereka, “Adakanlah suatu sembahan bagi kami.” (Al-A’raf: 138) hingga akhir.

Para sahabat mempunyai kaidah dalam melaksanakan peribadahan harus ada perintah (syar’i) atau dalil. Maka berdasarkan kaidah ini, haditst ini mengandung penegasan akan pertanyaan-pertanyaan di alam kubur. Di alam kubur harus menjawab pertanyaan berdasarkan apa yang dia yakini.

Para sahabat ketika ingin Dztu Anwath, mereka tidak langsung melakukan. Akan tetapi bertanya dulu kepada Nabi . Sudah tetap dalam diri para sahabat bahwa tidak boleh melakukan sesuatu sebelum ada perintah. Dan tidak boleh mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam hal apapun. Ketika Nabi melarang, maka mereka tidak melakukannya.

Ada tiga pertanyaan kubur: “Siapa Rabbmu, Siapa Nabimu, dan apa agamamu?” Pertanyaan ini tercakup dalam hadits. Adapun pertanyaan siapa Rabbmu? adalah sesuatu yang sudah jelas karena mereka tidak mengatakan bahwa pohon itu dapat mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan. Mereka mengetahui bahwa yang mencipta, memberi rezki, menghidupkan, dan mematikan hanyalah Allah Ta’ala. Sehingga ini sudah jelas diketahui oleh para sahabat dan mereka tidak bertanya tentang itu.

Adapun pertanyaan, “siapa Nabimu?” Nabi mengabarkan tentang hal yang ghaib menunjukkan tanda kenabian beliau. Menunjukkan bahwa yang mereka lakukan sama dengan perbuatan Bani Israil.

Kemudian pertanyaan yang ketiga, apa agama-mu?. yaitu diambil dari ucapan mereka “Jadikan kami sembahan …(sampai akhir).” Bagaimana diingkari mereka menjadikan dzatu anwath sama dengan ucapan Bani Israil. Dilarang karena bertentangan dengan agama Islam. Maka agama Islam adalah hati yang selalu menghadap kepada Allah Ta’ala dalam segala keadaan. Hal ini berbeda dengan agama kaum musyrikin. Maka ini adalah penjelasan mengenai pertanyaan “Apa Agama mu?”

Penulis membahas Bab ini ringkas tapi mendetail yaitu didalamnya ada peringatan mengenai pertanyaan di alam kubur. Sebenarnya kalau kita memperhatikan surah-surah Al-Quran mencakup pertanyaan di alam kubur. Misalnya surat Al-Fatihah didalamnya ada penjelasan siapa Allah: Rabbul ‘Alamin dan sifat-sifatnya. Kemudian tentang Nabi pada ayat yang artinya “Tunjukanlah jalan yang lurus”, yaitu yang ditunjukan oleh Nabi . Dan ayat terakhir surat al-fatihah, menunjukkan bahwa Islam berbeda dengan Yahudi dan Nashara.

Kedua puluh satu: Sesungguhnya tradisi ahli kitab adalah tercela sebagaimana halnya tradisi kaum musyrikin.

Begitu dicela perbuatan mereka meminta dzatu anwath, disebutkan bahwa hal tersebut sama dengan perbuatan bani israil dan kaum musyrikin.

Kedua puluh dua: Seseorang yang berpindah dari kebatilan, yang hatinya telah terbiasa dengan kebatilan tersebut, tidaklah aman bila dihatinya masih terdapat sisa-sisa kebiasaan tersebut. Hal ini berdasarkan perkataan mereka, “Kami baru-baru saja meninggalkan masa kekufuran”.

Mereka berkata “buatkan kami dzatu anwath?”. Udzurnya adalah karena kami baru saja masuk Islam. Mereka masih tersisa sebagian kebiasaan sebelum masuk Islam.

Seorang yang bertauhid harus berhati-hati yang terkadang muncul darinya tapi tidak menyadari. Terlebih apabila mempunyai masa lalu yang tidak bagus.

Juga terdapat kekeliruan da’i-da’i yang sebelum mengenal Sunnah, mereka mengenal jama’ah kelompok yang menyimpang terkait dengan pergerakan, pemikiran, pengkafiran, tasawuf. Maka apabila tidak mempelajari dengan mendetail, terkadang muncul kebiasaan lamanya.

Contohnya kelompok Ikhwanul Muslimin, yang mempunyai pemikiran mengenai kudeta terhadap pemerintah, mengangkat senjata, demonstrasi, pengkafiran, dan seterusnya. Setelah mengenal aqidah as-salaf tapi sering mengkritik pemerintah atau pengkafirkan orang yang berbuat dosa.

Setelah mengenal jalan as-sunnah terdapat kewajiban-kewajiban:

  1. Mempelajari ilmu yang benar
  2. Mempelajari aqidah dan manhaj as-salaf secara terperinci, jangan memahami secara global saja.
  3. Mempelajari akar-akar penyimpangan dahulu, agar bisa menghilangkan penympangan pemikiran dari dasarnya.

Ketiga hal kewajiban tersebut perlu diajari oleh guru yang baik.

Wallahu Ta’ala A’lam

Pelajaran Keenam: Kisah Kemurtadan Sepeninggal Nabi

Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah (Enam Pelajaran Aqidah dari Sirah Nabi )

Pelajaran Keenam: Kisah Kemurtadan Sepeninggal Nabi

الۡمَوۡضِعُ السَّادِسُ: قِصَّةُ الرِّدَّةِ بَعۡدَ مَوۡتِ النَّبِيِّ ﷺ، فَمَنۡ سَمِعَهَا لَا يَبۡقَى فِي قَلۡبِهِ مِثۡقَالُ ذَرَّةٍ مِنۡ شُبۡهَةِ الشَّيَاطِينِ الَّذِينَ يُسَمَّونَ الۡعُلَمَاءَ، وَهِيَ قَوۡلُهُمۡ هَٰذا هُوَ الشِّرۡكُ، لَٰكِنۡ يَقُولُونَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَمَنۡ قَالَهَا لَا يُكَفَّرُ بِشَيۡءٍ.

Peristiwa keenam adalah kisah kemurtadan sepeninggal Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Barang siapa mendengarnya maka tidak akan tersisa di dalam hatinya sebiji zarah syubhat pun yang dilontarkan oleh para setan yang mereka gelari ulama. Syubhat itu adalah ucapan mereka bahwa perbuatan ini memang kesyirikan, namun mereka masih mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dan siapa saja yang sudah mengucapkannya, maka dia tidak bisa dikafirkan dengan sebab apapun.

وَأَعۡظَمُ مِنۡ ذٰلِكَ وَأَكۡبَرُ: تَصۡرِيحُهُمۡ بِأَنَّ الۡبَوَادِيَ لَيۡسَ مَعَهُمۡ مِنَ الۡإِسۡلَامِ شَعۡرَةٌ وَلَٰكِنۡ يَقُولُونَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَهُمۡ بِهَٰذِهِ اللَّفۡظَةِ أَهۡلُ إِسۡلَامٍ.

Yang lebih besar daripada itu adalah penegasan mereka bahwa orang-orang badui tidak melakukan ‘sehelai rambut pun’ amalan-amalan keislaman, akan tetapi mereka mengucapkan “laa ilaaha illallaah”. Jadi mereka dengan kalimat ini merupakan penganut agama Islam.

وَحَرَّمَ الۡإِسۡلَامُ مَالَهُمۡ وَدَمَهُمۡ مَعَ إِقۡرَارِهِمۡ بِأَنَّهُمۡ تَرَكُوا الۡإِسۡلَامَ كُلَّهُ. وَمَعَ عِلۡمِهِمۡ بِإِنۡكَارِهِمُ الۡبَعۡثَ، وَاسۡتِهۡزَائِهِمۡ بِمَنۡ أَقَرَّ بِهِ.

Islam mengharamkan harta dan darah orang-orang badui itu padahal mereka mengakui bahwa mereka meninggalkan seluruh amalan Islam. Apalagi mereka mengetahui bahwa mereka mengingkari hari kebangkitan dan mereka mengolok-olok orang yang menetapkan hari kebangkitan.

وَاسۡتِهۡزَائُهُمۡ وَتَفۡضِيلُهُمۡ دِينَ آبَائِهِمۡ الۡمُخَالِفَ لِدِينِ النَّبِيِّ ﷺ. وَمَعَ هَٰذَا كُلِّهِ يُصَرِّحُ هَٰؤُلَاءِ الشَّيَاطِينُ الۡمَرَدَةُ الۡجَهَلَةُ أَنَّ الۡبَدۡوَ أَسۡلَمُوا وَلَوۡ جَرَى مِنۡهُمۡ ذٰلِكَ كُلُّهُ؛ لِأَنَّهُمۡ يَقُولُونَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ. وَلَازِمُ قَوۡلِهِمۡ أَنَّ الۡيَهُودَ أَسۡلَمُوا لِأَنَّهُمۡ يَقولُونَهَا وَأَيۡضًا كُفۡرُ هَٰؤُلَاءِ أَغۡلَظُ مِنۡ كُفۡرِ الۡيَهُودِ بِأَضۡعَافٍ مُضَاعَفَةٍ، أَعۡنِي: الۡبَوَادِي الۡمُتَّصِفِينَ بِمَا ذَكَرۡنَا.

Pelecehan mereka dan sikap mereka lebih memuliakan agama leluhur mereka yang menyelisihi agama Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Bersamaan dengan ini semua, para setan yang sangat durhaka lagi jahil itu menegaskan bahwa orang badui itu telah berislam walaupun semua sikap itu masih bercokol pada diri mereka, dengan alasan mereka mengucapkan “laa ilaaha illallaah”. Konsekuensi ucapan mereka ini berarti orang-orang Yahudi pun berislam karena mereka juga mengucapkannya. Bahkan kekufuran orang badui lebih parah daripada kekufuran orang Yahudi berkali lipat. Yang aku maksudkan adalah orang-orang badui yang memiliki sifat yang telah kami sebutkan.

وَالَّذِي يُبَيِّنُ ذٰلِكَ مِنۡ قِصَّةِ الرِّدَّةِ أَنَّ الۡمُرۡتَدِّينَ افۡتَرَقُوا فِي رِدَّتِهِمۡ، فَمِنۡهُمۡ مَنۡ كَذَّبَ النَّبِيَّ ﷺ وَرَجَعُوا إِلَى عِبَادَةِ الۡأَوۡثَانِ وَقَالُوا: لَوۡ كَانَ نَبِيًّا مَا مَاتَ. وَمِنۡهُمۡ مَنۡ ثَبَتَ عَلَى الشَّهَادَتَيۡنِ، وَلَٰكِنۡ أَقَرَّ بِنُبُوَّةِ مُسَيۡلَمَةَ.

Yang menjelaskan (kekafiran orang yang melakukan pembatal keislaman walau mengucapkan “laa ilaaha illallaah”) dari kisah kemurtadan (sepeninggal Nabi) adalah bahwa orang-orang yang murtad itu berbeda-beda dalam kemurtadan mereka. Di antara mereka ada yang mendustakan Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan kembali menyembah berhala-berhala; dan mereka berkata: Andai dia benar-benar seorang nabi, niscaya dia tidak meninggal. Di antara mereka ada yang tetap di atas dua kalimat syahadat namun mereka mengakui kenabian Musailamah.

ظَنًّا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَشۡرَكَهُ فِي النُّبُوَّةِ؛ لِأَنَّ مُسَيۡلَمَةَ أَقَامَ شُهُودَ زُورٍ شَهِدُوا لَهُ بِذٰلِكَ، فَصَدَّقَهُمۡ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ. وَمَعَ هَٰذَا أَجۡمَعَ الۡعُلَمَاءُ أَنَّهُمۡ مُرۡتَدُّونَ وَلَوۡ جَهِلُوا ذٰلِكَ. وَمَنۡ شَكَّ فِي رِدَّتِهِمۡ فَهُوَ كَافِرٌ.

Karena menyangka bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—melibatkannya dalam perkara kenabian. Latar belakangnya adalah Musailamah memberikan persaksian dusta, kemudian orang-orang menyaksikan persaksian palsunya itu, maka sebagian besar manusia membenarkannya. Bersamaan ini para ulama sepakat bahwa mereka adalah orang-orang yang murtad walaupun mereka tidak mengerti itu. Dan siapa saja yang ragu tentang kemurtadan mereka, maka dia kafir.

فَإِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ الۡعُلَمَاءَ أَجۡمَعُوا أَنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا وَرَجَعُوا إِلَى عِبَادَةِ الۡأَوۡثَانِ وَشَتَمُوا رَسُولَ اللهِ ﷺ، هُمۡ وَمَنۡ أَقَرَّ بِنُبُوَّةِ مُسَيۡلَمَةَ فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ وَلَوۡ ثَبَتَ عَلَى الۡإِسۡلَامِ كُلِّهِ.

Apabila engkau mengetahui bahwa para ulama bersepakat bahwa orang-orang yang mendustakan, kembali menyembah berhala-berhala, dan mencela Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dengan orang-orang yang mengakui kenabian Musailamah dalam keadaan yang sama (yakni murtad) walaupun mereka tetap melakukan seluruh amalan keislaman.

وَمِنۡهُمۡ مَنۡ أَقَرَّ بِالشَّهَادَتَيۡنِ وَصَدَّقَ طُلَيۡحَةَ فِي دَعۡوَاهُ النُّبُوَّةَ.

Di antara mereka ada yang masih menetapkan dua kalimat syahadat, namun membenarkan Thulaihah yang mengaku nabi.

وَمِنۡهُمۡ مَنۡ صَدَّقَ الۡعَنۡسِيَّ صَاحِبَ صَنۡعَاءَ. وَكُلُّ هَٰؤُلَاءِ أَجۡمَعَ الۡعُلَمَاءُ أَنَّهُمۡ سَوَاءٌ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ كَذَّبَ النَّبِيَّ ﷺ وَرَجَعَ إِلَى عِبَادَةِ الۡأَوۡثَانِ عَلَى حَالٍ وَاحِدَةٍ، وَمِنۡهُمۡ أَنۡوَاعٌ أُخَرُ.

Di antara mereka ada yang membenarkan (kenabian) Al-‘Ansi, seorang pemimpin Shan’a`. Mereka ini semua, para ulama sepakat bahwa mereka itu sama saja. Di antara mereka ada yang mendustakan Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan kembali menyembah berhala-berhala berada dalam keadaan yang sama. Di antara mereka ada jenis-jenis yang lain.

آخِرُهُمۡ الۡفُجَاءَةُ السُّلَمِيُّ، لَمَّا وَفَدَ عَلَى أَبِي بَكۡرٍ وَذَكَرَ لَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ قِتَالَ الۡمُرۡتَدِّينَ، وَطَلَبَ مِنۡ أَبِي بَكۡرٍ أَنۡ يَمُدَّهُ، فَأَعۡطَاهُ سِلَاحًا وَرَوَاحِلَ، فَاسۡتَعۡرَضَ السُّلَمِيَّ الۡمُسۡلِمَ وَالۡكَافِرَ يَأۡخُذُ أَمۡوَالَهُمۡ، فَجَهَزَ أَبُو بَكۡرٍ جَيۡشًا لِقِتَالِهِ، فَلَمَّا أَحَسَّ بِالۡجَيۡشِ قَالَ لِأَمِيرِهِمۡ: أَنۡتَ أَمِيرُ أَبِي بَكۡرٍ وَأَنَا أَمِيرُهُ، فَلَمۡ أَكۡفُرۡ. فَقَالَ: إِنۡ كُنۡتَ صَادِقًا فَأَلۡقِ السِّلَاحَ. فَأَلۡقَاهُ، فَبَعَثَ بِهِ إِلَى أَبِي بَكۡرٍ فَأَمَرَ بِتَحۡرِيقِهِ بِالنَّارِ وَهُوَ حَيٌّ.

(Kasus kemurtadan) yang terakhir adalah Al-Fuja`ah As-Sulami. Ketika dia datang menemui Abu Bakr, dia menyebutkan keinginannya untuk memerangi orang-orang yang murtad dan dia meminta dukungan dari Abu Bakr. Lalu Abu Bakr memberinya persenjataan dan hewan-hewan tunggangan. Namun As-Sulami membunuh membabi buta baik muslim maupun kafir dan mengambil harta-harta mereka. Maka, Abu Bakr menyiapkan satu pasukan untuk memeranginya.

Ketika pasukan itu bertemu, Al-Fuja`ah berkata kepada pemimpin pasukan itu, “Engkau pemimpin yang dipilih Abu Bakr dan aku pun pemimpin yang dipilih beliau, namun aku tidak kafir.”

Pemimpin pasukan itu berkata, “Jika engkau jujur, maka lemparkan senjatamu.”

 Dia pun melemparkannya, kemudian dia dibawa menghadap Abu Bakr, lalu Abu Bakr memerintahkan agar dia dibakar dengan api dalam keadaan hidup-hidup.

فَإِذَا كَانَ هَٰذَا حُكۡمُ الصَّحَابَةِ فِي هَٰذَا الرَّجُلِ مَعَ إِقۡرَارِهِ بِأَرۡكَانِ الۡإِسۡلَامِ الۡخَمۡسَةِ، فَمَا ظَنُّكَ بِمَنۡ لَمۡ يُقِرَّ مِنَ الۡإِسۡلَامِ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ إِلَّا أَنۡ يَقُولَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ بِلِسَانِهِ مَعَ تَصۡرِيحِهِ بِتَكۡذِيبِ مَعۡنَاهَا، وَتَصۡرِيحِهِ بِالۡبَرَاءَةِ مِنۡ دِينِ مُحَمَّدٍ ﷺ، وَمِنۡ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى؟

Jika demikian ini hukum sahabat terhadap orang ini padahal dia masih mengakui rukun Islam yang lima, lalu bagaimana sangkaanmu dengan orang yang

  • tidak mengakui satu kalimat pun dari Islam kecuali dia hanya mengatakan “laa ilaaha illallaah” dengan lisannya,
  • bersamaan itu dia menegaskan sikapnya yang mendustakan maknanya,
  • dia juga menegaskan sikap berlepas dirinya dari agama Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan dari kitab Allah?

وَيَقُولُونَ: هَٰذَا دِينُ الۡحَضَرِ وَدِينُنَا دِينُ آبَائِنَا، ثُمَّ يُفۡتُونَ هَٰؤُلَاءِ الۡمَرَدَةُ الۡجُهَّالُ أَنَّ هَٰؤُلَاءِ مُسۡلِمُونَ وَلَوۡ صَرَّحُوا بِذٰلِكَ كُلِّهِ، إِذَا قَالُوا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ. سُبۡحَانَكَ هَٰذَا بُهۡتَانٌ عَظِيمٌ.

Mereka (orang-orang badui) mengatakan bahwa (Islam) ini adalah agama orang yang hidup menetap, adapun agama kami adalah agama leluhur kami.

Kemudian orang-orang yang sangat durhaka lagi jahil itu memfatwakan bahwa mereka ini tetap merupakan kaum muslimin apabila mereka telah mengatakan “laa ilaaha illallaah” walaupun mereka menegaskan semua sikap (pembatal keislaman) itu.

Mahasuci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang amat besar.

وَمَا أَحۡسَنُ مَا قَالَ وَاحِدٌ مِنَ الۡبَوَادِي لَمَّا قَدِمَ عَلَيۡنَا وَسَمِعَ شَيۡئًا مِنَ الۡإِسۡلَامِ، قَالَ: أَشۡهَدُ أَنَّنَا كُفَّارٌ -يَعۡنِي هُوَ وَجَمِيعُ الۡبَوَادِي- وَأَشۡهَدُ أَنَّ الۡمُطَوِّعَ الَّذِي يُسَمِّينَا أَهۡلَ الۡإِسۡلَامِ أَنَّهُ كَافِرٌ.

Alangkah bagusnya ucapan salah seorang badui ketika dia datang ke tempat kami dan mendengar sedikit tentang Islam. Dia berkata, “Aku bersaksi bahwa kami adalah orang-orang kafir.” Yakni dia dan semua orang-orang badui. “Dan aku bersaksi bahwa guru yang menamai kami sebagai orang muslim bahwa dia kafir.”

تَمَّ وَالۡحَمۡدُ لِلهِ رَبِّ الۡعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحۡبِهِ وَسَلَّمَ.

Tamat. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta. Semoga Allah mencurahkan selawat dan keselamatan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat beliau.


Penjelasan

Pelajaran yang keenam adalah kisah kemurtadaan sepeninggal Nabi .

Penulis ingin membantah syubhat para syaithon yang dimunculkan oleh orang-orang yang dikatakan dimasa beliau (penulis). Apalagi dimasa kini, terdapat berbagai macam definisi ulama diantaranya orang yang pandai beretorika, orang yang mampu berorasi didepan banyak orang, dan lainnya. Tidak tahu definisi dan ukuran ulama yang sebenarnya.

Syubhat syaiton yang dimaksud adalah mereka berkata, “Betul itu kesyirikan, tapi orang yang berucap syirik ini sudah berucap La Ilaha Illallah. Maka dengan kalimat ini tidak menjadikan dia kafir dengan satu apapun.” Mereka menganggap demgan ucapan La Ilaha Illallah, maka apa saja yang mereka lakukan tidak akan menjadi kafir walaupun berbuat kesyirikan. Ini yang penulis katakan sbeagai syubhat syaitan.

Penulis membantah syubhat syaitan ini dengan membawahkan kisah kemurtadan sepeninggal Nabi . Sebahagian kisah kemurtadan ada yang semasa Nabi masih hidup. Siapa saja yang mendengar kisah Ridha’ ini tidak ada syubhat para syaitan, yang mereka namakan ulama, walaupun sebesar djarah.

Yang lebih besar dari syubhat ini adalah, mereka mengatakan bahwa orang Badui (pedalaman), tidak ada keislaman mereka sehelai rambutpun. Mereka tidak shalat, tidak puasa, tidak ada keislaman sama sekali. Mereka orang badui hanya berucap kalimat la ilaha illallah, sehingga dengan kalimat ini mereka menjadi Islam. Sedangkan Islam telah mengharamkan harta dan darah mereka. Pada mereka mengetahui, bahwa kaum badui meninggalkan Islam secara keseluruhan. Kaum badui juga meningkari hari kebangkitan, mereka mengolok-ngolok siapa yang meyakini hari kebangkitan, dan lebih mengutamakan agama nenek moyang mereka dari pada agama yang dibawah Nabi . Bersamaan dengan itu para syaitan yang durjana mengatakan bahwa mereka telah memeluk Islam. Walaupun seluruh pembatal keislaman berjalan ditengah mereka, dengan alasan kaum badui telah mengucapkan kalimat la ilaha illallah.

Konsekuensi dari ucapan mereka ini, berarti bahwa orang Yahudi juga masuk Islam karena mereka juga mengatakan la ilaha illallah. Penulis menegaskan bahwa kekafiran orang badui lebih besar daripada kekafiran orang Yahudi. Orang badui yang dimaksud disini adalah orang badui yang tidak mempunyai keislaman sama sekali, kecuali berucap la ilaha illallah.

Orang pembawa syubhat ini mengatakan apabila telah berucap la ilaha illallah, maka tidak bisa dibatalkan dengan apapun.

Banyak kita temui pada masa ini, ketika ditegurkan akan perbuatan syiriknya, mereka mengatakan kami sudah bersyahadat, mengucapkan la ilaha illallah dan muslim.

Penulis membawakan kisah orang yang murtad untuk membantah syubhat ini. Hal yang menjelaskan kebatilah syubhat diatas adalah bahwa orang-orang yang murtad berbeda-beda bentuk kemurtadannya. Diantara mereka ada yang medustakan nabi , kembali menyembah berhala. Hal ini dikarenakan karena mereka meyakini apabila Muhammad adalah Nabi maka tidak akan mati. Mereka murtad karena hal ini dan kembali menyembah berhala.

Beberapa bentuk kemurtadan:

Pertama, Diantara mereka ada yang mendustakan nabi, kembali menyembah berhala. Hal ini disebabkan karena mereka meyakini apabila Muhammad adalah Nabi maka tidak akan mati. Mereka murtad karena hal ini dan kembali menyembah berhala.

Kedua, Ada yang telah mengucapkan syahadat tetapi ucapannya ditambah dengan bahwa mereka beriman dengan Musailamah (Al-Kadzab). Ini juga termasuk kemurtadan. Mereka mengakui kenabian Musailamah karena dia menyangka bahwa Nabi memperserikatkan kenabiannya dengan Musailamah. Para ulama sepakat siapa yang menganggap kenabian Musailamah maka dianggap kafir, keluar dari Islam (murtad) walaupun dia jahil akan hal itu. Dan siapa yang ragu terhadap kemurtadannya, maka dianggap kafir.

Para ulama sepakat siapa yang mendustakan dan kembali beribadah kepada berhala, mencerca nabi, bahwa mereka ini dan yang mengakui kenabian Musailamah, maka hukumnya sama yaitu seorang yang murtad. Walaupun di atas keislaman seluruhnya.

Ketiga, Dan dibenarkan Tulaiha bin Kluwaid yang tadinya mengaku Nabi tapi bertaubat kembali ke dalam Islam. Dan keislamannya bagus dan menghadiri beberapa peperangan sampai mati syahid dalam peperangan di Nahwan. Maka ketika Tulaiha mengaku Nabi, orang-orang yang membenarkannya dianggap murtad.

Keempat, Ada yang membenarkan Al-‘Ansi, yang juga mengaku nabi di akhir hidup nabi. Dia membuat masalah di Yaman sampai menguasai wilayah di San’a. Nabi mengutus utusan empat orang ke pemuka kaum muslimin yang berada di Yaman dan membunuh Al-‘Ansi secara senyap.

Para ulama sepakat bahwa kisah tersebut adalah mereka yang dianggap orang yang murtad. Diantara mereka ada yang mendustakan Nabi dan kembali beribadah kepada berhala dan bentuk lainnya.

Kelima, kisah Al-Fuja`ah As-Sulami walaupun tidak ada sanad yang kuat mengenai ini. Kisah ini dipakai oleh sebagian orang Syi’ah Rafidah untuk mencela Abu Bakar As-Syidiq Radhiallahu Anhu. Orang Syi’ah mengatakan Abu Bakar telah membakar manusia. Pernyataan ini dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu mengapa Abu Bakar yang dipermasalahkan sedangkan ketika Ali bin Abi Thalib membakar pengikut Abdullah bin Saba (Yahudi), mereka tidak mempermasalahkannya. Kemungkinan larangan membakar manusia tersebut belum sampai kepada Abu Bakar dan Ali. Para ahli fiqih sepakat bahwa tidak boleh menyiksa dengan membakar manusia kecuali pada satu kondisi, yaitu qishah. Apabila seseorang mati karena dibakar, maka hukuman bagi yang membakar tersebut adalah dibolehkan dibakar.

Al-Fuja`ah As-Sulami berkata kepada Abu Bakar bahwa beliau akan memerangi kaum yang murtad, agar diberi bantuan senjata. Maka Abu Bakar memberi persenjataan dan tunggangan-tunggangan. Akan tetapi As-Sulami menghadang muslim dan kafir, tidak memerangi orang yang murtad saja. Maka Abu Bakar menyiapkan pasukan untuk memeranginya, dan As-Sulami merasakan kekalahan. As-Sulami berkata kepada pimpinan pasukan Abu Bakar, “Engkau adalah pimpinan dari pasukan Abu Bakar, dan aku juga pimpinan pasukan Abu Bakar. Saya tidak kafir.” Maka pimpinan dari pasukan Abu Bakar berkata, “Jika engkau jujur lemparkan senjatamu.” Maka As-Sulami melemparkan senjatanya, kemudian dia dibawa ke Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar memerintahkan untuk membakarnya dengan api dalam keadaan hidup.

Apabila itu adalah hukuman para sahabat terhadap orang tersebut, padahal dia mengakui lima rukun Islam, bagaimana dengan orang yang:

  • tidak mengakui satu kalimat pun dari Islam kecuali dia hanya mengatakan “laa ilaaha illallaah” dengan lisannya,
  • bersamaan itu dia menegaskan sikapnya yang mendustakan maknanya,
  • dia juga menegaskan sikap berlepas dirinya dari agama Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan dari kitab Allah?

Mereka (orang-orang Badui) mengatakan bahwa (Islam) ini adalah agama orang yang hidup menetap, adapun agama kami adalah agama leluhur kami.

Kemudian orang-orang yang sangat durhaka lagi jahil itu memfatwakan bahwa mereka ini tetap merupakan kaum muslimin apabila mereka telah mengatakan “laa ilaaha illallaah” walaupun mereka menegaskan semua sikap (pembatal keislaman) itu.

Ada seorang Badui hadir di majelis syiekh, mendengar tentang Islam dan Tauhid. Mereka mengatakan bahwa saya bersaksi bahwa kami dulunya kafir dan saya bersaksi bahwa si Mutawi’ (sebutan orang yang pandai agama) yang mengatakan kami Muslim, dia adalah kafir. Akhirnya orang Badui ini mengerti apa itu tauhid.

Pembahasan 1: Pelajaran dari kisah kemurtadan.

Pembahasan 2: Syubhat para syaitan bahwa siapa saja yang mengucapkan La Ilaha Illallah, dia tidaklah kafir dengan sesuatu apapun.

Pembahasan 3: Konsekuensi ucapan mereka dalam syubhat ini.

Dengan konsekuensi ucapan syubhat ini maka orang Yahudi juga bisa dianggap Muslim, dan yang lainnya menjadi keliru.

Pembahasan 4: Bantahan terhadap syubhat ini dari kisah kemurtadan

Bentuk kemurtadaan banyak, ada yang melakukan seluruh rukun Islam tapi murtad karena melakukan pembatal keislaman.

Pembahasan 5: Penyebutan sejarah beberapa orang murtad

Kisah beberapa orang murtad yang disebutkan penulis

  1. Orang yang mendustakan Nabi dan kembali menyembah berhala
  2. Musailamah (Al-Kadzab)
  3. Tulaiha bin Kluwaid
  4. Al-‘Ansi
  5. Fujaah As-Sulaimi

Pembahasan 6: Pemahaman orang Badui yang telah mengenal Islam

Orang awam apabila sudah mengenal tauhid, maka bisa mengetahui syubhatnya kaum musyrikin.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Sumber:

Matan dan Terjemahan Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah:

Ismail bin Issa. (2020, April 16). Sittatu Mawadhi’ Minas Sirah. Sittatu Mawadhi’ minas Sirah – إسماعيل بن عيسى. https://ismail.web.id/2020/04/16/sittatu-mawadhi-minas-sirah/

Pelajaran Kelima: Kisah Tentang Hijrah

Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah (Enam Pelajaran Aqidah dari Sirah Nabi )

Pelajaran Kelima: Kisah Tentang Hijrah

الۡمَوۡضِعُ الۡخَامِسُ: قِصَّةُ الۡهِجۡرَةِ، وَفِيهَا مِنَ الۡفَوَائِدِ وَالۡعِبَرِ مَا لَا يَعۡرِفُهُ أَكۡثَرُ مَنۡ قَرَأَهَا.

Peristiwa kelima: Kisah hijrah. Dalam kisah ini ada faedah-faedah dan pelajaran-pelajaran yang tidak diketahui oleh sebagian besar orang yang membacanya.

وَلَكِنۡ مُرَادُنَا الۡآنَ مَسۡأَلَةٌ مِنۡ مَسَائِلِهَا، وَهِيَ أَنَّ مِنۡ أَصۡحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ مَنۡ لَمۡ يُهَاجِرۡ مِنۡ غَيۡرِ شَكٍّ فِي الدِّينِ وَتَزۡيِينِ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ، وَلَكِنۡ مَحَبَّةً لِلۡأَهۡلِ وَالۡمَالِ وَالۡوَطَنِ، فَلَمَّا خَرَجُوا إِلَى بَدۡرٍ خَرَجُوا مَعَ الۡمُشۡرِكِينَ كَارِهِينَ، فَقُتِلَ بَعۡضُهُمۡ بِالرَّمۡيِ، وَالرَّامِي لَا يَعۡرِفُهُ.

Akan tetapi yang kita inginkan sekarang adalah sebuah permasalahan di antara berbagai permasalahan dalam kejadian tersebut. Yaitu bahwa sebagian sahabat Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—ada yang tidak berhijrah. Alasannya bukan karena ragu dengan agama Islam dan bukan untuk mendukung agama orang-orang musyrik. Akan tetapi alasannya adalah kecintaan terhadap keluarga, harta, dan tanah air. Ketika mereka keluar menuju medan perang Badr, mereka keluar bersama barisan kaum musyrikin dalam keadaan tidak suka. Sebagian mereka terbunuh karena lemparan senjata, sementara si pelempar tidak mengenalinya.

فَلَمَّا سَمِعَ الصَّحَابَةُ أَنَّ مِنَ الۡقَتۡلَى فُلَانًا وَفُلَانًا شَقَّ عَلَيۡهِمۡ وَقَالُوا: قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا. فَأَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَـٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمۡ﴾ … إِلَى قَوۡلِهِ: ﴿وَكَانَ ٱللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا﴾ [النساء: ٩٧-١٠٠].

Ketika para sahabat mendengar bahwa di antara korban perang ada si Polan dan si Polan, mereka merasa berat dan berkata, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita.” Lalu Allah taala menurunkan ayat yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menzalimi diri-diri mereka…” hingga firman-Nya, “Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa`: 97-100).

فَمَنۡ تَأَمَّلَ قِصَّتَهُمۡ وَتَأَمَّلَ قَوۡلَ الصَّحَابَةِ: قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا، عَلِمَ أَنَّهُ لَوۡ بَلَغَهُمۡ عَنۡهُمۡ كَلَامٌ فِي الدِّينِ أَوۡ كَلَامٌ فِي تَزۡيِينِ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ لَمۡ يَقُولُوا: قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا.

Maka, siapa saja yang merenungkan kisah mereka dan merenungkan perkataan sahabat, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita,” maka dia mengetahui bahwa andai sampai ucapan (keraguan) terhadap agama Islam atau ucapan yang mendukung agama kaum musyrikin dari sebagian sahabat yang tidak ikut hijrah kepada para sahabat, niscaya para sahabat tidak akan berkata, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita.”

فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدۡ بَيَّنَ لَهُمۡ وَهُمۡ بِمَكَّةَ قَبۡلَ الۡهِجۡرَةِ أَنَّ ذٰلِكَ كُفۡرٌ بَعۡدَ الۡإِيمَانِ بِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿مَن كَفَرَ بِٱللَّـهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَـٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنٌّۢ بِٱلۡإِيمَـٰنِ﴾ [النحل: ١٠٦]. وَأَبۡلَغُ مِنۡ هَٰذَا مَا تَقَدَّمَ مِنۡ كَلَامِ اللهِ تَعَالَى فِيهِمۡ، فَإِنَّ الۡمَلَائِكَةَ تَقُولُ: ﴿فِيمَ كُنتُمۡ﴾ وَلَمۡ يَقُولُوا: كَيۡفَ تَصۡدِيقُكُمۡ؟ ﴿قَالُوا۟ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ۚ﴾ [النساء: ٩٧].

Karena sungguh Allah taala telah menjelaskan kepada mereka ketika mereka berada di Makkah sebelum hijrah bahwa ucapan-ucapan itu adalah kekufuran sesudah keimanan dengan dasar firman-Nya taala yang artinya, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (QS. An-Nahl: 106).

Yang lebih gamblang daripada ayat ini adalah firman Allah taala yang telah disebutkan tentang mereka. Yaitu, bahwa malaikat bertanya, “Bagaimana keadaan kalian ketika itu?”

Para malaikat tidak menanyakan, “Bagaimana pembenaran kalian?”

Mereka menjawab, “Dahulu kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).” (QS. An-Nisa`: 97).

وَلَمۡ يَقُولُوا: كَذَبۡتُمۡ. مِثۡلَ مَا يَقُولُ اللهُ وَالۡمَلَائِكَةُ لِلۡمُجَاهِدِ الَّذِي يَقُولُ: جَاهَدۡتُ فِي سَبِيلِكَ حَتَّى قُتِلۡتُ، فَيَقُولُ اللهُ: كَذَبۡتَ، وَتَقُولُ الۡمَلَائِكَةُ: كَذَبۡتَ، بَلۡ قَاتَلۡتَ لِيُقَالَ: جَرِيءٌ، وَكَذٰلِكَ يَقُولُونَ لِلۡعَالِمِ وَالۡمُتَصَدِّقِ: كَذَبۡتَ، بَلۡ تَعَلَّمۡتَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَتَصَدَّقۡتَ لِيُقَالَ: جَوَّادٌ.

Para malaikat tidak berkata, “Kalian telah berdusta.”

Seperti yang dikatakan oleh Allah dan malaikat kepada mujahid yang berkata, “Aku berjihad di jalan-Mu sampai aku terbunuh.”

Lalu Allah berkata, “Engkau dusta.”

Malaikat juga berkata, “Engkau dusta. Engkau berperang hanya agar engkau disebut sebagai pemberani.”

Demikian pula yang mereka katakan kepada orang yang alim dan orang yang bersedekah, “Engkau dusta. Engkau belajar agar engkau disebut sebagai orang yang alim dan engkau bersedekah agar disebut sebagai orang yang dermawan.”

وَأَمَّا هَٰؤُلَاءِ فَلَمۡ يُكۡذِبُوهُمۡ بَلۡ أَجَابُوهُمۡ بِقَوۡلِهِمۡ: ﴿قَالُوٓا۟ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةً فَتُهَاجِرُوا۟ فِيهَا ۚ﴾ وَيَزِيدُ ذٰلِكَ إِيضَاحًا لِلۡعَارِفِ وَالۡجَاهِلِ الۡآيَةُ الَّتِي بَعۡدَهَا، وَهِيَ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلًا﴾ [النساء: ٩٨].

Adapun mereka yang tidak ikut hijrah ini, maka malaikat tidak menyatakan bahwa mereka berdusta, bahkan menanggapi mereka dengan ucapan mereka. “Para malaikat berkata: Bukankah bumi Allah luas sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?”

Ayat setelahnya akan menambah jelas hal itu, baik bagi orang yang pandai maupun yang jahil. Yaitu firman Allah taala yang artinya, “Kecuali orang-orang yang tertindas dari kalangan pria, wanita, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (QS. An-Nisa`: 98).

فَهَٰذَا أَوۡضَحُ جِدًّا أَنَّ هَٰؤُلَاءِ خَرَجُوا مِنَ الۡوَعِيدِ، فَلَمۡ يَبۡقَ شُبۡهَةً، لَكِنۡ لِمَنۡ طَلَبَ الۡعِلۡمَ، بِخِلَافِ مَنۡ لَمۡ يَطۡلُبۡهُ، بَلۡ قَالَ اللهُ فِيهِمۡ: ﴿صُمٌّۢ بُكۡمٌ عُمۡىٌ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ﴾ [البقرة: ١٨].

Ini sangat jelas bahwa mereka (yang tidak hijrah karena uzur) tidak termasuk ke dalam ancaman (yang disebutkan di akhir surah An-Nisa` ayat 97). Maka, sudah tidak tersisa syubhat lagi. Namun, hilangnya syubhat ini hanya bisa dicapai oleh orang yang menuntut ilmu. Beda halnya dengan orang yang tidak mau menuntut ilmu. Bahkan Allah berfirman tentang mereka yang artinya, “Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak bisa kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Baqarah: 18).

وَمَنۡ فَهِمَ هَٰذَا الۡمَوۡضِعَ وَالَّذِي قَبۡلَهُ فَهِمَ كَلَامَ الۡحَسَنِ الۡبَصۡرِيِّ، قَالَ: لَيۡسَ الۡإِيمَانُ بِالتَّحَلِّي وَلَا بِالتَّمَنِّي وَلَٰكِنۡ مَا وَقَرَ فِي الۡقُلُوبِ وَصَدَقَتۡهُ الۡأَعۡمَالُ.

Barang siapa yang memahami peristiwa ini dan sebelumnya, maka dia akan paham ucapan Al-Hasan Al-Bashri. Beliau menuturkan, “Keimanan bukan sekadar dengan hiasan lahiriah dan angan-angan, akan tetapi keimanan adalah keyakinan yang kukuh di dalam kalbu dan dibuktikan oleh amalan-amalan.”

وَذٰلِكَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ: ﴿إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّـٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥ ۚ﴾ [فاطر: ١٠].

Tentang itu pula Allah taala berfirman yang artinya, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10).


Pembahasan 1: Banyaknya faidah dan pelajaran dari kisah hijrah

Banyak faedah dari kisah hijrah. Penulis di sini ingin mengangkat satu permasalahan yang ingin dijelaskan, yaitu bahwa ada sebagian sahabat yang tidak berhijrah. Mereka bukan karena ragu pada agama Islam dan tidak pula menganggap agama kaum musyrikin bagus. Akan tetapi mereka lebih cinta kepada keluarga, harta, dan tanah kelahiran. Mereka mau hijrah tapi tidak mau meninggalkan keluarganya. Mereka mau hijrah tapi takut meninggalkan hartanya yang perlu dirawat dan takut hartanya diambil oleh kaum musyrikin. Mereka mau hijrah tapi tidak kuat meninggalkan tanah kelahirannya karena sudah terbiasa hidup di negerinya. Bahkan Nabi dan para sahabat ketika sudah hijrah ke Madinah masih mengingat tanah kelahirannya di Mekkah.

Hukum hijrah adalah apabila seseorang telah berhijrah maka tidak boleh kembali lagi pada tanah yang sudah ditinggalkan untuk bermukim. Akan tetapi kalau untuk tidak bermukim maka tidak mengapa. Sebagaimana Nabi dan para sahabat ketika sudah hijrah ke Madinah dan Mekah ditaklukan menjadi negeri Islam, tapi mereka tidak kembali tinggal di Mekkah. Padahal Mekah adalah tanah yang paling dicintai oleh Allah, Mekah lebih afdhal dari pada Madinah.

Dalam menilai sebuah negeri apakah negeri Islam atau negeri kafir adalah dilihat dari mayoritas penduduknya dan syiar-syiar yang berkembang di negeri itu.

Ketika terjadi perang Badr, para sahabat yang tidak berhijrah ikut perang Badr di barisan kaum musyrikin dalam keadaan terpaksa. Sebagian dari mereka ada yang terbunuh, terkena bidikan tombak atau panah. Sahabat yang membidik tidak mengenal siapa yang dibidik karena mereka tahu bahwa semua lawannya adalah kaum musyrikin.

Para sahabat mendengar bahwa yang telah terbunuh adalah nama-nama yang mereka kenal yaitu sebagian sahabat yang tidak berhijrah. Maka hal tersebut membuat para sahabat menjadi sangat berat. Mereka berkata, “Kami sudah membunuh saudara-saudara kami”. Maka Allah ﷻ menurunkan firmannya dalam surat An-Nisa ayat 97-100.

إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمْ قَالُوا۟ فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا۟ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ قَالُوٓا۟ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةًۭ فَتُهَاجِرُوا۟ فِيهَا ۚ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ٩٧ إِلَّا ٱلْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلْوِلْدَٰنِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةًۭ وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًۭا ٩٨ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًۭا ٩٩ ۞ وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًۭا كَثِيرًۭا وَسَعَةًۭ ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ ٱلْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا ١٠٠

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 97-100)

Faidah dari kisah hijrah:

Siapa yang memperhatikan kisah sahabat yang tidak berhijrah ini. Para sahabat mengatakan “Kami telah membunuh saudara-saudara kami”. Sebagian sahabat yang tidak berhijrah masih dikatakan saudara-saudara kami. Mengapa masih dikatakan saudara kami? Karena tidak ucapan jelek apapun dari para sahabat yang tidak berhijrah yang terdengar oleh para sahabat yang berhijrah ke Madinah. Ucapan jelek termasuk menjelekkan agama Islam dan menganggap agama kaum musyrikin bagus. Andaikata ada ucapan jelek sampai terdengar oleh para sahabat di Madinah, pasti mereka tidak akan berkata “Kami telah membunuh saudara-saudara kita”.

Allah ﷻ telah menjelaskan kepada para sahabat sebelum para sahabat berhijrah ke Madinah, bahwa hal tersebut adalah kekafiran setelah keimanan. Sebagaimana firman Allah yang artinya “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (QS. An-Nahl: 106). Ayat ini terkait dengan kejadian yang menimpa Ammar bin Yasir. Apabila seseorang ridha dengan kekafiran, menanggap agama kaum musyrikin bagus maka dianggap kekafiran. Kecuali apabila dipaksa seperti yang dialami Ammar, dimana ayah dan ibunya sudah mati dibunuh. Apabila dia tidak berucap mengenai kekafiran maka dia akan dibunuh juga. Maka dia mengucapkan dengan terpaksa sehingga turun ayat ini. Ammar terpaksa mengucapkan kekufuran tapi terpaksa dan hatinya tetap pada keimanannya.

Para sahabat menganggap sahabat yang tidak berhijrah masih sebagai Muslim. Sehingga ucapan mereka telah benar. Juga tidak ada yang mengingkari ucapan sahabat tersebut. Dan lebih mendalam lagi disebutkan dalam ayat yang di atas (An-Nisa), yaitu para malaikat berkata, “Dalam keadaan bagaimana kalian?”. Malaikat tidak menanyakan “Bagaimana keyakinan kalian?”. Sehingga keyakinan mereka tidak diragukan. Tapi yang ditanyakan adalah dalam keadaan apa?. Maka mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang terdhalimi di atas muka bumi (Mekkah)”. Apabila jawaban ini tidak benar maka Malaikat akan mengatakan, “Kalian telah berdusta”. Tapi Malaikat tidak mengatakannya.

Hal ini seperti dikatakan kepada seorang Mujahid dalam hadits Muslim,”Saya berjihad di jalan-Mu, Ya Allah, sampai saya terbunuh”. Maka Allah ﷻ berfirman, “Engkau telah berdusta” dan malaikat mengatakan “Engkau telah berdusta”. Bahkan engkau berperang agar disebut sebagai pemberani. Demikian pula dikatakan kepada orang yang berilmu dan orang yang bersedekah. Orang alim mengatakan “Saya belajar, membaca Al-Qur’an karena engkau, Ya Allah”, Allah ﷻ berfirman, “Engkau berdusta, Engkau belajar supaya dikatakan alim, Engkau membaca Al-Qur’an supaya dikatakan engkau ahli qiro’ah”. Demikian juga juga yang bersedekah Allah ﷻ berfirman “Engkau bersedekah supaya dikatakan orang yang dermawan”.

Andaikata ucapan sahabat yang tidak berhijrah tersebut keliru, maka malaikat akan mengatakan “Engkau telah berdusta”. Akan tetapi para Malaikat mengatakan, “Bukan kah bumi Allah itu luas?, Sehingga kalian dapat berhijrah di atas bumi itu.” Terkadang seseorang enggan berhijrah karena keluarga, harta dan tempat asalnya. Padahal apabila berhijrah akan mendapatkan hal yang lebih baik daripada itu.

Telah diungkap sisi pertama dan kedua adalah mereka tidak ada masalah dalam keislaman dan tidak pula menganggap bagus kaum musyrikin. Sisi yang ketiga, bahwa hal tersebut semakin diperjelas dengan firman Allah taala yang artinya, “Kecuali orang-orang yang tertindas dari kalangan pria, wanita, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (QS. An-Nisa`: 98). Dalam ayat ini dikatakan tidak semua yang berhijrah disalahkan, ada orang-orang yang mempunyai udzur, yaitu: laki-laki yang lemah yang kalau keluar mungkin sudah dibunuh, perempuan, anak, kecil dan yang tidak tahu jalan.

Maka, orang-orang yang mempunyai udhzur tidak ada ancaman, sehingga keluar dari syubhat yang tersisa. Hal ini jelas bagi orang yang menuntut ilmu. Berebeda dengan orang yang tidak menuntut ilmu. Bahkan Allah ﷻ berfirman tentang mereka yang artinya, “Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak bisa kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Baqarah: 18).

Kisah hijrah perlu dibahas dan dikaji, banyak pelajaran yang bisa diambil. Akan tetapi buku-buku tentang sirah perlu disaring sehingga mendapatkan riwayat-riwayat yang shahih dan dikeluarkan riwayat-riwayat yang lemah atau dusta. Banyak kisah hijrah akan tetapi tidak diketemukan sanad yang shahih.

Pembahasan 2: Kisah orang-orang yang meninggalkan hijrah tanpa udzur dan adanya ancaman, padahal mereka berada di atas kesilaman tanpa ragu dalam agama serta tidak menganggap baik agama kaum musyrikin

Orang yang tidak hijrah tanpa udzur mendapatkan ancaman, padahal mereka berada di atas keislaman, tidak ragu akan agama Islam, dan tidak menganggap baik agama kaum musyrikin. Ancamannya sebagaimana firman Allah ﷻ yang artinya “Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” (An-Nisa: 97).

Pembahasan 3: Memahami ucapan Al-Hasan Al-Bashriy untuk tempat ini dan tempat sebelumnya.

Ini adalah pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Hijrah, yaitu memahami ucapan Al-Hasan Al-Bashriy untuk tempat ini dan tempat sebelumnya. Maksudnya ucapan beliau pada pelajaran sebelumnya (Pelajaran Keempat) dan pelajaran ini (Pelajaran Kelima). Pelajaran Keempat adalah tentang kisah Abu Thalib terdapat kemiripan dengan kisah hijrah.

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Iman ini bukanlah dengan berhias, juga bukan dengan berangan-angan. Iman itu sesuatu yang bertetap di dalam hati dan dibenarkan oleh amalan.” Sebagaimana Allah ﷻ berfirman yang artinya “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Dalam kisah Abu Thalib, terdapat amalannya, akan tetapi yang kurang adalah sesuatu di dalam hati, sehingga dia tidak masuk dalam Islam.

Dalam kisah hijrah, Iman tidak seperti kisah para sahabat yang tidak berhijrah tanpa udzur. Mereka beriman, kaum muslimin, akan tetapi tidak beramal dengan melaksanakan hijrah.

Hal ini menunjukkan bahwa Tauhid, tidak sekadar mengenal tauhid dan meninggalkan kesyirikan, akan tetapi harus ada amalan yang menunjukkan hal tersebut seperti permusuhan dengan kaum musyrikin, meninggalkan kaum musyrikin, menolong agama, berdakwah kepada tauhid, melarang dari kesyirikan, amar ma’ruf dan nahi munkar.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Sumber:

Matan dan Terjemahan Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah:

Ismail bin Issa. (2020, April 16). Sittatu Mawadhi’ Minas Sirah. Sittatu Mawadhi’ minas Sirah – إسماعيل بن عيسى. https://ismail.web.id/2020/04/16/sittatu-mawadhi-minas-sirah/

Pelajaran Keempat: Kisah Abu Thalib

Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah (Enam Pelajaran Aqidah dari Sirah Nabi )

Pelajaran Keempat: Kisah Abu Thalib

الۡمَوۡضِعُ الرَّابِعُ: قِصَّةُ أَبِي طَالِبٍ، فَمَنۡ فَهِمَهَا حَسَنًا وَتَأَمَّلَ إِقۡرَارَهُ بِالتَّوۡحِيدِ، وَحَثَّ النَّاسِ عَلَيۡهِ، وَتَسۡفِيهَ عُقُولِ الۡمُشۡرِكِينَ، وَمَحَبَّتَهُ لِمَنۡ أَسۡلَمَ وَخَلَعَ الشِّرۡكَ، ثُمَّ بَذَلَ عُمۡرَهُ وَمَالَهُ وَأَوۡلَادَهُ وَعَشِيرَتَهُ فِي نُصۡرَةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ إِلَى أَنۡ مَاتَ. ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى الۡمَشَقَّةِ الۡعَظِيمَةِ وَالۡعَدَاوَةِ الۡبَالِغَةِ، لَكِنۡ لَمَّا لَمۡ يَدۡخُلۡ فِيهِ وَلَمۡ يَتَبَرَّأۡ مِنۡ دِينِهِ الۡأَوَّلِ لَمۡ يَصِرۡ مُسۡلِمًا، مَعَ أَنَّهُ يَعۡتَذِرُ مِنۡ ذٰلِكَ بِأَنَّ فِيهِ مسَبَّةً لِأَبِيهِ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ وَلِهَاشِمٍ وَغَيۡرِهِمَا مِنۡ مَشَايِخِهِمۡ.

Peristiwa keempat: Kisah Abu Thalib. Siapa saja yang memahaminya dengan baik dan memperhatikan

  • pengakuannya terhadap tauhid,
  • anjurannya kepada manusia agar bertauhid,
  • sikap beliau yang membodoh-bodohkan akal orang-orang musyrik,
  • kecintaan beliau kepada orang yang masuk Islam dan lepas dari kesyirikan,
  • kemudian beliau menghabiskan umur, harta, anak-anak, dan kerabatnya untuk menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai meninggal,
  • kemudian sikap beliau yang menyabarkan Rasulullah terhadap kesulitan yang besar dan permusuhan yang memuncak.

Akan tetapi ketika Abu Thalib tidak masuk Islam dan tidak berlepas diri dari agamanya yang dahulu, maka dia tidak menjadi seorang muslim. Meskipun dia beralasan dengan apabila dia masuk Islam, maka akan mencoreng kehormatan ayahnya—yaitu ‘Abdul Muththalib—dan Hasyim, serta selain keduanya dari para tokoh leluhur mereka.

ثُمَّ مَعَ قَرَابَتِهِ وَنُصۡرَتِهِ اسۡتَغۡفَرَ لَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ، فَأَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى عَلَيۡهِ: ﴿مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسۡتَغۡفِرُوا۟ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَحِيمِ﴾ [التوبة: ١١٣].

Kemudian karena hubungan kekerabatan dan pembelaan Abu Thalib ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampunan untuknya. Lalu Allah taala menurunkan ayat kepada beliau yang artinya, “Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113).

وَالَّذِي يُبَيِّنُ هَٰذَا أَنَّهُ إِذَا عُرِفَ رَجُلٌ مِنۡ أَهۡلِ الۡبَصۡرَةِ أَوِ الۡأَحۡسَاءِ بِحُبِّ الدِّينِ وَبِحُبِّ الۡمُسۡلِمِينَ، مَعَ أَنَّهُ لَمۡ يَنۡصُرِ الدِّينَ بِيَدٍ وَلَا مَالٍ وَلَا لَهُ مِنَ الۡأَعۡذَارِ مِثۡلُ مَا لِأَبِي طَالِبٍ، وَفَهِمَ الۡوَاقِعَ مِنۡ أَكۡثَرَ مَنۡ يَدَّعِي الدِّينَ، تَبَيَّنَ لَهُ الۡهُدَى مِنَ الضَّلَالِ، وَعَرَفَ سُوءُ الۡأَفۡهَامُ، وَاللهُ الۡمُسۡتَعَانُ.

Dan yang lebih memperjelas ini adalah bahwa ketika ada seseorang dari penduduk Bashrah atau Ahsa` yang dikenal mencintai agama Islam dan mencintai kaum muslimin, namun dia tidak menolong agama dengan tangan dan harta. Dia juga tidak memiliki uzur semisal uzur yang dimiliki Abu Thalib.

(Jadi siapa saja yang memahami kisah Abu Thalib ini) dan memahami kenyataan berupa banyaknya orang yang mengaku-aku mengerti agama, maka akan jelas baginya petunjuk dari kesesatan dan dia akan mengerti buruknya pemahaman (terhadap agama). Allah lah yang dimintai pertolongan.


Pembahasan 1: Kisah Abu Thalib

Nabi ﷺ dilahirkan dalam keadaan yatim. Ayahnya Abdullah bin Abdul Muthalib meninggal sebelum Rasulullah dilahirkan. Rasulullah ﷺ diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib. Abdul Muthalib sebelum meninggal berwasiat kepada anaknya yang lain yaitu Abdul Thalib untuk mengasuh dan merawat Nabi Muhammad ﷺ.

Abu Thalib merawat dan mendidik Nabi Muhammad ﷺ hingga diutus menjadi seorang Rasul. Abu Thalib membela dan melindungi Nabi Muhammad ﷺ dari orang-orang Quraish. Seperti kejadian pemboikotan Nabi ﷺ dan para shahabat, Abu Thalib juga ikut diboikot. Abu Thalib adalah orang yang menguatkan Nabi ﷺ.

Abu Thalib meng-ikrar Tauhid dan mengakui agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Seperti ucapan Abu Thalib, “Saya telah mengetahui bahwa agama Nabi Muhammad ﷺ adalah agama yang membawa manusia kepada yang paling baik. Andaikata tidak khawatir akan celaan, maka engkau telah melihat saya lapang menerima agama ini dengan penuh kejelasan”.

Abu Thalib menganggap kaum musyrikin bodoh akalnya. Abu Thalib cinta kepada yang memeluk Islam dan yang menanggalkan kesyirikan. Abu Thalib mencurahkan umur, harta, anak-anak dan kerabatnya untuk menolong Rasulullah ﷺ sampai Abu Thalib meninggal.

Kemudian Abu Thalib bersabar dari kesulitan yang besar dan permusuhan yang berlebihan. Tetap melindungi Nabi Muhammad ﷺ.

Pada masa sulit setelah pemboikotan, meninggal Khadijah istri Nabi Muhammad ﷺ dan juga meninggal pamannya Abu Thalib. Maka semakin besar gangguan terhadap Nabi ﷺ dan para shahabat. Sehingga Nabi menginjinkan para shahabat untuk berhijrah ke Habasa. Raja Habasa, Najasi, terkenal sebagai raja yang tidak mendholomi rakyatnya apapun agamanya.Diantara yang Hijrah ke Habasa adalah Ustman bin Affan.

Para shahabat yang berhijrah ke Habasa menjadi sebab Raja Najasi masuk Islam. Yaitu ketika kaum musyrikin mendengar para shahabat berhijrah, mereka menyusul ke Habasa. Mereka membawakan hadiah untuk Najasi agar para shahabat dikembalikan ke Mekkah. Akan tetapi Najasi berlaku adil dengan memanggil keduabelah pihak untuk berdebat antara para shahabat dan kaum musyrikin. Maka dari perdebatan itu Najasi mengenal kebenaran dari Nabi ﷺ dan mengenal tanda-tanda kenabiannya yang sesuai dengan kitab nya. Setelah dibacakan kepada Najasi surah Maryam, maka dia menangis mendengarkan surah tersebut.

Akan tetapi Abu Thalib tidak memeluk Islam dan tidak berlepas diri dari agama kaum musyrikin. Alasan Abu Thalib tidak masuk Islam adalah karena dia tidak mau mencela ayahnya (Abdul Muthalib), kakeknya (Hasyim) dan nenek moyang mereka.

Ketika Abu Thalib mendekati ajalnya, Nabi berada di sisinya dan berkata, “Wahai paman ku, katakan La Ilaha Illallah, kalimat yang dengannya saya akan mempersaksikan untuk mu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Akan tetapi setiap Nabi menawarkan untuk mengucapkan syahadat, ada Abu Jahal, Abdullah bin Umaya, yang merupakan dua pembesar Quraish yang berkata,”Wahai Abu Thalib apakah kamu benci kepada agama ayahmu Abdul Muthalib?”. Hal ini membangkitkan kesukuan Abdul Muthalib dan juga tidak mau mencaci nenek moyangnya. Akhirnya Abu Thalib meninggal dalam keadaan Musyrik, tidak masuk Islam. Abu Thalib menjadi penghuni neraka dilapisan paling bawah, karena dia tahu bahwa Agama Islam adalah benar tapi tidak mau masuk Islam.

Ketika Abu Thalib meninggal Rasulullah memohonkan ampun untuk Abu Thalib dikarenakan kekerabatannya dan pertolongan Abu Thalib kepada Rasulullah ﷺ. Maka turun 2 ayat yang menegur Nabi ﷺ, Allah berfirman

  • Tidaklah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun pada Allah bagi orang-orang Musyrik. Walaupun itu karib kerabat mereka” (At-Taubah: 113)
  • Engkau Nabi Muhammad tidak bisa memberikan hidayah kepada siapa yang engkau cintai”. (Al-Qhashash: 56)

Allah memberikan kekhususan bagi Nabi Muhammad, yaitu diberikan syafaat khusus untuk Abu Thalib. Abu Thalib harusnya disiksa pada neraka yang paling bawah. Dengan syafaat Nabi ﷺ, Abu Thalib mendapatkan siksaan yang paling ringan siksaannya di dalam neraka. Walaupun kekal didalam neraka. Dalam Shahih Muslim disebutkan siksaan Abu Thalib dalam neraka yaitu, dua terompah yang dipanaskan, sebelum kaki menyentuh terompah tersebut, maka mendidih kepalanya.

Pelajaran Aqidah dari Kisah Abu Thalib

Hal yang memperjelas perkara ini apabila seorang penduduk Bashrah, penduduk Ahsa, mengaku mencintai agama, mencintai kaum muslimin dan dianggap bersama kaum muslim. Padahal dia tidak pernah menolong agama tidak dengan tangan dan tidak pula dengan harta. Dan dia tidak memiliki udzur-udzur seperti Abu Thalib miliki.

Apabila ada yang mengaku cinta Agama Islam dan cinta kaum muslimin. Akan tetapi ketika terjadi perseteruan antara hak dan bathil, antara tauhid dan kesyirikan, dia tidak pernah menampakan dirinya. Karena dia ingin aman dan tidak mau ada musuhnya. Maka orang seperti ini apabila hidup di masa Abu Jahal, tidak ada yang mengingkarinya sebab itu bukan hal yang dipermasalahkan oleh kamu Musyrikin. Kaum musyrikin juga beribadah (haji dan umrah) dan mempunyai akhlak yang bagus. Akan tetapi inti permasalahan kaum musyrikin adalah pada pembahasan tauhid. Hal ini yang membuat mereka membenci Nabi Muhammad ﷺ dan para shahabat.

Abu Thalib mempunyai udzhur yaitu dia khawatir mencela nenek moyangnya. Akan tetapi orang yang sekarang tidak ada udzur seperti Abu Thalib.

Penulis mengingkari sekelompok orang di masanya, yang dianggap berilmu, tahu kebenaran, mengenal tauhid, mengetahui kebathilan kesyirikan. Akan tetapi tidak pernah berdakwah tauhid, melarang kesyirikan dan mengingkari kaum musyrikin.

Abu Thalib saja membela Nabi ditengah kaum musyrikin, bahkan menganggap mereka bodoh. Akan tetapi Abu Thalib tidak masuk Islam.

Sehingga keislaman jelas ketentuannya: shahadat, mengakui tauhid, meninggalkan kesyirikan, dan memusuhi kaum musyrikin. Keislaman dibuktikan dengan ucapan dan amalan.

Pembahasan 2: Tidak cukup mengaku Islam benar dan membela Islam, mencela kesyirikan dan kaum musyrikin

Tidak cukup mengaku Islam benar dan membela Islam, mencela kesyirikan dan kaum musyrikin. Tapi harus masuk kedalam Islam, mengikuti Rasulullah ﷺ, berlepas diri dari kesyirikan dan kaum musyrikin.

Abu Thalib membela Rasullullah, mencela kaum musyrikin, cinta kepada orang yang masuk Islam, senang dengan orang yang menanggalkan kesyirikan. Akan tetapi Abu Thalib tidak masuk islam dikarenakan tidak bersyahadat. Abu Thalib dianggap tidak masuk Islam dan tidak mengikuti Rasulullah ﷺ.

Bermusuhan dengan kaum musyrikin saja tidak cukup. Seperti halnya orang Yahudi bermusuhan dengan orang Nashara. Tapi tidak mengatakan bahwa orang Yahudi muslim walaupun orang Yahudi bisa membantah kaum Nashara. Ada syarat-syarat keislaman, yaitu:

  1. Allah adalah satu-satunya yang diibadahi.
  2. Berlepas diri dari segala yang diibadahi kecuali Allah.
  3. Mengetahui Tauhid.
  4. Meninggalkan kesyirikan
  5. Berlepas diri dari kesyirikan dan kaum musyrikin.

Pembahasan 3: Ada udzhur-udzhur bagi Abu Thalib tapi tidak menjadi seorang Muslim

Tidak semua yang mempunyai udzur, akan diterima udzurnya. Udzur Abu Thalib sebenarnya hal yang mudah, yaitu kesabaran dalam menghadapi kaumnya walaupun ayah dan nenek moyangnya dicela. Maka tidak menjadi masalah, karena Allah akan memuliakannya dengan masuk Islam. Dia lebih mementingkan gensinya sehingga tidak dicela ayahnya.

Pembahasan 4: Menyingkap petunjuk terhadap kesesatan dan jeleknya pemahaman.

Menyingkap petunjuk terhadap kesesatan dan jeleknya pemahaman terhadap orang yang mengenal kebenaran dan tauhid dan mengerti juga kebathilan syirik. Tetapi mereka tidak menolong agama dan tidak memerintah kepada tauhid, dan tidak melarang dari kesyirikan.

Ini adalah pelajaran yang paling pokok dari kisah Abu Thalib. Sehingga semakin jelas apa tauhid dan agama yang dibawa Rasulullah ﷺ, yaitu kandungan dari syarat La Ilaha Illallah.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Sumber:

Matan dan Terjemahan Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah:

Ismail bin Issa. (2020, April 16). Sittatu Mawadhi’ Minas Sirah. Sittatu Mawadhi’ minas Sirah – إسماعيل بن عيسى. https://ismail.web.id/2020/04/16/sittatu-mawadhi-minas-sirah/

Pelajaran Ketiga: Kisah Pembacaan Surat An-Najm

Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah (Enam Pelajaran Aqidah dari Sirah Nabi )

Pelajaran Ketiga: Kisah Pembacaan Surat An-Najm

الۡمَوۡضِعُ الثَّالِثُ : قِصَّةُ قِرَاءَتِهِ ﷺ سُورَةَ النَّجۡمِ بِحَضۡرَتِهِمۡ، فَلَمَّا بَلَغَ ﴿أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّـٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ﴾ [النجم: ١٩] أَلۡقَى الشَّيۡطَانُ فِي تِلَاوَتِهِ: (تِلۡكَ الۡغَرَانِيقُ الۡعُلَا، وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرۡتَجَى) فَظَنُّوا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَهَا، فَفَرِحُوا بِذٰلِكَ وَقَالُوا كَلَامًا مَعۡنَاهُ: هَٰذَا الَّذِي نُرِيدُ، وَنَحۡنُ نَعۡرِفُ أَنَّ اللهَ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَلَكِنۡ هَٰؤُلَاءِ يَشۡفَعُونَ لَنَا عِنۡدَهُ.

Peristiwa ketiga: Kisah pembacaan surah An-Najm oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah kehadiran mereka. Ketika beliau sampai ayat yang artinya, “Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-‘Uzza,” setan menyisipkan dalam bacaan beliau, “Itu adalah gharaniq (nama berhala/malaikat) yang mulia dan sesungguhnya syafaat mereka diharapkan.” Sehingga mereka menyangka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengucapkannya. Maka, mereka pun gembira dengan perkataan itu dan mereka berkata dengan ucapan yang maknanya, “Inilah yang kami inginkan. Kami mengetahui bahwa Allah sajalah yang memberi manfaat dan mudarat, tidak ada sekutu bagi-Nya, namun mereka ini (berhala-berhala) dapat memberi syafaat untuk kami di sisi-Nya.”

فَلَمَّا بَلَغَ السَّجۡدَةَ سَجَدَ وَسَجَدُوا مَعَهُ، فَشَاعَ الۡخَبَرُ أَنَّهُمۡ صَافَوۡهُ، وَسَمِعَ بِذٰلِكَ مَنۡ بِالۡحَبَشَةِ فَرَجَعُوا، فَلَمَّا أَنۡكَرَ ذٰلِكَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَادُوا إِلَى شَرٍّ مِمَّا كَانُوا عَلَيۡهِ.

Ketika Rasulullah membaca sampai ayat sajdah, beliau pun sujud dan mereka ikut sujud beserta beliau. Sehingga tersebarlah berita bahwa orang-orang musyrik mengikuti beliau dan berita itu terdengar oleh kaum muslimin yang sedang hijrah di Habasyah sehingga mereka kembali. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari bacaan itu, orang-orang musyrik itu kembali kepada keburukan mereka dahulu.

وَلَمَّا قَالُوا لَهُ: إِنَّكَ قُلۡتَ ذٰلِكَ. خَافَ مِنَ اللهِ خَوۡفًا عَظِيمًا، حَتَّى أَنۡزَلَ اللهُ عَلَيۡهِ: ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ﴾… [الحج: ٥٢].

Ketika orang-orang musyrik itu berkata kepada beliau, “Sesungguhnya engkau telah mengucapkannya,” maka Rasulullah sangat takut kepada Allah sampai Allah menurunkan ayat kepada beliau yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia membaca, setan menyisipi bacaan itu…” (QS. Al-Hajj: 52).

فَمَنۡ فَهِمَ هَٰذِهِ الۡقِصَّةَ، ثُمَّ شَكَّ بَعۡدَهَا فِي دِينِ النَّبِيِّ ﷺ، وَلَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَهُ وَبَيۡنَ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ، فَأَبۡعَدَهُ اللهُ، خُصُوصًا إِنۡ عَرَفَ أَنَّ قَوۡلَهُمۡ: (تِلۡكَ الۡغَرَانِيقُ) يُرَادُ بِهَا الۡمَلَائِكَةُ.

Jadi, siapa saja yang memahami kisah ini, lalu setelah itu masih ragu tentang agama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bisa membedakan antara agama Nabi dengan agama orang-orang musyrik, maka berarti Allah telah menjauhkannya. Terkhusus apabila dia mengerti bahwa ucapan mereka, “Itu adalah gharaniq,” yang mereka maksudkan adalah malaikat.


Pembahasan 1: Kisah Nabi ﷺ membaca surat An-Najm yang dihadiri oleh kaum musyrikin.

Ayat ini bantahan terhadap kaum musyrikin yang menjadikan para malaikat sebagai anak perempuan Allah Ta’ala. Dan bantahan terhadap Ilhat yang mereka lakukan.

Ketika sampai pada firman Allah “Maka, apakah kalian , patut menganggap Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang paling ketiga?“, Maka syaitan menyusupkan kepada bacaan Nabi ﷺ, yaitu “Al-Gharaniq yang tinggi, sesungguhnya syafaat-syafaat mereka diharapkan”. Maksudnya Nabi tidak membaca apa yang dikatakan oleh syaitan akan tetapi syaithon bersuara dengan memasukan kalimat tadi. Sehingga terdengar oleh orang-orang, yang menyangka perkataan syaithon itu termasuk bacaan Nabi ﷺ.

Kaum musyrikin menyangka Nabi mengucapkan kalimat itu dan mereka bergembira akan hal itu. Mereka berucap yang maknanya, “Itulah yang kami inginkan, kami mengetahui hanya Allah yang memberi madharat dan manfaat, tapi sembahan kami memberi syafaat untuk kami disisi Allah Ta’ala.”

Al-Gharaniq adalah jamak dari Ghanuq yang artinya burung putih (jantan) yang panjang lehernya (burung bangauw). Kaum musyrikin menamakan berhala-berhala mereka dengan Al-Gharaniq.

Ketika mencapai ayat sajadah pada ayat terakhir surat An-Najm, maka Nabi bersujud dan kaum musyrikin ikut bersujud bersama beliau. Maka tersebar berita bahwa Nabi ﷺ telah berdamai dengan kaum musyrikin. Berita ini terdengar oleh para sahabat yang berada di Hasaba. Sehingga para sahabat kembali ke Mekah.

Akan tetapi begitu Rasulullah ﷺ mengingkari perdamaian ini, maka kaum musryikin kembali memusuhinya dan lebih jelek dari pada keadaan sebelumnya. Mereka berkata, “Engkau yang mengucapkan hal tersebut, kenapa diingkari?”. Maka Nabi sangat takut kepada Allah Ta’ala, sehingga Allah menurunkan firmannya:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ﴾… [الحج: ٥٢].

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia membaca, setan menyisipi bacaan itu…” (QS. Al-Hajj: 52)

Siapa yang memahami kisah ini, kemudian setelah itu ragu kepada Agama Nabi ﷺ. Dan tidak membedakan antara agama Nabi dan agama kaum musyrikin, semoga Allah menjauhkannya. Apalagi kalau mereka mengetahui ucapan Al-Gharaniq maksudnya adalah para malaikat.

Kisah pembacaan surat An-Najm ini disebut juga Kisah Gharaniq. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa periwayatan pada kisah ini, sanad nya lemah. Sebagian ulama lain seperti Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadits ini memiliki beberapa jalur riwayat yang sebagiannya menguatkan sebagian lainnya. Secara umum yang mengatakan riwayat ini tidak sah adalah lebih dekat, hanya saja firman Allah dari surat Al-Hajj sudah cukup sebagai dalil bahwa syaithon menyisipi bacaan para Rasul.

Pembahasan 2: Hakikat permusuhan antara Nabi ﷺ dan kaum musyrikin

Hakikat permusuhan antara Nabi dan Kaum musyrikin adalah pada permasalahan Tauhid dan hakikat kesyirikan. Bahwa apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin berupa peribadatan kepada berhala dengan alasan mendekatkan mereka kepada Allah dan mencari syafaat adalah kesyirikan. Sehingga kaum musyrikin memusuhi Nabi ﷺ dan para sahabat.

Mereka menganggap Nabi ﷺ dan para sahabat mencela agama mereka. Dari sisi Nabi ﷺ dan para shabat bahwa ini adalah sikap al-bara, bahwa tidak cukup seorang bertauhid dan meninggalkan kesyirikan akan tetapi harus memusuhi kaum musyrikin dan membenci agama mereka.

Pada awalnya kaum Musyrikin percaya kepada Nabi ﷺ dan menggelarinya Al-Amin. Akan tetapi tiba-tiba menjadi orang yang sangat mereka musuhi karena hal tersebut diatas.

Pembahasan 3: Perbedaan antara agama kaum muslimin dengan agama kaum musyrikin

Harus dibedakan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Disebutkan dalam Kitab Qawaidul Arba’, pada kaidah yang kedua: Alasan kaum musyrikin melakukan kesyirikan ada dua yaitu:

  1. Mencari Kedekatan
  2. Mencari Syafaat.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Sumber:

Matan dan Terjemahan Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah:

Ismail bin Issa. (2020, April 16). Sittatu Mawadhi’ Minas Sirah. Sittatu Mawadhi’ minas Sirah – إسماعيل بن عيسى. https://ismail.web.id/2020/04/16/sittatu-mawadhi-minas-sirah/

Ali-Imran Ayat 112: Kaum Yahudi diliputi kehinaan di mana saja mereka berada

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Ali-Imran Ayat 112: Kaum Yahudi diliputi kehinaan di mana saja mereka berada

Allah Ta’ala berfirman:

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوٓا۟ إِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ ٱلنَّاسِ وَبَآءُو بِغَضَبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْمَسْكَنَةُۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ يَكْفُرُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقْتُلُونَ ٱلْأَنۢبِيَآءَ بِغَيْرِ حَقٍّۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.


Ini merupakan kabar dari Allah ﷻ bahwa kaum Yahudi itu diliputi oleh kehinaan sehingga mereka selalu takut di mana pun mereka berada, tidak ada yang dapat menenangkan mereka kecuali perjanjian damai dan suatu sebab yang bisa membuat mereka tenang, mereka tunduk di bawah hukum-hukum Islam dan mereka membayar jizyah.


Atau dengan tali perjanjian حَبْلٍ مِنَ النَّاسِ “dengan manusia,” maksudnya, apabila mereka di bawah kekuasaan selain mereka dan pengawasan bangsa lain, sebagaimana telah terlihat dari kondisi mereka dahulu maupun yang akan datang, di mana mereka pada masa terakhir ini tidak mampu menguasai secara temporal di Palestina kecuali dengan bantuan negara-negara kuat dan penyediaan prasarana mereka untuk mereka dalam segala hal.


وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ “Dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah ﷻ,” maksudnya, sungguh Allah ﷻ murka atas mereka dan menghukum mereka dengan kehinaan dan kerendahan. Sebab-sebabnya adalah kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah ﷻ dan pembunuhan mereka terhadap para Nabi بِغَيْرِ حَقٍّ “tanpa alasan yang benar.” Maksudnya, hal tersebut tidaklah atas dasar kebodohan, akan tetapi atas dasar kesewenang-wenangan dan kedurhakaan.


Hukuman yang bermacam-macam yang menimpa mereka, ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ “disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” Allah ﷻ tidak menzhalimi mereka dan menyiksa mereka tanpa adanya dosa, akan tetapi yang Allah ﷻ timpakan atas mereka disebabkan oleh kesewenang-wenangan, permusuhan, kekufuran, pendustaan, dan kejahatan mereka yang besar itu.

Wallahu Ta’alla ‘Alam