بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
- Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
- Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah
Bab 8: Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu, dan Sejenisnya
Dalil Ke-2:
Dari Abu Waqid Al-Laitsiy, beliau berkata, “Kami keluar (untuk berperang) bersama Rasulullah ﷺ ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (baru memeluk Islam). (Ketika itu) kaum musyrikin mempunyai sebatang pohon bidara tempat mereka berdiam diri dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka. (Pohon) itu dinamakan Dzatu Anwath. Oleh karena itu, tatkala melewati sebatang pohon bidara, kami pun berkata, “Wahai Rasulullah buatkanlah Dzatu Anwath untuk kami sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Allahu Akbar – Sungguh itu merupakan tradisi (orang-orang sebelum kalian)-. Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian berkata seperti Bani Israil berkata kepada Musa, ‘Buatkanlah sembahan untuk kami sebagaimana mereka mempunyaia sembahan-sembahan. ‘Musa menjawab, ‘Sungguh kalian adalah kaum jahil.’ Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian‘.”.
Biografi
Abu Aqid Al-Laitsiy adalah Al-Harits bin ‘Auf, seorang sahabat yang terkenal, meninggal pada 68 H dalam usia delapan puluh lima tahun.
Makna Hadits Secara Global
Abu Waqid mengabarkan suatu kejadian yang mengandung hal yang menakjubkan juga nasihat. Yaitu, mereka berperang bersama Rasulullah ﷺ melawan suku Hawazin, sedang mereka baru saja memeluk Islam sehingga perkara kesyirikan tersembunyi bagi mereka. Ketika melihat perbuatan kaum musyrikin berupa meminta berkah kepada pohon, mereka pun meminta kepada Rasulullah ﷺ agar dibuatkan pohon yang sama. Maka, Rasulullah ﷺ bertakbir sebagai pengingkaran terhadap permintaan mereka dan pengagungan kepada Allah serta sebagai bentuk keheranan atas ucapan tersebut. Rasulullah juga mengabarkan bahwa ucapan (meminta dibuatkan pohon) itu menyerupai ucapan kaum (Nabi) Musa kepada Musa, “Jadikanlah bagi kami sembahan sebagaimana mereka mempunyai sembahan,” ketika (kaum Nabi Musa) melihat penyembah patung, juga (mengabarkan) bahwa permintaan mereka untuk dibuatkan pohon Dzatu Anwath berjalan di atas jalan (kaum Nabi Musa). Kemudian, Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa umat ini akan mengikuti jalan orang-orang Yahudi dan Nashara, akan menempuh manhaj-manhaj orang-orang itu, dan mengerjakan perbuatan (orang-orang) tersebut. Itu adalah kabar yang bermakna celaan dan peringatan terhadap perbuatan tersebut.
Hubungan antara Hadits dan Bab
Dalam hadits tersebut, terdapat dalil bahwa mencari berkah kepada pohon dan selainnya tergolong sebagai kesyirikan dan peribadahan kepada selain Allah.
Faedah Hadits
- Bahwa mencari berkah kepada pepohonan tergolong sebagai kesyirikan, demikian kepada bebatuan dan selainnya.
- Bahwa orang yang berpindah dari kebatilan -yang sudah menjadi adat kebiasannya- tidaklah aman dari masih adanya sisa-sisa kebiasaan tersebut di dalam hatinya.
- Bahwa sebab terjadinya peribadahan kepada patung adalah karena pengagungan dan beri’tikaf di sisi (patung) serta mencari berkah kepada (patung) itu.
- Bahwasannya manusia kadang beranggapan baik kepada sesuatu yang dia sangka dapat mendekatkannya kepada Allah, padahal sesuatu itu justru menjauhkannya dari Allah.
- Bahwasannya seorang muslim seyogyanya bertasbih dan bertakbir ketika mendengar sesuatu yang tidak pantas diucapkan dalam agama atau ketika mendengar sesuatu yang mengherankan.
- Pengabaran tentang terjadinya kesyirikan pada umat ini, dan sungguh (hal itu) telah terjadi.
- Menunjukkan salah satu tanda kenabian ﷺ, yaitu terjadinya kesyirikan pada umat ini sebagaimana yang beliau ﷺ kabarkan.
- Larangan menyerupai orang-orang jahiliyah, Yahudi, dan Nasrani, kecuali hal-hal yang dalil tunjukan bahwa hal itu termasuk ke dalam agama kita.
- Bahwa yang dianggap dalam hukum adalah makna, bukan nama, karena Nabi ﷺ telah menjadikan permintaan mereka seperti permintaan Bani Israil dan tidak melihat keadaan mereka, yang (Bani Israil) menamakan (sembahan)nya dengan Dzatu Anwath.
Catatan Kajian
Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 8 Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu dan Sejenisnya
Abu Aqid Al-Laitsiy adalah Al-Harits bin ‘Auf, seorang sahabat yang terkenal, meninggal pada 68 H dalam usia delapan puluh lima tahun. Beliau sudah masuk Islam sebelum fatthu Mekkah dan membawa bendera dari sukunya.
Dalam riwayat lain disebutkan mereka berperang setelah penaklukan mekkah dan jumlah mereka lebih dari seribu.
Pohon bidara yang dijadikan sesembahan dinamakan Dzatu Anwath. Dinamakan demikian karena banyaknya senjata yang digantung pada pohon tersebut.
Kaum musyrikin beritikaf di Dzatu Anwath. Itikaf merupakan salah satu bentuk ibadah. Dengan tujuan untuk mencari keberkahan.
Mereka menggantung senjata-senjatan nya di Dzatu Anwath untuk mengharapkan berkah.
Sebab-sebab melakukan kesyirikan:
- Taqlid, Ikut-ikutan
- Jahil terhadap agama
- Ghuluw terhadap orang-orang shaleh
- Tasyabuh terhadap orang-orang kafir
- Mengagungkan dari peninggalan-peninggalan
Awal sejarah masuknya kesyirikan adalah Amar bin Nuaim yang menemukan berhala-berhala yang sudah tertanam dibawah pasir. Beliau sedang tidur didaerah situ, kemudian syaitan mendatanginya lewat mimpi. Kemudian membawa berhala tersebut kebangsa Arab dan diibadahi.
Mereka yang baru masuk Islam ingin dibuatkan pohon yang bisa dipakai itikaf dan digantungkan senjata seperti Dzatu Anwath. Udzurnya disini adalah dikarenakan mereka baru masuk Islam.
Rasulullah berkata “Allahu Akbar”, sebagian riwayat “Subhanallah”. Hal dikatakan karena keheranan kenapa bisa seperti ini.
Nabi mengabarkan akan datang orang-orang yang mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.
Ucapan ini seperti apa yang diucapkan bani israil kepada Nabi Musa.
Yang dilihat adalah Hakikat, sebagaimana shabat ingin dibuatkan pohon Dzatu Anwath, tapi Nabi mengukumi ucapan itu sema seperti ucapan Bani Israil yaitu “Buatkan untuk kami berhala (sesembahan). Kesamaannya adalah mereka sama-sama meminta menjadikan sesuatu yang diibadahi selain Allah.
Sama halnya dengan orang masa kini bahwa mereka beribadah hanya kepada Allah, tapi mereka pergi kekuburan untuk mendekatkan diri. Sehingga hakikatnya adalah sama.
Kekeliuran dalam Tabaruk
Sebagian orang ada yang membolehkan bertabaruk dengan orang yang shaleh (jejaknya dan bekasnya).
Imam Nawawi menyebutkan dalam sebagian hadits, diantaranya ketika Nabi mentahnik Abdullah bin Tolha, Imam Nawawi membolehkan meminta hal seperti itu kepada orang shaleh. Ini adalah hal yang dianggap keliru oleh para ulama, dikarenakan:
- Berbeda antara Nabi dan orang Shaleh. Tidak ada orang shaleh yang sampai sederejat dengan Nabi. Ada yang terkait dengan Nabi tapi khusus untuk Nabi, seperti Nabi meludah, para saahabat berebut. Ini adalah kekhususan untuk Nabi.
- Andaikata benar bahwa ada orang shaleh, maka perlu dalil khusus.
- Para sahabat tidak pernah melakukan hal yang seperti itu. Hanya nabi saja yang diperlakukan seperti itu.
Pembahasan:
Pertama: Penafsiran ayat surah An-Najm
Al-Lat adalah nama batu atau nama orang yang diagungkan kuburnya.
Al-Uzza adalah nama pohon.
Al-Manat adalah nama berhala.
Sehingga bertabaruk dengan bebatuan dan pepohonan termasuk kepada kesyirikan.
Kedua: Pengenalan bentuk perkara/pengharapan yang mereka minta
Mereka meminta dijadikan untuk mereka pohon untuk mereka bertabarruk dengannya.
Ketiga: Keberadaan mereka yang belum melakukannya.
Para sahabat baru meminta belum melakukan bertabarruk kepada pohon. Mereka menyangka itu bagus. Mereka tidak melakukan karena Nabi melarangnya dan mereka taat kepada nabi.
Orang yang baru belajar belum tahu perkara-perkara. Begitu mengetahuinya, hukumnya maka ditinggalkan.
Keempat: Keberadaan mereka yang menghendaki taqarrub (pendekatan diri / peribadahan) kepada Allah dengan hal itu karena persangkaan mereka bahwa Allah mencintainya.
Mereka ketika meminta kepada Nabi ﷺ agar menjadikan pohon untuk bertabarruk, mereka menganggap bahwa hal tersebut mendekatkan diri mereka kepada Allah. Tidak mungkin shahabat meminta sesuatu untuk bermaksiat, apalagi berbuat kesyirikan.
Kelima: Sesungguhnya, jika mereka tidak mengetahui hal ini, selain dari mereka lebih patut atas ketidaktahuan tersebut.
Apabila para shahabat meminta seperti ini karena sangkaan mereka untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dan mereka tidak tahu tentang hal tersebut, maka selain dari para shahabat lebih pantas untuk tidak mengetahui akan hal ini.
Keenam: Mereka dijanjikan kebaikan dan janji mendapatkan ampunan yang janji tersebut tidak diberikan kepada selain mereka.
Para sahabat dijanjikan kebaikan dan pengampunan dan mereka bersama Nabi ﷺ, yang tidak dimiliki oleh yang lain. Akan tetapi Nabi ﷺ tetap menegur para sahabat. Sehingga apabila terjadi bukan para sahabat maka akan lebih ditegur dan diingkari lagi.
Ketujuh: Bahwa Nabi ﷺ tidak memberi udzur bagi mereka terhadap perkara tersebut, tetapi beliau ﷺ menyanggah mereka dengan sabda beliau ﷺ, “Allahu Akbar, sesungguhnya hal tersebut adalah tradisi orang-orang sebelum engkau. Sungguh kalian akan mengikuti tradisi-tradisi kaum sebelum kalian.” Oleh karena itu, beliau menegur keras perkara tersebut dan tiga hal ini.
Nabi ﷺ menegur dengan tiga hal:
- Bertakbir, menunjukan pengingkaran
- Itu adalah jalannya orang sebelum kalian.
- Sungguh kalian akan mengikuti jalan mereka.
Kedelapan: Perkara besar -yang menjadi tujuan hadits-: beliau (ﷺ) mengabarkan bahwasannya permintaan mereka serupa dengan permintaan Bani Israil ketika mereka mengatakan kepada Musa. Firman Alla Ta’ala yang artinya “Adakanlah suatu sembahan bagi kami” (Al-A’raf: 138).
Maksudnya bahwa para sahabat yang meminta pohon untuk dijadikan berkah, hal ini diserupakan dengan permintaan Bani Israil yang meminta sesembahan. Apabila kita sudah jelas akan hakikat kesyirikan maka apabila berubah bentuk dan penamaan kita akan mengetahui hakikatnya.
Terdapat pengajaran dari Nabi ﷺ bahwa mengingkari sesuatu dengan dalil agar lebih kuat dan diterima.
Kesembilan: Peniadaan hal ini adalah tergolong sebagai bagian dari makna La Ilaha Illallah, bersamaan dengan kedalaman dan kesamaran (hal tersebut) bagi mereka.
Nabi mengingkari orang yang meminta pohon untuk bertabarruk, merupakan sebagian bagian dari makna La Ilaha Illallah, yaitu An-Nafi (penafikan).
Tidak meyakini keberkahan pada pepohonan, batuan, dan selainnya, itu adalah bagian dari makna La Ilaha Illallah. Andaikata tidak bertentangan dengan makna La Ilaha Illallah, maka Nabi tidak akan mengingkari mereka.
Shahabat saja luput dalam hal ini, bagaimana pula dengan yang bukan sahabat?. Bahkan orang yang berilmu juga bisa luput dalam hal ini, bagaimana pula dengan orang awam?
Kesepuluh: Bahwa beliau (ﷺ) bersumpah atas fatwa, sedang beliau tidak akan bersumpah, kecuali untuk kemaslahatan.
Rasulullah bersumpah “demi jiwaku berada ditangannya”, menunjukkan penting dan besarnya masalah ini.
Kesebelas: Syirik terbagi menjadi syirik besar dan syirik kecil. (Hal ini) karena mereka (para sahabat) tidaklah menjadi murtad karena perkara ini.
Kedua belas: Perkara mereka (para sahabat), “Kami baru-baru saja meninggalkan masa kekufuran,” menunjukkan bahwa selain mereka tidaklah ‘jahil’ akan hal itu.
Maksudnya sahabat yang sudah lama masuk Islam mengetahui bahwa itu adalah hal yang keliru. Perkara ini hanya terjadi kepada para sahabat yang baru masuk Islam.
Ketiga belas: Bertakbir karena ada sesuatu yang mengejutkan. (Hal ini) berbeda dengan pendapat yang menganggapnya makruh.
Bertakbir dibolehkan apabila takjub pada sesuatu karena Nabi ﷺ melakukannya. Bukan seperti orang jaman sekarang yang ikut-ikutan bertakbir di jalanan.
Keempat belas: Kaidah “saddu adz-dzara’i” pencegahan dini dengan menutup segala sarana.
saddu artinya mencegah. dzara’i artinya yang bisa membawa. Sehingga artinya pencegahan dini dengan menutup segala sarana yang bisa mengantar kepada hal yang dilarang.
Hadits ini termasuk pada saddu adz-dzara’i, begitu sahabat meminta pohon untuk dibuat bertabaruuk, maka Nabi ﷺ langsung mengingkarinya agar tidak menjurus kepada perbuatan.
Kaidah ini merupakan salah satu pembahasan pokok di berbagai tempat. Ibnu Qoyim menyebutkan 99 dalil untuk kaidah saddu adz-dzara’i ini.
Kelima belas: Larangan terhadap menyerupakan diri dengan kaum jahiliyah.
Larangan tasyabuhnya yaitu melarang mengikuti orang jahilyah dalam bertabarruk dengan pohon. Dan Nabi ﷺ mengabarkan bahwa ini adalah jalannya orang musyrikin sebelum mereka.
Ini juga kaidah larangan bertasyabuh dengan orang jahiliyah, kufur, dan syirik.
Keenam belas: -Menampakan- kemarahan pada saat pengajaran.
Menampakan kemarahan ketika pengajaran dibolehkan. Nabi mengingkari dengan perkataan Allahu Akbar yang menunjukkan kemarahan beliau akan terjadinya hal tersebut.
Ketujuh belas: Kaidah umum pada sabda beliau (ﷺ), “Sesungguhnya hal tersebut adalah tradisi“
Kaidah menyeluruh bahwa apa saja dari jalan (tradisi) orang-orang kafir adalah tercela.
Kedelapan belas: Perkara ini adalah salah satu dari sekian tanda kenabian karena hal tersebut terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan.
Nabi ﷺ pernah mengabarkan bahwa “mereka akan mengikuti jalan orang-orang sebelum mereka” dan terjadi pada kejadian ini. Ini menunjukkan tanda kenabian ﷺ, yaitu nabi mengabarkan sesuatu yang akan terjadi dan terjadi sebagaimana yang nabi kabarkan.
Kesembilan belas: Segala sesuatu, yang dengannya Allah mencela kaum Yahudi dan Nashara di dalam Al-Qur’an, juga berlaku bagi kita.
Ketika para sahabat berkata “Jadikan untuk kami Dztu Anwath, ya Rasulullah, sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.” Nabi ﷺ menyebutkan celaan Allah Ta’ala terhadap Bani Israil didalam Al-Qur’an. Nabi Musa berkata kepada mereka “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)” (Al-A’raf: 138) . Maka celaan terhadap kaum Yahudi dan Nashara di dalam Al-Qur’an, maka juga berlaku bagi kita.
Seperti ayat yang artinya “Wahai Ahlu Kitab janganlah extrim dengan agama kalian”. Maka larangan ini tidak berlaku bagi ahlul kitab saja, tapi juga berlaku bagi kita, dilarang ekstrim dalam agama.
Kedua puluh: Sesuatu yang baku menurut mereka (sahabat) bahwa setiap bentuk peribadahan berdasarkan pada perintah (syar’i). Dengan demikian, hadits tersebut mengandung penegasan akan pertanyaan-pertanyaan di kubur. Adapun (pertanyaan) “siapa Rabb-mu?” adalah sesuatu yang jelas adanya. Pertanyaan “siapa Nabi-mu?” adalah berupa pengabaran beliau (ﷺ) akan berita-berita gaib. Sementara itu, pertanyaan “apa agama-mu?” adalah disadur dari perkataan mereka, “Adakanlah suatu sembahan bagi kami.” (Al-A’raf: 138) hingga akhir.
Para sahabat mempunyai kaidah dalam melaksanakan peribadahan harus ada perintah (syar’i) atau dalil. Maka berdasarkan kaidah ini, haditst ini mengandung penegasan akan pertanyaan-pertanyaan di alam kubur. Di alam kubur harus menjawab pertanyaan berdasarkan apa yang dia yakini.
Para sahabat ketika ingin Dztu Anwath, mereka tidak langsung melakukan. Akan tetapi bertanya dulu kepada Nabi ﷺ. Sudah tetap dalam diri para sahabat bahwa tidak boleh melakukan sesuatu sebelum ada perintah. Dan tidak boleh mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam hal apapun. Ketika Nabi melarang, maka mereka tidak melakukannya.
Ada tiga pertanyaan kubur: “Siapa Rabbmu, Siapa Nabimu, dan apa agamamu?” Pertanyaan ini tercakup dalam hadits. Adapun pertanyaan siapa Rabbmu? adalah sesuatu yang sudah jelas karena mereka tidak mengatakan bahwa pohon itu dapat mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan. Mereka mengetahui bahwa yang mencipta, memberi rezki, menghidupkan, dan mematikan hanyalah Allah Ta’ala. Sehingga ini sudah jelas diketahui oleh para sahabat dan mereka tidak bertanya tentang itu.
Adapun pertanyaan, “siapa Nabimu?” Nabi mengabarkan tentang hal yang ghaib menunjukkan tanda kenabian beliau. Menunjukkan bahwa yang mereka lakukan sama dengan perbuatan Bani Israil.
Kemudian pertanyaan yang ketiga, apa agama-mu?. yaitu diambil dari ucapan mereka “Jadikan kami sembahan …(sampai akhir).” Bagaimana diingkari mereka menjadikan dzatu anwath sama dengan ucapan Bani Israil. Dilarang karena bertentangan dengan agama Islam. Maka agama Islam adalah hati yang selalu menghadap kepada Allah Ta’ala dalam segala keadaan. Hal ini berbeda dengan agama kaum musyrikin. Maka ini adalah penjelasan mengenai pertanyaan “Apa Agama mu?”
Penulis membahas Bab ini ringkas tapi mendetail yaitu didalamnya ada peringatan mengenai pertanyaan di alam kubur. Sebenarnya kalau kita memperhatikan surah-surah Al-Quran mencakup pertanyaan di alam kubur. Misalnya surat Al-Fatihah didalamnya ada penjelasan siapa Allah: Rabbul ‘Alamin dan sifat-sifatnya. Kemudian tentang Nabi pada ayat yang artinya “Tunjukanlah jalan yang lurus”, yaitu yang ditunjukan oleh Nabi ﷺ. Dan ayat terakhir surat al-fatihah, menunjukkan bahwa Islam berbeda dengan Yahudi dan Nashara.
Kedua puluh satu: Sesungguhnya tradisi ahli kitab adalah tercela sebagaimana halnya tradisi kaum musyrikin.
Begitu dicela perbuatan mereka meminta dzatu anwath, disebutkan bahwa hal tersebut sama dengan perbuatan bani israil dan kaum musyrikin.
Kedua puluh dua: Seseorang yang berpindah dari kebatilan, yang hatinya telah terbiasa dengan kebatilan tersebut, tidaklah aman bila dihatinya masih terdapat sisa-sisa kebiasaan tersebut. Hal ini berdasarkan perkataan mereka, “Kami baru-baru saja meninggalkan masa kekufuran”.
Mereka berkata “buatkan kami dzatu anwath?”. Udzurnya adalah karena kami baru saja masuk Islam. Mereka masih tersisa sebagian kebiasaan sebelum masuk Islam.
Seorang yang bertauhid harus berhati-hati yang terkadang muncul darinya tapi tidak menyadari. Terlebih apabila mempunyai masa lalu yang tidak bagus.
Juga terdapat kekeliruan da’i-da’i yang sebelum mengenal Sunnah, mereka mengenal jama’ah kelompok yang menyimpang terkait dengan pergerakan, pemikiran, pengkafiran, tasawuf. Maka apabila tidak mempelajari dengan mendetail, terkadang muncul kebiasaan lamanya.
Contohnya kelompok Ikhwanul Muslimin, yang mempunyai pemikiran mengenai kudeta terhadap pemerintah, mengangkat senjata, demonstrasi, pengkafiran, dan seterusnya. Setelah mengenal aqidah as-salaf tapi sering mengkritik pemerintah atau pengkafirkan orang yang berbuat dosa.
Setelah mengenal jalan as-sunnah terdapat kewajiban-kewajiban:
- Mempelajari ilmu yang benar
- Mempelajari aqidah dan manhaj as-salaf secara terperinci, jangan memahami secara global saja.
- Mempelajari akar-akar penyimpangan dahulu, agar bisa menghilangkan penympangan pemikiran dari dasarnya.
Ketiga hal kewajiban tersebut perlu diajari oleh guru yang baik.
Wallahu Ta’ala A’lam
