Pelajaran Ketiga: Kisah Pembacaan Surat An-Najm

Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah (Enam Pelajaran Aqidah dari Sirah Nabi )

Pelajaran Ketiga: Kisah Pembacaan Surat An-Najm

الۡمَوۡضِعُ الثَّالِثُ : قِصَّةُ قِرَاءَتِهِ ﷺ سُورَةَ النَّجۡمِ بِحَضۡرَتِهِمۡ، فَلَمَّا بَلَغَ ﴿أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّـٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ﴾ [النجم: ١٩] أَلۡقَى الشَّيۡطَانُ فِي تِلَاوَتِهِ: (تِلۡكَ الۡغَرَانِيقُ الۡعُلَا، وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرۡتَجَى) فَظَنُّوا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَهَا، فَفَرِحُوا بِذٰلِكَ وَقَالُوا كَلَامًا مَعۡنَاهُ: هَٰذَا الَّذِي نُرِيدُ، وَنَحۡنُ نَعۡرِفُ أَنَّ اللهَ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَلَكِنۡ هَٰؤُلَاءِ يَشۡفَعُونَ لَنَا عِنۡدَهُ.

Peristiwa ketiga: Kisah pembacaan surah An-Najm oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah kehadiran mereka. Ketika beliau sampai ayat yang artinya, “Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-‘Uzza,” setan menyisipkan dalam bacaan beliau, “Itu adalah gharaniq (nama berhala/malaikat) yang mulia dan sesungguhnya syafaat mereka diharapkan.” Sehingga mereka menyangka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengucapkannya. Maka, mereka pun gembira dengan perkataan itu dan mereka berkata dengan ucapan yang maknanya, “Inilah yang kami inginkan. Kami mengetahui bahwa Allah sajalah yang memberi manfaat dan mudarat, tidak ada sekutu bagi-Nya, namun mereka ini (berhala-berhala) dapat memberi syafaat untuk kami di sisi-Nya.”

فَلَمَّا بَلَغَ السَّجۡدَةَ سَجَدَ وَسَجَدُوا مَعَهُ، فَشَاعَ الۡخَبَرُ أَنَّهُمۡ صَافَوۡهُ، وَسَمِعَ بِذٰلِكَ مَنۡ بِالۡحَبَشَةِ فَرَجَعُوا، فَلَمَّا أَنۡكَرَ ذٰلِكَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَادُوا إِلَى شَرٍّ مِمَّا كَانُوا عَلَيۡهِ.

Ketika Rasulullah membaca sampai ayat sajdah, beliau pun sujud dan mereka ikut sujud beserta beliau. Sehingga tersebarlah berita bahwa orang-orang musyrik mengikuti beliau dan berita itu terdengar oleh kaum muslimin yang sedang hijrah di Habasyah sehingga mereka kembali. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari bacaan itu, orang-orang musyrik itu kembali kepada keburukan mereka dahulu.

وَلَمَّا قَالُوا لَهُ: إِنَّكَ قُلۡتَ ذٰلِكَ. خَافَ مِنَ اللهِ خَوۡفًا عَظِيمًا، حَتَّى أَنۡزَلَ اللهُ عَلَيۡهِ: ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ﴾… [الحج: ٥٢].

Ketika orang-orang musyrik itu berkata kepada beliau, “Sesungguhnya engkau telah mengucapkannya,” maka Rasulullah sangat takut kepada Allah sampai Allah menurunkan ayat kepada beliau yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia membaca, setan menyisipi bacaan itu…” (QS. Al-Hajj: 52).

فَمَنۡ فَهِمَ هَٰذِهِ الۡقِصَّةَ، ثُمَّ شَكَّ بَعۡدَهَا فِي دِينِ النَّبِيِّ ﷺ، وَلَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَهُ وَبَيۡنَ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ، فَأَبۡعَدَهُ اللهُ، خُصُوصًا إِنۡ عَرَفَ أَنَّ قَوۡلَهُمۡ: (تِلۡكَ الۡغَرَانِيقُ) يُرَادُ بِهَا الۡمَلَائِكَةُ.

Jadi, siapa saja yang memahami kisah ini, lalu setelah itu masih ragu tentang agama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bisa membedakan antara agama Nabi dengan agama orang-orang musyrik, maka berarti Allah telah menjauhkannya. Terkhusus apabila dia mengerti bahwa ucapan mereka, “Itu adalah gharaniq,” yang mereka maksudkan adalah malaikat.


Pembahasan 1: Kisah Nabi ﷺ membaca surat An-Najm yang dihadiri oleh kaum musyrikin.

Ayat ini bantahan terhadap kaum musyrikin yang menjadikan para malaikat sebagai anak perempuan Allah Ta’ala. Dan bantahan terhadap Ilhat yang mereka lakukan.

Ketika sampai pada firman Allah “Maka, apakah kalian , patut menganggap Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang paling ketiga?“, Maka syaitan menyusupkan kepada bacaan Nabi ﷺ, yaitu “Al-Gharaniq yang tinggi, sesungguhnya syafaat-syafaat mereka diharapkan”. Maksudnya Nabi tidak membaca apa yang dikatakan oleh syaitan akan tetapi syaithon bersuara dengan memasukan kalimat tadi. Sehingga terdengar oleh orang-orang, yang menyangka perkataan syaithon itu termasuk bacaan Nabi ﷺ.

Kaum musyrikin menyangka Nabi mengucapkan kalimat itu dan mereka bergembira akan hal itu. Mereka berucap yang maknanya, “Itulah yang kami inginkan, kami mengetahui hanya Allah yang memberi madharat dan manfaat, tapi sembahan kami memberi syafaat untuk kami disisi Allah Ta’ala.”

Al-Gharaniq adalah jamak dari Ghanuq yang artinya burung putih (jantan) yang panjang lehernya (burung bangauw). Kaum musyrikin menamakan berhala-berhala mereka dengan Al-Gharaniq.

Ketika mencapai ayat sajadah pada ayat terakhir surat An-Najm, maka Nabi bersujud dan kaum musyrikin ikut bersujud bersama beliau. Maka tersebar berita bahwa Nabi ﷺ telah berdamai dengan kaum musyrikin. Berita ini terdengar oleh para sahabat yang berada di Hasaba. Sehingga para sahabat kembali ke Mekah.

Akan tetapi begitu Rasulullah ﷺ mengingkari perdamaian ini, maka kaum musryikin kembali memusuhinya dan lebih jelek dari pada keadaan sebelumnya. Mereka berkata, “Engkau yang mengucapkan hal tersebut, kenapa diingkari?”. Maka Nabi sangat takut kepada Allah Ta’ala, sehingga Allah menurunkan firmannya:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ﴾… [الحج: ٥٢].

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia membaca, setan menyisipi bacaan itu…” (QS. Al-Hajj: 52)

Siapa yang memahami kisah ini, kemudian setelah itu ragu kepada Agama Nabi ﷺ. Dan tidak membedakan antara agama Nabi dan agama kaum musyrikin, semoga Allah menjauhkannya. Apalagi kalau mereka mengetahui ucapan Al-Gharaniq maksudnya adalah para malaikat.

Kisah pembacaan surat An-Najm ini disebut juga Kisah Gharaniq. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa periwayatan pada kisah ini, sanad nya lemah. Sebagian ulama lain seperti Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadits ini memiliki beberapa jalur riwayat yang sebagiannya menguatkan sebagian lainnya. Secara umum yang mengatakan riwayat ini tidak sah adalah lebih dekat, hanya saja firman Allah dari surat Al-Hajj sudah cukup sebagai dalil bahwa syaithon menyisipi bacaan para Rasul.

Pembahasan 2: Hakikat permusuhan antara Nabi ﷺ dan kaum musyrikin

Hakikat permusuhan antara Nabi dan Kaum musyrikin adalah pada permasalahan Tauhid dan hakikat kesyirikan. Bahwa apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin berupa peribadatan kepada berhala dengan alasan mendekatkan mereka kepada Allah dan mencari syafaat adalah kesyirikan. Sehingga kaum musyrikin memusuhi Nabi ﷺ dan para sahabat.

Mereka menganggap Nabi ﷺ dan para sahabat mencela agama mereka. Dari sisi Nabi ﷺ dan para shabat bahwa ini adalah sikap al-bara, bahwa tidak cukup seorang bertauhid dan meninggalkan kesyirikan akan tetapi harus memusuhi kaum musyrikin dan membenci agama mereka.

Pada awalnya kaum Musyrikin percaya kepada Nabi ﷺ dan menggelarinya Al-Amin. Akan tetapi tiba-tiba menjadi orang yang sangat mereka musuhi karena hal tersebut diatas.

Pembahasan 3: Perbedaan antara agama kaum muslimin dengan agama kaum musyrikin

Harus dibedakan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Disebutkan dalam Kitab Qawaidul Arba’, pada kaidah yang kedua: Alasan kaum musyrikin melakukan kesyirikan ada dua yaitu:

  1. Mencari Kedekatan
  2. Mencari Syafaat.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Sumber:

Matan dan Terjemahan Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah:

Ismail bin Issa. (2020, April 16). Sittatu Mawadhi’ Minas Sirah. Sittatu Mawadhi’ minas Sirah – إسماعيل بن عيسى. https://ismail.web.id/2020/04/16/sittatu-mawadhi-minas-sirah/

Ali-Imran Ayat 112: Kaum Yahudi diliputi kehinaan di mana saja mereka berada

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Ali-Imran Ayat 112: Kaum Yahudi diliputi kehinaan di mana saja mereka berada

Allah Ta’ala berfirman:

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوٓا۟ إِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ ٱلنَّاسِ وَبَآءُو بِغَضَبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْمَسْكَنَةُۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ يَكْفُرُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقْتُلُونَ ٱلْأَنۢبِيَآءَ بِغَيْرِ حَقٍّۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.


Ini merupakan kabar dari Allah ﷻ bahwa kaum Yahudi itu diliputi oleh kehinaan sehingga mereka selalu takut di mana pun mereka berada, tidak ada yang dapat menenangkan mereka kecuali perjanjian damai dan suatu sebab yang bisa membuat mereka tenang, mereka tunduk di bawah hukum-hukum Islam dan mereka membayar jizyah.


Atau dengan tali perjanjian حَبْلٍ مِنَ النَّاسِ “dengan manusia,” maksudnya, apabila mereka di bawah kekuasaan selain mereka dan pengawasan bangsa lain, sebagaimana telah terlihat dari kondisi mereka dahulu maupun yang akan datang, di mana mereka pada masa terakhir ini tidak mampu menguasai secara temporal di Palestina kecuali dengan bantuan negara-negara kuat dan penyediaan prasarana mereka untuk mereka dalam segala hal.


وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ “Dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah ﷻ,” maksudnya, sungguh Allah ﷻ murka atas mereka dan menghukum mereka dengan kehinaan dan kerendahan. Sebab-sebabnya adalah kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah ﷻ dan pembunuhan mereka terhadap para Nabi بِغَيْرِ حَقٍّ “tanpa alasan yang benar.” Maksudnya, hal tersebut tidaklah atas dasar kebodohan, akan tetapi atas dasar kesewenang-wenangan dan kedurhakaan.


Hukuman yang bermacam-macam yang menimpa mereka, ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ “disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” Allah ﷻ tidak menzhalimi mereka dan menyiksa mereka tanpa adanya dosa, akan tetapi yang Allah ﷻ timpakan atas mereka disebabkan oleh kesewenang-wenangan, permusuhan, kekufuran, pendustaan, dan kejahatan mereka yang besar itu.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Al-Haj Ayat 19-22: Siksaan Neraka bagi Orang Kafir

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Al-Haj Ayat 19-22: Siksaan Neraka bagi Orang Kafir

Allah Ta’ala berfirman:

۞ هَـٰذَانِ خَصْمَانِ ٱخْتَصَمُوا۟ فِى رَبِّهِمْ ۖ فَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌۭ مِّن نَّارٍۢ يُصَبُّ مِن فَوْقِ رُءُوسِهِمُ ٱلْحَمِيمُ ١٩يُصْهَرُ بِهِۦ مَا فِى بُطُونِهِمْ وَٱلْجُلُودُ ٢٠وَلَهُم مَّقَـٰمِعُ مِنْ حَدِيدٍۢ ٢١كُلَّمَآ أَرَادُوٓا۟ أَن يَخْرُجُوا۟ مِنْهَا مِنْ غَمٍّ أُعِيدُوا۟ فِيهَا وَذُوقُوا۟ عَذَابَ ٱلْحَرِيقِ ٢٢

Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar; mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancurluluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka). Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan), “Rasailah azab yang membakar ini“. (Al-Haj:19-22)

Setelah itu, Allah ﷻ menjelaskan penetapan keputusan ini dengan berfirman, هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ “Inilah dua golongan (golongan Mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Rabb mereka.” Setiap pihak mengklaim berada di atas jalan kebenaran.

فَالَّذِينَ كَفَرُوا “Maka orang kafir.” Lafazh ini meliputi setiap orang kafir dari bangsa Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi`in dan kaum musyrikin قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ “akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka,” maksudnya dibuatkan baju bagi mereka yang terbuat dari cairan ter, dinyalakan api padanya, supaya siksaan mengenai mereka secara merata dari semua sisi.

يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ “Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka,” yaitu air yang sangat panas sekali. يُصْهَرُ بِهِ مَا فِي بُطُونِهِمْ وَالْجُلُودُ “Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka),” seperti daging, lemak serta usus-usus, karena dahsyatnya panas dan kengerian peristiwanya.

وَلَهُمْ مَقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍ “Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi,” yang berada di tangan para malaikat yang kasar lagi keras. Para malaikat memukuli dan menghantam mereka dengannya.

Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. Sehingga siksaan tidak diredakan dari mereka, dan mereka tidak mendapatkan tempo. Dikatakan kepada mereka sebagai pencelaan وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ “Rasakanlah azab yang membakar ini,” yakni siksaan yang akan membakar hati dan tubuh-tubuh mereka.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Khutbah Rasulullah pada Haji Wada’

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah
Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 6 Takwa

Hadits ke 74: Dari Umamah Shuday bin Ajlan Al-Bahili Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ berkhutbah pada haji wada’, maka beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, Shalatlah kalian lima waktu, dan berpuasalah pada bulan (Ramadhan) kalian, bayarlah zakat harta kalian, taatilah pemimpin kalian, maka kalian akan masuk surga.” (HR. At-Tirmidzi dalam akhir bab Kitabus Shalah ia berkata, hadits hasan shahih)

Penjelasan

  • Di dalam haji wada’ Nabi ﷺ berkhutbah pada hari Arafah, beliau berkhutbah pada hari Nahr (Hari berkurban) memberi nasehat kepada manusia dan mengingatkan mereka.
  • Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhan kalian”, Rasulullah ﷺ memerintahkan semua manusia untuk bertakwa kepada Tuhan mereka yang telah menciptakan mereka dan memberikan kepada mereka nikmat dan memberikan kesiapan kepada mereka untuk menerima risalahnya dan mmerintahkan mereka bertakwa kepada Allah.
  • Shalatlah lima waktu yang telah Allah fardhukan kepada kalian dan atas Rasul-Nya.
  • Berpuasalah pada bulan Ramadhan.
  • Bayarkanlah zakat harta kalian“, yakni berikanlah harta kalian kepada yang berhak menerimanya dan janganlah bersifat bakhil.
  • Taatilah para pemimpin kalian“, yakni orang-orang yang telah Allah jadikan pemimpin kalian, ini mencakup para pemimpin daerah maupun negeri, mencakup pula pemimpin secara umum yakni pemimpin negara seluruhnya.
  • Wajib bagi rakyat untuk menaati mereka (pemimpin) selain dalam hal bermaksiat kepada Allah. Adapun dalam bermaksiat kepada Allah maka tidak boleh menaati mereka, walaupun mereka memerintahkan hal tersebut.
  • Ketaatan kepada makhluk tidak didahulukan dari ketaatan kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (An-Nisa: 59)

Wallahu Ta’ala A’lam

Al-Isra Ayat 36: Larangan Berbicara dan Mengerjakan Sesuatu Tanpa Ilmu

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Surat Al-Isra Ayat 36

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Al-Isra: 36)

Maksudnya, janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Namun, telitilah setiap apa yang hendak kamu katakan dan kerjakan. Janganlah pernah sekali-kali menyangka semua itu akan pergi tanpa memberi manfaat bagimu dan (bahkan) mencelakakanmu.


اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” Sudah sepantasnya seorang hamba yang mengetahui bahwasanya dia akan diminta pertanggung jawaban tentang segala yang telah dia katakan dan perbuat serta (cara) pemanfaatan anggota badan yang telah Allah ﷻ ciptakan untuk beribadah kepadaNya, untuk mempersiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (yang akan diajukan). Hal itu tidak bisa terlaksana kecuali dengan menggunakannya (hanya) dalam rangka pengabdian diri (beribadah) kepada Allah ﷻ , mengikhlaskan agama ini (hanya) untukNya dan mengekangnya dari setiap yang dibenci Allah

Wallahu Ta’alla ‘Alam