Hadits mengenai kisah kematian Abu Thalib

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 17 Firman (Allah) Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai” (Al-Qashash: 56)

Dalam As-Shahih dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, (ayahnya) berkata, “Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, datanglah Rasulullah kepadanya, dan saat itu Abdullah bin Abi Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya, maka (Rasulullah) berkata kepadanya,

Wahai pamanku, ucapkanlah La Ilaha Illallah, suatu kalimat yang dapat kujadikan sebagai hujjah untukmu di sisi Allah

Namun, kedua orang itu berkata, ‘Apakah engkau membenci agama Abdul Muththalib?’

Nabi pun mengulangi ucapan (beliau) kepada paman (beliau), tetapi kedua orang itu juga mengulang-ulangi perkataan mereka kepadanya. Maka, akhir perkataannya adalah bahwa ia masih tetap berada pada agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La Ilaha Illallah.

Oleh karena itu, Nabi bersabda, ‘Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu sepanjang aku tidak dilarang

Maka, Allah ﷻ menurunkan (firman-Nya), ‘Nabi dan orang-orang yang beriman tidaklah patut memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun (orang-orang musyrik) itu adalah kaum kerabat(-nya)’ (At-Taubah: 113)

Mengenai Abu Thalib, Allah menurunkan (firman-Nya), ‘Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah‘ (Al-Qashash: 56)

Biografi

Ibnu Musayyib adalah Sa’id bin Al-Musayyib, salah seorang ulama dan ahli fikih serta termasuk kibar tabiin. Beliau meninggal setelah 90 H.

Makna Hadits Secara Global

Adalah Abu Thalib seorang yang senantiasa melindungi Nabi ﷺ dari gangguan kaumnya. Dia melakukan perlindungan yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain, sehingga Nabi ﷺ sangat bersemangat terhadap hidayah pamannya tersebut. Di antara upaya beliau dalam rangka semangatnya tersebut adalah bahwa beliau menjenguknya ketika sakit. Maka Nabi ﷺ mendatanginya ketika dia sedang dalam sakaratul maut dan menawarkan, (untuk masuk) Islam, agar Islam menjadi penutup bagi kehidupannya, sehingga dia mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Nabi ﷺ meminta agar Abu Thalib mengucapkan kalimat tauhid La Ilaha Illallah, Sedangkan kaum musyrikin menawarkan agar Abu Thalib tetap dalam agama nenek moyangnya yaitu agama kesyirikan, karena mereka mengetahui bahwa kalimat ini menunjukkan penolakan terhadap kesyirikan serta pengikhlasan ibadah hanya kepada Allah semata.

Nabi ﷺ mengulangi permintaannya kepada Abu Thalib agar melafadzhkan syahadat (_La Ilaha Illallah) itu, tetapi kaum musyrikin juga mengulangi bantahannya sehingga mereka telah menjadi sebab perpalingannya dari kebenaran dan kematiannya di atas kesyirikan.

Kemudian ketika itu, Nabi ﷺ bersumpah untuk memintakan ampun baginya kepada Allah selama hal itu tidak dilarang (oleh Allah). Maka Allah menurunkan larangan tentang hal tersebut dan menjelaskan bahwa hidayah itu di tangan Allah, dan Allahlah yang memberikan keutamaan dengan hidayah itu kepada siapa yang Dia kehendaki. Hal ini karena Allah lebih mengetahui orang-orang yang pantas mendapatkan hidayah dan orang-orang yang tidak pantas mendapatkan (hidayah) tersebut.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Bahwasannya Ar-Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam tidak berkuasa untuk memberi manfaat kepada orang yang paling dekat dengan dirinya, yang menunjukkan akan batilnya bergantung kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam untuk mendapatkan manfaat atau menolak bahaya, apalagi kepada selainnya.

Faedah Hadits

  1. Bolehnya menjenguk orang musyrik yang sakit apabila diharapkan dapat masuk Islam.
  2. Bahayanya sahabat yang jelek dan teman yang jahat bagi seseorang.
  3. Bahwa makna kalimat La Ilaha Illallah adalah meninggalkan peribadahan kepada patung, para wali, dan orang shalih, serta mengesakan peribadahan hanya untuk Allah, dan bahwasannya orang-orang musyrikin mengetahui maknanya.
  4. Bahwasannya siapa saja yang mengucapkan La Illaha Illallah dengan mengetahui (makna kalimat tersebut) dan penuh keyakinan (tidak ragu) serta mengimani (kalimat) itu, dia telah masuk Islam.
  5. Bahwa semua amalan itu bergantung pada (amalan) yang terakhir.
  6. Diharamkan memintakan ampun untuk orang-orang musyrikin, juga diharamkan untuk loyal dan mencintai mereka.
  7. Batilnya bergantung kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan yang lainnya dalam usaha mencari manfaat dan menolak bahaya.
  8. Bantahan terhadap orang yang meyakini keislaman Abu Thalib.
  9. Bahanya taqlid kepada nenek moyang dan para pembesar dengan menjadikan ucapan-ucapan mereka sebagai hujah untuk rujukan ketika terjadi perselisihan.

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 17

Hadits ini menafsirkan ayat yang sebelumnya.

Periwayat hadits Ibnul Musayyab merupakan salah satu Al-Fuqoha As-Sab’a, tujuh ahli fikih kota Madinah, yaitu:

  1. Urwa bin Zubair bin Awwam
  2. Ubaidullah bin Abdillah bin Usbah bin Mas’ud
  3. Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar As-Syidiq.
  4. Syaid bin Musayyab
  5. Abu Bakr bin Abdurahman bin Harits
  6. Sulaiman bin Yasar
  7. Khariya bin Zaid.

Ibnul Musayyab adalah imamnya para tabi’in dari sisi ilmu. Tabi’in paling afdhal adalah Uwais Al-Qarni karena Nabi memberikan hadits yang mengisyaratkan akan hal itu, yaitu Nabi berkata kepada Umar, “Nanti akan datang seorang lelaki yang bernama Uwais dari Bani Qarun. Apabila ketemu dia, minta supaya didoakan. Akan tetapi dari sisi ilmu, Ibnul Musayyab lebih utama.

Ayahnya, Al-Musayyab, adalah seorang sahabat, demikian pula kakeknya, Hazn, adalah seorang sahabat. Hazn meninggal di Yamama, ketika perang melawan Musailamah Al-Kadzab. Sedangkan ayahnya, Al-Musayyab, wafat di masa khilafah Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu.

Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, beliau didatangi oleh Rasulullah ﷺ. Hal ini menunjukkan bolehnya mengunjungi orang kafir yang sedang sakit, apabila ada maslahat atau apabila diharapkan masuk Islam. Waktu itu di sisi Nabi ada Abdullahi bin Ummaya dan Abu Jahal.

Periwayat hadits Al-Musayyab hadir pada kejadian ini, sehingga masuk Islam. Demikian pula Abdullahi bin Ummaya, pentolan Quraisy, masuk Islam. Abu Jahal mati di atas kekafiran, yang gelarannya adalah Firaun di tengah umat ini.

Maka, Nabi berkata, “Wahai Pamanku, katakanlah La Ilaha Illallah“. Terdapat kewajiban mengucapkan La Ilaha Illallah bagi yang ingin selamat dari api neraka dan masuk ke dalam Islam. Menunjukkan tidak cukup hanya menunjukkan pembelaan dan kecintaan, tapi harus ditegaskan dengan berucap La Ilaha Illallah.

Suatu kalimat yang dapat menjadikannya sebagai hujjah di sisi Allah“. Maksudnya, ucapan La Ilaha Illallah menjadi argumen di mana Nabi Muhammad akan membelanya di depan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa amalan itu tergantung penutupnya. Apabila penutupnya berucap La Ilaha Illallah, maka akan bermanfaat.

Namun kedua orang itu, Abdullahi bin Ummaya dan Abu Jahal, berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau membenci agama Abdul Muthalib?” Hal ini menunjukkan bahwa kaum musyrikin mengerti konsekuensi makna ucapan La Ilaha Illallah, yaitu dia harus kafir terhadap segala yang diibadahi selain daripada Allah dan berlepas diri dari agama kaum musyrikin. Sehingga kedua orang ini berupaya untuk tetap berada di kaum musyrikin dengan berkata, “Apakah engkau benci kepada agama Abdul Muthalib?”

Nabi ﷺ mengulangi ucapan kepada Abu Thalib, tetapi mereka berdua juga mengulangi perkataan mereka kepada Abu Thalib.

Maka akhir perkataan Abu Thalib masih berada di atas agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan La Ilaha Illallah.

Hal ini menunjukkan buruknya teman duduk karena andaikata tidak ada teman yang jelek ini, mungkin Abu Thalib masuk Islam. Dua teman jelek ini membuat Abu Thalib meninggal di atas kekufuran. Sehingga peringatan besar agar mengawasi teman duduknya karena bisa membawanya kepada kebinasaan.

Kemudian Nabi ﷺ bersabda, “Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu sepanjang aku tidak dilarang“. Maka Allah menurunkan firmannya, “Nabi dan orang-orang yang beriman tidaklah patut memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik” (At-Taubah: 113). Setelah tampak jelas bahwa mereka adalah penghuni neraka jahim, walaupun kaum musyrikin itu kerabatnya sendiri. Ayat ini menunjukkan larangan untuk memohonkan ampun bagi kaum musyrikin sekalipun kerabatnya. Setelah tampak jelas, maksudnya menunjukkan kejelasan bahwa mereka adalah penghuni neraka jahim.

Allah menurunkan firmannya tentang Abu Thalib, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) takkan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

Hadis ini menerangkan makna ayat dan menunjukkan bahwa Nabi ﷺ adalah manusia yang paling dekat dengan Allah, tidak bisa memberikan manfaat hidayah kepada pamannya. Sehingga batilnya bergantung kepada Nabi dalam mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Apabila terhadap Nabi saja hal yang batil, maka selain Nabi lebih batil lagi.

Faedah hadits:

Pertama, bolehnya mengunjungi orang kafir yang sakit apabila diajak masuk Islam.

Kedua, bahayanya berteman dengan teman yang buruk.

Ketiga, makna La Ilaha Illallah adalah meninggalkan peribadatan kepada berhala, wali-wali, dan orang sholeh serta mengesakan Allah dengan ibadah. Kaum musyrikin mengetahui akan makna ini.

Keempat, siapa yang berucap La Ilaha Illallah di atas ilmu dan keyakinan serta meyakininya, maka masuk dalam Islam.

Kelima, amalan tergantung pada penutupnya.

Keenam, haramnya memohonkan ampun untuk kaum musyrikin. Sebagaimana diharamkan memberi loyalitas dan kecintaan kepada mereka.

Ketujuh, batilnya bergantung kepada Nabi dan selainnya dalam mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.

Kedelapan, bantahan terhadap orang yang mengatakan Abu Thalib masuk Islam.

Kesembilan, bahaya fanatik terhadap bapak-bapak dan nenek moyang. Hal ini yang menjadikan Abu Thalib tidak mau masuk Islam.

Wallahu Ta’ala A’lam

Firman Allah Ta’ala, “Sehingga apabila rasa takut dari hati (para malaikat) itu telah dihilangkan, mereka betanya, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka pun menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba: 23)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 15: Firman Allah Ta’ala, “Sehingga apabila rasa takut dari hati (para malaikat) itu telah dihilangkan, mereka betanya, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka pun menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba’: 23)

Dalil Ke-1

Firman Allah Ta’ala:

حَتَّىٰٓ إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا۟ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ۖ قَالُوا۟ ٱلْحَقَّ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْكَبِيرُ

Sehingga apabila rasa takut dari hati (para malaikat) itu telah dihilangkan, mereka betanya, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka pun menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba’ : 23)

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Pada bab ini, terapat penjelasan tentang keadaan para malaikat, bahwa mereka adalah yang terkuat dan terbesar diantara apa-apa yang disembah selain Allah. Apabila keadaan mereka seperti itu terhadap Allah – sebagaimana disebutkan bahwa mereka mengagungkan dan takut kepada Allah -, maka bagaimana mereka diseru/disembah bersama Allah, dan apalagi selain mereka (para malaikat tersebut).

Dalam hal ini ada bantahan terhadap seluruh kaum musyrikin yang menyeru bersama Allah sesuatu yang (keadaannya) sangat jauh dengan malaikat (dari sisi kekuatan dan kebesarannya).

Makna Ayat Secara Global

Allah mengabarkan tentang para malaikat, bahwa ketika mereka mendengar wahyu dari Allah kepada Jibril, ketika itu mereka sangat ketakutan, karena pengagungan dan pemuliaan kepada Allah bahkan mereka gemetar sampai seperti pingsan. Ketika rasa ketakutan itu sudah hilang dari hati mereka, mulailah saling bertanya. Mereka berkata, “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” (Saba: 23).

Maka mereka menjawab, “(Perkataan) yang benar. Dan Dialah Yang Maha Tinggi di atas segala sesuatu dan Maha Besar, yang tidak ada yang lebih besar dan lebih agung daripada Allah.”

Faedah Ayat

  1. Bantahan terhadap semua kelompok musyrikin yang beribadah kepada Allah juga kepada mereka yang tidak mendekati apalagi menyamai malaikat pada salah satu dari sifat-sifatnya.
  2. Penetapan sifat kalam/berbicara bagi Allah, sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah.
  3. Bahwa kalam Allah Subhanahu Wa Ta’ala (ucapan Allah) itu bukan makhluk, sebab mereka para malaikat berkata “Apalah yang telah difirmankan/dikatakan oleh Rabb kalian?” tidak mengatakan “Apa yang telah diciptakan oleh Rabb-mu?”
  4. Penetapan ketinggian Allah Subhanahu di atas seluruh makhluk-Nya.
  5. Penetapan kebesaran/keagungan Allah.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 15 Firman Allah Ta’ala – Saba: 23

Telah diangkat dari hati malaikat (rasa takut), mereka bertanya apa yang di firmankan oleh Rabb kalian. Mereka menjawab perkataan yang benar.

Bab ini berkaitan dengan Bab sebelumnya yang menjelaskan kebatilan sesembahan kaum musrikin. Bab sebelumnya dijelaskan bahwa manusia khususnya para Rasul tidak memiliki kemampuan apapun, tidak bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Pada Bab ini akan dijelaskan bahwa Malaikat juga adalah makhluk dan hamba Allah yang tidak memiliki suatu apapun.

Penulis membawakan dari dari Surat Saba’ ayat 23 ini dikarenakan dua hal:

Pertama, Malaikat tunduk dibawah kekuasaan Allah, sehingga tidak berhak untuk diibadahi. Malaikat adalah makhluk Allah yang apabila Allah berfirman, maka mereka tersungkur pingsan. Mereka tidak memiliki sesuatu apapun, sehingga tidak berhak untuk diibadahi.

Kedua, Semua makhluk penduduk langit dan bumi, tidak berhak untuk diibadahi. Pada bab sebelumnya dijelaskan mengenai makhluk penduduk bumi (para rasul). Pada Bab ini dijelaskan megenai makhluk penduduk langit (para malaikat).

Ini terdapat bantahan kepada seluruh lapisan kaum musyrikin. Apabila malaikat dan para nabi saja tidak berhak untuk diibadahi, apalagi yang lainnya. Mereka lebih tidak berhak untuk diibadahi.

Makna Ayat

Malaikat tersungkur pingsan ketiga mendengar firman Allah yang disampaikan kepada Jibril. Kemudian malaikat berkata “Apa yang telah di firmankan oleh Rabb-mu?”. Ini menunjukkan bahwa malaikat cinta dengan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kemudian dikatakan Allah berfirman dengan ucapan yang haq.

Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Allah mempunyai sifat ‘ulu (ketinggian). Sifat ketinggian Allah mencakup 3 hal:

  1. ‘Ulu Al-Qodar, ketinggian dalam kemampuan. Allah Yang Maha Tinggi dalam kemampuannya
  2. ‘Ulu Al-Qohar, ketinggian dalam penaklukan dan penguasaan. Allah Yang Maha Tinggi dalam penaklukan dan penguasaan.
  3. ‘Ulu Ad-Dzat, ketinggian dalam dzat-Nya. Allah Yang Maha Tinggi dalam Dzat-Nya

Allah menerangkan diri-Nya berada diatas langit dalam berbagai ayat dan Allah menerangkan dalam Al-Qur’an bahwa Dia beristiwa diatas Arsy. Serta Rasulullah menjelaskan tentang ketinggian dzat Allah di atas langit, diatas seluruh makhluk.

Dalam Al-Qur’an nama asmaul husna yang bermakna ketinggian Allah ada tiga, yaitu: Al-Aliyyu, Al-‘Ala, dan Al-Muta’al.

Al-Kabir, artinya yang maha besar. Tidak ada yang lebih besar dan lebih agung dari-Nya.

Ayat ini bersambung dengan ayat sebelumnya yang nanti akan dibawahakan oleh penulis pada bab Syafaat. Ayat ini dikatakan para ulama bahwa dia memutus akar-akar kesyirikan dari hati.

Faedah Ayat

  • Bantahan terhadap seluruh kaum musyrikin yang beribadah kepada Allah bersama dengan selain Allah, termasuk dengan malaikat dan lainnya.
  • Terdapat dalil bahwa malaikat mempunya rasa takut, memiliki hati, memiliki jasad tidak hanya sekedar ruh, memiliki akal.
  • Penetapan sifat Al-Kalam bagi Allah
  • Firman Allah adalah hak.
  • Penetapan bahwa kalam Allah bukan makhluk.
  • Penetapan sifat Allah Al-‘Ulu, dari kata Al-Aliyyun yang bermakna ketinggian
  • Penetapan sifat Al-Kabir, kebesaran dan keagungan Allah.

Wallahu Ta’ala A’lam

Referensi:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

Hadits dari Abu Hurairah tentang Rasulullah tidak bisa membela kerabatnya yang tidak beriman dan beramal shalih

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)

Dalil Ke-4

Juga dalam (Ash-Shahih) dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Ketika (ayat), ‘Dan berilah peringatan kepada keluargmu yang terdekat.’ (Asy-Syu’ara: 214) diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, beliau berdiri seraya bersabda,

Wahai segenap kaum Quraisy -atau ucapan yang semisalnya- tebuslah diri kalian (dari siksa Allah). Sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi kalian sedikitpun di hadapan Allah. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muthalib, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi/membela dirimu sedikitpun di hadapan Allah. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah ﷺ, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi/membela dirimu sedikitpun di hadapan Allah, Wahai Fathimah, putri Muhammad, mintalah harta kepadaku sebagaimana keinginanmu. Sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi/membela dirimu sedikitpun di hadapan Allah“.

Biografi

Abu Hurairah, disebutkan bahwa nama beliau yang benar adalah Abdurahman bin Shakr, dari suku Daus, termasuk orang-orang yang mulia, yang banyak hafalan lagi ulama dari kalangan sahabat. Beliau meriwayatkan lebih dari lima ribu hadits. Beliau meninggal pada 57, 58, atau 59 H.

Makna Hadits SecaraGlobal

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu mengabarkan tentang apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ ketika Allah memerintahkan dalam kitab-Nya yang mulia untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya, bahwa beliau betul-betul melaksanakan perintah tersebut. Beliau menyeru/memanggil orang-orang Quraisy secara keseluruhan, juga beliau seru pamannya, bibinya, serta anak perempuannya. Beliaupun memperingatkan mereka secara khusus dan memerintahkan mereka untuk menyelamatkan diri masing-masing dari adzab Allah dengan cara menauhidkan dan menaati-Nya. Beliau menyampaikan bahwa beliau tidak dapat melindungi mereka dari adzab Allah sedikitpun apabila mereka tidak beriman.

Maka semata-mata kedekatan hubungan kekerabatan mereka dengan Rasul, tidaklah bermanfaat bagi mereka tanpa keimanan.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh meminta kepada Rasul, apalagi kepada selain Rasul, kecuali apa-apa yang disanggupi dalam perkara dunia. Adapun dalam perkara-perkara yang tidak disanggupi kecuali oleh Allah, maka tidaklah boleh memintanya kecuali kepada Allah. Pada hadits ini, terdapat bantahan terhadap para penyembah kubur yang mereka beristighasah akan kesulitan-kesulitan dan dalam pemenuhan keperluan-keperluannya kepada orang-orang yang telah meninggal.

Faedah Hadits

  1. Bantahan terhadap orang-orang yang menyembah para nabi dan orang-orang shalih, yang mereka itu menggantungkan diri kepada makhluk dalam pemenuhan keperluan-keperluan mereka yang tidak disanggupi (pemenuhannya) kecuali hanya oleh Allah.
  2. Bahwasannya tidak boleh memintah kepada hamba kecuali apa-apa yang disanggupinya.
  3. Bersegeranya Nabi ﷺ dalam melaksanakan perintah Allah serta menyampaikan risalah.
  4. Bahwasannya tidak ada yang bisa menyelamatkan dari adzab Allah kecuali iman dan amal shalih, bukan hanya dengan bersandar kepada nasab keturunan seseorang.
  5. Bahwa orang yang pantas menjadi paling dekat dengan Rasul ﷺ adalah orang-orang yang taat dan mengikuti beliau, baik dari kalangan kerabat-kerabat beliau maupun selainnya.
  6. Bahwa semata-mata memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasul ﷺ tidak ada manfaatnya kalau tidak memiliki iman dan amal shalih serta aqidah yang benar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Referensi:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

Hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma mengenai Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam mendoakan kejelekan bagi kaum musyrikin

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)

Dalil Ke-3

Juga dalam (Ash-Shahih) dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, (beliau berkata) bahwa beliau mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berdoa (setelah kepala beliau terluka dan gigi taring beliau patah) ketika mengangkat kepala dari ruku’ pada rakaat terakhir dalam shalat Subuh, “Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan,” yaitu seletah mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah, Rabbana lakal hamdu“. Oleh karena itu, Allah menurunkan firman-Nya.

لَيْسَ لَكَ مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ

Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128)

Di dalam riwayat lain (disebutkan), “Beliau mendoakan kejelekan bagi Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan Al-Harits bin Hisyam maka turnlah ayat,

Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128)

Biografi

Ibnu Umar adalah Abdullah bin Umar bin Al-Khathtab Radhiyallahu Anhuma, seorang shahabat yang mulia, termasuk ahli ibadah dan ulama dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada 73 H.

Makna Hadits SecaraGlobal

Abdullah bin Umar Radyiallahu Anhu mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mendoakan kejelekan daam shalat terhadap beberapa orang dari kalangan tokoh-tokoh orang kafir yang telah menyakitinya pada perang Uhud, maka Allah menegurnya dengan firman-Nya “Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128).

Lalu Allah memberikan taubat kepada mereka, sehingga mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Di dalam hadits terdapat penjelasan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mampu membela dirinya dari gangguan kaum musyrikin, tidak pula membela para shahabatnya bahkan beliau meminta perlindungan kepada Allah Yang Maha Mampu dan Maha Berkuasa. Hal ini menunjukkan batilnya apa yang diyakini oleh para penyembah kubur terhadap para nabi dan orang-orang shalih.

Faedah Hadits

  1. Batilnya bergantung kepada para wali dan orang shalih dalam meminta pemenuhan keperluan dan pelepasan diri dari kesulitan.
  2. Bolehnya mendoakan kejelekan terhadap kaum musyrikin dalam shalat.
  3. Sebagai dalil (petunjuk) bahwa menyebutkan nama orang yang didoakan kebaikan atau kejelekan untuknya tidak membatalkan shalat.
  4. Adanya penegasan bahwa imam menggabungkan bacaan tasmi’ (Sami’allahu liman hamidah) dan tahmid (Rabbana wa lakal hamdu)

Wallahu Ta’ala A’lam

Referensi:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

Hadits dari Anas Radhiyallahu Anhu mengenai Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam terluka di Perang Uhud

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)

Dalil Ke-2

Di dalam Ash-Shahih dari Anas Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Pada perang Uhud, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam terluka pada kepala, dan gigi taring beliau patah. Beliau pun bersabda, “Bagaimana akan beruntung, suatu kaum yang melukai Nabi mereka?’ Maka turunlah (ayat),

لَيْسَ لَكَ مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ

Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128)

Makna Hadits SecaraGlobal

Anas Radhiyallahu Anhu mengabarkan apa yang terjadi pada diri Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dalam peperangan Uhud berupa berbagai gangguan dan cobaan dari tangan musuh-musuhnya berupa luka-luka di dua tempat di tubuh beliau yang mulia. Maka seakan-akan beliau Shallallahu Alaihi Wasallam merasa putus asa bahwa orang-orang kafir Quraisy akan mendapatkan keburuntungan. Maka dengan sebab itualh dikatakan kepada beliau, “Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128).

Artinya akibat akhir dari suatu perkara dan hukum terhadap seseorang adalah di tangan Allah, maka berjalanlah kamu dengan keadaanmu dan teruslah berdakwah.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Pada hadits ini terdapat dalil akan batilnya kesyirikan kepada wali dan orang shalih, sebab apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mampu menolak musibah yang menimpanya, dan beliau juga tidak mampunyai hak sedikitpun untuk turut campur dalam menentukan suatu perkara, maka lebih-lebih selain Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam.

Faedah Hadits

  1. Menunjukkan batilnya kesyirikan kepada para wali dan orang shalih, karena apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja tidak mampu menolak bahaya dari diri beliau sendiri dan tidak berkuasa terhadap suatu perkara apapun, terlebih lagi selain beliau.
  2. Terjadinya sakit dan ujian pada diri nabi ‘alaihimus shalatuwas salam.
  3. Kewaijiban ikhlas dalam beribadah kepada Allah, karena hanya Dia semata yang menguasai segala urusan.
  4. Disyrariatkan untuk bersabar dan menanggung gangguan dan kesulitan di jalan dakwah kepada Allah
  5. Dilarang berputus asa dari rahmat Allah, meskipun manusia berbuat berbagai macam kemaksiatan selain kesyirikan.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 14 Firman Allah Ta’ala – Al-A’raf: 191-192

Pada pertempuran Uhud, Nabi mengalami luka di kulit kepala tanpa menyentuh tulangnya. Beberapa gigi taringnya patah akibat serangan Ukbah bin Abi Wakos. Nabi pernah mendoakan agar Ukbah meninggal dalam tidak lebih dari setahun, dan doa tersebut dikabulkan. Ukbah meninggal dalam keadaan kafir sebelum setahun berlalu.

Maka Nabi mengatakan bahwa bagaimana mungkin suatu kaum bisa meraih kebahagiaan dengan melakukan kekerasan terhadap nabi mereka. Mereka melukai kepala nabinya dan mematahkan giginya.

Maka turunlah ayat “Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka“. Ini berarti bahwa Nabi Muhammad tidak memiliki hak untuk campur tangan dalam hukum para hamba Allah. Semuanya ditangan Allah Subhanahu Wata’ala.

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah. Apabila beliau meminta apapun, Allah akan memberikannya. Akan tetapi, ayat ini adalah penegasan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tidak memiliki kekuasaan apapun dalam hal seperti ini. Beliau hanyalah hamba dan rasul Allah Subhanahu Wata’ala. Yang menentukan hukuman terhadap makhluk hanyalah Allah Subahanahu Wata’ala.

Wallahu Ta’ala A’lam

Referensi:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.