Penjelasan Makna Al-Hanifiyyah serta Perintah Teragung dan Larangan Terbesar

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Tsalastatul Ushul

Pendahuluan

Ini adalah pendahuluan yang ketiga, yaitu penjelasan mengenai makna Al-Hanifiyyah serta mengenai perintah dan larangan Allah yang paling besar.

Kata Al-Hanifiyyah telah diulang beberapa kali dari beberapa kitab karya para penulis. Hal ini terjadi karena Al-Hanifiyyah adalah pokok dari agama di mana seluruh nabi dan rasul berada di atas Al-Hanifiyyah.

Pada khususnya Nabi Ibrahim Alaihi Salam yang merupakan imam orang-orang yang Hanif. Nabi Ibrahim wajib diikuti oleh umat, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ ٱتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًۭا

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrāhīm seorang yang hanif.” (QS. An-Nahl: 123)


Terjemahan Kitab

Ketahuilah semoga Allah membimbingmu untuk mentaatinya bahwa hanafiyah agama Nabi Ibrahim adalah engkau beribadah kepada Allah saja dengan memurnikan agama untukNya. Dengan itulah Allah memerintahkan seluruh manusia dan menciptkan mereka karena hal tersebut. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu(QS. Adz Dzariat: 56)

Maksud kalimat “agar beribadah kepadaKu” adalah agar mereka mentauhidkan Aku.
Perkara paling besar yang Allah perintahkan adalah tauhid yaitu mengesakan Allah dalam ibadah. Perkara paling besar yang Allah larang adalah kesyirikan yaitu beribadah kepada selain Allah bersamaan dengan itu dia juga beribadah kepada Allah. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala,

وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًۭٔا

Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan menduakan Allah dengan sesuatu apapun(QS. An Nisa: 36)


Pembahasan:

Pertama: Penggabungan antara pengajaran dan doa

Ketahuilah semoga Allah membimbingmu untuk mentaatinya bahwa hanafiyah agama Nabi Ibrahim.

Apabila seorang hamba mentaati Allah, maka telah mendapatkan seluruh kebaikan. Sehingga sangat penting untuk mendapatkan hidayah ini. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dalam Shahih Muslim, berpesan kepada Ali Radhiyallahu Anhu:

Kedua: Penjelasan makna Al-Hanifiyyah

Al-Hanifiyyah berasal dari kata Al-Hanaf, yang bermakna condong. Hal ini dikarenakan seseorang yang condong kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan.

Adapaun secara istilah, Al-Hanifyyah adalah engkau beribadah kepada Allah saja dengan memurnikan agama untukNya.

Al-Hanifyyah mempunyai dua makna:

  1. Makna umum artinya Islam
  2. Makna khusus artinya menghadap kepada Allah dengan tauhid dan berpaling dari kesyirikan dengan berlepas diri darinya.

Al-Hanifiyyah dikhususkan agama Nabi Ibrahim. Padahal seluruh Nabi dan Rasul juga Al-Hanifiyyah. Hal ini disebabkan:

  1. Nabi Muhammad Shallallhu Alaihi Wasalam adalah keturunan dari Nabi Ismail Alaihi Salam, putra dari Nabi Ibrahim Alaihi Salam
  2. Nabi Ibrahim dijadikan imam (panutan) dalam Al-Hanifiyyah. “Sesungguhnya Nabi Ibrahim adalah sebuah umat yang jujur, taat, tekun dan giat beribadah kepada Allah dan orang yang Hanif
  3. Nabi Ibrahim adalah manusia yang paling sempurna didalam mentahqiq tauhid, sampai kepada derajat Al-Hulla. Disebut sebagai Halillullah, kekasih Allah Ta’ala demikian juga Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam.

Mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya. Ini adalah perintah Allah kepada seluruh manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’lla:

Ketiga: Makna Ibadah

Dengan itulah Allah memerintahkan seluruh manusia dan menciptkan mereka karena hal tersebut.

Hakikat dari Al-Hanifyyah adalah ibadah sehingga ini adalah perintah untuk seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu(QS. Adz Dzariat: 56).

Makna “beribadah kepadaKu” adalah mentahuidkan Ku. Ibadah ada dua makna:

  1. Makna umum, Ibadah adalah melaksanakan perintah syariat disertai dengan kecintaan dan ketundukan. Ibnu Qoyim berkata Ibadah adalah puncak kecintaan kepada Allah disertai dengan penghinaan dirinya tunduk kepada Allah.
  2. Makna khusus, Ibadah adalah tauhid. Ibnu Abbas mempunyai kaidah yang disebutkan Al-Baghawi dalam tafsirnya, yaitu apa saja yang dalam dalam Al-Quran dari kalimat ibadah, maka makanya adalah tauhid.

Keempat: Tafsir ayat Sura Adz-Dzariyat

Firman Allah Ta’ala:

Tafsir Pertama: Ini adalah hikmah diciptakannya manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini bukan berarti Allah perlu kepada makhluk, karena Allah maha cukup dan maha kaya, tidak perlu sedikitpun dari makhluk. Akan tetapi makhluk lah yang perlu kepada Allah, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Tafsir Kedua: Sebagian ahli tafsir mengatakan ayat dalam surat Adz-Dzariat ini adalah khusus bagi orang-orang yang taat. Dalam bacaan Ibnu Abbas ayat ini disebutkan: “Tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia dari kaum mukminin, kecuali untuk beribadah kepada Ku.” Adapun Jin dan Manusia adalah kebanyakan penghuni neraka jahanam, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Kelima: Yang teragung dari segala yang Allah perintah

Tauhid adalah perkara yang paling agung, dikarenakan hal berikut:

  • Tauhid adalah perintah Allah kepada seluruh makhluk
  • Tauhid adalah tujuan diutusnya para Nabi dan Rasul
  • Tauhid terdapat pada seluruh kitab yang diturunkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Keenam: Definisi Tauhid

Tauhid adalah mengesakan Allah didalam beribadah, artinya seseorang beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak ada serikat bagi-Nya.

Tauhid memilik dua makna:

Pertama, Makna umum, yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh haknya.

    Hak Allah ada dua:

    1. Hak dalam ma’rifah (pengenalan) dan isbat (penetapan). Hak ini terkait dengan tauhid rububiyyah dan asma wa sifat
    2. Hak dalam al-iradah (kehendak) dan al-qas (maksud). Hak ini terkati dengan tauhid uluhiyyah.

    Dengan kata lain hak Allah ada tiga, yaitu: rububiyyah, uluhiyah, dan asma wa sifat.

    Kedua, Makna khusus, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah. Dengan kata lain tauhid uluhiyyah.

    Ketujuh: Yang terbesar dari segala yang Allah larang

    Syirik adalah larangan Allah yang terbesar. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada kesyirikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    Dalam hadits Abu Bakrah Radhiyallahu Anhu, riwayat Al-Bukhariy dan Muslim, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

    Dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, riwayat Al-Bukhariy dan Muslim, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

    Kedelapan: Definisi kesyirikan

    Syirik adalah menyeru kepada selain Allah bersama dengan menyeru kepada-Nya. Syirik adalah mempersekutukan Allah dengan yang lainnya.

    Definisi syirik dengan makna Umum adalah menjadikan sesuatu dari kekhususan Allah kepada selain Allah. Ini mencakup syirik dalam rububiyyah, uluhiyyah dan asma wa sifat.

    Definisi syirik dengan makna Khusus adalah menjadikan sesuatu dari ibadah Allah kepada selain Allah. Ini yang definisikan penulis yaitu menyeru (ibadah) kepada selain Allah bersama-Nya.

    Kesembilan: Tafsir ayat surah An-Nisa’

    Dalil dari tauhid adalah perintah terbesar dan syirik adalah larangan terbesar adalah firman Allah Ta’ala:

    Dalam ayat ini mencakup 10 hak Allah kepada hamba, dimana hak yang pertama adalah beribadah kepada Allah dan tidak berbuat kesyirikan kepada-Nya.

    Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu:

    Ini mencakup semua jenis kesyirikan baik kecil maupun bersar.

    Syirik besar membatalkan keislaman, menghancurkan amalan, dan kekal dalam neraka.

    Wallahu Ta’ala ‘Alam

    Sumber:

    • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
    • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

    Kewajiban Taat kepada Rasulullah ﷺ dan Bathilnya Kesyirikan serta Al-Wala dan Al-Bara

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

    Kitab Tsalastatul Ushul

    Pendahuluan

    Ini adalah Pendahuluan kedua dari tiga pendahuluan yang disebutkan penulis, yaitu ada tiga pembahasan yang wajib untuk diamalkan:

    1. Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wasalam
    2. Bathilnya kesyirikan.
    3. Al-Wala dan Al-Bara.

    Terjemahan Kitab

    Ketahuhilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa wajib bagi seorang muslim dan muslimah mempelajari tiga perkara dan mengamalkannya.

    Pertama ia mempelajari bahwa Allah telah menciptakan kita, memberi kita rezeki, dan tidak membiarkan kita terlantar. Tapi Allah mengutus kepada kita seorang rasul. Siapa yang mentaati Rasul itu, ia akan masuk surga dan siapa yang durhaka kepadanya ia akan masuk ke dalam neraka. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala

    إِنَّآ أَرْسَلْنَآ إِلَيْكُمْ رَسُولًۭا شَـٰهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَآ أَرْسَلْنَآ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ رَسُولًۭا ١٥ فَعَصَىٰ فِرْعَوْنُ ٱلرَّسُولَ فَأَخَذْنَـٰهُ أَخْذًۭا وَبِيلًۭا ١٦

    Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Firaun. Maka Firaun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat(QS. al Muzammil: 15-16)

    Kedua ia mempelajari bahwa Allah tidak ridha jika disyerikatkan dengan seorang pun dalam ibadah. Baik disyerikatkan dengan seorang malaikat yang didekatkan dengan Allah atau Nabi yang diutus.

    Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

    وَأَنَّ ٱلْمَسَـٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدًۭا

    Dan masjid-masjid hanyalah milik Allah, maka janganlah kalian beribadah kepada Allah bersamaan dengan itu kalian juga ibadah kepada seseorang(QS. al Jin: 18)

    Ketiga siapa yang mentaati Rasul dan mentauhidkan Allah maka tidak boleh baginya untuk membela orang yang menentang Allah dan RasulNya walaupun dia adalah kerabat yang paling dekat dengannya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

    لَّا تَجِدُ قَوْمًۭا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوْ كَانُوٓا۟ ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَٰنَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَتَبَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْإِيمَـٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍۢ مِّنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ حِزْبُ ٱللَّهِ ۚ أَلَآ إِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

    Kamu tidak akan mendapati sebuah kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang kepada orang yang menentang Allah dan rasulNya walaupun mereka adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka adalah orang yang telah Allah tetapkan keimanan dalam hati mereka dan Allah kuatkan dengan pertolongan dari Allah. Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Merekalah golongan Allah dan ketahuilah bahwa golongan Allah pasti akan menang(QS. Al Mujadilah: 22)


    Pembahasan:

    Pertama: Menggabungkan antara pengajaran dan doa

    Pengajaran dan Doa yang disebutkan yaitu “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu”

    Belajar harus dilakukan dengan mengambil ilmu dari seorang guru yang ahli pada bidangnya, bukan hanya dengan belajar dan membaca sendiri.

    Kedua: Kewajiban mempelajari dan mengamalkan tiga masalah

    Hal ini dijelaskan dipendahuluan agar kita mengenal hakikat dari agama dan tauhid yang dibawa oleh Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam. Ada tiga hal yang disebutkan penulis diatas yang wajib dipelajari dan diamalkan.

    Ketiga: Keimanan kepada tauhid rububiyyah

    Keimaman rububiyah menyatakan bahwa Allah menciptakan kita, memberi kita rezeki, dan tidak membiarkan kita terlantar.

    Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, memperbaiki ciptaan, dan memberikan berbagai rezeki serta anugerah kepada manusia agar tidak kelaparan.

    Keimanan pada tauhid rububiyyah sama di antara muslim dan musyrik pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Iblis pun tidak menyangkal hal ini.

    Keimanan Rububiyyah adalah mengesakan Allah dalam perbuatannya.

    Keempat: Hikmah penciptaan jin dan manusia

    Kita tidak hidup tanpa perintah dan larangan. Kita memiliki kewajiban yang harus dikerjakan dan larangan yang harus dihindari.

    Firman Allah Ta’ala:

    Bahkan diutus seorang Rasul untuk membawa petunjuk pada jalan yang lurus, menyuruh kepada kebaikan, dan meninggalkan segala kejelekan. Siapa yang taat kepada Rasul akan masuk surga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    Makhluk paling sempurna adalah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara dhohir maupun batin.

    Hal ini juga berarti bahwa orang yang bermaksiat kepada Rasul akan masuk neraka, sebagaimana Firman Allah.

    Manusia diciptakan Allah dan diberi rezeki. Allah mengutus Rasul, yang taat akan masuk surga, yang bermaksiat akan masuk neraka.

    Kelima: Kewajiban taat kepada Rasulullah ﷺ

    Imam Ahmad berkata terdapat lebih dari 33 tempat dalam Al-Qur’an mengenai taat kepada Rasul.

    Ketaatan kepada Rasul berarti juga taat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    Sehingga diwajibkan taat kepada Rasul sebagaimana dalam surah Al-Muzammil ayat 15-16.

    Keenam: Tafsir dua ayat surah Al-Muzzammil

    Tafsir surah Al-Muzammil ayat 15-16:

    Sesungguhnya kami telah mengutus kepada kalian seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul.

    Rasul yang akan menjadi saksi amalan-amalan kalian di dunia dan di akhirat.

    Sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang Rasul, yaitu Nabi Musa Alaihi Salam.

    Fir’aun menentang Nabi Musa, lalu Firaun dan tentaranya disiksa dengan ditenggelamkan ke dalam laut. Mereka juga disiksa di dalam kubur sampai hari kiamat, sesuai dengan Firman Allah Ta’ala.

    Umat Nabi Musa yang membangkang kepada beliau disiksa di neraka, begitu juga umat Nabi Muhammad yang membangkang kepada beliau akan disiksa di neraka.

    Diakhirat akan ditanya bagaimana kalian menjawab seruan para Rasul:

    Hanya terdapa dua golongan: mengikuti Rasul atau mengikuti hawa nafsu.

    Seorang mukmin apabila sudah ada printah dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada pilihan lain.

    Ketujuh: Kebatilan kesyirikan dalam ibadah dan kebenaran tauhid untuk Allah

    Ini adalah poin kedua dari penulis tentang kebatilan kesyirikan dan kebenaran tauhid. Perintah terbesar adalah tauhid dan larangan terbesar adalah kesyirikan. Wasiat Allah dalam surat Al-An’am pertama kali membahas tentang tauhid. Begitu juga dalam surat Al-Isra, yang dimulai dengan pembahasan tentang tauhid.

    Kedelapan: Tafsir surah Al-Jinn

    Dalil bahwa ibadah hanya milik Allah terdapat dalam Surat Al-Jinn ayat 18. Mesjid-mesjid (tempat shalat) dan anggota tubuh yang digunakan untuk sujud adalah milik Allah, dan tidak boleh digunakan untuk menyembah selain Allah.

    Larangan beribadah kepada selain Allah termasuk pada malaikat, Nabi, wali, dan lainnya. Ibadah mencakup doa, nadzar, sembelihan, dan sebagainya.

    Kesembilan: Kewajiban berlepas diri dari kaum musryikin

    Ini adalah poin ketiga dari penulis, yang melanjutkan poin pertama dan kedua. Siapa yang taat kepada rasul dan mentauhidkan Allah, tidak boleh berloyalitas kepada yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah keluarga dekatnya.

    Penulis ingin menjelaskan bahwa Islam itu tidak hanya taat kepada Rasul, mentauhidkan Allah, tetapi Islam itu harus Al-Wara dan Al-Bara. Artinya wajib memberikan cinta hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta kaum mukminin. Dan juga wajib berlepas diri dari yang memberikan loyalitasnya kepada orang kafir.

    Kesepuluh: Penjelasan ayat surat Al-Mujadilah dan beberapa pembahasan seputar Al-Wara dan Al-Bara

    Dalil larangan memberikan loyalitas kepada yang menentang Allah dan Rasul-Nya adalah surat Al-Mujadilah ayat 22.

    Engkau tidak akan menemukan kelompok yang benar-benar beriman, yaitu beriman kepada Allah dan hari akhirat, namun juga memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir, walaupun mereka adalah keluarga dekat. Ini adalah konsekuensi dari Tauhid, yaitu tidak memberikan loyalitas kepada orang kafir.

    Mereka adalah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dan keteguhan dalam hati. Mereka akan masuk surga dan kekal di dalamnya karena Allah ridha pada mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan Allah, dan beruntung di dunia maupun akhirat.

    Mereka yang benar pada Al-Wala dan Al-Bara-nya maka disebutkan enam keutamaan:

    1. Dikumpulkan dan dikuatkan keimanan dalam hatinya
    2. Dikuatkan oleh Allah dengan petunjuk dan cahaya
    3. Dijamin masuk surga
    4. Ridha Allah terhadap mereka
    5. Ridha hamba kepada Allah karena dimasukan ke surga
    6. Dijadikan orang-orang khusus Allah (hizbullah)

    Ini adalah hakikat Islam: keislaman seseorang tidak lengkap, meskipun dia bersaksi atas keesaan Allah dan meninggalkan kesyirikan, jika dia tidak secara terang-terangan menentang dan membenci kaum musyrikin.

    Hal ini tidak berarti ekstrem atau tidak adil terhadap orang kafir. Keadilan adalah perintah dalam Agama, baik untuk muslim maupun kafir. Umat Islam yang memegang teguh aqidah ini, tidak akan menjadi penyebab kerusakan bagi orang kafir. Pada zaman Nabi, orang-orang Yahudi tinggal di Madinah dan hidup damai, kecuali mereka yang melanggar perjanjian.

    Saikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Al-Bara’ (berlepas diri) adalah kebalikan dari Al-Wala’ (memberi loyalitas). Kata Al-Bara’ berarti kebencian, sedangkan kata Al-Wala’ berarti cinta. Inti dari konsep Tauhid adalah mencintai hanya Allah serta mencintai semua yang Allah cintai, dan tidak mencintai kecuali untuk Allah serta tidak membenci kecuali untuk Allah.

    Saikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ketika seorang hamba telah kuat dalam pembenaran, pengetahuan, dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hal tersebut mengharuskan adanya kebencian terhadap musuh-musuh Allah.

    Apa Hukum memberi Loyalitas kepada orang Kafir?

    Secara umum jawaban nya ada dua hukum:

    1. Al-Tawali, ini adalah hukumnya kafir, keluar dari Islam.
    2. Al-Muwalah, ini adalah hukumnya dosa besar.

    Al-Tawali adalah mencintai kesyirikan, mencintai orang-orang yang berbuat kesyirikan, membantu orang kafir agar menang diatas kaum mukminin, bergembira apabila orang kafir yang menang diatas kaum mukminin, menolong kaum kafir untuk membinasakan kaum mukminin.

    Firman Allah Ta’ala

    Al-Baghawi menafsirkan, Iman seorang mukmin menjadi rusak karena memberikan kecintaan kepada orang kafir.

    Al-Muwalah merupakan kecintaan dan pertemanan yang berkaitan dengan urusan dunia saja. Tidak ada cinta orang kafir terhadap kemenangan atas Islam, tetapi ada urusan dunia yang dicari. Tidak ada alasan untuk membantu orang kafir untuk menang atas kaum mukminin. Orang yang memberikan loyalitas hanya untuk kepentingan dunia masih disebut mukmin.

    Hal ini terjadi pada Hatib bin Abi Baltah, seorang sahabat mulia, yang membocorkan rahasia Nabi. Kemudian Nabi memanggil Hatib, dan bertanya mengapa dia melakukannya. Hatib menjawab bahwa para sahabat yang berhijrah ke Madinah memiliki keluarga di Mekah yang dilindungi, sementara keluarganya di Mekah tidak aman. Hatib hadir di Pertempuran Badar dan memperoleh keutamaan.

    Sehingga ini tidak membatalkan keislaman, tetapi dosa besar.

    Orang Muslim yang tinggal di Negeri Kafir dan memiliki kewajiban untuk membela negaranya dalam pertempuran melawan Negeri Muslim tidak dapat disebut kafir. Jika mereka membela negara kaum Musyrikin demi kepentingan dunia, itu adalah dosa besar.

    Hubungan antara negara Muslim dan non-Muslim tidak membuat salah satu pihak menjadi kafir. Ini disebabkan oleh banyak keterkaitan dengan hubungan dunia dan merupakan bagian dari strategi syar’iyyah.

    Syeikh Shaleh Al Fauzan Hafihazullah memberikan ketentuan terkait sikap terhadap orang kafir, yang menekankan bahwa kita tidak boleh memberikan loyalitas kepada mereka. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus memutus hubungan dengan orang-orang kafir dalam segala hal. Beberapa hal yang diperkecualikan dalam hal ini, di antaranya:

    1. Mendakwahi kepada Islam.
    2. Melakukan perdamaian dengan orang Kafir (tidak saling berperang). Seperti dalam kisah perjanjian Hudaibiyah.
    3. Tidak dilarang berbuat baik kepada orang kafir apabila mereka berbuat baik kepada umat Islam (Surat Al-Mumtahanah Ayat 8)
    4. Taat kepada orang tua dalam hal yang baik
    5. Dibolehkan pertukaran dalam perniagaan (jual-beli). Nabi mempekerjakan penduduk Khaibar.
    6. Diperbolehkan menikahi perempuan ahlul kitab dengan syarat perempuan yang suci.
    7. Memenuhi undangan orang kafir untuk makanan yang diperbolehkan.
    8. Berbuat baik kepada tetangga orang kafir
    9. Tidak boleh mendhalimi mereka.

    Ayat ini sering disalahartikan oleh orang-orang liberal dan munafik masa kini. Pengertiannya sebenarnya adalah boleh berbuat baik pada orang yang tidak berarti memberikan loyalitas kepada mereka. Tidak memberikan loyalitas kepada orang kafir tidak berarti menolak berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka.

    Wallahu Ta’ala ‘Alam

    Sumber:

    • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
    • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

    Kewajiban Mempelajari Empat Masalah

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

    Kitab Tsalastatul Ushul

    Pendahuluan

    Judul kitab: Tiga Landasan Utama berserta Dalil-Dalilnya karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah Ta’ala.

    Kitab ini menguraikan mengenai kewajiban setiap muslim dan muslimah yang harus diketahui, yang akan ditanyakan di alam kubur, yaitu tiga pertanyaan alam kubur. Diuraikan mengenai bagaimana mengenal Allah, mengenal Agama Islam, dan bagaimana mengenal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Kitab ini sangat penting, dahulu penulis mengajarkan selalu kitab ini kepada murid-murid dan orang-orang awam. Dan hingga saat ini kitab ini terus diajarkan secara rutin.

    Disebut kita tsalatsatul ushul dikarenakan sebelum dijelaskan mengenai tiga landasan utama yaitu mengenal Allah, mengenal agama dan mengenal nabi, didahului oleh tiga risalah pendahuluan yaitu:

    1. Kewajiban mempelajari empat masalah agama yang terkandung dalam surat Al-Ashr.
    2. Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan bathilnya kesyirikan serta Al-Wala dan Al-Bara.
    3. Penjelasan Makna Al-Hanifiyyah serta perintah teragung dan larangan terbesar.

    Terjemahan Kitab

    Ketahuhilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa wajib atas kita untuk mempelajari empat perkara.

    Pertama : Berilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabiNya, dan mengenal agama Islam dari dalilnya.

    Kedua : Mengamalkan ilmu

    Ketiga : Mendakwahkan ilmu

    Keempat : Bersabar atas gangguan yang menimpanya.

    Dalilnya adalah firman Allah ta’ala

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    وَٱلْعَصْرِ ١ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣

    Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. al‘Ashr: 1-3)

    Berkata Imam Syafi’i rahimahullah

    “Seandainya Allah tidak menurunkan keterangan kepada kepada makhluknya kecuali surah ini, maka surah ini sudah cukup bagi mereka”

    Imam Bukhari rahimahullah mengatakan,

    “(Bab) Berilmu dulu sebelum berkata dan beramal”

    Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala,

    فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسْتَغْفِرْ لِذَنۢبِكَ

    Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS.Muhammad: 19)

    Dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah berilmu (belajar) sebelum berucap dan beramal.


    Pembahasan:

    Pertama: Pembukaan risalah dengan basmalah

    Kitab ini dimulai dengan basmalah, memohon pertolongan Allah ketika memulai penulisan. Hal ini sesuai dengan Al-Quran dimana dimulai dengan basmalah pada setiap surah nya, kecuali surah At-Taubah.

    Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam juga memulai surat-surat nya dengan basmalah, seperti penulisan surat kepada Heraclius dan perjanjian hudaibiyah.

    Makna bismillahi, ismi adalah mufrad dan disandarkan pada ma’rifah (Allah) maka menunjukan artinya bersandar kepada seluruh nama-nama Allah. Allah adalah yang diibadahi dengan penuh pengagungan. Allah adalah nama yang terbesar dari seluruh Asma Al-Husna.

    Ar-Rahman Ar-Rahim, maha pemberi rahmat yang terus bersambung. Perbedaannya adalah:

    • Ar-Rahman adalah nama khusus untuk Allah, tidak boleh digunakan untuk selain Allah. Adapun Ar-Rahim boleh digunakan untuk selain Allah.
    • Ar-Rahman adalah rahmat yang luas untuk umum termasuk mu’minin, kafir, jin dan manusia sedangkan Ar-Rahim adalah rahmat yang terus bersambung khusus untuk kaum mu’minin.
    • Ar-Rahman kaitannya dengan dzat Allah sedangkan Ar-Rahim kaitannya dengan fi’il (perbuatan) Allah. Dalam Ar-Rahman, Allah maha rahmat, sedangkan dalam Ar-Rahim, Allah maha merahmati kepada siapa yang Allah kehendaki dari orang yang beriman dan tidak merahmati dari orang-orang kafir.

    Kedua: Menggabungkan pengajaran dan doa

    Pada permulaan risalah disebutkan “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu”. Ketahuilah artinya diajarilah ilmu dan kemudian didoakan semoga Allah merahmatimu.

    Ini adalah sifat seorang guru yang baik yaitu mengajari ilmu dan kemudian mengiginkan kebaikan untuk muridnya. Seorang guru yang baik juga memberikan ilmu yang sesuai untuk muridnya, yaitu diawali dengan buku-buku dasar dan ringan dipelajari. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu menyebut guru seperti ini sebagai Rabani, yaitu yang mengajari manusia ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar.

    Ketiga: Kewajiban mempelajari empat masalah

    Penulis menyebutkan “wajib atas kita untuk mempelajari empat perkara”. Kewajiban ini adalah untuk semua orang yang sudah mukalaf (dewasa, aqil, baligh). Sebagaimana dalam surat Al-Asr, apabila tidak mempelajari ini, maka orang tersebut menjadi golongan orang yang merugi.

    Keempat perkara tersebut adalah:

    1. Ilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalil.
    2. Amalan dengan ilmu.
    3. Mendakwahkan ilmu.
    4. Sabar di atas rintangan dalam hal tersebut (mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan ilmu).

    Keempat: Definisi Ilmu dan ma’rifah

    Definisi Ilmu adalah mengenal petunjuk dengan dalilnya. Apabila seseorang mengerti akan sesuatu tetapi tidak mempunyai dalil maka itu tidak dianggap ilmu.

    Definisi Ma’rifah adalah pengetahuan untuk mengenal sesuatu. Seperti ma’rifah Allah artinya bagaimana mengenal Allah dengan dalil-dalilnya.

    Ilmu secara syar’i memiliki dua sifat:

    1. Sifatnya dicari darinya atau darimana diambilnya. Terdapat 3 bagian yaitu mengenal Rabb, Agama, dan Nabi-nya.
    2. Sifatnya dicari padanya. Padanya harus diketemukan ada dalilnya.

    Mengetahui dengan dalil artinya kita pernah mendengar dan mengetahui dalil akan sesuatu. Dalil tidak harus dihafalkan akan tetapi kita memegang petunjuk dengan dalilnya. Sehingga tidak disebut sebagai orang yang ikut-ikutan.

    Tidak mempunyai dalil dan hanya ikut-ikutan tidak akan diperhitungkan. Seperti orang yang tidak tahu jawaban dari tiga pertanyaan di alam kubur: “ha ha. Saya tidak tahu, Saya hanya mendengar manusia berucap seperti itu, saya juga ikut mengucapkannya“. Sehingga walaupun kita tahu jawaban tersebut adalah Allah tuhan saya, Islam agama saya, dan Muhammad Shallallahu Alaihi wasalam Nabi saya, akan tetapi tidak ada manfaatnya apabila hanya ikut-ikutan orang yang menyebutkannya.

    Dalam buku ini dipaparkan jawaban dari tiga pertanyaan alam kubur tersebut dengan dalil-dalilnya. Seperti siapa Allah akan dijelaskan dalil-dalilnya. Kemudian apa itu agama Islam? dijelaskan tentang Islam dan tingkatan-tingkatannya Islam. Mengenai nabi, dijelaskan siapa namanya, dimana tinggalnya dan kemana beliau hijrah.

    Apabila kita tidak tahu akan jawaban tersebut dengan dalil-dalilnya, maka akan susah menjawab pertanyaan dialam kubur dan di akhirat.

    Kelima: Ilmu yang wajib untuk dipelajari

    Ilmu yang wajib dipelajari adalah mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal Islam dengan dalil-dalilnya. Bagaimana kadar kewajiban dari ketiga ilmu tersebut adalah inti pembahasan pada kitab ini.

    Ilmu syar’i yang wajib (fard ‘ain) dipelajari bagi setiap muslim adalah ilmu pokok-pokok syari’at secara umum. Adapun rincian rinician detail dari pokok-pokok tersebut, tidak diwajibkan untuk setiap muslim. Akan tetapi menjadi fadhu kifayah pada sebagian jumlah yang cukup dari kaum mu’minin, seperti: hakim, mufti, pengajar dan selainnya.

    Bagaimana mengenal Allah? yaitu bagaimana Allah mengenalkan dirinya dalam Al-Qur’an dan juga apa yang Rasulullah perkenalkan Allah dalam hadits-haditsnya. Mengenal Allah yang diibadahi, mengenal jalan yang mengantarknya kepada Allah, kemudian mengenal Nabi yang menunjukan jalan.

    Ibnul Qoyim berkata “Allah telah mencela siapa yang tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Dan Allah mencela siapa tidak mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan. Dan Allah mencela siapa yang tidak megenal sifat Allah dengan sebenar-benar pengsifatan”.

    Bagaimana mengenal Nabi-Nya (Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) ? dan bagaimana mengenal agama Islam dengan dalilnya? Hal ini akan dijelaskan oleh penulis.

    Didahului dengan Ilmu karena ilmu adalah landasan atau dasar dari semuanya. Ilmu disini adalah ilmu syar’i yang wajib dipelajari. Hukum mempelajarinya ada yang fardu ‘ain dan ada yang fardu kifayah.

    Adapun ilmu dunia hukum asalnya mubah, bisa menjadi dianjurkan apabila banyak manusia yang memerlukannya. Atau bisa menjadi fardu kifayah apabila banyak umat Islam yang akan tertimpa bahaya, apabila tidak mempelajari ilmu dunia tersebut.

    Keenam: Kewajiban beramal

    Beramal dengan ilmu artinya tampaknya bentuk perintah Allah pada seorang hamba. Seperti perintah shalat, maka ketika diamalkan kelihatan dirinya shalat. Amalan adalah buah dari ilmu.

    Kaidah disebagian ahli hadist agar dikuatkan hafalan haditsnya maka mereka mengamalkan hadits tersebut.

    Dalam Surat An-Nisa ayat 66-68: Andaikata mereka melakukan amalan yang diberikan ilmu kepada mereka, maka ini adalah yang terbaik untuk mereka, hal yang mengukuhkan (amalannya menjadi lebih bagus), dan akan diberi pahala yang besar, serta akan diberi hidayah menuju kepada jalan yang lulus.

    Sebagian ulama mengatakan, “siapa yang beramal dengan ilmu yang dia pelajari, maka Allah akan mengajarkan atau mewariskan kepadanya ilmu yang sebelumnya tidak dipelajari”.

    Ilmu ada yang wajib diamalkan dan ada yang sunnah diamalkan. Ilmu dalam mengamalkannya ada yang cukup satu kali ada juga yang diamalkan terus menerus.

    Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ada tiga kelompok yang pertama dipanggang api neraka. Salah satunya adalah orang yang belajar tentang ilmu tapi tidak mengamalkannya. Dua yang lainnya adalah yang berjuang dijalan Allah dan yang bersedekah. Ketiga kelompok ini melakukan amalan tapi tidak ikhlas hanya ingin disebut sebagai seorang yang berilmu, mujahid, dan dermawan.

    Dalam surat Al-Fatihah, kita meminta jalan yang lurus, yaitu beramal dengan ilmu. Tidak seperti orang-orang yang dimurkai yaitu orang Yahudi yang punya ilmu tapi tidak beramal. Dan tidak seperti orang-orang yang disesatkan yaitu orang Nashrani yang beramal tanpa ilmu.

    Ketujuh: Kewajiban berdakwah kepada Allah

    Setelah dipelajari dan diamalkan, maka didakwahkan ilmunya. Seperti kita ketahui bahwa ada ilmu yang wajib untuk dipelajari dan setelah itu ada yang amalan yang wajib diamalkan, maka ada kewajiban juga untuk mendakwahkan atau mengajarkan ilmu. Sehingga wajib mempelajari bagaimana cara menyampaikan ilmu.

    Terdapat etika dan adab dalam berdakwah, diantaranya

    • Dijelaskan jalan yang benar
    • Harus ikhlas mengajak kepada Allah
    • Diatas ilmu dan yakin.
    • Diatas tauhid.
    • Mengajak kepada jalan yang jelas yaitu jalan Allah
    • Dengan hikmah, yaitu meletakan sesuatu kepada tempatnya.
    • Pelajaran yang baik, artinya nasihat yang mendalam, sehingga mengamalkannya.
    • Berbantahan dengan cara yang baik, yaitu apabila perlu diluruskan kesalahan atau membantah syubhat.
    • Sifat seorang da’i adalah orang-orang yang adil dan terpercaya.
    • Mereka menafikan orang-orang yang melampaui batas.
    • Mereka juga menafikan orang-orang yang mengikuti kebathilan.
    • Mereka juga menafikan takwil orang-orang yang jahil. Maka mereka menjelaskan tafsir yang benar.

    Pesan nabi ketika mengutus para shahabat ke Yaman:

    Seorang da’i agar jangan menggunakan bahasa-bahasa yang sulit dipahami. Tapi juga tidak terlalu mempermudah tapi sesuai dengan batasan agama. Kemudian memberi kabar gembira dan jangan membuat orang lari. Tidak langsung diberikan ancaman masuk neraka, sehingga orang tidak mau lagi mendengarnya. Kemudian saling pengertian dan tidak berselisih.

    Dakwah bertingkat-tingkat, dakwah yang paling tinggi adalah kepada tauhid dan memperingatkan dari bahaya kesyirikan. Kemudian tingkatan dibawahnya adalah kewajiban-kewajiban.

    Kedelapan: Kewajiban bersabar

    Kewajiban bersabar dalam ilmu, maksudnya mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan ilmu.

    Sabar artinya mengurung dirinya diatas hukum Allah dan tidak keluar darinya. Sabar adalah mengekang jiwanya untuk tidak berkeluh kesah dan mengeluh, anggota badannya tenang tidak melakukan yang tidak baik.

    Para ulama berkata terbagi dua, yaitu kesabaran terhadap hukum Allah qadari dan hukum Allah syar’i. Qadari adalah ketentuan dan takdir adapun Syar’i adalah perintah dan larangan Allah. Sehingga kebanyakan ulama membagi sabar menjadi tiga: sabar dalam menjalankan perintah, sabar dalam meninggalkan larangan, dan sabar dalam menerima ketentuan dan takdir Allah.

    Apabila kita mulai berdakwah, maka akan ada gangguan sebagaimana para rasul juga mendapat gangguan dan cobaan:

    Maka harus bersabar dalam berdakwah dalam menghadapi ujian dan cobaan, sehingga terbiasa dan semakin kuat dalam menghadapinya.

    Nabi shallallahu alaihi wasallam mengibaratkan seorang mu’min sebagai sebuah pohon yang apabila diterpa angin dari timur maka pohonnya condong kebarat dan apabila diterpa angin dari barat maka pohonnya condong ketimur. Dan apabila tidak ada angin maka pohonya kembali ketengah. Akan tetapi orang kafir diibaratkan sebagai pohon yang kuat, yang apabila diterpa angin tidak goyah. Akan tetapi apabila anginnya lebih besar maka pohonya tumbang.

    Ibnul Qoyim rahimahullah menyebutkan empat tingkatan ini (ilmu, amal, dakwah dan sabar) sebagai jihadun nafs (jihad memperbaiki diri), yaitu jihad dalam menuntut ilmu, jihad dalam mengamalkan ilmu, jihad dalam mendakwahkan ilmu dan jihad bersabar. Apabila sempuran dalam empat tingkatan ini maka termasuk yang rabaniyyun.

    Kesembilan: Tafsir surah Al’Ashr

    Dalil dari empat kewajiban ini adalah surat Al-Ahsr ayat 1-3.

    Wal Ashr, artinya Allah bersumpah dengan waktu yang berada diakhir hari atau waktu Ashr atau masa seluruhnya. Waktu ini adalah orang yang shalih mendapatkan amalan shalih dan orang yang merugi juga mendapatkan amalan yang merugi.

    Yang ingin Allah tegaskan adalah “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian“. Dalam ayat ini dikuatkan sebanyak tiga kali, yaitu demi waktu ashr, sesungguhnya, dan benar-benar. Dengan sumpah ini mengingatkan kita bahwa manusia ini benar-benar merugi, kecuali apa yang dikecualikan. Manusia disini adalah untuk semua umat manusia. Merugi ada yang ruginya semuanya, ada yang rugi sebagian, ada yang rugi besar atau kecil, ada yang rugi dunia, ada yang rugi akhirat, dan ada yang rugi dunia dan akhirat.

    Yang dikecualikan empat sifat, yang juga disebutkan penulis yaitu empat perkara:

    1. Beriman adalah keyakinan atau mengakui sesuatu tidak mungkin kecuali dengan ilmu. Dasar iman dan lanjutannya adalah terkait dengan ilmu.
    2. Beramal dengan amalan yang shalih baik dhohir maupun bathin.
    3. Saling berwasiat dengan kebenaran artinya berdakwah mengajak dijalan Allah.
    4. Dan saling berwasiat dengan kesabaran.

    Kesepuluh: Penjelasan ucapan Imam Asy-Syafi’iy Rahimahullah

    Berkata Imam Syafi’i rahimahullah

    “Seandainya Allah tidak menurunkan keterangan kepada kepada makhluknya kecuali surah ini, maka surah ini sudah cukup bagi mereka”

    “Mencukupi bagi mereka” maksudnya cukup tegaknya hujjah bagi mereka dan kewajiban dalam menjalankan hukum Allah. Tidak bermaksud bahwa surat ini mencukupi semua perkara agama karena dalam agama banyak perkara yang harus dijelaskan seperti shalat, zakat, puasa dan lainnya.

    Dalam surat Al Ashr ini terdapat kesempurnaan. Apabila dia berilmu dan mengamalkan maka mendapat kesempurnaan akan dirinya. Dan apabila dia berdakwah dan bersabar maka menyempurnakan orang lain.

    Ibnul Qoyim rahimahullah surah Al-Ashr ini ringkas tapi surah Al-quran yang luas cakupannya dan mengumpulkan segala kebagikan.

    Ibnu Rajab rahimahullah berkata mengenai surat Al-Ashr ini sebagai timbangan untuk amalan dimana seorang mukmin menimbang dirinya dengan surah ini agar kelihatan apakah termasuk yang beruntung atau yang merugi.

    Kesebelas: Penjelasan ucapan Imam Al-Bukhariy Rahimahullah dan pendalian beliau berupa ayat surat Muhammad.

    Imam Al-Bukhariy berucap Bab tentang Ilmu sebelum berucap dan beramal, dalam kitab shahih Al-Bukhariy. Dalilnya adalah firman Allah “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, dan mohonlah ampunan terhadap dosa-dosamu” (Muhammad: 19)

    Sisi pendalilannya adalah Allah memulai perintah dengan mempelajari ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.

    Maksudnya disini untuk mengurutkan dari empat kewajiban yang disebutkan yaitu: ilmu, amal, berdakwah dan bersabar. Sehingga yang didahulukan adalah Ilmu sebelum ucapan dan amalan.

    Dari ayat diatas, perintah pertama adalah mengilmui la ilaha illallah, sebelum memohon pengampunan dan sebab-sebab yang mengantar kepada pengampunan Allah Subhanahu Wata’ala.

    Sofyan Ibnu Uyeinah Rahimahullah juga sebelumnya mengucapkan hal semisal. Beliau ditanya mengenai keutamaan ilmu, maka beliau berkata “tidak kah engkau mendengar kepada firman Allah Subahanahu Wa Ta’ala yang memulai dengan ilmu, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah“, setelah itu Allah perintah Nabi Muhammad untuk beramal “dan mohonlah ampunan terhadap dosa-dosamu“.

    Hal semisal diucapkan oleh ulama setelahnya yaitu Abu Qosim Al-Jauhari Rahimahullah, memberi judul Bab Ilmu Sebelum Amalan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah“.

    Ilmu adalah pemimpin (imam) nya amalan. Ilmu didepan kemudian amalan mengikut bermakmum dibelakangnya. Maka amalan yang tidak mengikut pada ilmu tidak akan bermanfaat dan akan membahayakan. Sebagian As-Salaf berkata, “Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak dari apa yang dia perbaiki”.

    Wallahu Ta’ala ‘Alam

    Sumber:

    • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
    • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

    Larangan Meminta Perlindungan Kepada Selain Allah – Dalil 2

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 12: Termasuk Kesyirikan, Isti’adzah (Meminta Perlindungan) kepada Selain Allah.

    Dari Khaulah bintu Hakim Radhiyallahu Anha, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Siapa saya yang singgah di suatu tempat, lalu berdoa,

    أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

    ‘Aduzubikalimatil lahit tammati min syarri ma khalaq, ‘aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna terhadap kejahatan segala makhluk-Nya’, tiada sesuatupun yang akan membahayakan dirinya sampai dia meninggalkan tempat tersebut

    Diriwayatkan oleh Muslim.

    Biografi

    Khaulah bintu Hakim adalah Khaulah bitu Hakim bin Ummayyah As-Sulamiyyah. Beliau pernah menjadi ‘Utsman bin Mazh’un Radhuyallahu Anhu dan merupakan perempuan shalilhah dan utama.

    ‘Dengan kalimat-kalimat Allah’ yang dimaksud dengannya adalah Al-Qur’an.

    Makna Hadits Secara Global

    Nabi memberikan bimbingan kepada umatnya untuk melakukan isti’adzah yang bermanfaat, yang dengannya dapat tertolak semua bahaya yang dikhawatirkan oleh manusia ketika singgah di suatu tempat, yaitu dengan beristi’adzah dengan kalamullah yang manjur, mencukupi, dan sempurna dari semua kejelekan dan kekurangan, agar mendapatkan keamanan selama berada di tempat tersebut dari gangguan yang jelek.

    Hubungan antara Hadits dan Bab

    Dalam hadits ini terdapat petunjuk tentang isti’adzah yang bermanfaat lagi disyariatkan sebagai ganti dari isti’adzah yang syirik yang biasa dipergunakan oleh orang-orang musyrikin.

    Fedah Hadits:

    1. Penjelasan bahwa Isti’adzah adalah Ibadah.
    2. Bahwa Isti’adzah yang disyariatkan adalah isti’adzah kepada Allah atau dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
    3. Bahwa ucapan Allah bukanlah makhluk karena Allah memerintahkan agar beristi’adzah (meminta perlindungan) dengan ucapan-Nya, sedangkan isti’adzah dengan makhluk adalah syirik maka hal ini menunjukkan bahwa ucapan Allah bukan makhluk.
    4. Keutamaan doa ini, meskipun kalimatnya ringkas.
    5. Bahwa ubun-ubun manusia berada di tangan Allah

    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 12 Termasuk Kesyirikan, Isti’adzah (Meminta Perlindungan) kepada Selain Allah

    Dalil 2: Hadits dari Khaulah bintu Hakim Radhiyallahu Anha, riwayat Muslim

    Makna dari “singgah disuatu tempat” tidak harus dalam keadaan safar, tapi bisa juga singgah pada suatu tempat walaupun dalam kota yang sama.

    Biografi: Khaulah bintu hakim

    Ummu Syariq, yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz sebaik perempuan yang shalihah. Yang meghibahkan dirinya kepada Nabi, akan tetapi Nabi tidak menginginkannya. Hal ini adalah salah satu keutamaannya dikarenakan besar keimannnya dan kesadaran pada kebaikan.

    Penjelasan:

    Kalimat Allah terbagi dua:

    Pertama, kalimat kauniyah qodariyah, yaitu ketetapan dan takdir Allah. Apabila Allah menghendaki terjadi maka terjadi.

    Kedua, kalimat diniyyah syar’iyah, ini adalah Al-Qur’an dan hadits qudsi yang merupakan Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla.

    Pada hadits ini mencakup dua-duanya.

    Dengan berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna, maka tidak akan dibahayakan oleh sesuatu apapun termasuk gangguan manusia, jinn, hewan liar, dan semua gangguan kejelekan dari makhluk. Sampai meninggalkan tempat tersebut.

    Nabi menganjurkan untuk berlindung hanya kepada Allah (kalimat Allah).

    Sisi pendalilannya yaitu Nabi mengajarkan bagaimana ber-isti’adzah dengan benar yaitu hanya kepada Allah, nama-nama Allah, sifat-sifat Allah dan Kalimat Allah. Karena diajarkan beristi’adzah oleh Nabi maka ini adalah Ibadah. Sehingga Ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.

    Imam Qurtubi menyebutkan mengenai hadits ini bahwa hadits ini adalah bahwa saya mengetahui kebenaran hadits ini berdasarkan dalil dan kenyataan. Semenjak mendengarkan hadits ini saya selalu membacakannya dan tidak pernah meninggalkan kecuali pada suatu hari saya tinggalkan membaca dzikir ini dan malamnya disengat oleh kalajengking. Kemudian beliau berpikir kenapa bisa disengat kalajengking padahal sebelumnya tidak pernah seperti itu. Maka beliau menyadari bahwa beliau lupa membaca dzikir ini.

    Pembahasan-pembahasan.

    Pertama, tafsir surat Jinn ayat 6.

    Kedua, meminta perlindungan kepada jinn termasuk kesyirikan. Hal ini dikarenakan meminta perlindungan adalah Ibadah. Sehingga harus ditujukan untuk Allah Subhanahu Wa Ta’lla. Sehingga apabila ditujukan kepada jinn, maka termasuk kesyirikan.

    Ketiga, Isti’adzah kepada selain Allah termasuk kesyirikan. Hal ini dikarenakan dalil dari hadits diatas, yang para ulama mengatakan bahwa kalimat-kalimat Allah bukan makhluk. Sehingga berlindung dengan kalimat Allah, tidak mengapa karena bukan perlindungan kepada makhluk.

    Bantahan terhadap kelompok Jahmiya dan siapa yang mengikutinya, mengenai sifat al-kalam. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Maka dengan hadits ini terbantahkan. Al-Qur’an adalah kalam Allah. Andaikata Al-Qur’an adalah makhluk maka tidak mungkin Nabi mengajari untuk berlindung dengan makhluk.

    Keempat, doa yang ringkas tapi banyak keutamaannya.

    Kelima, Sesungguhnya sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat duniawi baik dengan mencegah segala keburukan maupun mendatangkan manfaat, tidak menunjukan bahwa sesuatu tersebut tidak tergolong sebagai suatu kesyirikan.

    Dahulu apabila mereka berlindung pada Jinn, pembesar lembah, dari kejelekan kaumnya, terkadang mendapatkan manfaatnya walaupun akhirnya mereka bertambah ketakutan dan dosa. Walaupun ada manfaatnya, tidak menunjukan kebenaran apa yang dilakukan dan tidak menahan untuk disebutkan kesyirikan. Dapat dipastikan apabila ada manfaat dari kesyirikan, bentuk bahayanya lebih banyak.

    Ini adalah salah satu pintu masuk syaithon kepada selain manusia. Kaidahnya walaupun sesuatu ada manfaatnya tidak menunjukan sesuatu itu benar. Seperti contoh orang yang stress minum khamar, sehingga menjadi tenang. Tapi tenang karena hilang akalnya. Memang ada manfaatnya tapi tidak berarti dia tidak berdosa. Kejelekan lebih banyak dari pada manfaatnya.

    Seorang mukmin melihat pada dalil dan tuntunan. Apabila sesuai dengan syariat maka akan ada manfaat, ketenangan yang lebih besar. Akan tetapi apabila diatas dosa, walaupun ada manfaat itu akan sementara dan bahayanya lebih besar.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Larangan Meminta Perlindungan Kepada Selain Allah – Dalil 1

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 12: Termasuk Kesyirikan, Isti’adzah (Meminta Perlindungan) kepada Selain Allah.

    Firman Allah Ta’ala

    وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٌۭ مِّنَ ٱلْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍۢ مِّنَ ٱلْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًۭا.

    Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jinn: 6)

    Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

    Dalam bab ini ada penjelasan tentang salah satu jenis kesyirikan yang bisa menghilangkan tauhid, yaitu beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah, agar manusia berhati-hati dan menjauhinya.

    Al-Isti’adzah: secara bahasa berarti bersandar, berpegang, dan berlindung. Hakikatnya adalah: lari dari sesuatu yang engkau takuti kepada yang bisa melindungimu darinya.

    Ya’udzuna, ‘mereka meminta perlindungan’: yang salah seorang dari mereka, ketika melewati suatu lembah dan takut terhadap jin penunggunya, mengatakan, “Aku berlidung kepada penguasa lembah ini terhadap gangguan pengikut-pengikutnya.

    Makna Ayat Secara Global

    Allah Subhanahu mengabarkan bahwa sebagian manusia datang kepada sebagian jin untuk meminta keamanan dari apa-apa yang mereka takutkan. Maka yang mereka datangi (jin) justru menambahkan ketakutan mereka (manusia) sebagai ganti rasa aman yang mereka inginkan. Demikianlah keadaan mereka berbalik dengan tujuan yang diinginkan, dan ini sebagai hukuman dari Allah untuk mereka.

    Hubungan antara Ayat dan Bab

    Bahwa Allah Ta’ala menceritakan tentang jin-jin yang beriman bahwa ketika agama Rasulullah ﷺ telah jelas bagi mereka dan mereka telah beriman kepadanya, maka merekapun menyebutkan hal-hal kesyirikan yang terjadi dikalangan manusia pada zaman zahiliyyah. Diantaranya adalah meminta perlindungan kepada selain Allah. Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk pengingkaran terhadap perbuatan tersebut.

    Faedah Ayat

    Pertama, bahwa meminta perlindungan kepada selain Allah adalah kesyirikan sebab jin-jin yang beriman mengatakan,

    وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدًۭا

    Dan Kami sama sekali tidak akan pernah menyekutukan Rabb kami (Allah) dengan sesuatupun” (Al-Jinn: 2)

    Kemudian setelah itu dalam rangka mengingkari mereka menyebutkan,

    وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٌۭ مِّنَ ٱلْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍۢ مِّنَ ٱلْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًۭا.

    Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jinn: 6)

    Kedua, keumuman risalah Muhammad ﷺ yang mencakup kepada kalangan jin dan manusia.

    Ketiga, bahwa isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah justru mendatangkan ketakutan dan kelemahan.

    Keempat, difahami dari ayat bahwa isti’adzah kepada Allah akan mewariskan kekuatan dan perasaan aman.


    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 12 Termasuk Kesyirikan, Isti’adzah (Meminta Perlindungan) kepada Selain Allah

    Maksud dari dibawakannya bab ini adalah penjelasan tentang salah satu bentuk yang bertentangan dengan tauhid atau kesyrikan yaitu isti’adzah kepada selain Allah.

    Isti’adzah adalah ibadah yang sangat agung dan terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga Isti’adzah kepada selain Allah, maka hukumnya adalah syirik akbar.

    Rinician hukum Isti’adzah (meminta perlindungan):

    1. Isti’adzah yang merupakan ibadah, ini hanya untuk Allah.
    2. Isti’adzah kepada selain Allah, yaitu pada makluk hidup yang tidak hadir atau tidak mampu. Ini yang dihahas pada bab ini.
    3. Isti’adzah, berkata aku berlidung kepada Allah dan kamu. kata “Dan” disini menjadikan syirik ashghar.
    4. Istiadah kepada makhluk hidup, yang hadir, dalam perkara yang dia mampu. Ini hukumnya boleh tidak ada malalah.

    Contohnya berlindung kepada seseorang dari kejaran perampok, maka orang tempat berlindung itu harus makhluk, hidup, hadir, dan mampu.

    Dalil 1: Surat Al-Jinn Ayat 6.

    Ayat ini menceritakan tentang sekelompok manusia, yang berlindung kepada sebagian jin. Agar dilinduingi dari apa yang mereka takutkan. Maka jin ini membuat mereka menjadi semakin takut.

    Pada masa jahiliyah, Ada suatu tempat angker, maka orang jahiliyah berkata: saya berlindung kepada pemimpin lembah ini dari bahaya orang-orang bodoh dari kaumnya. Maka para jin membuat mereka semakin takut, berdosa, dan hina. Maka Allah mencela perbuatan mereka dalam ayat ini.

    Terdapat kaidah yaitu apabila melakukan kesyirikan untuk mendapatkan sesuatu maka yang akan didapatkan adalah sebaliknya. Misalnya apabila mencari keamanan maka akan mendapatkan ketakutan, mencari kesehantan maka akan mendapatkan penyakit, dan mencari kekuatan maka dapat akan mendapatkan kelemahan.

    Bab ini dimasukan kedalam kitab tauhid dikarenakan ucapan orang yang beriman dikalangan jinn bahwa ada dikalangan manusia yang meminta perlindungan dari kalangan jinn.

    Ayat ini dikonteks adalah orang beriman dikalangan jin. Mereka mengatakan tidak pernah membuat kesirikan sama sekali. Kemudian mereka menyebutkan bentuk-bentuk kesyirikan yang pernah terjadi dikalangan jin.

    Isti’adzah dengan Jin adalah istiadah kepada selain Allah yang merupakan syirik akbar.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Larangan Bernadzar kepada Selain Allah – Bagian 2

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 11: Tergolong sebagai Kesyirikan, Bernadzar kepada selain Allah

    (Diriwayatkan) dalam Ash-Shahih dari Aisyah Radhiyallahu Anha, (beliau berkata): Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa saja yang bernadzar untuk menaati Allah, hendaklah dia menaati-Nya. Akan tetapi, siapa saja bernadzar untuk bermaksiat terhadap Allah, janganlah dia bermaksiat terhadap-Nya (dengan melaksanakan nadzar itu).”

    Biografi

    Aisyah adalah Ummul Mu’minin, salah satu istri Rasulullah ﷺ. Beliau adalah perempuan yang paling mengerti ilmu agama secara mutlak, juga merupakan istri Nabi ﷺ yang paling utama selain Khadijah. Dalam membandingkan (istri) yang paling utama di antara keduanya, ada perselisihan (dikalangan ulama). Beliau meninggal pada 57 H.

    Makna Hadits Secara Global

    Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan orang yang bernadzar dalam ketaatan agar dia hendaknya menunaikan nadzarnya, seperti seseorang yang bernadzar untuk mengerjakan shalat, bersedekah, atau amal ketaatan lainnya, dan melarang orang yang bernadzar dalam kemaksiatan untuk menunaikan (nadzar) tersebut, seperti seseorang yang bernadzar untuk menyembelih untuk selain Allah, mengerjakan shalat di kuburan atau kemaksiatan lain.

    Hubungan antara Hadits dan Bab

    Hadits ini menunjukan bahwa nadzar itu ada yang berupa ketaatan, tetapi ada pula yang berupa kemaksiatan, juga menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah. Siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah, sungguh ia telah mempersekutukan Allah dalam ibadah kepada-Nya.

    Faedah Hadits:

    1. Bahwa nadzar adalah ibadah maka memalingkan (nadzar) kepada selain Allah adalah kesyirikan.
    2. Kewajiban untuk menunaikan nadzar ketaatan.
    3. Keharaman untuk menunaikan nadzar kemaksiatan.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Larangan Bernadzar kepada Selain Allah – Bagian 1

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 11: Tergolong sebagai Kesyirikan, Bernadzar kepada selain Allah

    Firman Allah Ta’ala:

    يُوفُونَ بِٱلنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًۭا كَانَ شَرُّهُۥ مُسْتَطِيرًۭا

    Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan: 7)

    وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍۢ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُهُۥ ۗ

    Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 270)

    Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

    Bahwasannya, pada bab ini, penulis menerangkan salah satu bentuk kesyirikan yang bisa meniadakan tauhid seseorang, yaitu bernadzar untuk selain Allah, agar perbuatan tersebut dapat dihindari dan dijauhi.

    bernadzar untuk selain Allah’, yakni sebab (nadzar) adalah ibadah, sedang memalingkan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.

    Nadzar berarti mewajibkan suatu hal, yang sebelumnya tidak wajib secara syari’at, kepada dirinya dalam rangka mengagungkan sesuatu yang kepadanya nadzar tersebut ditujukan. Pada asalnya, secara bahasa, nadzar adalah mewajibkan.

    Makna Kedua Ayat Secara Global

    Sesungguhnya Allah memuji orang-orang yang beribadah kepada-Nya dengan suatu hal yang mereka wajibkan atas diri mereka berupa amalan-amalan ketaatan. Allah Subhanahu juga mengabarkan bahwa diri-Nya mengetahui semua sedekah yang kita infakkan serta semua ibadah yang kita wajibkan bagi diri sendiri, baik (sedekah dan ibadah) itu untuk Allah maupun untuk selain Allah. Maka, Allah akan membalas semuanya sesuai dengan niat dan maksud orang tersebut.

    Hubungan antara Kedua Ayat dan Bab

    Keduanya menunjukan bahwa nadzar adalah suatu ibadah, bahwa Allah memuji orang-orang yang menunaikan (nadzar) sebab Allah tidaklah memuji, kecuali kepada pelaksanaan perintah atau peninggalan larangan. Allah juga mengabarkan bahwa diri-Nya mengetahui semua hal yang kita lakukan berupa infak-infak dan nadzar-nadzar, serta akan membalas kita semua yang kita lakukan tersebut. Maka, hal ini menunjukan bahwa nadzar adalah suatu ibadah, sedang apa saja yang merupakan ibadah, memalingkannnya kepada selain Allah adalah kesyirikan.

    Faedah Kedua Ayat:

    1. Bahwasannya nadzar adalah ibadah maka memalingkan (nadzar) untuk selain Allah adalah syirik besar.
    2. Penetapan ilmu Allah Ta’ala atas segala sesuatu.
    3. Menetapkan adanya balasan terhadap setiap amalan.
    4. Anjuran untuk menunaikan nadzar.

    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 11 Termasuk Kesyirikan, Bernadzar Kepada Selain Allah

    Pendahuluan

    Terdapat berbagai macam bentuk nadzar. Para ahli fiqih membaginya menjadi beberapa bagian: ada yang 5 dan 6 bagian. Akan tetapi di Bab ini penulis menitikberatkan nadzar yang berkaitan dengan Tauhid.

    Pembagian Nadzar, secara umum nadzar terbagi menjadi dua jenis:

    Pertama: Nadzar yang tanpa mengharapkan imbalan.

    Misalkan saya bernadzar akan melaksanakan itikaf satu hari di mesjid dengan alasan ingin beribadah saja. Tidak mengharapkan imbalan apapun. Hukum asal melakukan itikaf adalah sunnah. Akan tetapi dikarenakan nadzar tersebut menjadi wajib bagi dirinya. Hal ini tidak mengapa, bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuji orang yang melaksanakan nadzar seperti ini. (QS. Al-Insan: 7).

    Kedua: Nadzar yang mengharapkan balasan.

    Misalkan seseorang bernadzar yang apabila anaknya sembuh dari penyakit maka dia akan berpuasa 3 hari. Atau apabila bisnisnya lancar, maka dia akan bersedekah sebanyak 5 juta rupiah. Hal ini menjadikan sesuatu yang tidak wajib, menjadi wajib bagi dirinya.

    Terdapat silang pendapat di kalangan para ulama pada jenis nadzar yang mengharapkan balasan ini. Yang benarnya adalah tidak diperbolehkan. Hal ini dikarenakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mensifati orang yang seperti ini sebagai tidak datang dari kebaikan, hanya dikeluarkan oleh orang-orang yang bakhil.

    Akan tetapi apabila dia sudah bernadzar dan ternyata apa yang diminta tersebut terlaksana (anaknya sembuh atau bisnisnya lancar), maka dia wajib melaksanakan nadzarnya selama nadzarnya tersebut berupa ketaatan kepada Allah.

    Nadzar yang termasuk kesyirikan.

    Penulis ingin menjelaskan mengenai kesyirikan, yaitu bernadzar kepada selain Allah. Nadzar adalah salah satu bentuk ibadah, sehingga apabila diserahkan kepada selain Allah, maka hukumnya adalah syirik akbar. Misalnya, apabila selesai haji dan pulang dengan selamat, maka akan datang ke kuburan si fulan (berbuat kesyirikan).

    Dalil Pertama, Firman Allah Ta’ala:

    يُوفُونَ بِٱلنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًۭا كَانَ شَرُّهُۥ مُسْتَطِيرًۭا

    Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan: 7)

    • Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuji orang yang menunaikan nadzar. Hal ini menandatakan bahwa nadzar adalah suatu Ibadah.
    • Kaidah: Memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah, maka hukumnya syirik besar.

    Dalil Kedua, Firman Allah Ta’ala:

    وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍۢ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُهُۥ ۗ

    Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan1, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 270)

    • Dalam ayat ini menunjukan bahwa infak dan nadzar adalah Ibadah. Sehingga apabila ditujukan kepada selain Allah, maka hukumnya syirik akbar.
    • Sebagian ulama berkata nadzar kepada selain Allah artinya berbuat syirik kepada Allah. Demikian halnya dengan menyembelih untuk selain Allah.
    • Terdapat 5 perkara yang apabila diserahkan kepada selain Allah maka perkara tersebut termasuk kesyirikan, yaitu: ruku, sujud, nadzar, penyembelihan, dan sumpah.
      • Misalkan seseorang yang ruku atau sujud kepada selain Allah, maka termasuk kesyirikan. Termasuk juga seseorang yang membungkukan dirinya seperti ruku kepada seseroang karena mau melewatinya. Hal ini bisa dihindari yaitu dengan isyarat tangan yang juga menandakan kesopanan.
      • Mencium tangan seseorang terdapa silang pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang memakruhkan. Yang benar adalah tidak mengapa apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan pada suatu budaya atau daerah. Akan tetapi tidak sampai rukuk. Terdapat kekeliruan yang harus diluruskan yaitu anak-anak yang mencium tangan seseorang bukan dengan bibir akan tetapi menggunakan jidatnya, sehingga seperti bersujud diatas tangan.

    Dalil Ketiga, (Diriwayatkan) dalama Ash-Shahih dari Aisyah Radhiyallahu Anha, (beliau berkata): Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa saja yang bernadzar untuk mentaati Allah, hendaklah dia menaati-Nya. Akan tetapi, siapa saja yang bernadzar untuk bermaksiat terhadap Allah, janganlah dia bermaksiat terhadap-Nya (dengan melaksanakan nadzar itu).

    • As-Shahih maksudnya dari riwayat Al-Bukhariy,

    Biografi Aisyah

    Aisyah adalah Ummul Mu’minin, salah satu dari istri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, merupakan putri dairi Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu.

    Aisha dinikahi Nabi ketika berusia 7 tahun. Kemudian tinggal dengan Nabi saat Aisha berusia 9 tahun. Terdapat hukum diperbolehkan akad nikah dahulu sebelum tinggal bersama. Hal ini adalah kekhususan dari perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam hal ini perlu digandengkan dengan kaidah-kaidah lain sehingga benar dalam pendalillan.

    Sebagian orang munafikin menolak hadist ini bahkan orang syiah mengkafirkan karena hadits ini. Kemudian dijadikan celaan.

    Perlu digandengan dengan kaidah dalam agama, salah satunya “tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan“. Usia seorang perempuan bisa tinggal dengan suami beranekaragam diantara perempuan, ada yang 9 tahun sudah mampu hidup sebagai suami istri. Ada yang umur 17 tahun baru mampu, tinggal bersama suami. Sehingga hal ini tidak dijadikan sebagai suatu masalah. Ini adalah adalah perbuatan Nabi yang bukan berarti disunahkan menikah umur 7 tahun. Sehingga harus belajar ilmu pendalilan sehingga mengerti cara pendalilan.

    Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang paling afdhal diantara Khadijah dan Aisha. Yang benar adalah khadijah lebih afdhal dari sisi kedahuluan masuk islam dan pembelaan terhadap agama. Adapun Aisha lebih afdhal dari sisi keilmuan dan hukum-hukum syariat yang dikuasai.

    Tiga pembahasan:

    1. Kewajiban penunaian nadzar. Seperti terlihat pada hadits diatas.
    2. Apabila sesuatu telah ditetapkan sebagai suatu peribadatan kepada Allah, maka memalingkan kepada selain Allah adalah kesyirikan (kaidah tauhid)
    3. Nadzar untuk melakukan sesuatu maksiat tidak boleh ditunaikan. Misalnya berzina, meminum khamar.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Larangan terhadap Menyembelih Binatang untuk Allah pada Tempat yang Dipergunakan untuk Menyembelih kepada Selain Allah – Dalil 1

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 10: Larangan terhadap Menyembelih Binatang untuk Allah pada Tempat yang Dipergunakan untuk Menyembelih kepada Selain Allah

    Dalil 1: Firman Allah Ta’ala,

    لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًۭا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌۭ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ

    Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Qubā`) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. (At-Taubah: 108)

    Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

    Bab ini merupakan kelanjutan dari bab sebelumnya. Pada bab sebelumnya, terdapat keterangan tentang hukum menyembelih untuk selain Allah. Adapun pada bab ini, terdapat larangan terhadap sarana yang mengantar kepada penyembelihan untuk selain Allah dan larangan untuk menyerupai pelaku perbuatan tersebut.

    disembelih untuk selain Allah pada (tempat) itu’, yakni (tempat) yang dipersiapkan dan dimaksudkan untuk penyembelihan kepada selain Allah.

    Makna Ayat Secara Global

    Allah Subhanahu melarang Rasul-Nya ﷺ untuk mengerjakan shalat di masjid dhirar, yang dibangun oleh kaum munafikin untuk mendatangkan kerugian (kesulitan) bagi masjid Quba’ dan untuk berbuat kekafiran kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka (kaum munafikin) meminta kepada Rasul ﷺ untuk mendirikan shalat di masjid tersebut agar mereka dapat menjadikan (perbuatan Rasulullah) itu sebagai alasan pembenaran akan perbuatan mereka dan untuk menutupi kebathilan mereka. Maka Rasul ﷺ berjanji kepada mereka untuk memenuhi permintaan tersebut, dan beliau tidak mengetahui maksud jelek mereka. Oleh karena itu, Allah melarang terhadap hal itu dan memerintah agar Rasul mengerjakan shalat di masjid Quba’ yang dibangun di atas dasar ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau di masjid Rasul (masjid Nabawi), walaupun ada perselisihan para ahli tafsir tentang hal tersebut. Kemudian, Allah memuji orang-orang yang mendirikan masjid tersebut karena telah membersihkan masjid dari kesyirikan dan perkara-perkara najis, dan Allah mencintai orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut.

    Hubungan antara Ayat dan Bab

    Ini merupakan qiyas (penyamaan) antara tempat yang dipersiapkan untuk penyembelihan kepada selain Allah dan masjid yang dipersiapkan untuk bermaksiat kepada Allah dalam (hukum) pelarangan beribadah kepada Allah di tempat tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana halnya masjid ini yang tidak diperbolehkan untuk melaksanakan shalat di dalamnya, demikian pula tempat yang dipersiapkan untuk penyembelihan kepada selain Allah. Tidaklah diperbolehkan menyembelih untuk selain Allah Subhanahu di tempat tersebut.

    Faedah Ayat

    1. Larangan menyembelih untuk Allah di tempat yang dipersiapkan untuk menyembelih kepada selain-Nya, dengan mengqiyaskan hal itu kepada larangan mengerjakan shalat di masjid yang dibangun diatas kemaksiatan terhadap Allah.
    2. Disukai untuk mengerjakan shalat bersama dengan kumpulan orang-orang yang shalih lagi suka menjauhkan diri dari berbuat hal-hal jelek.
    3. Penetapan sifat mahabbah (kecintaan) bagi Allah yang sesuai dengan keagungan-Nya Subhanahu sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain.
    4. Anjuran untuk menyempurnakan wudhu dan menyucikan diri dari najis.
    5. Bahwa niat berpengaruh terhadap tempat.
    6. Pernsyariatan menutup jalan-jalan yang mengantar kepada kesyirikan.

    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 10 Larangan Menyembelih Binatang untuk Allah di Tempat Kesyirikan 1

    La disini adalah La Nafiyah (penafian) atau La Nahiyah (larangan). Keduanya terdapat penjelasan haramnya menyembelih untuk Allah ditempat yang digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah. Penulis membawakan dua dalil: 1 ayat dan 1 hadits.

    Alasan pelarangannya ada dua sebab:

    1. Menghindari menyerupai kaum musyrikin dalam ibadah mereka
    2. Memutus pintu kesyirikan atau menutup jalan pada pintu kesyirikan.

    Dahulu kala penduduk Najed, menyembelih untuk Jin demi menyembuhkan penyakit mereka. Mereka mempunyai tempat khusus untuk menyembelih dirumah mereka. Maka dengan dakwah syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah, hal tersebut hilang.

    Fiman Allah terkait mesjid yang dibangun kaum munafikin untuk menandingi mesjid Quba:

    وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مَسْجِدًۭا ضِرَارًۭا وَكُفْرًۭا وَتَفْرِيقًۢا بَيْنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًۭا لِّمَنْ حَارَبَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَآ إِلَّا ٱلْحُسْنَىٰ ۖ وَٱللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَـٰذِبُونَ

    Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran, dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin, serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, “Kami tidak menghendaki, selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (At-Taubah: 107)

    Disebutkan kaum munafikin yang membangun masjid ini ada 12 orang. Ada seseorang bernama Abu Amir Ar-Rahiban (digelari Al Fasik). Awalnya seorang Nasrani yang memiliki kedudukan di kalangan bani Al-Khazraj. Ketika Rasulullah tiba di Madinah, maka Al-Fasik ini menampakkan permusuhan. Diantaranya terkait dengan masjid Ad-Dhiraar.

    Mereka membangun Masjid Ad-Dzarrar ketika Nabi ﷺ akan berangkat ke perang Tabuk. Mereka meminta agar Nabi ﷺ shalat di masjid itu. Mereka menyebutkan alasan pembangunan masjid yaitu untuk kaum duafa, orang yang lemah atau sakit, yang apabila tidak bisa ke masjid Quba, maka bisa shalat di masjid ini. Maka Nabi ﷺ berkata “Kami akan melakukan perjalanan, apabila kami kembali Insya Allah akan shalat di sana”. Setelah Nabi ﷺ kembali dari perang Tabuk dimana jarak ke Madinah tinggal beberapa hari, maka turun wahyu yang menjelaskan tentang masjid itu. Maka Nabi ﷺ mengirim orang untuk menghancurkan masjid dan membakarnya sebelum Nabi ﷺ tiba di Madinah.

    لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًۭا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌۭ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ

    Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Qubā`) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. (At-Taubah: 108)

    Allah melarang Nabi ﷺ untuk shalat di mesjid itu. Mesjid Quba dan Mesjid Nabi lebih layak untuk shalat disitu. Menunjukkan mesjid Ad-Dhirar tidak dibangun di atas ketaqwaan melainkan atas dosa, maksiat, dan kekufuran.

    Ini adalah sisi pendalilan penulis yaitu dilarang melakukan ibadah di tempat yang dibangun di atas dosa. Maka tempat yang dibangun untuk menyembelih atas selain Allah, harus ditinggalkan. Hal ini adalah qiyas.

    Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah wajibnya menghilangkan tempat-tempat kekafiran dan kemaksiatan, yaitu Nabi ﷺ memerintahkan untuk menghancurkan masjid Ad-Dhirar karena dibangun atas dosa dan kemaksiatan. Seseorang dilarang untuk hadir di tempat maksiat dan kesyirikan dikarenakan terdapat 5 bahaya:

    1. Memperbanyak barisan pelaku dosa dan maksiat.
    2. Menjadi fitnah bagi orang-orang yang lemah keimanannya.
    3. Menjadi buruk sangka terhadap dirinya.
    4. Membawa syubhat terhadap dirinya.
    5. Tempat ini dikhawatirkan turun adzab dan petaka.

    Dalil Ke-2:

    Ada seseorang yang bernadzar untuk menyembelih seekor unta di Buwanah (dekat Yanbu). Buwanah adalah desa yang berada di pesisir pantai. Maka Nabi bersabda “Apakah di tempat itu ada salah satu berhala Jahiliyah yang disembah?”, Dia menjawab “Tidak”. Nabi bertanya lagi “Apakah di tempat itu salah satu hari perayaan mereka pernah dilaksanakan?”. Dia menjawab “Tidak”. Ied adalah suatu pertemuan umum yang selalu berulang dalam setahun, sebulan atau seminggu dalam melakukan Ibadah yang biasa dilakukan.

    Nabi ﷺ sebelum menjawab mengenai hukum nadzarnya, meminta rincian pertanyaan terlebih dahulu.

    Sisi pendalilan penulis yang melarang menyembelih untuk Allah di tempat menyembelih kepada selain Allah yaitu menutup pintu agar jangan sampai jatuh ke dalam kesyirikan dan tidak boleh menyerupai kaum musyrikin. Nabi ﷺ bertanya dua pertanyaan “Apakah ada berhala jahiliyah yang pernah diibadahi disitu?” dan “Apakah ada hari raya orang jahiliyah pernah dilakukan disitu?”.

    Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Penuhilah nadzarmu.” Hal ini disebabkan karena tempat nadzarnya tidak ada berhala dan tidak ada hari raya kaum jahiliyah.

    Dalam Islam, ada aturan yang harus diikuti terkait nadzar. Misalnya, nadzar harus dipenuhi asal tidak melibatkan perbuatan dosa. Selain itu, seseorang tidak boleh membuat nadzar tanpa memiliki kemampuan untuk memenuhinya. Contohnya, melarang membuat nadzar untuk menyakiti seorang Muslim atau memberikan sedekah kepada burung-burung di langit.

    Pembahasan:

    Pertama, Tafsir firman Allah “Janganlah engkau mendirikan shalat di mesjid itu selama-lamanya

      Bahwa mesjid Dhirar dilarang untuk shalat di situ karena dibangun di atas kekufuran. Maka demikian pula tempat untuk menyembelih kepada selain Allah, tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk menyembelih untuk Allah.

      Kedua, kemaksiaatan dapat bedampak kepada bumi sebagaimana ketaatan juga dapat berdampak dibumi ini.

      Ketika kaum munafikin membangun masjid Dhirar dengan maksud untuk kemaksiatan dan perpecahan, maka Nabi ﷺ dilarang Shalat di situ. Sehingga kemaksiatan berpengaruh yang menyebabkan tidak bisa shalat di situ.

      Sebaliknya masjid Quba yang dibangun atas dasar ketakwaan dan keimanan, maka disebutkan di masjid Quba ada sekolompok orang yang senang bersuci dan Allah mencintai orang yang bersuci.

      Ketiga, Sinkronisasi persoalan yang meragukan kepada masalah yang telah jelas. Agar keraguan tersebut menjadi sirna.

      Seorang bertanya mengenai hukum menyembelih di Buwanah. Apa itu Buwanah? tidak jelas tempatnya. Sehingga diarahkan kepada yang jelas dimana nabi ﷺ bertanya dua pertanyaan diatas. Sehingga jelas bagi Nabi ﷺ, maka Nabi memerintahkan untuk menunaikan nadzarnya.

      Keempat, Pengajuan detail persoalan dari seorang Mufti.

      Apabila seorang yang memberi fatwa (Mufti), ditanya mengenai sebuah perkara. Apabila perlu rincian pertanyaan, maka ditanyakan rinciannya.

      Kelima, Pengkuhsusan tempat tertentu untuk menunaikan nadzar, tidak mengapa. Apabila tempat tersebut terlepas dari segala hal yang terlarang.

      Keenam, Pengkhususan yang terlarang apabila ditempat tersebut ada berhala Jahiliyah, walaupun tempat tersebut telah disingkirkan.

      Apabila dahulunya ada berhala yang diibadahi dan telah disingkirkan, maka tetap tidak boleh untuk beribadah. Hal ini dikarenakan bisa menyerupai kaum musyrikin dan menjadi pintu untuk melakukan maksiat dan kesyirikan.

      Ketujuh, Larangan terhadap pengkhususan tersebut apabila pada tempat itu terdapat penyelenggaraan salah satu dari sekian hari raya kaum jahiliyah, walaupun perayaan tersebut telah ditiadakan.

      Kedelapan, tidak boleh menunaikan nadzar ditempat itu karena nadzar itu nadzar maksiat.

      Kesembilan, Peringatan terhadap penyerupaan dengan kaum musyrikin dalam hari-hari mereka.

      Walaupun tidak dimaksudkan untuk memperingati hari-hari mereka. Nabi tidak menanyakan niatnya dulu, tapi langsung menanyakan dua hal diatas.

      Kesepuluh, Tidak ada nadzar pada maksiat

      Kesebelas, Tidak syah nadzar berupa sesuatu yang tidak dia miliki.

      Wallahu Ta’ala A’lam

      Mengikuti Manhaj Shahabat

      بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

      Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

      Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

      • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
      • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

      Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

      Mengikuti Manhaj Shahabat

      Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah: berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam serta bertauladan kepada mereka, meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, serta meninggalkan pertengkaran, meninggalkan duduk-duduk bersama pelaku hawa nafsu, dan meninggalkan perdebatan dan pertengkaran dalam masalah agama.
      Sunnah menurut Kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Sunnah itu menafsirkan Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran, tidak ada qiyas dalam masalah agama, tidak boleh dibuat permisalan-permisalan bagi Sunnah, dan tidak boleh pula dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.


      Penjelasan

      Disisi kami” maksudnya disisi ulama Islam atau disisi Imam Ahmad dari pemahaman As-Salaf. Banyak ulama-ulama as-salaf mengucapkan hal yang sama dengan Imam Ahmad. Sehingga ini merupakan aqidah para imam kaum muslimin.

      Terdapat 5 Pembahasan dalam pokok-pokok Sunnah, sebagai berikut:

      Pembahasan 1: Kewajiban Berpegang Tegung Kepada Jalan As-Salaf

      Pembahasan 2: Mengikuti dan mencontoh As-Salaf

      Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah: berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam serta bertauladan kepada mereka

      Tiga hal yang perlu dijelaskan

      Pertama: Apa jalan para Shahabat (As-Salaf)?

      Definisi As-Salaf:

      As-Salaf secara bahasa adalah orang-orang yang telah mendahului kita. Terdapat beberapa kata As-Salaf dalam Al-Qur’an diantaranya: “Pada hari itulah diuji ditampakan untuk setiap jiwa, segala amalan yang telah di dahulukan (salaf)“.

      Adapun secara istilah, As-Salaf, memiliki dua penggunaan:

      1. Khusus digunakan untuk tiga generasi terbaik: Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
      2. Digunakan untuk tiga generasi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama yang datang setelahnya.

      Dalam suatu hadits Nabi membisikan sesuatu kepada Fatimah, yang membuatnya menangis tersedu-sedu. Kemudian Nabi membisikan sesuatu lagi kepada Fatimah, yang membuatnya tersenyum bergembira. Kemudian Aisha bertanya kepada Fatimah, “Apa yang dibisikan oleh Nabi?.” Fatimah berkata, “tidak boleh menyampaikan rahasia Nabi, ketika beliau masih hidup”. Maka setelah Rasulullah meninggal Aisah bertanya lagi kepada Fatimah. Fatimah berkata, bisikan yang pertama adalah “Wahai Fatimah, biasanya Jibril tiap tahun turun membacakan Al-Qur’an satu kali, tapi tahun ini menjadi dua kali. Aku tidak melihat perubahan ini kecuali tanda ajal ku telah dekat“, sehingga membuat Fatimah menangis. Kemudian Nabi berkata “Betakwalah engkau kepada Allah dan besabarlah, sesungguhnya sebaik-baiknya salaf bagimu adalah aku“. Pada bisikan kedua Nabi berkata bahwa, “Fatimah adalah penguhulu perempuan di surga“. Dalam kisah ini Nabi menyebut dirinya sebagai As-Salaf.

      Beberapa ulama seperti Syeikh Al-Bani senang mengunakan perkataan as-salaf adapun yang lain menggunakan perkataan as-sunnah. Akan tetapi hakikatnya adalah sama yaitu mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan jalan As-Salaf.

      Dalil untuk mengikuti As-Salaf:

      Dalilnya terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, dan kesepakatan para ulama. Diantaranya adalah Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat An-Nisa Ayat 115:

      وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

      Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu1 dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

      Jalan kaum mukminin yang dimaksud adalah jalan para shahabat. Sehingga mengikuti jalan shahabat adalah kewajiban karena ada ancaman yang sangat keras yaitu dibiarkan kesesatannya dan dimasukkan ke dalam Jahanam.

      Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat At-Taubah Ayat 100:

      وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًۭا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

      Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

      Disebutkan “orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik“, mereka adalah para shahabat. Mengikuti artinya tidak membuat jalan baru tapi diikuti dengan baik. Ibnul Qoyim berkata ayat ini menerangkan bahwa siapa yang tidak mengikuti jalan shahabat, berarti Allah tidak ridha kepada mereka dan mereka tidak ridha kepada Allah. Juga tidak mendapat surga dan tidak mendapatkan kemenangan besar.

      Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah Ayat 137:

      فَإِنْ ءَامَنُوا۟ بِمِثْلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهْتَدَوا۟ ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّمَا هُمْ فِى شِقَاقٍۢ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ ٱللَّهُ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ

      Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)

      Dalam ayat ini keimanan para shahabat dijadikan sebagai barometer keimanan yang benar.

      Adapun dari hadits, Rasulullah ﷺ bersabada “Sebaik-baik manusia adalah adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya“. Tiga generasi terbaik disebutkan Rasulullah ﷺ. Ibnu Qoyim berkata tidaklah mereka disebut sebagai generasi terbaik kecuali untuk diikuti.

      Kemudian kesepakatan para ulama tentang wajibnya mengikuti jalan As-Salaf, dikemukakan oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Qodamah mengatakan “Telah pasti kewajiban mengikuti jalan as-salaf berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, As-sunnah, dan Ijma kesepakatan para ulama”.

      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata “Tidak ada aib bagi orang yang menampakan madzhab as-salaf. Juga tidak ada aib bagi orang yang bernisbat (merujuk) kepadanya. Bahkan wajib mengikuti jalan as-salaf menurut kesepakatan para ulama karena madzhab as-salaf tiada lain kecuali kebenaran”.

      Mengapa kita wajib mengikuti jalan As-Salaf?

      Mengikuti jalan as-salaf adalah wajib seperti yang telah dijelaskan. Namun apabila kita ingin mengetahui hikmahnya, maka ada beberapa keutamaan as-salaf sebagai berikut:

      1. Mereka adalah murid-murid Rasulullah ﷺ yang langsung mempelajari agama dari Rasulullah ﷺ.
      2. Mereka tidak hanya menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah ﷺ, tapi juga memahami maknanya. Inilah yang mereka ajarkan kepada umat. Apapun yang ditanyakan kepada para shahabat maka mereka merujuk pada apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi ﷺ.
      3. Mereka lebih berilmu, lebih selamat, dan lebih kuat dan bijaksana.
      4. Mereka tidak memabahas ilmu kalam, mendahulukan hawa nafsu, pendapat pribadi tapi mereka berpegang dengan apa yang datang dari Rasulullah ﷺ.

      Ahlul bi’dah tidak bahagia mempelajari agama karena setiap kali ada ayat tentang sifat Allah, maka ditanyakan bagaimana sifatnya, tidak ada ketundukan. Mereka menyikapi dengan akal dan pemahamannya.

      Imam Ahmad membawakan pokok pertama dalam ahlul sunnah yaitu mengikuti manhaj as-salaf karena ini yang membedakan dengan ahlul bid’ah. Ibnu Taimiyah mengatakan simbol dari ahlul bid’ah adalah meninggalkan jalan as-salaf. Sedangkan simbol ahli sunnah adalah mengikuti jalan as-salaf.

      Mengikuti jalan as-salaf adalah jalan para ulama. Adapun mengikuti para shahabat maka tidak ada perbedaan, yaitu wajib untuk diikuti.

      Pembahasan 3: Meninggalkan Bid’ah dan Berwaspada dari Bid’ah

      meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat,

      Definsi bid’ah

      Bid’ah secara bahasa digunakan untuk sesuatu yang diada-adakan tidak ada contoh sebelumnya. Dalam Al-Qu’ran ada beberapa kata bid’ah secara bahasa, yang artinya “Aku bukan bid’ah pertama dari para Rasul” Maksudnya Nabi Muhammad bukan Rasul yang pertama, sudah ada Rasul-Rasul sebelum ku. Demikian pula firman Allah yang artinya “Dia lah yang mebid’ah langit dan bumi” Maksudnya mengadakan langit dan bumi tidak ada contoh sebelumnya.

      Bid’ah secara bahasa bisa masuk kedalam hal yang baik dan hal yang tidak baik. Terdapat hal-hal yang baik dari perkara dunia dan ini tidak termasuk kedalam bid’ah dari sisi istilah syar’i. Seperti mobil, motor, HP dan selainnya yang tidak ada contoh sebelumnya.

      Ada pun pengertian bid’ah secara istilah para ulama mendefinisikan sebagai jalan baru dari agama yang diada-adakan, bertentangan dengan syariat. Orang yang melaksanakan dimaksudkan untuk berlebihan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

      Dalil yang melarang bid’ah

      Bid’ah adalah hal yang dicela dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan disepakati oleh para ulama. Dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

      وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًۭا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

      dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153)

      Ayat ini dibaca oleh Nabi ﷺ ketika membuat gari lurus, beliau bersabada kepada para shahabat, “Ini adalah jalan Allah yang lurus“, setelah itu Nabi ﷺ membuat garis-garis ke kanan dan ke kiri, kemudian beliau bersabda, “Ini adalah jalan-jalan, tidak ada satu pun dari jalan-kalan (samping kanan dan kiri) kecualinya diatasnya ada syaithon menyeru kepadanya“. Kemudian Nabi ﷺ membaca surat Al-An’am ayat 153 diatas. Jalan-jalan ke kiri dan kekanan (As-Subul) ditafsirkan sebagai bid’ah-bid’ah.

      Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman:

      هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ مِنْهُ ءَايَـٰتٌۭ مُّحْكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌۭ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌۭ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ ۗ

      Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Al-Qur`ān) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat1, itulah pokok-pokok isi Al-Qur`ān dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat2. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, …“(Al-Imran: 7)

      Nabi ﷺ ketika membaca ayat ini bersabda dalam riwayat A’isha Radhiyallahu ‘Anha dalam riwayat Al-Bukhariy dan Muslim, “Kalau engkau melihat orang-orang yang mengikuti mutasyabih (yang tidak jelas), mereka adalah orang-orang yang disebut oleh Allah, hati-hati kalian dari mereka.” Ini adalah jalan dari ahlul bid’ah yaitu mengikuti mutasyabih, yang tidak jelas, dan meninggalkan yang muhkamat. Apabila bertentangan antara yang muhkam dan mutasyabih, maka yang mereka dahulukan adalah yang mutasyabih.

      Adapun ahlul sunnah beriman kepada ayat-ayat muhkam dan beriman kepada ayat-ayat mutasyabih. Ayat-ayat mutasyabih diarahkan kepada ayat-ayat yang muhkam. Sebenarnya ayat-ayat yang mutasyabih pengertiannya jelas dikalangan ahlul ‘ilmi.

      Kemudian Allah berfirman:

      ثُمَّ جَعَلْنَـٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

      Kemudian, Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jasiyah: 18)

      Disebutkan dua hal: mengikuti syariat atau mengikuti hawa nafsu. Sehingga siapa yang keluar dari tuntunan agama (syari’at) maka dia mengikuti hawa nafsu.

      Kemudian dari hadits Rasulullah ﷺ, “Siapa yang mengada-adakan dari perkara kami ini yang bukan darinya, maka itu adalah perkara yang tertolak“.

      Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Siapa yang beramal dengan sebuah amalan tidak dibangun diatas tuntuanan kami, maka amalant tersebu tertolak“.

      Pada khutbah hajah Nabi ﷺ sering mengulangi bacaan berikut:

      فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

      Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (as-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

      Dan banyak dalil-dalil lagi dalam larangan perbuatan bid’ah.

      Beberapa bahaya bid’ah

      Bid’ah adalah perkara yang besar karena ada bid’ah yang bisa mengeluarkan dari keislaman. Terbagi menjadi dua: bid’ah yang mengeluarkan dari keislaman dan yang tidak mengeluarkan dari keislaman.

      Berikut ini beberapa dari bahaya Bid’ah:

      Pertama: Pelakunya diancam kehinaan dan siksaan yang pedih di dunia, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

      إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ ٱلْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌۭ مِّن رَّبِّهِمْ وَذِلَّةٌۭ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُفْتَرِينَ

      Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan. (Al-Araf: 152)

      Kaitan yang menjadikan anak sapi sebagai sesembahan dengan bid’ah ada diakhir ayat yaitu: “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.” Dikatakan membuat-buat kebohongan. Bid’ah termasuk berdusta atas nama Allah, yaitu ingin mengkoreksi syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

      Agama Islam sudah lengkap sehingga tidak dikenal bid’ah. Semua kebaikan dan kejelekan telah diterangkan. Telah sempurna agama Islam sebagaimana tertera dalam surat Al-Maidah ayat 3:

      وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ

      Pada hari ini, telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3)

      Imam Malik Rahimahullah ketika membaca ayat ini, beliau mengatakan, “Siapa yang menyangka ada bid’ah baik di dalam agama, maka artinya Nabi Muhammad berkhianat menyampaikan agama”. Hal ini disebabkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyatakan agama telah sempurna yang berarti Nabi Muhammad ﷺ telah menyampaikan seluruhnya.

      Kedua: Bedusta Atas Nama Allah.

      Umat Islam tidak perlu pada bid’ah karena tuntunan sudah cukup, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

      وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلْـَٔايَـٰتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ ٱلْمُجْرِمِينَ

      Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur`ān, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An’am: 55)

      Dan Nabi ﷺ bersabda dalam riwayat Muslim yang artinya “Tidak ada seorang Nabi pun sebelumku, kecuali nabi ini wajib untuk menjelaskan segala kebaikan yang dia ketahui bagi umatnya. Dan Nabi ini wajib menjelaskan segala kejelekan yang bisa membahayakan umatnya“. Sehingga apabila perkara agama, maka Nabi akan menerangkan kebaikannya.

      Ketiga: Orang yang melakukan atau yang melindungi bid’ah terancam dengan laknat.

      Dalam hadits Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhariy dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya “Barang siapa yang melindungi pelaku muhdisan (bid’ah / kerusakan) atau yang melakukan muhdasan (bid’ah / kerusakan), maka akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia“.

      Lisan terbagi dua lisan ucapan dan lisan keadaan. Adapun ketika seluruh manusia melaknat adalah dengan lisan keadaan.

      Keempat: Bid’ah yang kecil bisa berubah menjadi besar

      Satu bid’ah bisa diiringi dengan bid’ah yang lainnya. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

      فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌۭ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًۭا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌۢ بِمَا كَانُوا۟ يَكْذِبُونَ

      Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. (Al-Baqarah: 10)

      Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:

      وَنُقَلِّبُ أَفْـِٔدَتَهُمْ وَأَبْصَـٰرَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٍۢ وَنَذَرُهُمْ فِى طُغْيَـٰنِهِمْ يَعْمَهُونَ

      Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur`ān) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An’am: 110)

      Kemudian Allah Ta’ala berfirman:

      فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهْدِيَهُۥ يَشْرَحْ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَـٰمِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُۥ يَجْعَلْ صَدْرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًۭا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى ٱلسَّمَآءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجْسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

      Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (Al-An’am: 125)

      Firman Allah Ta’ala:

      فَلَمَّا زَاغُوٓا۟ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ

      Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka (As-Saf: 5)

      Imam Al-Barbahari Rahimahullah berkata, “Hati-hatilah kalian dari bid’ah yang kecil, sebab bid’ah yang kecil bisa berubah menjadi besar”.

      Bid’ah amaliah yang pertama yang terjadi dalam sejarah Islam adalah dzikir berjamaah yang terjadi di Kuffa pada masa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu. Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan tersebut dan berkata kepada mereka, “Wahai kaum, perbuatan kalian ini, apakah kalian berada diatas agama yang lebih baik daripada agama Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam atau kalian sedang membuka kesesatan?”. Kemudian beliau berkata, “Kalian telah membuat bid’ah dalam agama”. Mereka menjawab, “Wahai Abu Abdi Rahman, Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang meminta kebaikan, tapi tidak bisa mendapatkannya”. Ibnu Mas’ud mempunyai firasat dan mengatakan, “Saya melihat, kalian ini kebanyakannya adalah orang-orang yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam”. Kemudian membawakan hadits mengenai celaan nabi kepada kaum khawarij. Periwayat hadist ini menyebutkan mereka kebanyakan orang yang dimajelis itu mereka ikut bersama kaum khawarij memerangi kami di Nahrawan. Awal bid’ah nya kecil yaitu dzikir berjamaah akan tetapi menjadi besar yaitu khawarij.

      Kelima: Bid’ah lebih berbahaya dari maksiat.

      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Bidah lebih berbahaya dari pada maksiat yang memperturutkan syahwat berdasarkan dalil dari hadits dan menurut kesepakatan ulama”. Beliau membawahkan contohnya, terhadap pemerintah yang dzholim, maka Nabi menyuruh kita untuk bersabar. Akan tetapi terhadap kaum khawarij, Nabi memerintahkan untuk memerangi mereka. Khawarij adalah bangkai yang terjelek dibawah golong bumi. Orang yang mati syahid terbaik adalah yang terbunuh oleh khawarij. Pemerintah yang dzholim adalah maksiat sedangkan khwarij adalah bid’ah.

      Keenam: Orang yang berbuaat bid’ah sulit untuk bertaubat.

      Hal ini dikarenakan taubat itu ada penyeselan, mengakui kesalahannya. Akan tetapi pelaku bid’ah tidak merasa berbuat kesalahan. Sehingga sulit untuk betaubat.

      Ketujuh: Orang yang diusir dari telaga Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang mengadakan perkara baru dalam agama.

      Pembahasan 4: Meninggalkan Pertikaian (Perdebatan)

      Meninggalkan pertikaian adalah salah satu pokok sunnah. Allah Ta’ala berfirman:

      وَإِذَا رَأَيْتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِىٓ ءَايَـٰتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيْطَـٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ ٱلذِّكْرَىٰ مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّـٰلِمِينَ

      Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)

      Apabila hal yang sudah jelas dalam agama diperdebatkan, maka diperintah untuk meninggalkannya.

      Dari Abu Umamah dalam riwayat Imam At-Tirmidzy, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah satu kaum itu menyimpang setelah dulunya dia berada dalam petunjuk kecuali orang yang senang berdebat.” Sehingga apabila sudah mendapat petunjuk mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah, maka apabila berdebat menjadikan keraguan akan jalan tersebut. Kemudian Nabi membaca firman Allah Ta’ala:

      وَقَالُوٓا۟ ءَأَـٰلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ ۚ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًۢا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

      Dan mereka berkata, “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (`Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu, melainkan dengan maksud membantah saja; sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (Al-Zukhruf: 58)

      Sebagian As-Salaf berkata “Perdebatan-perdebatan dalam agama bisa menghancurkan amalan”. Hal ini dikarenakan bisa menjatuhkan pada perkara-perkara yang membuatnya berdosa, sehingga bisa mengugurkan amalannya.

      Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata “Siapa yang menjadikan agamanya sebagai tempat untuk perdebatan, maka akan banyak berpindah.” Hal ini diperjelas dari sebuat atsar dari Imam Malik Rahimahullah yaitu ketika datang seseorang yang mengajak berdebat kepada Imam Malik. Imam Malik bertanya, “Apabila saya kalah berdebat bagaimana?. Orang itu mengatakan bahwa engkau harus mengikuti saya. Kemudian Imam Malik bertanya lagi, “Apabila ada orang ketiga yang mengajak berdebat kita berdua, kemudian kita kalah, lalu bagimana?”. Orang itu menjawab, “Maka kita ikut sama dia”. Imam Malik berkata, “Kalau begitu pergilah kamu. Kamu adalah orang yang ragu dalam agamamu. Adapun saya yakin agama saja, sudah jelas.”

      Perdebatan apabila ada manfaatnya, yaitu menjelaskan kebenaran, maka terkadang dianjurkan bahkan bisa menjadi wajib. Akan tetapi yang melakukannya harus orang yang berilmu, sanggup mendebat, dan ada maslahatnya.

      Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu mendebat kaum khwarij dengan membaca 3 ayat dan 1 hadits. Maka 4 ribu (2 ribu) orang dari kaum khwarij rujuk. Imam Ahmad mendebat kaum jahmiyah dalam masalh Al-Qur’an. Imam Syafi’i mendebat kaum qadariah.

      Beberapa kerusakan dari perdebatan:

      • Perdebatan akan menyebabkan keraguan seseorang akan agamanya.
      • Perdebatan dapat menyebabkan seseorang berucap atas nama Allah tanpa ilmu.
      • Perdebatan bisa menimbulkan fitnah dan syubhat pada seseorang.

      Pembahasan 5: Meninggalkan Duduk dengan Ashabul Ahwa

      Imam Ahmad Rahimahullah berkata “meninggalkan duduk-duduk bersama pelaku hawa nafsu“.

      Ahwa kebanyakan digunakan untuk makna yang tidak bagus, termasuk sering digunakan untuk setiap perkara yang menyelisihi sunnah Rasulullah ﷺ. Terkadang disebut ahlul ahwa atau ahlul bid’ah.

      Menghindari duduk dengan ahul ahwa disyariatkan untuk menjaga seorang muslim dari bahaya yang mengancam agamanya. Keselamatan dari penyimpangan agama adalah nikmat yang sangat besar. Sebagian ulama berkata “Keselamatan itu tidak bisa dinilai dengan suatu apapun”.

      Para ulama mengharamkan duduk bersama ahlul bid’ah dengan dalil dari Al-Quran dan hadits Rasulullah ﷺ. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman:

      وَإِذَا رَأَيْتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِىٓ ءَايَـٰتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيْطَـٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ ٱلذِّكْرَىٰ مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّـٰلِمِينَ

      Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)

      Allah Ta’ala berfirman:

      وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلْكِتَـٰبِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَـٰتِ ٱللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا۟ مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦٓ ۚ إِنَّكُمْ إِذًۭا مِّثْلُهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلْمُنَـٰفِقِينَ وَٱلْكَـٰفِرِينَ فِى جَهَنَّمَ جَمِيعًا

      Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur`ān bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam, (An-Nisa: 140)

      Allah Ta’ala berfirman:

      وَلَا تَرْكَنُوٓا۟ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ

      Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim  yang menyebabkan kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (Hud: 113)

      Nabi ﷺ diperintah untuk berlepas diri dari orang-orang yang memecah belah agama. Firman Allah Ta’ala:

      إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًۭا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِى شَىْءٍ ۚ إِنَّمَآ أَمْرُهُمْ إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ

      Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Al-An’am: 159)

      Firman Allah Ta’ala:

      مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًۭا ۖ كُلُّ حِزْبٍۭ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

      yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka  dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Ar-Rum: 32)

      Dari hadits Rasulullah ﷺ, dari Abdullahi bin Mughafal Radhiyallahu Anhu dalam As-Shahihain, Ketika Al-Mughafal melihat seseorang melempar dengan batu kecil untuk memburu. Maka beliau menyampaikan hadits Nabi ﷺ mengenai larangan melempar dengan batu kecil sebab batu kecil bukan lah alat untuk memburu, dan tidak bisa membuhuh musuh. Akan tetapi orang ini masih saja melakukannya. Maka Al-Mughafal berkata, “Kalau begitu saya tidak akan berbicara dengan engkau sama sekali”. Ini adalah sikap sahabat terhadap orang yang tidak mengikuti sunnah Nabi ﷺ.

      Kisah Abdul Thalib yang diakhir hayat tidak mau berucap La Ilaha Illallah dikarenakan berkawan dengan kawan-kawan yang jelek (Abu Jahal dan lainnya.) Sehingga meninggal dalam keadaan kafir.

      Dalam kesempatan lain Imam Ahmad berkata “Ahlul bid’ah tidak pantas untuk seseorang duduk dengan mereka, bergaul dengan mereka dan tenang terhadap mereka”.

      Disebutkan oleh Salam bin Abi Muti’ Rahimahullah bahwa seorang lelaki ahlul bid’ah berkata kepada Ayub As-Sihtiani, “Wahai Abu Bakr, saya bertanya kepadamu tentang satu kalimat”. Maka Ayub memberi isyarat dengan tangannya dan berkata “Jangan kan satu kalimat, setengah kalimat saja tidak boleh”.

      Disebutkan oleh Ibnu Muflih dalam Al-Adab As-Syar’iyah, dari risalah Imam Ahmad kepada Musaddadd bin Musarhat, “Jangan engkau bermusyarawah dengan pelaku bid;ah dalam agamamu dan jangan kamu bergaul dengan mereka dalam safarmu.”

      Ada permasalahan yang bisa dilihat sisi benar dan salahnya yaitu sebagian berkata bahwa Ahlul bid’ah kalau ditinggalkan tidak memberi manfaat, Maka tidak ada gunanya didalam meninggalkannya. Banyak maksud syariat untuk meninggalkan ahlul bid’ah diantaranya: maslahat dalam agama, termasuk ibadah kepada Allah, berkaitan dengan al-wala wal bara, amal ma’ruf nahi mungkar.

      Contoh lainnya sebagian berkata apabila ahlul bid’ah bisa dinasehati maka tidak apa untuk menasehatinya. Akan tetapi ini terkait pada orang-orang yang mampu untuk menasehati bukan untuk orang yang baru belajar agama.


      Sunnah menurut Kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Sunnah itu menafsirkan Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran, tidak ada qiyas dalam masalah agama, tidak boleh dibuat permisalan-permisalan bagi Sunnah, dan tidak boleh pula dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.

      Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

      Terdapat Lima Pembahasan:

      Pertama: Makna Sunnah

      Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

      Penggunaan kata atsar di kalangan ahli hadits digunakan untuk hadits-hadits dari rasulullah secara umum dan juga yang datang selain dari Rasulullah maksudnya yang disandarkan kepada para shahabat. Dalam perkataan Imam Ahmad yang dimakud atsar adalah semua hadits dari Rasulullah dan bukan hanya teks hadits saja tapi juga semua apa yang ditinggalkan Rasulullah yang tersimpul dalam hadits.

      Sunnah adalah atsar dari Rasulullah termasuk Al-Quran dan hadits.

      Kedua: Kedudukan sunnah

      Sunnah itu menafsirkan Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran,

      Kedudukan sunnah adalah menafsirkan dan menguatkannya Al-Quran. Terkadang sunnah membawa hukum tersendiri yang tidak ada didalam Al-Quran. Sunnah juga terkadang menambah hukum yang ada di Al-Quran.

      Ketiga: Tidak ada qiyas dalam sunnah.

      tidak ada qiyas dalam masalah agama,

      Tidak ada qiyas dalam sunnah. Maksudnya adalah qiyas dengan makna yang bathil. Sebagian ulama menilai bahwa Imam Ahmad berpendapat tidak ada qiyas sama sekali. Qiyas yang bathil yaitu yang mempersamakan Allah dengan makhluk. Adapun qiyas yang benar adalah dengan pendalinan yang benar.

      Apabila sudah mendalami agama dengan benar, maka tidak perlu qiyas dikarenakan contoh-contohnya sudah ada. Dalam pembahasan aqidah, qiyas hanya dibahas yang telah apa dikatakan oleh para as-salaf.

      Keempat: Larangan membuat permumpamaan-perumpamaan dalam sunnah.

      tidak boleh dibuat permisalan-permisalan bagi Sunnah

      Seorang muslim dituntut untuk berserah diri, “Kami Mendengar dan Kami Taat“. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

      فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًۭا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًۭا

      Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa: 65)

      Kewajiban Rasul adalah menyampaikan sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya. Rasul tidak ada andil kecuali menyampaikan dan kita tidak ada tugas kecuali menerimanya. Risalah agama semuanya datang dari Allah Ta’ala.

      Kelima: Sunnah tidak dapat dijangkau dengan akal dan hawa nafsu, tapi sunnah itu untuk diikuti.

      dan tidak boleh pula dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.

      Akal adalah nikmat dari Allah Ta’ala sehingga harus dipakai untuk memahami, mempelajari dan mengambil ibrah dari Al-Qur’an dan Hadits. Bukan dipakai untuk menghakimi Al-Qur’an and Hadits. Dalam Al-Qur’an sering disebutkan ayat “Tidak kah mereka berakal?

      Adapun ahlul ahwa mendahulukan akal dari pada nash. Ada juga yang berpemahaman apabila nash bertentangan dengan akal, maka nash nya harus ditakwil. Sehingga mereka malah mempermasalahkan nash nya, bukan mempermasalahkan akalnya.

      Sebenarnya apabila akal nya sehat, sesuai fitrah, maka tidak akan bertentangan dengan nash.

      Sebagai contoh: ada seseorang bernama Muhammad Nasyd Ridho, yang menolak hadits yang terdapat dalam riwayat Al-Bukhariy dan Muslim. Yakni hadits kisah sujudnya matahari dibawah singgasana Allah Ta’ala, sampai Allah perintah untuk terbit dari arah timur. Begitu terus tiap hari sampai Allah perintah untuk terbit dari arah barat, yaitu mendekati hari kiamat. Menurut dia hadits ini tidak masuk akal karena bagaimana mungkin matahari terbenam di negeri Mesir, di negeri lain matahari masih terbit. Sehingga matahari sujudnya kemana?. Ini adalah pemikiran orang yang akal nya tidak sehat. Apabila dia punya akal sehat, maka “bukan kan Allah mampu atas segala sesuatu?”.

      Imam Ahmad mengingatkan bahwa terhadap sunnah kewajiban kita adalah mengikuti saja dan meninggalkan hawa nafsu.

      Wallahu Ta’ala ‘Alam

      Tentang Menyembelih untuk Selain Allah – Dalil 4

      بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

      Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

      Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

      • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
      • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

      Bab 9: Tentang Menyembelih untuk Selain Allah

      Dalil 4:

      Dari Thariq bin Syihab, (beliau berkata):

      Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada seseorang yang masuk ke dalam surga karena seekor lalat, tetapi ada pula seseorang yang masuk kedam neraka karena seekor lalat.

      (Para shahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu (terjadi), wahai Rasulullah?”

      Beliau menjawab, “Ada dua orang yang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang tidak seorang pun boleh melewati berhala itu, kecuali setelah mengurbankan sesuatu kepada (berhala) itu. Mereka (kaum tersebut) berkata kepada salah seorang di antara keduanya, ‘Berqurbanlah,’ Dia menjawab, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu apapun untuk kuqurbankan.” Mereka berkata lagi kepadanya, ‘Berqurbanlah, meski seekora lalat.’ Dia pun berqurban dengan seekor lalat maka mereka pun membiarkan dia berlalu. Oleh karena itulah, dia masuk ke dalam neraka. Kemudian, mereka berkata kepada seorang yang lain, ‘Berqurbanlah.’ Dia menjawab, ‘Aku tidak akan pernah mengurbankan sesuatu apapun kepada selain Allah Ta’ala,’ maka mereka pun memenggal lehernya. Oleh karena itulah, dia masuk surga.

      Diriwayatkan oleh Ahmad.

      [Biografi]

      Thariq bin Syihab adalah Thariq bin Syihab Al-Bahaly Al-Ahmasy, seorang yang melihat Nabi ﷺ, tetapi tidak mendengar dari Nabi maka hadits beliau adalah mursal. Beliau adalah seorang shahabat, dan meninggal pada 83 H -semoga Allah meridhai beliau-.

      Makna Hadits secara Global

      Nabi ﷺ mengabarkan tentang bahaya dan kejelekan kesyirikan. Beliau pun bercerita kepada para sahabatnya, yang beliau memulai ceritanya dengan suatu permulaan yang menjadikan jiwa-jiwa merasakan keanehan dan memerhatikan cerita tersebut, yaitu, “Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, tetapi ada pula yang masuk neraka karena seekor lalat.” yang (cerita) ini merupakan hal sepele yang telah menjadi sebab perkara yang membahayakan, dan menjadikan orang bertanya tentang rincian (cerita) itu.

      Maka, di sini beliau merinci dengan berkata bahwa kedua orang tersebut -tampak bahwa keduanya beralih dari bani Israil- ingin melintasi suatu tempat yang, di perkarangan (tempat) itu, sebuah berhala diletakkan. Siapapun yang bermaksud melewati (tempat) itu diwajibkan menyembelih binatang sebagai bentuk taqarrub dan pengagungan kepada berhala tersebut.

      Para penyembah berhala tadi meminta kepada kedua orang tadi untuk menjalankan aturan yang syirik itu. Salah seorang dari keduanya beralasan tidak memiliki sesuatu yang dikorbankan maka mereka mau menerima korban yang ringan sekalipun dari orang itu. Sebab, tujuan mereka adalah dicapainya kesepakatan atas kesyirikan tersebut. Sehingga orang itu berkorban dengan seekor lalat untuk berhala tersebut, lalu mereka pun membiarkan orang itu melanjutkan perjalanan. Orang itu pun dimasukkan ke dalam neraka karena perbuatannya karena ia telah melakukan kesyirikan tersebut serta menyetujui (menyepakati) mereka atas (kesyirikan tadi). Kemudian mereka meminta kepada orang yang satunya agar (orang itu) bertaqarrub kepada berhala mereka. Orang itu pun menolak dengan alasan bahwa hal itu tergolong sebagai kesyirikan sehingga tidak akan mungkin ia kerjakan. Oleh karena itu, mereka membunuh orang tersebut sehingga orang tersebut dimasukkan ke dalam surga karena penolakannya terhadap kesyirikan.

      Hubungan antara Hadits dan Bab

      Hadits ini menunjukkan bahwa menyembelih qurban tergolong sebagai ibadah, dan bahwa menyerahkan (qurban) kepada selain Allah tergolong sebagai kesyirikan.

      Faedah Hadits

      1. Penjelasan tentang bahaya kesyirikan, meskipun pada sesuatu yang sepele.
      2. Bahwa kesyirikan mewajibkan pelakunya untuk masuk kedalam neraka, sedangkan tauhid mewajibkan pelakunya untuk masuk ke dalam surga.
      3. Bahwa manusia kadang terjatuh ke dalam kesyirikan, sementara dia tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah kesyirikan yang mewajibkan untuk masuk ke dalam neraka.
      4. Peringatan terhadap dosa-dosa, meskipun (dosa) itu dianggap kecil.
      5. Bahwa orang (pertama) tersebut masuk ke dalam neraka berdasarkan suatu sebab yang tidak dia niatkan sejak awal, tetapi dia lakukan agar dapat lolos dari kejahatan penyembah berhala tersebut.
      6. Bahwa sesungguhnya seorang muslim, jika mengerjakan kesyirikan, batalah keislamannya dan akan masuk ke dalam neraka. (Demikianlah) sebab orang tersebut sebelumnya adalah muslim karena, kalau dia bukan seorang muslim, tentut tidak akan dikatakan, “Ada seseorang yang masuk ke dalam neraka karena seekor lalat.”
      7. Bahwa sesungguhnya yang dinilai adalah amalan hati, meskipun anggota badannya kecil dan sedikit.
      8. Bahwa menyembelih adalah ibadah maka memalingkannya kepada selain Allah adalah syirik besar.
      9. Keutamaan tauhid dan besarnya buah yang dihasilkan oleh (tauhid).
      10. Keutamaan bersabar di atas kebenaran.

      Catatan Kajian

      Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 9 Tentang Menyembelih untuk Selain Allah 2

      Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada seseorang yang masuk ke dalam surga karena seekor lalat, tetapi ada pula seseorang yang masuk ke dalam neraka karena seekor lalat.

      Nabi ﷺ memberikan pendahuluan sebelum memberikan rincian. Terdapat dua orang dalam haditsnya yang barangkali ini adalah bani Israil. Terdapat pelajaran apabila mau menyampaikan sesuatu maka disampaikan secara global dahulu kemudian baru disampaikan rinciannya. Dengan demikian menjadi perhatian bagi para sahabat yang kemudian bertanya:

      “Bagaimana hal itu (terjadi), wahai Rasulullah?”

      Kemudian kelanjutan hadits Nabi ﷺ menjelaskan bahwa ada suatu kaum yang mempunyai berhala, mereka tidak boleh ada yang melewatinya kecuali berkurban untuk berhala tersebut. Maka kaum ini berkata pada salah seorang yang mau melewatinya “Berqurbanlah”. Kemudian orang itu menjawab “Saya tidak punya apa-apa untuk diqurbankan”. Mereka berkata “Berqurbanlah, meski hanya seekor lalat”. Maka dia berqurban dengan seekor lalat dan mereka membiarkan dia beralalu. Maka dia pun masuk neraka.

      Kemudian mereka berkata kepada orang lain, “Berqurbanlah”, maka dia berkata aku tidak pernah berqurban untuk selain Allah”. Maka mereka memenggal leher orang tersebut dan karena itulah dia masuk surga.

      Orang pertama berqurban dengan seekor lalat. Dia berqurban dengan hatinya dan mengamalkannya sehingga mendapatkan neraka. Ini adalah pelajaran besar mengenai kesyirikan yaitu masuk neraka walaupun bentuk syiriknya hanya sedikit. Sebagaimana firman Allah Ta’ala

      Wajib berhati-hati agar tidak terjatuh kepada kesyirikan bahkan terkadang tidak sadar telah terjatuh kepada kesyirikan. Orang yang pertama ini tidak bermaksud untuk melakukan qurban untuk berhala akan tetapi begitu diperintahkan, maka dia menerimanya untuk melakukan qurban tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa orang tersebut adalah seorang muslim, karena apabila dia kafir, maka pasti masuk neraka. Karena perbuatan kesyirikan ini membatalkan keislamannya dan menyebabkan masuk kedalam neraka. Juga terdapat pentingnya amal hati, bukan masalah kecilnya yang diqurbankan, akan tetapi kondisi amalan hati yang meridhainya.

      Orang yang kedua, langsung mengingkari untuk berqurban kepada berhala. Maka disembelih lehernya dan masuk kedalam surga. Ini menunjukkan akan pentingnya keikhlasan walaupun dia korbankan segala yang dimiliki. Ini prinsip yang menyebabkan seseorang masuk surga atau neraka. Sehingga harus bersabar dalam cobaan ini.

      Apabila ditanyakan apakah terpaksa melakukan kekufuran seperti Ammar bin Yasir maka tidak apa-apa?

      Jawabannya adalah:

      1. Ini adalah syariat sebelum kita bukan disyariat kita. Disyariat sebelum. kita memang tidak ada udzur kalau terpaksa.
      2. Mungkin ada keringanan atau bersabar. Akan tetapi dia memilih untuk bersabar yang paling besar keutamannya.

      Hukum dalam syariat kita apabila terpaksa melakukan kesyirikan dan hatinya tetap tenang dengan keimanan, maka tidak apa-apa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

      مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعْدِ إِيمَـٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلْكُفْرِ صَدْرًۭا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌۭ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌۭ

      Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (An-Nahl: 106)

      Dan juga seperti kisah Ammar bin Yasir yang kedua orang tuanya sudah dibunuh, maka Ammar terpaksa mengucapkan kekufuran tapi hatinya tenang dengan keimanannya.

      Wallahu Ta’ala A’lam