Tafsir Surat Nuh Ayat 23

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 18 Faktor yang Mengakibatkan Anak Adam Menjadi Kafir dan Meninggalkan Agama Mereka, yaitu Sikap Melampaui Batas kepada Orang-Orang Shalih.

Dalam Ash-Shahih, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhu, bahwa mengenai firman Allah Ta’ala,

وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّۭا وَلَا سُوَاعًۭا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًۭا

Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata, ‘Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan kepada) sembahan-sembahan kalian, (terutama) janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan kepada) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr” (Nuh: 23)

Beliau menafsirkan, “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, syaitan membisikan kepada mereka, ‘Dirikanlah gambar-gambar pada majelis-majelis mereka, tempat mereka pernah mengadakan pertemuan, dan namailah (gambar-gambar) itu dengan nama mereka.’ Orang-orang itu pun melaksanakan (bisikan syaitan) tersebut, tetapi (patung-patung mereka) belum disembah (ketika itu). Hingga, setelah orang-orang (yang mendirikan patung itu) meninggal dan manusia melupakan ilmu (agama), barulah (patung-patung) tadi disembah.”

Ibnu Qayyim berkata, “Banyak kalangan Salaf yang berkata, ‘Setelah mereka meninggal, orang-orang pun sering mendatangi kuburan mereka (untuk beri’tikaf), lalu mendirikan gambar-gambar mereka. Kemudian setelah masa demi masa berlalu, akhirnya mereka pun disembah.'”

Biografi

Ibnul Qayyim adalah Al-Imam Al-‘Alamah Muhamad bin Abi Bakr bin Ayyub Az-Zariy Ad-Dimasysqy, murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau meninggal pada 751 H -semoga Allah merahmati beliau-. Beliau memiliki karya-karya tulis yang bermanfaat dan terkenal.

Makna Atsar Secara Global

Ibnu ‘Abbas Radhyallahu Anhu menafsirkan ayat yang mulia ini dengan (tafsiran) bahwasannya sembahan-sembahan yang disebutkan oleh Allah bahwa kaum Nabi Nuh saling berwasiat untuk terus menyembahnya setelah Nabi Nuh Alaihi Salam melarang mereka dari berbuat kesyirikan kepada Allah. Bahwa pada asalnya sembahan-sembahan tersebut adalah nama orang-orang shalih dari kalangan mereka, yang mereka bersikap berlebih-lebihan kepada orang-orang shalih tersebut disebabkan oleh tipu daya syaithan terhadap mereka, sehingga mereka membuat gambar-gambar orang-orang shalih tersebut. Kemudian berubahlah perkara dengan gambar-gambar ini hingga menjadi patung-patung yang disembah dari selain Allah.

Adapun yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim, semakna dengan apa yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhariy, kecuali bahwa beliau (Ibnul Qayyim) menyebutkan bahwa perkara i’tikaf di atas kuburan orang-orang shalih itu dilakukan sebelum mereka membuat gambar-gambarnya. Maka hal ini dapat menambahkan (menguatkan) keterangan yang telah lalu bahwa i’tikaf di atas kubur juga merupakan sebab terjadinya peribadahan terhadap kubur tersebut.

Hubungan antara Atsar dan Bab

Atsar di atas menunjukkan bahwa sikap berlebihan terhadap orang-orang shalih merupakan sebab penyembahan kepada mereka dari selain Allah.

Faedah Atsar

  1. Bahwa sikap ghuluw ‘berlebihan’ terhadap orang-orang saleh merupakan sebab peribadahan kepada mereka dari selain Allah dan peninggalan agama secara keseluruhan.
  2. Peringatan dari membuat gambar dan menggantungkan gambar, terutama gambar orang-orang yang diagungkan.
  3. Peringatan dari tipu daya syaitan dan tawarannya yang batil dalam bentuk kebenaran.
  4. Peringatan dari berbagai macam bid’ah meskipun pelakunya bermaksud baik.
  5. Bahwa perkara ini merupakan perantara kepada syirik maka wajib dihindari.
  6. Mengetahui nilai keberadaan ilmu dan bahaya hilangnya ilmu.
  7. Bahwa sebab hilangnya ilmu adalah dengan meninggalkan ulama.
  8. Peringatan terhadap sikap taqlid karena sikap tersebut dapat mengakibatkan pelakunya keluar dari Islam.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Sumber:

    Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

    Bab 18 Faktor yang Mengakibatkan Anak Adam Menjadi Kafir dan Meninggalkan Agama Mereka, yaitu Sikap Melampaui Batas kepada Orang-Orang Shalih.

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 18 Faktor yang Mengakibatkan Anak Adam Menjadi Kafir dan Meninggalkan Agama Mereka, yaitu Sikap Melampaui Batas kepada Orang-Orang Shalih.

    Firman Allah Ta’ala:

    يَـٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَـٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ

    Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas (yang telah ditentukan Allah) dalam agama kalian.” (An-Nisa: 171)

    Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

    Setelah penulis rahimahullah menjelaskan sebagian perbuatan para penyembah kubur terhadap orang yang sudah meninggal dunia, berupa berbagai kesyirikan yang bertentangan dengan tauhid, dalam bab ini, beliau ingin menjelaskan sebab-sebab terjadinya hal tersebut agar seseorang berhati-hati dan menjauhkan diri darinya, yaitu sikap berlebihan kepada orang-orang shalih.

    Al-Ghuluw ‘melampaui batas’: yakni melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam mengagungkan, baik dengan ucapan maupun dengan keyakinan, serta melewati batas dari hal-hal yang telah Allah Ta’ala perintahkan.

    Fi Sholihin ‘terhadap orang-orang shalih’: yaitu dari kalangan Nabi, para wali dan selainnya.

    Ahli Kitab: yakni orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani.

    La taghulu fi dinikum ‘janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian’: artinya jangan kalian melampaui batas dari apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian. Maka orang-orang Nasrani telah berlebihan terhadap Isa, sedangkan orang-orang Yahudi telah berlebihan terhadap ‘Uzair’.

    Makna Ayat Secara Global

    Allah melarang orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashara untuk melampaui batas terhadap (ketentuan) yang telah Allah tetapkan untuk mereka. Yaitu, agar mereka tidak mengangkat makhluk pada kedudukan yang melebihi kedudukan (makhluk) yang telah Allah tetapkan, dan (agar mereka tidak) mendudukkan (makhluk) pada kedudukan yang tidak pantas ditempati oleh siapapun, kecuali Allah.

    Hubungan antara Ayat dan Bab

    Bahwa pada ayat ini, terdapat larangan terhadap sikap ghuluw ‘berlebih-lebihan’ secara mutlak, sehingga mencakup sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih. Meskipun ditujukan kepada ahlul kitab, ucapan dalam ayat tersebut sesungguhnya berlaku secara umum, yang menjangkau seluruh umat manusia, sebagai peringatan bagi mereka supaya mereka tidak memperlakukan Nabi mereka dan orang-orang shalih dari kalangan mereka sebagaimana perlakuan orang-orang Nashara kepada Isa dan orang-orang Yahudi kepada Uzair.

    Faedah Ayat

    1. Diharamkan sikap ghuluw ‘berlebih-lebihan’ terhadap individu-individu dalam amalan-amalan dan pada yang selainnya.
    2. Bantahan terhadap orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan yang menyerupai mereka dalam sikap ghuluw mereka terhadap seseorang pada amalan-amalan dan yang selainnya.
    3. Anjuran untuk senantiasa bersikap pertengahan dalam beragama dan dalam segala urusan, yaitu antara dua sikap: sikap berlebihan dan sikap meremehkan.
    4. Peringatan terhadap perbuatan syirik, sebab-sebab (kesyirikan) dan perkara-perkara yang mengantar kepada (kesyirikan)

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Sumber:

    Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

    Bab 17 Firman (Allah) Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai” (Al-Qashash: 56)

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 17 Firman (Allah) Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai” (Al-Qashash: 56)

    Kelengkapan Ayat

    إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

    Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allahlah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah” (Al-Qashash: 56)

    Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

    Bab ini merupakan bantahan terhadap para penyembah kubur yang meyakini bahwa para nabi dan orang-orang shalih bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Sisi bantahan tersebut adalah bahwa Nabi telah berusaha sekuat tenaga untuk memberi hidayah kepada pamannya (ketika masih hidup), tetapi beliau tidak berhasil. Kemudian, Nabi mendoakan kebaikan untuk pemannya setelah kematian (paman)nya, tetapi beliau dilarang melakukan hal itu. Lalu, Allah Subhanahu menyebutkan bahwa Rasul tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang dia cintai. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi tidak berkuasa untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya sehingga batallah sikap bergantung kepada Nabi dalam usaha mendapatkan manfaat dan menolak bahaya, lebih-lebih bergantung kepada selain beliau.

    Innaka ‘sesungguhnya kamu’: ucapan ini ditujukan kepada Nabi .

    La Tahdii ‘kamu tidak dapat memberi petunjuk’: yakni tidak dapat memberi hidayah taufik untuk masuk Islam. Adapun hidayah dalam arti berdakwah dan memberikan keterangan, maka Rasul kuasa atasnya. Allah berfirman,

    وَإِنَّكَ لَتَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ

    Sesungguhnya engkau betul-betul memberi hidayah kepada kalan yang lurus” (Asy-Syu’ra: 52)

    Man Ahbabta ‘orang yang kamu cintai’: untuk mendapatkan hidayah.

    Walakinnallaha yahdii mayyasyaa‘ ‘akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki’: yakni memberi taufik untuk masuk Islam.

    Wahuwa a’lamu bilmuhtadiin ‘dan Dia lebih mengetahui orang yang mendapat petunjuk’: yakni lebih mengetahui orang-orang yang pantas mendapat hidayah dan orang-orang yang pantas sesat.

    Makna Ayat Secara Global

    Allah Ta’ala mengatakan kepada Rasul-Nya : sesungguhnya kamu tidak mampu memberi taufik untuk masuk Islam kepada orang yang kamu cintai, tetapi hal itu ada di tangan Allah. Dialah yang memberi taufik kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia yang lebih mengetahui orang-orang yang berhak mendapat hidayah dan orang-orang yang tidak berhak mendapat (hidayah).

    Hubungan antara Ayat dan Bab

    Pada ayat ini terdapat dalil yang jelas bahwa Rasul tidak memiliki kekuasaan terhadap menfaat dan bahaya, tidak pula memberikan atau menghalangi, dan bahwa perkara itu semuanya ada di tangan Allah. Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap orang-orang yang menyeru (meminta) Nabi dalam rangka menghilangkan kesulitan-kesulitan mereka dan memenuhi keperluan-keperluan mereka.

    Faedah Ayat

    1. Bantahan terhadap orang-orang yang menyakini para wali dapat memberi manfaat atau bahaya serta ikut mengatur segala urusan melalui karamahnya setelah meninggal.
    2. Bahwa hidayah taufik berada di tangan Allah Subhanahu.
    3. Penetapan sifat ilmu bagi bagi Allah Subhanahu.
    4. Penetapan sifat hikmah bagi Allah Subhanahu.
    5. Penetapan batilnya bergantung kepada selain Allah.

    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 17

    Bab ini datang setelah pembahasan syafa’at dan masih berkaitan dengan beberapa bab sebelumnya, untuk menjelaskan tentang keharusan memurnikan tauhid hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Telah diterangkan tentang malaikat, hamba Allah yang paling dekat; mereka juga adalah makhluk yang perlu kepada Allah. Demikian pula manusia yang juga makhluk yang perlu kepada Allah, termasuk para rasul dan para wali. Semuanya adalah makhluk yang tidak berhak untuk diibadahi.

    Juga telah diketahui bahwa syafaat hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kepada siapa saja yang beribadah kepada selain Allah, kepada hal yang tidak mampu kecuali Allah. Maka hal ini termasuk kepada kesyirikan.

    Maka dalam bab ini, penulis ingin menegaskan bahwa syafaat itu murni milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad tidak berserikat dalam hal ini. Seseorang yang beliau cintai saja tidak mampu memberi hidayah.

    Sehingga ibadah kepada Nabi adalah ibadah yang batil. Apabila ibadah kepada Nabi yang merupakan makhluk yang paling afdhal dianggap batil, maka beribadah kepada selain beliau menjadi lebih batil lagi.

    Terdapat dua penekanan pada Bab ini:

    1. Penjelasan bahwa syafaat hanya milik Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad , hamba yang paling dekat dengan Allah, tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang dia cintai.
    2. Penegasan terhadap kaum musyrikin yang meyakini para Nabi dan orang-orang shalih memiliki manfaat dan bisa menolak bahaya. Apabila Nabi Muhammad tidak bisa memberi hidayah kepada siapa yang beliau cintai, maka hidayah itu hanya diminta dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Bab firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, Akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia lah, Allah, yang paling tahu siapa yang berhak mendapatkan hidayah tersebut.

    Hidayah, terkait dengan pembahasan Bab ini, terbagi menjadi dua:

    1. Hidayah Ad-dalala wal irsyad, yaitu hidayah yang menunjukan, mengarahkan dan membimbing.
    2. Hidayah At-taufiq wal ilham, hidayah ini hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Hidayah yang dinafikan dalam ayat ini, bahwa Nabi tidak bisa memberikan hidayah yaitu hidayah At-taufiq wal ilham. Nabi Muhammad tidak bisa memberi taufiq dan ilham kepada siapa yang kamu cintai sehingga masuk ke dalam Islam. Hidayah at-taufiq wal ilham hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Ayat ini semisal dengan Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah: “Bukan atas engkau, Nabi Muhammad, memberi hidayah kepada mereka“.

    Hidayah Ad-dalala wal Irsyad, yaitu menunjukkan, mengajak, dan membimbing. Hidayah ini ditetapkan untuk Nabi Muhammad . Nabi Muhammad mengajak manusia ke jalan Allah, menunjukkan segala hal yang diperlukan oleh manusia. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Asy-Syura, “Dan engkau, Nabi Muhammad, sungguh memberi hidayah kepada jalan yang lurus“.

    Demikian juga firman Allah, “Adapun Tsamud, kami telah beri hidayah kepadanya. Tapi dia lebih mencintai kebutaan di atas petunjuk atau hidayah“. Hidayah di sini juga adalah hidayah Ad-dalala wal irsyad.

    Al-Qur’an perlu ditadaburi makna-maknanya sehingga tidak salah mengartikan bahwa terdapat kontradiksi dalam Al-Qur’an. Seperti dua ayat di atas, bahwa Nabi Muhammad tidak bisa memberi hidayah, kemudian di ayat yang lain Nabi Muhammad bisa memberi hidayah. Banyak dari kaum pembenci Islam yang mengungkap ayat-ayat seperti ini dengan tujuan membuat umat Islam ragu terhadap agamanya.

    Beberapa pelajaran dari ayat ini:

    Pertama, terdapat bantahan terhadap kaum musyrikin yang meyakini para nabi dan wali-wali, bahwa mereka bisa memberi manfaat dan menolak bahaya.

    Kedua, hidayah, taufik, dan ilham hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Ketiga, dalam ayat bahwa kecintaan yang bersifat tabiat kepada orang kafir, tidak dipermasalahkan. Misalkan seorang Muslim mencintai ayahnya yang kafir. Cintanya karena ayahnya, bukan kekafirannya. Dalam ayat “Siapa yang engkau cintai“. Allah tidak menegur Nabi yang mencintai pamannya, Abu Thalib.

    Keempat, terdapat penetapan ilmu hanya untuk Allah dan penetapan hikmah hanya untuk Allah.

    Kelima, terdapat batilnya bergantung kepada selain Allah.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Sumber:

    Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.