Kewajiban Taat kepada Rasulullah ﷺ dan Bathilnya Kesyirikan serta Al-Wala dan Al-Bara

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Tsalastatul Ushul

Pendahuluan

Ini adalah Pendahuluan kedua dari tiga pendahuluan yang disebutkan penulis, yaitu ada tiga pembahasan yang wajib untuk diamalkan:

  1. Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wasalam
  2. Bathilnya kesyirikan.
  3. Al-Wala dan Al-Bara.

Terjemahan Kitab

Ketahuhilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa wajib bagi seorang muslim dan muslimah mempelajari tiga perkara dan mengamalkannya.

Pertama ia mempelajari bahwa Allah telah menciptakan kita, memberi kita rezeki, dan tidak membiarkan kita terlantar. Tapi Allah mengutus kepada kita seorang rasul. Siapa yang mentaati Rasul itu, ia akan masuk surga dan siapa yang durhaka kepadanya ia akan masuk ke dalam neraka. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala

إِنَّآ أَرْسَلْنَآ إِلَيْكُمْ رَسُولًۭا شَـٰهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَآ أَرْسَلْنَآ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ رَسُولًۭا ١٥ فَعَصَىٰ فِرْعَوْنُ ٱلرَّسُولَ فَأَخَذْنَـٰهُ أَخْذًۭا وَبِيلًۭا ١٦

Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Firaun. Maka Firaun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat(QS. al Muzammil: 15-16)

Kedua ia mempelajari bahwa Allah tidak ridha jika disyerikatkan dengan seorang pun dalam ibadah. Baik disyerikatkan dengan seorang malaikat yang didekatkan dengan Allah atau Nabi yang diutus.

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

وَأَنَّ ٱلْمَسَـٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدًۭا

Dan masjid-masjid hanyalah milik Allah, maka janganlah kalian beribadah kepada Allah bersamaan dengan itu kalian juga ibadah kepada seseorang(QS. al Jin: 18)

Ketiga siapa yang mentaati Rasul dan mentauhidkan Allah maka tidak boleh baginya untuk membela orang yang menentang Allah dan RasulNya walaupun dia adalah kerabat yang paling dekat dengannya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

لَّا تَجِدُ قَوْمًۭا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوْ كَانُوٓا۟ ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَٰنَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَتَبَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْإِيمَـٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍۢ مِّنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ حِزْبُ ٱللَّهِ ۚ أَلَآ إِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Kamu tidak akan mendapati sebuah kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang kepada orang yang menentang Allah dan rasulNya walaupun mereka adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka adalah orang yang telah Allah tetapkan keimanan dalam hati mereka dan Allah kuatkan dengan pertolongan dari Allah. Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Merekalah golongan Allah dan ketahuilah bahwa golongan Allah pasti akan menang(QS. Al Mujadilah: 22)


Pembahasan:

Pertama: Menggabungkan antara pengajaran dan doa

Pengajaran dan Doa yang disebutkan yaitu “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu”

Belajar harus dilakukan dengan mengambil ilmu dari seorang guru yang ahli pada bidangnya, bukan hanya dengan belajar dan membaca sendiri.

Kedua: Kewajiban mempelajari dan mengamalkan tiga masalah

Hal ini dijelaskan dipendahuluan agar kita mengenal hakikat dari agama dan tauhid yang dibawa oleh Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam. Ada tiga hal yang disebutkan penulis diatas yang wajib dipelajari dan diamalkan.

Ketiga: Keimanan kepada tauhid rububiyyah

Keimaman rububiyah menyatakan bahwa Allah menciptakan kita, memberi kita rezeki, dan tidak membiarkan kita terlantar.

Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, memperbaiki ciptaan, dan memberikan berbagai rezeki serta anugerah kepada manusia agar tidak kelaparan.

Keimanan pada tauhid rububiyyah sama di antara muslim dan musyrik pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Iblis pun tidak menyangkal hal ini.

Keimanan Rububiyyah adalah mengesakan Allah dalam perbuatannya.

Keempat: Hikmah penciptaan jin dan manusia

Kita tidak hidup tanpa perintah dan larangan. Kita memiliki kewajiban yang harus dikerjakan dan larangan yang harus dihindari.

Firman Allah Ta’ala:

Bahkan diutus seorang Rasul untuk membawa petunjuk pada jalan yang lurus, menyuruh kepada kebaikan, dan meninggalkan segala kejelekan. Siapa yang taat kepada Rasul akan masuk surga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Makhluk paling sempurna adalah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara dhohir maupun batin.

Hal ini juga berarti bahwa orang yang bermaksiat kepada Rasul akan masuk neraka, sebagaimana Firman Allah.

Manusia diciptakan Allah dan diberi rezeki. Allah mengutus Rasul, yang taat akan masuk surga, yang bermaksiat akan masuk neraka.

Kelima: Kewajiban taat kepada Rasulullah ﷺ

Imam Ahmad berkata terdapat lebih dari 33 tempat dalam Al-Qur’an mengenai taat kepada Rasul.

Ketaatan kepada Rasul berarti juga taat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Sehingga diwajibkan taat kepada Rasul sebagaimana dalam surah Al-Muzammil ayat 15-16.

Keenam: Tafsir dua ayat surah Al-Muzzammil

Tafsir surah Al-Muzammil ayat 15-16:

Sesungguhnya kami telah mengutus kepada kalian seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul.

Rasul yang akan menjadi saksi amalan-amalan kalian di dunia dan di akhirat.

Sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang Rasul, yaitu Nabi Musa Alaihi Salam.

Fir’aun menentang Nabi Musa, lalu Firaun dan tentaranya disiksa dengan ditenggelamkan ke dalam laut. Mereka juga disiksa di dalam kubur sampai hari kiamat, sesuai dengan Firman Allah Ta’ala.

Umat Nabi Musa yang membangkang kepada beliau disiksa di neraka, begitu juga umat Nabi Muhammad yang membangkang kepada beliau akan disiksa di neraka.

Diakhirat akan ditanya bagaimana kalian menjawab seruan para Rasul:

Hanya terdapa dua golongan: mengikuti Rasul atau mengikuti hawa nafsu.

Seorang mukmin apabila sudah ada printah dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada pilihan lain.

Ketujuh: Kebatilan kesyirikan dalam ibadah dan kebenaran tauhid untuk Allah

Ini adalah poin kedua dari penulis tentang kebatilan kesyirikan dan kebenaran tauhid. Perintah terbesar adalah tauhid dan larangan terbesar adalah kesyirikan. Wasiat Allah dalam surat Al-An’am pertama kali membahas tentang tauhid. Begitu juga dalam surat Al-Isra, yang dimulai dengan pembahasan tentang tauhid.

Kedelapan: Tafsir surah Al-Jinn

Dalil bahwa ibadah hanya milik Allah terdapat dalam Surat Al-Jinn ayat 18. Mesjid-mesjid (tempat shalat) dan anggota tubuh yang digunakan untuk sujud adalah milik Allah, dan tidak boleh digunakan untuk menyembah selain Allah.

Larangan beribadah kepada selain Allah termasuk pada malaikat, Nabi, wali, dan lainnya. Ibadah mencakup doa, nadzar, sembelihan, dan sebagainya.

Kesembilan: Kewajiban berlepas diri dari kaum musryikin

Ini adalah poin ketiga dari penulis, yang melanjutkan poin pertama dan kedua. Siapa yang taat kepada rasul dan mentauhidkan Allah, tidak boleh berloyalitas kepada yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah keluarga dekatnya.

Penulis ingin menjelaskan bahwa Islam itu tidak hanya taat kepada Rasul, mentauhidkan Allah, tetapi Islam itu harus Al-Wara dan Al-Bara. Artinya wajib memberikan cinta hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta kaum mukminin. Dan juga wajib berlepas diri dari yang memberikan loyalitasnya kepada orang kafir.

Kesepuluh: Penjelasan ayat surat Al-Mujadilah dan beberapa pembahasan seputar Al-Wara dan Al-Bara

Dalil larangan memberikan loyalitas kepada yang menentang Allah dan Rasul-Nya adalah surat Al-Mujadilah ayat 22.

Engkau tidak akan menemukan kelompok yang benar-benar beriman, yaitu beriman kepada Allah dan hari akhirat, namun juga memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir, walaupun mereka adalah keluarga dekat. Ini adalah konsekuensi dari Tauhid, yaitu tidak memberikan loyalitas kepada orang kafir.

Mereka adalah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dan keteguhan dalam hati. Mereka akan masuk surga dan kekal di dalamnya karena Allah ridha pada mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan Allah, dan beruntung di dunia maupun akhirat.

Mereka yang benar pada Al-Wala dan Al-Bara-nya maka disebutkan enam keutamaan:

  1. Dikumpulkan dan dikuatkan keimanan dalam hatinya
  2. Dikuatkan oleh Allah dengan petunjuk dan cahaya
  3. Dijamin masuk surga
  4. Ridha Allah terhadap mereka
  5. Ridha hamba kepada Allah karena dimasukan ke surga
  6. Dijadikan orang-orang khusus Allah (hizbullah)

Ini adalah hakikat Islam: keislaman seseorang tidak lengkap, meskipun dia bersaksi atas keesaan Allah dan meninggalkan kesyirikan, jika dia tidak secara terang-terangan menentang dan membenci kaum musyrikin.

Hal ini tidak berarti ekstrem atau tidak adil terhadap orang kafir. Keadilan adalah perintah dalam Agama, baik untuk muslim maupun kafir. Umat Islam yang memegang teguh aqidah ini, tidak akan menjadi penyebab kerusakan bagi orang kafir. Pada zaman Nabi, orang-orang Yahudi tinggal di Madinah dan hidup damai, kecuali mereka yang melanggar perjanjian.

Saikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Al-Bara’ (berlepas diri) adalah kebalikan dari Al-Wala’ (memberi loyalitas). Kata Al-Bara’ berarti kebencian, sedangkan kata Al-Wala’ berarti cinta. Inti dari konsep Tauhid adalah mencintai hanya Allah serta mencintai semua yang Allah cintai, dan tidak mencintai kecuali untuk Allah serta tidak membenci kecuali untuk Allah.

Saikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ketika seorang hamba telah kuat dalam pembenaran, pengetahuan, dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hal tersebut mengharuskan adanya kebencian terhadap musuh-musuh Allah.

Apa Hukum memberi Loyalitas kepada orang Kafir?

Secara umum jawaban nya ada dua hukum:

  1. Al-Tawali, ini adalah hukumnya kafir, keluar dari Islam.
  2. Al-Muwalah, ini adalah hukumnya dosa besar.

Al-Tawali adalah mencintai kesyirikan, mencintai orang-orang yang berbuat kesyirikan, membantu orang kafir agar menang diatas kaum mukminin, bergembira apabila orang kafir yang menang diatas kaum mukminin, menolong kaum kafir untuk membinasakan kaum mukminin.

Firman Allah Ta’ala

Al-Baghawi menafsirkan, Iman seorang mukmin menjadi rusak karena memberikan kecintaan kepada orang kafir.

Al-Muwalah merupakan kecintaan dan pertemanan yang berkaitan dengan urusan dunia saja. Tidak ada cinta orang kafir terhadap kemenangan atas Islam, tetapi ada urusan dunia yang dicari. Tidak ada alasan untuk membantu orang kafir untuk menang atas kaum mukminin. Orang yang memberikan loyalitas hanya untuk kepentingan dunia masih disebut mukmin.

Hal ini terjadi pada Hatib bin Abi Baltah, seorang sahabat mulia, yang membocorkan rahasia Nabi. Kemudian Nabi memanggil Hatib, dan bertanya mengapa dia melakukannya. Hatib menjawab bahwa para sahabat yang berhijrah ke Madinah memiliki keluarga di Mekah yang dilindungi, sementara keluarganya di Mekah tidak aman. Hatib hadir di Pertempuran Badar dan memperoleh keutamaan.

Sehingga ini tidak membatalkan keislaman, tetapi dosa besar.

Orang Muslim yang tinggal di Negeri Kafir dan memiliki kewajiban untuk membela negaranya dalam pertempuran melawan Negeri Muslim tidak dapat disebut kafir. Jika mereka membela negara kaum Musyrikin demi kepentingan dunia, itu adalah dosa besar.

Hubungan antara negara Muslim dan non-Muslim tidak membuat salah satu pihak menjadi kafir. Ini disebabkan oleh banyak keterkaitan dengan hubungan dunia dan merupakan bagian dari strategi syar’iyyah.

Syeikh Shaleh Al Fauzan Hafihazullah memberikan ketentuan terkait sikap terhadap orang kafir, yang menekankan bahwa kita tidak boleh memberikan loyalitas kepada mereka. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus memutus hubungan dengan orang-orang kafir dalam segala hal. Beberapa hal yang diperkecualikan dalam hal ini, di antaranya:

  1. Mendakwahi kepada Islam.
  2. Melakukan perdamaian dengan orang Kafir (tidak saling berperang). Seperti dalam kisah perjanjian Hudaibiyah.
  3. Tidak dilarang berbuat baik kepada orang kafir apabila mereka berbuat baik kepada umat Islam (Surat Al-Mumtahanah Ayat 8)
  4. Taat kepada orang tua dalam hal yang baik
  5. Dibolehkan pertukaran dalam perniagaan (jual-beli). Nabi mempekerjakan penduduk Khaibar.
  6. Diperbolehkan menikahi perempuan ahlul kitab dengan syarat perempuan yang suci.
  7. Memenuhi undangan orang kafir untuk makanan yang diperbolehkan.
  8. Berbuat baik kepada tetangga orang kafir
  9. Tidak boleh mendhalimi mereka.

Ayat ini sering disalahartikan oleh orang-orang liberal dan munafik masa kini. Pengertiannya sebenarnya adalah boleh berbuat baik pada orang yang tidak berarti memberikan loyalitas kepada mereka. Tidak memberikan loyalitas kepada orang kafir tidak berarti menolak berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Sumber:

  • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
  • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

Kewajiban Mempelajari Empat Masalah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Tsalastatul Ushul

Pendahuluan

Judul kitab: Tiga Landasan Utama berserta Dalil-Dalilnya karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah Ta’ala.

Kitab ini menguraikan mengenai kewajiban setiap muslim dan muslimah yang harus diketahui, yang akan ditanyakan di alam kubur, yaitu tiga pertanyaan alam kubur. Diuraikan mengenai bagaimana mengenal Allah, mengenal Agama Islam, dan bagaimana mengenal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Kitab ini sangat penting, dahulu penulis mengajarkan selalu kitab ini kepada murid-murid dan orang-orang awam. Dan hingga saat ini kitab ini terus diajarkan secara rutin.

Disebut kita tsalatsatul ushul dikarenakan sebelum dijelaskan mengenai tiga landasan utama yaitu mengenal Allah, mengenal agama dan mengenal nabi, didahului oleh tiga risalah pendahuluan yaitu:

  1. Kewajiban mempelajari empat masalah agama yang terkandung dalam surat Al-Ashr.
  2. Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan bathilnya kesyirikan serta Al-Wala dan Al-Bara.
  3. Penjelasan Makna Al-Hanifiyyah serta perintah teragung dan larangan terbesar.

Terjemahan Kitab

Ketahuhilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa wajib atas kita untuk mempelajari empat perkara.

Pertama : Berilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabiNya, dan mengenal agama Islam dari dalilnya.

Kedua : Mengamalkan ilmu

Ketiga : Mendakwahkan ilmu

Keempat : Bersabar atas gangguan yang menimpanya.

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

وَٱلْعَصْرِ ١ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. al‘Ashr: 1-3)

Berkata Imam Syafi’i rahimahullah

“Seandainya Allah tidak menurunkan keterangan kepada kepada makhluknya kecuali surah ini, maka surah ini sudah cukup bagi mereka”

Imam Bukhari rahimahullah mengatakan,

“(Bab) Berilmu dulu sebelum berkata dan beramal”

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala,

فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسْتَغْفِرْ لِذَنۢبِكَ

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS.Muhammad: 19)

Dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah berilmu (belajar) sebelum berucap dan beramal.


Pembahasan:

Pertama: Pembukaan risalah dengan basmalah

Kitab ini dimulai dengan basmalah, memohon pertolongan Allah ketika memulai penulisan. Hal ini sesuai dengan Al-Quran dimana dimulai dengan basmalah pada setiap surah nya, kecuali surah At-Taubah.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam juga memulai surat-surat nya dengan basmalah, seperti penulisan surat kepada Heraclius dan perjanjian hudaibiyah.

Makna bismillahi, ismi adalah mufrad dan disandarkan pada ma’rifah (Allah) maka menunjukan artinya bersandar kepada seluruh nama-nama Allah. Allah adalah yang diibadahi dengan penuh pengagungan. Allah adalah nama yang terbesar dari seluruh Asma Al-Husna.

Ar-Rahman Ar-Rahim, maha pemberi rahmat yang terus bersambung. Perbedaannya adalah:

  • Ar-Rahman adalah nama khusus untuk Allah, tidak boleh digunakan untuk selain Allah. Adapun Ar-Rahim boleh digunakan untuk selain Allah.
  • Ar-Rahman adalah rahmat yang luas untuk umum termasuk mu’minin, kafir, jin dan manusia sedangkan Ar-Rahim adalah rahmat yang terus bersambung khusus untuk kaum mu’minin.
  • Ar-Rahman kaitannya dengan dzat Allah sedangkan Ar-Rahim kaitannya dengan fi’il (perbuatan) Allah. Dalam Ar-Rahman, Allah maha rahmat, sedangkan dalam Ar-Rahim, Allah maha merahmati kepada siapa yang Allah kehendaki dari orang yang beriman dan tidak merahmati dari orang-orang kafir.

Kedua: Menggabungkan pengajaran dan doa

Pada permulaan risalah disebutkan “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu”. Ketahuilah artinya diajarilah ilmu dan kemudian didoakan semoga Allah merahmatimu.

Ini adalah sifat seorang guru yang baik yaitu mengajari ilmu dan kemudian mengiginkan kebaikan untuk muridnya. Seorang guru yang baik juga memberikan ilmu yang sesuai untuk muridnya, yaitu diawali dengan buku-buku dasar dan ringan dipelajari. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu menyebut guru seperti ini sebagai Rabani, yaitu yang mengajari manusia ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar.

Ketiga: Kewajiban mempelajari empat masalah

Penulis menyebutkan “wajib atas kita untuk mempelajari empat perkara”. Kewajiban ini adalah untuk semua orang yang sudah mukalaf (dewasa, aqil, baligh). Sebagaimana dalam surat Al-Asr, apabila tidak mempelajari ini, maka orang tersebut menjadi golongan orang yang merugi.

Keempat perkara tersebut adalah:

  1. Ilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalil.
  2. Amalan dengan ilmu.
  3. Mendakwahkan ilmu.
  4. Sabar di atas rintangan dalam hal tersebut (mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan ilmu).

Keempat: Definisi Ilmu dan ma’rifah

Definisi Ilmu adalah mengenal petunjuk dengan dalilnya. Apabila seseorang mengerti akan sesuatu tetapi tidak mempunyai dalil maka itu tidak dianggap ilmu.

Definisi Ma’rifah adalah pengetahuan untuk mengenal sesuatu. Seperti ma’rifah Allah artinya bagaimana mengenal Allah dengan dalil-dalilnya.

Ilmu secara syar’i memiliki dua sifat:

  1. Sifatnya dicari darinya atau darimana diambilnya. Terdapat 3 bagian yaitu mengenal Rabb, Agama, dan Nabi-nya.
  2. Sifatnya dicari padanya. Padanya harus diketemukan ada dalilnya.

Mengetahui dengan dalil artinya kita pernah mendengar dan mengetahui dalil akan sesuatu. Dalil tidak harus dihafalkan akan tetapi kita memegang petunjuk dengan dalilnya. Sehingga tidak disebut sebagai orang yang ikut-ikutan.

Tidak mempunyai dalil dan hanya ikut-ikutan tidak akan diperhitungkan. Seperti orang yang tidak tahu jawaban dari tiga pertanyaan di alam kubur: “ha ha. Saya tidak tahu, Saya hanya mendengar manusia berucap seperti itu, saya juga ikut mengucapkannya“. Sehingga walaupun kita tahu jawaban tersebut adalah Allah tuhan saya, Islam agama saya, dan Muhammad Shallallahu Alaihi wasalam Nabi saya, akan tetapi tidak ada manfaatnya apabila hanya ikut-ikutan orang yang menyebutkannya.

Dalam buku ini dipaparkan jawaban dari tiga pertanyaan alam kubur tersebut dengan dalil-dalilnya. Seperti siapa Allah akan dijelaskan dalil-dalilnya. Kemudian apa itu agama Islam? dijelaskan tentang Islam dan tingkatan-tingkatannya Islam. Mengenai nabi, dijelaskan siapa namanya, dimana tinggalnya dan kemana beliau hijrah.

Apabila kita tidak tahu akan jawaban tersebut dengan dalil-dalilnya, maka akan susah menjawab pertanyaan dialam kubur dan di akhirat.

Kelima: Ilmu yang wajib untuk dipelajari

Ilmu yang wajib dipelajari adalah mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal Islam dengan dalil-dalilnya. Bagaimana kadar kewajiban dari ketiga ilmu tersebut adalah inti pembahasan pada kitab ini.

Ilmu syar’i yang wajib (fard ‘ain) dipelajari bagi setiap muslim adalah ilmu pokok-pokok syari’at secara umum. Adapun rincian rinician detail dari pokok-pokok tersebut, tidak diwajibkan untuk setiap muslim. Akan tetapi menjadi fadhu kifayah pada sebagian jumlah yang cukup dari kaum mu’minin, seperti: hakim, mufti, pengajar dan selainnya.

Bagaimana mengenal Allah? yaitu bagaimana Allah mengenalkan dirinya dalam Al-Qur’an dan juga apa yang Rasulullah perkenalkan Allah dalam hadits-haditsnya. Mengenal Allah yang diibadahi, mengenal jalan yang mengantarknya kepada Allah, kemudian mengenal Nabi yang menunjukan jalan.

Ibnul Qoyim berkata “Allah telah mencela siapa yang tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Dan Allah mencela siapa tidak mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan. Dan Allah mencela siapa yang tidak megenal sifat Allah dengan sebenar-benar pengsifatan”.

Bagaimana mengenal Nabi-Nya (Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) ? dan bagaimana mengenal agama Islam dengan dalilnya? Hal ini akan dijelaskan oleh penulis.

Didahului dengan Ilmu karena ilmu adalah landasan atau dasar dari semuanya. Ilmu disini adalah ilmu syar’i yang wajib dipelajari. Hukum mempelajarinya ada yang fardu ‘ain dan ada yang fardu kifayah.

Adapun ilmu dunia hukum asalnya mubah, bisa menjadi dianjurkan apabila banyak manusia yang memerlukannya. Atau bisa menjadi fardu kifayah apabila banyak umat Islam yang akan tertimpa bahaya, apabila tidak mempelajari ilmu dunia tersebut.

Keenam: Kewajiban beramal

Beramal dengan ilmu artinya tampaknya bentuk perintah Allah pada seorang hamba. Seperti perintah shalat, maka ketika diamalkan kelihatan dirinya shalat. Amalan adalah buah dari ilmu.

Kaidah disebagian ahli hadist agar dikuatkan hafalan haditsnya maka mereka mengamalkan hadits tersebut.

Dalam Surat An-Nisa ayat 66-68: Andaikata mereka melakukan amalan yang diberikan ilmu kepada mereka, maka ini adalah yang terbaik untuk mereka, hal yang mengukuhkan (amalannya menjadi lebih bagus), dan akan diberi pahala yang besar, serta akan diberi hidayah menuju kepada jalan yang lulus.

Sebagian ulama mengatakan, “siapa yang beramal dengan ilmu yang dia pelajari, maka Allah akan mengajarkan atau mewariskan kepadanya ilmu yang sebelumnya tidak dipelajari”.

Ilmu ada yang wajib diamalkan dan ada yang sunnah diamalkan. Ilmu dalam mengamalkannya ada yang cukup satu kali ada juga yang diamalkan terus menerus.

Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ada tiga kelompok yang pertama dipanggang api neraka. Salah satunya adalah orang yang belajar tentang ilmu tapi tidak mengamalkannya. Dua yang lainnya adalah yang berjuang dijalan Allah dan yang bersedekah. Ketiga kelompok ini melakukan amalan tapi tidak ikhlas hanya ingin disebut sebagai seorang yang berilmu, mujahid, dan dermawan.

Dalam surat Al-Fatihah, kita meminta jalan yang lurus, yaitu beramal dengan ilmu. Tidak seperti orang-orang yang dimurkai yaitu orang Yahudi yang punya ilmu tapi tidak beramal. Dan tidak seperti orang-orang yang disesatkan yaitu orang Nashrani yang beramal tanpa ilmu.

Ketujuh: Kewajiban berdakwah kepada Allah

Setelah dipelajari dan diamalkan, maka didakwahkan ilmunya. Seperti kita ketahui bahwa ada ilmu yang wajib untuk dipelajari dan setelah itu ada yang amalan yang wajib diamalkan, maka ada kewajiban juga untuk mendakwahkan atau mengajarkan ilmu. Sehingga wajib mempelajari bagaimana cara menyampaikan ilmu.

Terdapat etika dan adab dalam berdakwah, diantaranya

  • Dijelaskan jalan yang benar
  • Harus ikhlas mengajak kepada Allah
  • Diatas ilmu dan yakin.
  • Diatas tauhid.
  • Mengajak kepada jalan yang jelas yaitu jalan Allah
  • Dengan hikmah, yaitu meletakan sesuatu kepada tempatnya.
  • Pelajaran yang baik, artinya nasihat yang mendalam, sehingga mengamalkannya.
  • Berbantahan dengan cara yang baik, yaitu apabila perlu diluruskan kesalahan atau membantah syubhat.
  • Sifat seorang da’i adalah orang-orang yang adil dan terpercaya.
  • Mereka menafikan orang-orang yang melampaui batas.
  • Mereka juga menafikan orang-orang yang mengikuti kebathilan.
  • Mereka juga menafikan takwil orang-orang yang jahil. Maka mereka menjelaskan tafsir yang benar.

Pesan nabi ketika mengutus para shahabat ke Yaman:

Seorang da’i agar jangan menggunakan bahasa-bahasa yang sulit dipahami. Tapi juga tidak terlalu mempermudah tapi sesuai dengan batasan agama. Kemudian memberi kabar gembira dan jangan membuat orang lari. Tidak langsung diberikan ancaman masuk neraka, sehingga orang tidak mau lagi mendengarnya. Kemudian saling pengertian dan tidak berselisih.

Dakwah bertingkat-tingkat, dakwah yang paling tinggi adalah kepada tauhid dan memperingatkan dari bahaya kesyirikan. Kemudian tingkatan dibawahnya adalah kewajiban-kewajiban.

Kedelapan: Kewajiban bersabar

Kewajiban bersabar dalam ilmu, maksudnya mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan ilmu.

Sabar artinya mengurung dirinya diatas hukum Allah dan tidak keluar darinya. Sabar adalah mengekang jiwanya untuk tidak berkeluh kesah dan mengeluh, anggota badannya tenang tidak melakukan yang tidak baik.

Para ulama berkata terbagi dua, yaitu kesabaran terhadap hukum Allah qadari dan hukum Allah syar’i. Qadari adalah ketentuan dan takdir adapun Syar’i adalah perintah dan larangan Allah. Sehingga kebanyakan ulama membagi sabar menjadi tiga: sabar dalam menjalankan perintah, sabar dalam meninggalkan larangan, dan sabar dalam menerima ketentuan dan takdir Allah.

Apabila kita mulai berdakwah, maka akan ada gangguan sebagaimana para rasul juga mendapat gangguan dan cobaan:

Maka harus bersabar dalam berdakwah dalam menghadapi ujian dan cobaan, sehingga terbiasa dan semakin kuat dalam menghadapinya.

Nabi shallallahu alaihi wasallam mengibaratkan seorang mu’min sebagai sebuah pohon yang apabila diterpa angin dari timur maka pohonnya condong kebarat dan apabila diterpa angin dari barat maka pohonnya condong ketimur. Dan apabila tidak ada angin maka pohonya kembali ketengah. Akan tetapi orang kafir diibaratkan sebagai pohon yang kuat, yang apabila diterpa angin tidak goyah. Akan tetapi apabila anginnya lebih besar maka pohonya tumbang.

Ibnul Qoyim rahimahullah menyebutkan empat tingkatan ini (ilmu, amal, dakwah dan sabar) sebagai jihadun nafs (jihad memperbaiki diri), yaitu jihad dalam menuntut ilmu, jihad dalam mengamalkan ilmu, jihad dalam mendakwahkan ilmu dan jihad bersabar. Apabila sempuran dalam empat tingkatan ini maka termasuk yang rabaniyyun.

Kesembilan: Tafsir surah Al’Ashr

Dalil dari empat kewajiban ini adalah surat Al-Ahsr ayat 1-3.

Wal Ashr, artinya Allah bersumpah dengan waktu yang berada diakhir hari atau waktu Ashr atau masa seluruhnya. Waktu ini adalah orang yang shalih mendapatkan amalan shalih dan orang yang merugi juga mendapatkan amalan yang merugi.

Yang ingin Allah tegaskan adalah “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian“. Dalam ayat ini dikuatkan sebanyak tiga kali, yaitu demi waktu ashr, sesungguhnya, dan benar-benar. Dengan sumpah ini mengingatkan kita bahwa manusia ini benar-benar merugi, kecuali apa yang dikecualikan. Manusia disini adalah untuk semua umat manusia. Merugi ada yang ruginya semuanya, ada yang rugi sebagian, ada yang rugi besar atau kecil, ada yang rugi dunia, ada yang rugi akhirat, dan ada yang rugi dunia dan akhirat.

Yang dikecualikan empat sifat, yang juga disebutkan penulis yaitu empat perkara:

  1. Beriman adalah keyakinan atau mengakui sesuatu tidak mungkin kecuali dengan ilmu. Dasar iman dan lanjutannya adalah terkait dengan ilmu.
  2. Beramal dengan amalan yang shalih baik dhohir maupun bathin.
  3. Saling berwasiat dengan kebenaran artinya berdakwah mengajak dijalan Allah.
  4. Dan saling berwasiat dengan kesabaran.

Kesepuluh: Penjelasan ucapan Imam Asy-Syafi’iy Rahimahullah

Berkata Imam Syafi’i rahimahullah

“Seandainya Allah tidak menurunkan keterangan kepada kepada makhluknya kecuali surah ini, maka surah ini sudah cukup bagi mereka”

“Mencukupi bagi mereka” maksudnya cukup tegaknya hujjah bagi mereka dan kewajiban dalam menjalankan hukum Allah. Tidak bermaksud bahwa surat ini mencukupi semua perkara agama karena dalam agama banyak perkara yang harus dijelaskan seperti shalat, zakat, puasa dan lainnya.

Dalam surat Al Ashr ini terdapat kesempurnaan. Apabila dia berilmu dan mengamalkan maka mendapat kesempurnaan akan dirinya. Dan apabila dia berdakwah dan bersabar maka menyempurnakan orang lain.

Ibnul Qoyim rahimahullah surah Al-Ashr ini ringkas tapi surah Al-quran yang luas cakupannya dan mengumpulkan segala kebagikan.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata mengenai surat Al-Ashr ini sebagai timbangan untuk amalan dimana seorang mukmin menimbang dirinya dengan surah ini agar kelihatan apakah termasuk yang beruntung atau yang merugi.

Kesebelas: Penjelasan ucapan Imam Al-Bukhariy Rahimahullah dan pendalian beliau berupa ayat surat Muhammad.

Imam Al-Bukhariy berucap Bab tentang Ilmu sebelum berucap dan beramal, dalam kitab shahih Al-Bukhariy. Dalilnya adalah firman Allah “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, dan mohonlah ampunan terhadap dosa-dosamu” (Muhammad: 19)

Sisi pendalilannya adalah Allah memulai perintah dengan mempelajari ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.

Maksudnya disini untuk mengurutkan dari empat kewajiban yang disebutkan yaitu: ilmu, amal, berdakwah dan bersabar. Sehingga yang didahulukan adalah Ilmu sebelum ucapan dan amalan.

Dari ayat diatas, perintah pertama adalah mengilmui la ilaha illallah, sebelum memohon pengampunan dan sebab-sebab yang mengantar kepada pengampunan Allah Subhanahu Wata’ala.

Sofyan Ibnu Uyeinah Rahimahullah juga sebelumnya mengucapkan hal semisal. Beliau ditanya mengenai keutamaan ilmu, maka beliau berkata “tidak kah engkau mendengar kepada firman Allah Subahanahu Wa Ta’ala yang memulai dengan ilmu, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah“, setelah itu Allah perintah Nabi Muhammad untuk beramal “dan mohonlah ampunan terhadap dosa-dosamu“.

Hal semisal diucapkan oleh ulama setelahnya yaitu Abu Qosim Al-Jauhari Rahimahullah, memberi judul Bab Ilmu Sebelum Amalan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah“.

Ilmu adalah pemimpin (imam) nya amalan. Ilmu didepan kemudian amalan mengikut bermakmum dibelakangnya. Maka amalan yang tidak mengikut pada ilmu tidak akan bermanfaat dan akan membahayakan. Sebagian As-Salaf berkata, “Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak dari apa yang dia perbaiki”.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Sumber:

  • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
  • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

Doa Keluar Rumah: Aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan tidak ada upaya kecuali milik Allah

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah
Penjelasan: Kajian Riyadhush Shalilhin #108 oleh Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc Hafizahullah

Bab 7 Yakin dan Tawakal

Doa Keluar Rumah: Aku bertawakal kepada Allah

Hadits Ke 84: Dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan (doa) – yakni ketika keluar dari rumahnya –

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan tidak ada upaya (kekuatan) kecuali milik Allah“.

Maka dikatakan kepadanya, “Engkau telah diberi hidayah, engkau telah dicukupi, engkau telah dijaga, dan setan akan menyingkir darinya“.

(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan selain mereka. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan”). Abu Dawud menambakan, “Maka dia -setan- berkata kepada setan yang lain, “Bagaimana engkau dapat mengajak (menggoda) seseorang yang telah diberi petunjuk, yang telah dilindungi, dan telah dijaga (oleh Allah)?

Penjelasan Hadits:

Doa ini pendek akan tetapi berisi kandungan yang luar biasa. Bismillah, dengan menyebut nama Allah, yakni saya meminta pertolongan dengan nama Allah.

Tawakaltu ‘ala Allah, saya bertawakal kepada Allah. Ketika meninggalkan rumah untuk suatu urusan maka hendaknya menyandarkan urusan-urusannya hanya kepada Allah. Kita semua ini adalah hamba yang lemah, yang hanya punya keinginan atau rencana. Akan tetapi Allah lah yang menentukan. Tidak boleh bersandar kepada kekuatan dan kemampuan kita.

Menghadirkan bahwa kita butuh dan percaya kepada Allah, rendah diri kita dihadapan Allah karena kita bukan siapa-siapa.

Kita tidak mempunyai kekuatan kecuali semua urusan dikembalikan kepada Allah.

Maka apabila kita membaca doa keluar rumah ini, malaikat berkata, “Kamu telah diberikan hidayah, dicukupi dan dilindungi”.

Telah diberikan hidayah“, maksudnya ada malaikat yang berkata, wahai hamba Allah, apabila engkau menyebut nama Allah maka sungguh engkau telah mendapatkan hidayah. Maksudnya telah diberikan rejeki untuk mencocoki kebenaran dan mendapati jalan yang lurus.

Dan kamu telah dicukupi“, maksudnya dicegah darimu kesedihanmu (kegalauanmu) dari apa-apa yang kamu inginkan atau yang kamu rencanakan. Terkadang kita merasa kegalauan ketika ingin melakukan sesuatu, maka dengan doa ini tidak akan terjadi kegalauan lagi dalam menjalankan urusan kita.

Dan kamu telah dijaga“, maksudnya telah dijaga dari musuhmu yaitu syaithon. Sehingga kelanjutan hadits dikatakan, “Dan menyingkir darinya syaithon“.

Faedah Hadits (dari beberapa ulama):

Pertama, dianjurkan (disunahkan) bagi seseorang apabila keluar dari rumahnya untuk membaca doa diatas.

Kedua, sesungguhnya apabila seorang hamba meminta pertolongan dengan menyebut nama Allah, dan dengan Nama Allah yang diberkahi. Maka sungguh Allah akan memberinya hidayah dan membimbingnya, dan menolongnya dalam urusan-urusan agama dan dunianya.

Ketiga, Hadits ini menunjukan kepada kita tentang agungnya dzikir yang diberkahi ini. Dan pentingnya melakukan penjagaan terhadap doa ini, ketika seorang muslim keluar dari rumahnya. Pada setiap kali dia keluar, agar dia meraih sifat-sifat yang diberkahi ini yaitu diberikan hidayah, dicukupi, dan dilindungi. Dan juga buah-buahnya yang agung tersebut dalam hadits ini termasuk syaithon yang menjauh.

Keempat, ada ulama yang membuat bab khusus yaitu Bab Keutamaan La Haula Wala Kuwata ila Billah.

Kelima, ada ulama yang menasukan hadits ini dengan judul bab: adab masuk dan keluar dari rumah.

Keenam, didalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang manusia sepantasnya agar mengucapkan dzikir ini. Dalam doa ini terdapat tawakal seorang hamba kepada Allah, dan berlindungnya dia kepada Allah. Hal ini dikarenakan apabila seorang manusia keluar dari rumahnya, maka dia hakikatnya adalah sasaran untuk terkena musibah yang menimpa dirinya. Atau ada yang menyerangknya berupa hewan (ular, kala jengking) atau orang jahat.

Wallahu Ta’ala A’lam

Doa Keluar Rumah: Aku bertawakal kepada Allah

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah
Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 7 Yakin dan Tawakal

Doa Keluar Rumah: Aku bertawakal kepada Allah

Hadits Ke 84: Dari Ummul Mu’minin Ummu Salamah, nama aslinya adalah Hindun binti Abu Umayyah Hudzaifah Al-Makhzumiyyah Radhiyallahu Anha, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam jika keluar dari rumahnya, beliau membaca (doa):

بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عليَّ

Bismillaahi tawakaltu Alallaah, Allahumma inni a’udzu bika an adhilla aw udholla, aw azilla aw uzalla, aw azhlima aw uzhlama, aw ajhala aw yujhala ‘alayya

Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah. Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sesuatu yang menyesatkan atau disesatkan, dari sesuatu yang menggelincirkan atau tergelincirkan, dari sesuatu yang menganiaya atau dianiaya, dan dari sesuatu yang membodohkan atau dibodohi”

(Hadits Shahih, HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan selain keduanya dengan sanad yang shahih, dan At-Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih, dan ini lafaz Abu Dawud)

Penjelasan:

  • Sabda beliau, “Dengan nama Allah, aku bertawakal pada Allah“. Hal ini menunjukan bahwa seseorang seyogianya jika keluar dari rumah untuk mengucapkan dzikir ini yang menunjukkan adanya nilai ketawakalan kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya.
  • Sabda beliau, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan”, yakni ketersesatan didalam diriku. “Dan aku disesatkan”, yakni seseorang yang menyesatkanku.
  • Atau disesatkan orang lain atau digelincirkan dari ketergelinciran. Aku tersesat atau disesatkan, yakni seseorang yang mendorongku untuk berbuat keliru.
  • Atau aku menzhalimi“, yakni aku menzhalimi orang lain selainku. “Atau aku dizhalimi“, yakni seseorang menzhalimiku,
  • Aku bersifat bodoh atau aku dibodohi“, yakni membodohiku dan bebuat kejelekan kepadaku.
  • Inilah dzikir yang seharusnya diucapkan seseorang ketika keluar dari rumahnya dimana di dalam doa ini terdapat permintaan perlindungan kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Apa yang kamu cemaskan dengan dua orang, sedang Allah yang ketiganya

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah
Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 7 Yakin dan Tawakal

Apa yang kamu cemaskan dengan dua orang, sedang Allah yang ketiganya

Hadits Ke 82: Dari Abu Bakar Ash-Shidiq Radhiyallahu Anhu, Abdullah bin Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bun Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi, – dia dan bapaknya serta ibunya adalah shahabat Rasulullahu Alaihi wa Sallam- ia berkata, “Ketika kami berada di gua -Tsur-, aku melihat kaki orang-orang Musyrik berada diatas kepala kami, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, jikalau salah seorang dari mereka melihat ke bawa telapak kakinya maka dia akan melihat kita.” Maka beliau bersabda, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu cemaskan dengan dua orang, sedangkan Allah yang ketiganya.” (Muttafaq Alaih)

Penjelasan

  • Kisah ini terjadi ketiga Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah dari Mekah menuju Madinah pada tahun ketiga belas kenabiannya. Beliau ditemani oleh Abu Bakar, penunjuk jalan, dan seorang pembantu.
  • Ketika orang-orang musryik ingin menangkap Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam, maka beliau dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur.
  • Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, jikalau salah seorang dari mereka melihat ke bawa telapak kakinya maka dia akan melihat kita.” Maka beliau bersabda, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu cemaskan dengan dua orang, sedangkan Allah yang ketiganya.
  • Allah Ta’ala berfirman, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. At-Taubah: 40).
  • Dalam kisah ini ada dalil yang menunjukan kesempurnaan tawakal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Tuhannya, bahwa beliau berpegang teguh kepada-Nya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya.
  • Di sini juga ada dalil bahwa kisah laba-laba yang membangun jaringnya di pintu gua tidak benar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Dengan Sebenar-benarnya Tawakal Kepada Allah, Maka Dia akan Memberi Rezeki.

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah
Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 7 Yakin dan Tawakal

Dengan sebenar-benarnya Tawakal kepada Allah, maka Dia akan memberi rezeki.

Hadits Ke-80: Dari Umar Radhiyallahu Anhu, aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal [kepada-Nya], maka Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, pergi pagi dalam keadaan perut kosong dan pulang sore dalam keadaan perut kenyang.” (HR. At-Tirmidzi dan ia berkata hadits ini hasan)

Penjelasan

Sebenar-benar tawakal” yakni bersandar sepenuhnya kepada Allah dalam meminta rezeki dan hal lainnya.

Burung diberi rezeki oleh Allah karena tidak ada yang memiliki, ia terbang di angkasa dan pulang ke sarangnya untuk mencari rezeki yang diberikan Allah kepadanya.

Burung pergi dengan perut kosong, akan tetapi ia bertawakal sepenuhnya kepada Tuhannya, maka ia kembali dalam keadaan kenyang pada akhir siang.

Faedah hadits:

Pertama, Seyogianya bagi setiap orang untuk bersandar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah.

Kedua, Sesungguhnya tidak ada satu hewan pun yang melata di muka bumi ini kecuali rezekinya telah ditentukan oleh Allah. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

۞ وَمَا مِن دَآبَّةٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّۭ فِى كِتَـٰبٍۢ مُّبِينٍۢ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lawḥ Maḥfūẓ). (Hud: 6)

Ketiga, Orang yang bertawakal harus melakukan sebab-sebab dalam mencari rezeki yang dikaruniakan. Hendaklah melakukan sebab-sebab yang disyariatkan Allah kepadamu, yaitu mencari rezeki dengan cara yang halal.

Keempat, Burung dan hewan-hewan lainnya adalah makhluk-makluk Allah yang mengenal Allah. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتُ ٱلسَّبْعُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِۦ

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun, melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, (Al-Isra: 44)

Wallahu Ta’ala A’lam

Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dialah sebaik-baik pelindung

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah
Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 7 Yakin dan Tawakal

Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dialah sebaik-baik pelindung

Hadits Ke 77: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma beliau bersabda, “Hasbiyallah wa ni’mal wakil [Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dialah sebaik-baik pelidung], inilah doa yang diucapkan Ibrahim Alaihissalam ketika dilempar ke dalam api. Dan juga -doa- yang diucapkan oleh Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika mereka -orang-orang kafir- berkata, “Sesungguhnya orang-orang telah mengumpulkan (pasukan)- untuk menyerang kalian, maka takutlah kepada mereka. Akan tetapi, ucapan itu justru menambah keimanan mereka, dan mereka berkata, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dialah sebaik-baik pelindung” (HR. Al-Bukhariy)

Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas ia berkata, “Dan akhir ucapan Ibrahim Alaihisalam ketika dilemparkan ke dalam api, “Cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Dialah sebaik-baik pelindung.”

Penjelasan

Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam keduanya adalah khalilullah (kekasih Allah). Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(Nya)” (An-Nisa: 125). Dan sabda Nabi ﷺ “Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil-Nya, sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil (HR. Shahih Muslim).

Kalimat Hasbunallah wa ni’mal wakil diucapkan Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api. Peristiwa ini terjadi ketika Ibrahim mengajak kaumnya untuk menyembah kepada Allah dan tidak mempersekutukannya. Namun mereka membangkan dan tetap dalam kekufuran dan kesyirikan. Maka, pada suatu hari beliau menghancurkan patung-patung dan menjadikannya berkeping-keping kecuali patung yang paling besar. Mereka berniat membalas dendam kepada Ibrahim Alaihissalam sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Mereka berkata, Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat” (Al-Anbiya: 68). Kemudian mereka menyalakan api dan melemparkan Ibrahim ke dalamnya. Ketika dilemparkan Ibrahim mengucapkan doa Hasbunallah wa ni’mal wakil. Maka Allah berfirman yang artinya “Wahai api! jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.” (Al-Anbiya: 69).

Ketika Nabi ﷺ dan para shahabat kembali dari Uhud. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya orang-orang telah berkumpul untuk menghadapi kalian, mereka akan mendatangi Madinah dan menghancurkan kalian”. Maka mereka berkata Hasbunallah wa ni’mal wakil (Ali ‘Imran: 173). Kemudian Allah ta’ala berfirman yang artinya “Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu bencana dan mereka mengikuti keridhaan Allah. Allah mempunyai karunia yang besar” (Ali ‘Imran: 174).

Maka seyogiyanya bagi setiap orang jika dia melihat manusia berkumpul untuk memusuhinya, hendaklah ia mengucapkan Hasbunallah wa ni’mal wakil [Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dialah sebaik-baik pelidung]. Jika dia mengucapkan ini, maka Allah akan mencukupinya dari keburukan orang-orang sebagaimana Allah mencukupi Ibrahim Alaihissallam dan Muhammad ﷺ, maka jadikanlah kalimat ini selalu ada di hatimu jika kamu melihat orang-orang ingin memusuhimu.

Wallahu Ta’ala A’lam

Keutamaan Bertawakal dalam Al-Qur’an

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah
Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 7 Yakin dan Tawakal

Keutamaan Bertawakal dalam Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَمَّا رَءَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلْأَحْزَابَ قَالُوا۟ هَـٰذَا مَا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَصَدَقَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ ۚ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّآ إِيمَـٰنًۭا وَتَسْلِيمًۭا

Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya  kepada kita”. Dan benarlah Allah dan rasul-Nya. Dan yang demikian itu, tidaklah menambah kepada mereka, kecuali iman dan ketundukan. (Al-Ahzab: 22)

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدْ جَمَعُوا۟ لَكُمْ فَٱخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَقَالُوا۟ حَسْبُنَا ٱللَّهُ وَنِعْمَ ٱلْوَكِيلُ ١٧٣فَٱنقَلَبُوا۟ بِنِعْمَةٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَضْلٍۢ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوٓءٌۭ وَٱتَّبَعُوا۟ رِضْوَٰنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ ١٧٤

(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Ali-‘Imran: 173-174)

وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱلْحَىِّ ٱلَّذِى لَا يَمُوتُ

Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati (Al-Furqan: 58)

وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ

Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal. (Ibrahim: 11)

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. (Ali ‘Imran 159)

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥ

Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (Ath-Thalaq: 3)

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (Al-Anfal: 2)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang keutamaan bertawakal.

Wallahu Ta’ala A’lam

Mengikuti Manhaj Shahabat

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Mengikuti Manhaj Shahabat

Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah: berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam serta bertauladan kepada mereka, meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, serta meninggalkan pertengkaran, meninggalkan duduk-duduk bersama pelaku hawa nafsu, dan meninggalkan perdebatan dan pertengkaran dalam masalah agama.
Sunnah menurut Kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Sunnah itu menafsirkan Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran, tidak ada qiyas dalam masalah agama, tidak boleh dibuat permisalan-permisalan bagi Sunnah, dan tidak boleh pula dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.


Penjelasan

Disisi kami” maksudnya disisi ulama Islam atau disisi Imam Ahmad dari pemahaman As-Salaf. Banyak ulama-ulama as-salaf mengucapkan hal yang sama dengan Imam Ahmad. Sehingga ini merupakan aqidah para imam kaum muslimin.

Terdapat 5 Pembahasan dalam pokok-pokok Sunnah, sebagai berikut:

Pembahasan 1: Kewajiban Berpegang Tegung Kepada Jalan As-Salaf

Pembahasan 2: Mengikuti dan mencontoh As-Salaf

Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah: berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam serta bertauladan kepada mereka

Tiga hal yang perlu dijelaskan

Pertama: Apa jalan para Shahabat (As-Salaf)?

Definisi As-Salaf:

As-Salaf secara bahasa adalah orang-orang yang telah mendahului kita. Terdapat beberapa kata As-Salaf dalam Al-Qur’an diantaranya: “Pada hari itulah diuji ditampakan untuk setiap jiwa, segala amalan yang telah di dahulukan (salaf)“.

Adapun secara istilah, As-Salaf, memiliki dua penggunaan:

  1. Khusus digunakan untuk tiga generasi terbaik: Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
  2. Digunakan untuk tiga generasi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama yang datang setelahnya.

Dalam suatu hadits Nabi membisikan sesuatu kepada Fatimah, yang membuatnya menangis tersedu-sedu. Kemudian Nabi membisikan sesuatu lagi kepada Fatimah, yang membuatnya tersenyum bergembira. Kemudian Aisha bertanya kepada Fatimah, “Apa yang dibisikan oleh Nabi?.” Fatimah berkata, “tidak boleh menyampaikan rahasia Nabi, ketika beliau masih hidup”. Maka setelah Rasulullah meninggal Aisah bertanya lagi kepada Fatimah. Fatimah berkata, bisikan yang pertama adalah “Wahai Fatimah, biasanya Jibril tiap tahun turun membacakan Al-Qur’an satu kali, tapi tahun ini menjadi dua kali. Aku tidak melihat perubahan ini kecuali tanda ajal ku telah dekat“, sehingga membuat Fatimah menangis. Kemudian Nabi berkata “Betakwalah engkau kepada Allah dan besabarlah, sesungguhnya sebaik-baiknya salaf bagimu adalah aku“. Pada bisikan kedua Nabi berkata bahwa, “Fatimah adalah penguhulu perempuan di surga“. Dalam kisah ini Nabi menyebut dirinya sebagai As-Salaf.

Beberapa ulama seperti Syeikh Al-Bani senang mengunakan perkataan as-salaf adapun yang lain menggunakan perkataan as-sunnah. Akan tetapi hakikatnya adalah sama yaitu mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan jalan As-Salaf.

Dalil untuk mengikuti As-Salaf:

Dalilnya terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, dan kesepakatan para ulama. Diantaranya adalah Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat An-Nisa Ayat 115:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu1 dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

Jalan kaum mukminin yang dimaksud adalah jalan para shahabat. Sehingga mengikuti jalan shahabat adalah kewajiban karena ada ancaman yang sangat keras yaitu dibiarkan kesesatannya dan dimasukkan ke dalam Jahanam.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat At-Taubah Ayat 100:

وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًۭا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Disebutkan “orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik“, mereka adalah para shahabat. Mengikuti artinya tidak membuat jalan baru tapi diikuti dengan baik. Ibnul Qoyim berkata ayat ini menerangkan bahwa siapa yang tidak mengikuti jalan shahabat, berarti Allah tidak ridha kepada mereka dan mereka tidak ridha kepada Allah. Juga tidak mendapat surga dan tidak mendapatkan kemenangan besar.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah Ayat 137:

فَإِنْ ءَامَنُوا۟ بِمِثْلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهْتَدَوا۟ ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّمَا هُمْ فِى شِقَاقٍۢ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ ٱللَّهُ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)

Dalam ayat ini keimanan para shahabat dijadikan sebagai barometer keimanan yang benar.

Adapun dari hadits, Rasulullah ﷺ bersabada “Sebaik-baik manusia adalah adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya“. Tiga generasi terbaik disebutkan Rasulullah ﷺ. Ibnu Qoyim berkata tidaklah mereka disebut sebagai generasi terbaik kecuali untuk diikuti.

Kemudian kesepakatan para ulama tentang wajibnya mengikuti jalan As-Salaf, dikemukakan oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Qodamah mengatakan “Telah pasti kewajiban mengikuti jalan as-salaf berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, As-sunnah, dan Ijma kesepakatan para ulama”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata “Tidak ada aib bagi orang yang menampakan madzhab as-salaf. Juga tidak ada aib bagi orang yang bernisbat (merujuk) kepadanya. Bahkan wajib mengikuti jalan as-salaf menurut kesepakatan para ulama karena madzhab as-salaf tiada lain kecuali kebenaran”.

Mengapa kita wajib mengikuti jalan As-Salaf?

Mengikuti jalan as-salaf adalah wajib seperti yang telah dijelaskan. Namun apabila kita ingin mengetahui hikmahnya, maka ada beberapa keutamaan as-salaf sebagai berikut:

  1. Mereka adalah murid-murid Rasulullah ﷺ yang langsung mempelajari agama dari Rasulullah ﷺ.
  2. Mereka tidak hanya menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah ﷺ, tapi juga memahami maknanya. Inilah yang mereka ajarkan kepada umat. Apapun yang ditanyakan kepada para shahabat maka mereka merujuk pada apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi ﷺ.
  3. Mereka lebih berilmu, lebih selamat, dan lebih kuat dan bijaksana.
  4. Mereka tidak memabahas ilmu kalam, mendahulukan hawa nafsu, pendapat pribadi tapi mereka berpegang dengan apa yang datang dari Rasulullah ﷺ.

Ahlul bi’dah tidak bahagia mempelajari agama karena setiap kali ada ayat tentang sifat Allah, maka ditanyakan bagaimana sifatnya, tidak ada ketundukan. Mereka menyikapi dengan akal dan pemahamannya.

Imam Ahmad membawakan pokok pertama dalam ahlul sunnah yaitu mengikuti manhaj as-salaf karena ini yang membedakan dengan ahlul bid’ah. Ibnu Taimiyah mengatakan simbol dari ahlul bid’ah adalah meninggalkan jalan as-salaf. Sedangkan simbol ahli sunnah adalah mengikuti jalan as-salaf.

Mengikuti jalan as-salaf adalah jalan para ulama. Adapun mengikuti para shahabat maka tidak ada perbedaan, yaitu wajib untuk diikuti.

Pembahasan 3: Meninggalkan Bid’ah dan Berwaspada dari Bid’ah

meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat,

Definsi bid’ah

Bid’ah secara bahasa digunakan untuk sesuatu yang diada-adakan tidak ada contoh sebelumnya. Dalam Al-Qu’ran ada beberapa kata bid’ah secara bahasa, yang artinya “Aku bukan bid’ah pertama dari para Rasul” Maksudnya Nabi Muhammad bukan Rasul yang pertama, sudah ada Rasul-Rasul sebelum ku. Demikian pula firman Allah yang artinya “Dia lah yang mebid’ah langit dan bumi” Maksudnya mengadakan langit dan bumi tidak ada contoh sebelumnya.

Bid’ah secara bahasa bisa masuk kedalam hal yang baik dan hal yang tidak baik. Terdapat hal-hal yang baik dari perkara dunia dan ini tidak termasuk kedalam bid’ah dari sisi istilah syar’i. Seperti mobil, motor, HP dan selainnya yang tidak ada contoh sebelumnya.

Ada pun pengertian bid’ah secara istilah para ulama mendefinisikan sebagai jalan baru dari agama yang diada-adakan, bertentangan dengan syariat. Orang yang melaksanakan dimaksudkan untuk berlebihan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dalil yang melarang bid’ah

Bid’ah adalah hal yang dicela dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan disepakati oleh para ulama. Dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًۭا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153)

Ayat ini dibaca oleh Nabi ﷺ ketika membuat gari lurus, beliau bersabada kepada para shahabat, “Ini adalah jalan Allah yang lurus“, setelah itu Nabi ﷺ membuat garis-garis ke kanan dan ke kiri, kemudian beliau bersabda, “Ini adalah jalan-jalan, tidak ada satu pun dari jalan-kalan (samping kanan dan kiri) kecualinya diatasnya ada syaithon menyeru kepadanya“. Kemudian Nabi ﷺ membaca surat Al-An’am ayat 153 diatas. Jalan-jalan ke kiri dan kekanan (As-Subul) ditafsirkan sebagai bid’ah-bid’ah.

Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman:

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ مِنْهُ ءَايَـٰتٌۭ مُّحْكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌۭ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌۭ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ ۗ

Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Al-Qur`ān) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat1, itulah pokok-pokok isi Al-Qur`ān dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat2. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, …“(Al-Imran: 7)

Nabi ﷺ ketika membaca ayat ini bersabda dalam riwayat A’isha Radhiyallahu ‘Anha dalam riwayat Al-Bukhariy dan Muslim, “Kalau engkau melihat orang-orang yang mengikuti mutasyabih (yang tidak jelas), mereka adalah orang-orang yang disebut oleh Allah, hati-hati kalian dari mereka.” Ini adalah jalan dari ahlul bid’ah yaitu mengikuti mutasyabih, yang tidak jelas, dan meninggalkan yang muhkamat. Apabila bertentangan antara yang muhkam dan mutasyabih, maka yang mereka dahulukan adalah yang mutasyabih.

Adapun ahlul sunnah beriman kepada ayat-ayat muhkam dan beriman kepada ayat-ayat mutasyabih. Ayat-ayat mutasyabih diarahkan kepada ayat-ayat yang muhkam. Sebenarnya ayat-ayat yang mutasyabih pengertiannya jelas dikalangan ahlul ‘ilmi.

Kemudian Allah berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَـٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Kemudian, Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jasiyah: 18)

Disebutkan dua hal: mengikuti syariat atau mengikuti hawa nafsu. Sehingga siapa yang keluar dari tuntunan agama (syari’at) maka dia mengikuti hawa nafsu.

Kemudian dari hadits Rasulullah ﷺ, “Siapa yang mengada-adakan dari perkara kami ini yang bukan darinya, maka itu adalah perkara yang tertolak“.

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Siapa yang beramal dengan sebuah amalan tidak dibangun diatas tuntuanan kami, maka amalant tersebu tertolak“.

Pada khutbah hajah Nabi ﷺ sering mengulangi bacaan berikut:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (as-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Dan banyak dalil-dalil lagi dalam larangan perbuatan bid’ah.

Beberapa bahaya bid’ah

Bid’ah adalah perkara yang besar karena ada bid’ah yang bisa mengeluarkan dari keislaman. Terbagi menjadi dua: bid’ah yang mengeluarkan dari keislaman dan yang tidak mengeluarkan dari keislaman.

Berikut ini beberapa dari bahaya Bid’ah:

Pertama: Pelakunya diancam kehinaan dan siksaan yang pedih di dunia, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ ٱلْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌۭ مِّن رَّبِّهِمْ وَذِلَّةٌۭ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُفْتَرِينَ

Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan. (Al-Araf: 152)

Kaitan yang menjadikan anak sapi sebagai sesembahan dengan bid’ah ada diakhir ayat yaitu: “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.” Dikatakan membuat-buat kebohongan. Bid’ah termasuk berdusta atas nama Allah, yaitu ingin mengkoreksi syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Agama Islam sudah lengkap sehingga tidak dikenal bid’ah. Semua kebaikan dan kejelekan telah diterangkan. Telah sempurna agama Islam sebagaimana tertera dalam surat Al-Maidah ayat 3:

وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ

Pada hari ini, telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3)

Imam Malik Rahimahullah ketika membaca ayat ini, beliau mengatakan, “Siapa yang menyangka ada bid’ah baik di dalam agama, maka artinya Nabi Muhammad berkhianat menyampaikan agama”. Hal ini disebabkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyatakan agama telah sempurna yang berarti Nabi Muhammad ﷺ telah menyampaikan seluruhnya.

Kedua: Bedusta Atas Nama Allah.

Umat Islam tidak perlu pada bid’ah karena tuntunan sudah cukup, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلْـَٔايَـٰتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ ٱلْمُجْرِمِينَ

Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur`ān, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An’am: 55)

Dan Nabi ﷺ bersabda dalam riwayat Muslim yang artinya “Tidak ada seorang Nabi pun sebelumku, kecuali nabi ini wajib untuk menjelaskan segala kebaikan yang dia ketahui bagi umatnya. Dan Nabi ini wajib menjelaskan segala kejelekan yang bisa membahayakan umatnya“. Sehingga apabila perkara agama, maka Nabi akan menerangkan kebaikannya.

Ketiga: Orang yang melakukan atau yang melindungi bid’ah terancam dengan laknat.

Dalam hadits Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhariy dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya “Barang siapa yang melindungi pelaku muhdisan (bid’ah / kerusakan) atau yang melakukan muhdasan (bid’ah / kerusakan), maka akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia“.

Lisan terbagi dua lisan ucapan dan lisan keadaan. Adapun ketika seluruh manusia melaknat adalah dengan lisan keadaan.

Keempat: Bid’ah yang kecil bisa berubah menjadi besar

Satu bid’ah bisa diiringi dengan bid’ah yang lainnya. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌۭ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًۭا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌۢ بِمَا كَانُوا۟ يَكْذِبُونَ

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. (Al-Baqarah: 10)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:

وَنُقَلِّبُ أَفْـِٔدَتَهُمْ وَأَبْصَـٰرَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٍۢ وَنَذَرُهُمْ فِى طُغْيَـٰنِهِمْ يَعْمَهُونَ

Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur`ān) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An’am: 110)

Kemudian Allah Ta’ala berfirman:

فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهْدِيَهُۥ يَشْرَحْ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَـٰمِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُۥ يَجْعَلْ صَدْرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًۭا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى ٱلسَّمَآءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجْسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (Al-An’am: 125)

Firman Allah Ta’ala:

فَلَمَّا زَاغُوٓا۟ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka (As-Saf: 5)

Imam Al-Barbahari Rahimahullah berkata, “Hati-hatilah kalian dari bid’ah yang kecil, sebab bid’ah yang kecil bisa berubah menjadi besar”.

Bid’ah amaliah yang pertama yang terjadi dalam sejarah Islam adalah dzikir berjamaah yang terjadi di Kuffa pada masa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu. Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan tersebut dan berkata kepada mereka, “Wahai kaum, perbuatan kalian ini, apakah kalian berada diatas agama yang lebih baik daripada agama Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam atau kalian sedang membuka kesesatan?”. Kemudian beliau berkata, “Kalian telah membuat bid’ah dalam agama”. Mereka menjawab, “Wahai Abu Abdi Rahman, Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang meminta kebaikan, tapi tidak bisa mendapatkannya”. Ibnu Mas’ud mempunyai firasat dan mengatakan, “Saya melihat, kalian ini kebanyakannya adalah orang-orang yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam”. Kemudian membawakan hadits mengenai celaan nabi kepada kaum khawarij. Periwayat hadist ini menyebutkan mereka kebanyakan orang yang dimajelis itu mereka ikut bersama kaum khawarij memerangi kami di Nahrawan. Awal bid’ah nya kecil yaitu dzikir berjamaah akan tetapi menjadi besar yaitu khawarij.

Kelima: Bid’ah lebih berbahaya dari maksiat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Bidah lebih berbahaya dari pada maksiat yang memperturutkan syahwat berdasarkan dalil dari hadits dan menurut kesepakatan ulama”. Beliau membawahkan contohnya, terhadap pemerintah yang dzholim, maka Nabi menyuruh kita untuk bersabar. Akan tetapi terhadap kaum khawarij, Nabi memerintahkan untuk memerangi mereka. Khawarij adalah bangkai yang terjelek dibawah golong bumi. Orang yang mati syahid terbaik adalah yang terbunuh oleh khawarij. Pemerintah yang dzholim adalah maksiat sedangkan khwarij adalah bid’ah.

Keenam: Orang yang berbuaat bid’ah sulit untuk bertaubat.

Hal ini dikarenakan taubat itu ada penyeselan, mengakui kesalahannya. Akan tetapi pelaku bid’ah tidak merasa berbuat kesalahan. Sehingga sulit untuk betaubat.

Ketujuh: Orang yang diusir dari telaga Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang mengadakan perkara baru dalam agama.

Pembahasan 4: Meninggalkan Pertikaian (Perdebatan)

Meninggalkan pertikaian adalah salah satu pokok sunnah. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِىٓ ءَايَـٰتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيْطَـٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ ٱلذِّكْرَىٰ مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّـٰلِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)

Apabila hal yang sudah jelas dalam agama diperdebatkan, maka diperintah untuk meninggalkannya.

Dari Abu Umamah dalam riwayat Imam At-Tirmidzy, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah satu kaum itu menyimpang setelah dulunya dia berada dalam petunjuk kecuali orang yang senang berdebat.” Sehingga apabila sudah mendapat petunjuk mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah, maka apabila berdebat menjadikan keraguan akan jalan tersebut. Kemudian Nabi membaca firman Allah Ta’ala:

وَقَالُوٓا۟ ءَأَـٰلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ ۚ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًۢا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

Dan mereka berkata, “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (`Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu, melainkan dengan maksud membantah saja; sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (Al-Zukhruf: 58)

Sebagian As-Salaf berkata “Perdebatan-perdebatan dalam agama bisa menghancurkan amalan”. Hal ini dikarenakan bisa menjatuhkan pada perkara-perkara yang membuatnya berdosa, sehingga bisa mengugurkan amalannya.

Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata “Siapa yang menjadikan agamanya sebagai tempat untuk perdebatan, maka akan banyak berpindah.” Hal ini diperjelas dari sebuat atsar dari Imam Malik Rahimahullah yaitu ketika datang seseorang yang mengajak berdebat kepada Imam Malik. Imam Malik bertanya, “Apabila saya kalah berdebat bagaimana?. Orang itu mengatakan bahwa engkau harus mengikuti saya. Kemudian Imam Malik bertanya lagi, “Apabila ada orang ketiga yang mengajak berdebat kita berdua, kemudian kita kalah, lalu bagimana?”. Orang itu menjawab, “Maka kita ikut sama dia”. Imam Malik berkata, “Kalau begitu pergilah kamu. Kamu adalah orang yang ragu dalam agamamu. Adapun saya yakin agama saja, sudah jelas.”

Perdebatan apabila ada manfaatnya, yaitu menjelaskan kebenaran, maka terkadang dianjurkan bahkan bisa menjadi wajib. Akan tetapi yang melakukannya harus orang yang berilmu, sanggup mendebat, dan ada maslahatnya.

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu mendebat kaum khwarij dengan membaca 3 ayat dan 1 hadits. Maka 4 ribu (2 ribu) orang dari kaum khwarij rujuk. Imam Ahmad mendebat kaum jahmiyah dalam masalh Al-Qur’an. Imam Syafi’i mendebat kaum qadariah.

Beberapa kerusakan dari perdebatan:

  • Perdebatan akan menyebabkan keraguan seseorang akan agamanya.
  • Perdebatan dapat menyebabkan seseorang berucap atas nama Allah tanpa ilmu.
  • Perdebatan bisa menimbulkan fitnah dan syubhat pada seseorang.

Pembahasan 5: Meninggalkan Duduk dengan Ashabul Ahwa

Imam Ahmad Rahimahullah berkata “meninggalkan duduk-duduk bersama pelaku hawa nafsu“.

Ahwa kebanyakan digunakan untuk makna yang tidak bagus, termasuk sering digunakan untuk setiap perkara yang menyelisihi sunnah Rasulullah ﷺ. Terkadang disebut ahlul ahwa atau ahlul bid’ah.

Menghindari duduk dengan ahul ahwa disyariatkan untuk menjaga seorang muslim dari bahaya yang mengancam agamanya. Keselamatan dari penyimpangan agama adalah nikmat yang sangat besar. Sebagian ulama berkata “Keselamatan itu tidak bisa dinilai dengan suatu apapun”.

Para ulama mengharamkan duduk bersama ahlul bid’ah dengan dalil dari Al-Quran dan hadits Rasulullah ﷺ. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِىٓ ءَايَـٰتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيْطَـٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ ٱلذِّكْرَىٰ مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّـٰلِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلْكِتَـٰبِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَـٰتِ ٱللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا۟ مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦٓ ۚ إِنَّكُمْ إِذًۭا مِّثْلُهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلْمُنَـٰفِقِينَ وَٱلْكَـٰفِرِينَ فِى جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur`ān bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam, (An-Nisa: 140)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَرْكَنُوٓا۟ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim  yang menyebabkan kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (Hud: 113)

Nabi ﷺ diperintah untuk berlepas diri dari orang-orang yang memecah belah agama. Firman Allah Ta’ala:

إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًۭا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِى شَىْءٍ ۚ إِنَّمَآ أَمْرُهُمْ إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Al-An’am: 159)

Firman Allah Ta’ala:

مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًۭا ۖ كُلُّ حِزْبٍۭ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka  dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Ar-Rum: 32)

Dari hadits Rasulullah ﷺ, dari Abdullahi bin Mughafal Radhiyallahu Anhu dalam As-Shahihain, Ketika Al-Mughafal melihat seseorang melempar dengan batu kecil untuk memburu. Maka beliau menyampaikan hadits Nabi ﷺ mengenai larangan melempar dengan batu kecil sebab batu kecil bukan lah alat untuk memburu, dan tidak bisa membuhuh musuh. Akan tetapi orang ini masih saja melakukannya. Maka Al-Mughafal berkata, “Kalau begitu saya tidak akan berbicara dengan engkau sama sekali”. Ini adalah sikap sahabat terhadap orang yang tidak mengikuti sunnah Nabi ﷺ.

Kisah Abdul Thalib yang diakhir hayat tidak mau berucap La Ilaha Illallah dikarenakan berkawan dengan kawan-kawan yang jelek (Abu Jahal dan lainnya.) Sehingga meninggal dalam keadaan kafir.

Dalam kesempatan lain Imam Ahmad berkata “Ahlul bid’ah tidak pantas untuk seseorang duduk dengan mereka, bergaul dengan mereka dan tenang terhadap mereka”.

Disebutkan oleh Salam bin Abi Muti’ Rahimahullah bahwa seorang lelaki ahlul bid’ah berkata kepada Ayub As-Sihtiani, “Wahai Abu Bakr, saya bertanya kepadamu tentang satu kalimat”. Maka Ayub memberi isyarat dengan tangannya dan berkata “Jangan kan satu kalimat, setengah kalimat saja tidak boleh”.

Disebutkan oleh Ibnu Muflih dalam Al-Adab As-Syar’iyah, dari risalah Imam Ahmad kepada Musaddadd bin Musarhat, “Jangan engkau bermusyarawah dengan pelaku bid;ah dalam agamamu dan jangan kamu bergaul dengan mereka dalam safarmu.”

Ada permasalahan yang bisa dilihat sisi benar dan salahnya yaitu sebagian berkata bahwa Ahlul bid’ah kalau ditinggalkan tidak memberi manfaat, Maka tidak ada gunanya didalam meninggalkannya. Banyak maksud syariat untuk meninggalkan ahlul bid’ah diantaranya: maslahat dalam agama, termasuk ibadah kepada Allah, berkaitan dengan al-wala wal bara, amal ma’ruf nahi mungkar.

Contoh lainnya sebagian berkata apabila ahlul bid’ah bisa dinasehati maka tidak apa untuk menasehatinya. Akan tetapi ini terkait pada orang-orang yang mampu untuk menasehati bukan untuk orang yang baru belajar agama.


Sunnah menurut Kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Sunnah itu menafsirkan Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran, tidak ada qiyas dalam masalah agama, tidak boleh dibuat permisalan-permisalan bagi Sunnah, dan tidak boleh pula dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.

Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Terdapat Lima Pembahasan:

Pertama: Makna Sunnah

Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Penggunaan kata atsar di kalangan ahli hadits digunakan untuk hadits-hadits dari rasulullah secara umum dan juga yang datang selain dari Rasulullah maksudnya yang disandarkan kepada para shahabat. Dalam perkataan Imam Ahmad yang dimakud atsar adalah semua hadits dari Rasulullah dan bukan hanya teks hadits saja tapi juga semua apa yang ditinggalkan Rasulullah yang tersimpul dalam hadits.

Sunnah adalah atsar dari Rasulullah termasuk Al-Quran dan hadits.

Kedua: Kedudukan sunnah

Sunnah itu menafsirkan Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran,

Kedudukan sunnah adalah menafsirkan dan menguatkannya Al-Quran. Terkadang sunnah membawa hukum tersendiri yang tidak ada didalam Al-Quran. Sunnah juga terkadang menambah hukum yang ada di Al-Quran.

Ketiga: Tidak ada qiyas dalam sunnah.

tidak ada qiyas dalam masalah agama,

Tidak ada qiyas dalam sunnah. Maksudnya adalah qiyas dengan makna yang bathil. Sebagian ulama menilai bahwa Imam Ahmad berpendapat tidak ada qiyas sama sekali. Qiyas yang bathil yaitu yang mempersamakan Allah dengan makhluk. Adapun qiyas yang benar adalah dengan pendalinan yang benar.

Apabila sudah mendalami agama dengan benar, maka tidak perlu qiyas dikarenakan contoh-contohnya sudah ada. Dalam pembahasan aqidah, qiyas hanya dibahas yang telah apa dikatakan oleh para as-salaf.

Keempat: Larangan membuat permumpamaan-perumpamaan dalam sunnah.

tidak boleh dibuat permisalan-permisalan bagi Sunnah

Seorang muslim dituntut untuk berserah diri, “Kami Mendengar dan Kami Taat“. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًۭا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًۭا

Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa: 65)

Kewajiban Rasul adalah menyampaikan sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya. Rasul tidak ada andil kecuali menyampaikan dan kita tidak ada tugas kecuali menerimanya. Risalah agama semuanya datang dari Allah Ta’ala.

Kelima: Sunnah tidak dapat dijangkau dengan akal dan hawa nafsu, tapi sunnah itu untuk diikuti.

dan tidak boleh pula dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.

Akal adalah nikmat dari Allah Ta’ala sehingga harus dipakai untuk memahami, mempelajari dan mengambil ibrah dari Al-Qur’an dan Hadits. Bukan dipakai untuk menghakimi Al-Qur’an and Hadits. Dalam Al-Qur’an sering disebutkan ayat “Tidak kah mereka berakal?

Adapun ahlul ahwa mendahulukan akal dari pada nash. Ada juga yang berpemahaman apabila nash bertentangan dengan akal, maka nash nya harus ditakwil. Sehingga mereka malah mempermasalahkan nash nya, bukan mempermasalahkan akalnya.

Sebenarnya apabila akal nya sehat, sesuai fitrah, maka tidak akan bertentangan dengan nash.

Sebagai contoh: ada seseorang bernama Muhammad Nasyd Ridho, yang menolak hadits yang terdapat dalam riwayat Al-Bukhariy dan Muslim. Yakni hadits kisah sujudnya matahari dibawah singgasana Allah Ta’ala, sampai Allah perintah untuk terbit dari arah timur. Begitu terus tiap hari sampai Allah perintah untuk terbit dari arah barat, yaitu mendekati hari kiamat. Menurut dia hadits ini tidak masuk akal karena bagaimana mungkin matahari terbenam di negeri Mesir, di negeri lain matahari masih terbit. Sehingga matahari sujudnya kemana?. Ini adalah pemikiran orang yang akal nya tidak sehat. Apabila dia punya akal sehat, maka “bukan kan Allah mampu atas segala sesuatu?”.

Imam Ahmad mengingatkan bahwa terhadap sunnah kewajiban kita adalah mengikuti saja dan meninggalkan hawa nafsu.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Kitab Amdatul Ahkam – Fikih Puasa

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab: Amdatul Ahkam – Bab Puasa

  • Syarah dari Syeikh Muhammad bin Ustaimin Rahimahullah.
  • Materi kajian oleh Abu Omar Zaydan Hafizahullah, di Markaz Abu Bakar, Melbourne, Australia. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses pada link berikut: Pertemuan 1, Pertemuan 2, Pertemuan 3.

Kajian disampaikan dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan intisarinya dalam bahasa Indonesia

Kitab Puasa

Pendahuluan

Puasa adalah salah satu dari rukun Islam yang lima sebagaimana tercantum di dalam hadits Jibril.

Secara bahasa puasa artinya menahan diri. Adapun secara istilah puasa artinya menahan diri dari makanan dan minuman serta semua yang dapat membatalkan puasa dari terbit matahari sampai terbenam matahari.

Puasa hukumnya wajib bagi setiap umat termasuk umat dahulu sebelum umat Nabi Muhammad . Apabila ada yang berkata puasa tidak wajib, maka dia kufur menurut kesepakatan para ulama (ijma).

Puasa diwajibkan pada tahun 2 Hijriyah secara bertahap. Pada tahap awal diberikan dua pilihan yaitu puasa atau memberi makan orang miskin. Akan tetapi, Allah lebih mengutamakan orang yang berpuasa. Pada tahap akhirnya, Allah mewajibkan puasa bagi Umat Islam. Terdapat keringan dalam kewajiban puasa diantaranya: orang yang berpergian dan sakit.

Hadits 1: Larangan puasa di akhir bulan Sya’ban.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan shaum sehari atau 2 hari, selain seseorang yang sudah biasa melakukan puasa (di hari itu), maka silakan dia berpuasa padanya.

Larangan puasa 1 atau 2 hari menjelang akhir bulan sya’ban dikecualikan apabila melakukan puasa yang sudah terbiasa. Larangan ini dimaksudkan agar tidak ragu-ragu akan datangnya awal Ramadhan. Sebagian orang berpuasa di akhir bulan Sya’ban dikarenakan mereka tidak ingin tertinggal puasa Ramadhan. Akan tetapi keraguan tersebut bisa dihilangkan apabila diyakinkan dengan penetapan awal Ramadhan yaitu dengan melihat Hilal. Sehingga apabila niat puasa pada akhir Sya’ban bukan karena keraguan awal Ramadhan, maka diperbolehkan.

Hadits 2: Penentuan Awal Ramadhan dengan melihat Hilal

Dari ‘Abdullah Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kamu melihatnya (hilal), maka berpuasalah, ● dan jika kamu melihatnya lagi, maka berbukalah. ● Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya“.

Penentuan Awal Ramadhan dengan melihat Hilal yaitu jika hilal terlihat maka puasa, jika tidak melihat hilal maka tidak puasa, dan jika hilal tidak jelas terlihat maka diperkirakan.

Dari hadits ini kita bisa menentukan awal Ramadhan dengan jelas yaitu dengan melihat hilal. Untuk melihat hilal tidak susah dan semua orang bisa melakukannya. Melihat hilal bisa dengan mata tanpa memerlukan peralatan. Satu orang muslim saja bisa dijadikan saksi dalam melihat hilal. Akan tetapi kesaksiannya harus diputuskan di pengadilan dan hasilnya dimumkan oleh ulil amr (penguasa negeri).

Penglihatan hilal Ramadhan dilakukan pada malam 30 sya’ban. Apabila hilal terlihat maka telah masuk 1 Ramadhan dan besoknya awal puasa. Apabila tidak terlihat maka, malam itu masih tanggal 30 sya’ban sehingga besoknya bukan awal puasa. Akan tetapi apabila penglihatan tidak jelas disebabkan oleh cuaca, maka diprediksi, yaitu bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari sehingga besoknya bukan awal puasa. Jumlah hari dalam satu bulan dalam calendar Islam ada yang 29 hari atau 30 hari.

Terdapat larangan dalam memprediksi awal Ramadhan dengan perhitungan karena perintahnya adalah dengan melihat hilal. Penentuan awal Ramadhan dengan perhitungan bisa benar dan bisa salah. Kemudian tidak semua orang bisa menghitung dalam menentukan awal Ramadhan. Islam adalah agama yang memudahkan bagi pengikutnya.

Jika alasannya adalah untuk menyatukan umat dalam bersama-sama memulai awal Ramadhan, maka dalam waktu shalat pun disetiap negeri waktunya berbeda-beda. Sehingga tidak mungkin kita menyatukan semua waktu shalat untuk setiap negeri, begitu pula dengan menyatukan awal Ramadhan.

Hadits 3: Ada barakah dalam makan sahur.

Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersahurlah kalian, karena di dalam sahur terdapat barakah“.

Dalam makan sahur terdapat barakah, yaitu makanan yang dimakan ketika sahur. Sehingga disunnahkan untuk menunda makan sahur sampai bagian akhir mendekati adzan subuh.

Hadits 4: Waktu antara makan sahur dan adzan subuh adalah sekitar 50 ayat.

Dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anhu, dia bercerita, Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ● kemudian beliau bangkit melaksanakan shalat (shubuh).” ● Anas berkata, Aku bertanya kepada Zaid, “Berapa rentang waktu antara adzan dengan (selesainya) makan sahur?” ● Anas bin Malik menjawab, “Kira-kira waktu seseorang membaca lima puluh ayat.”

Waktu antara makan sahur dan adzan subuh adalah sekitar 50 ayat. Ayat yang dimaksud di sini adalah ayat pertengahan, tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek.

Penentuan waktu Imsak, yaitu batas waktu berhentinya makan sahur, tidak disunnahkan. Hal ini dikarenakan batas berhentinya makan sahur adalah adzan subuh.

Hadits 5: Rasulullah dalam keadaan junub ketika adzan subuh, kemudian mandi junub dan berpuasa.

Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radliallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapatkan waktu fajar saat Beliau sedang junub karena keluarga Beliau. ● Kemudian Beliau mandi dan shaum.

Hadits ini diriwayatkan oleh Aisha dan Ummu Salamah Radhiyallhu ‘anhuma, yaitu ketika salah seorang shahabi menanyakan kepada mereka mengenai apa yang dilakukan oleh Rasulullah ketika junub pada Bulan Ramadhan.

Biografi Ummu Salamah

Ketika suami Ummu Salamah meninggal, maka Ummu Salamah berdoa agar kuat dalam menjalani musibah dan diberikan sesuatu yang lebih baik. Dalam hatinya dia berkata tidak ada yang lebih baik dari suaminya. Allah mengabulkan do’anya karena setelah itu Rasulullah menikahinya.

Faedah Hadits:

  • Diperbolehkan dalam keadaan junub setelah adzan subuh dan berpuasa.
  • Tidak harus mandi besar terlebih dahulu.
  • Terdapat pelajaran agar menanyakan kepada ulama apabila mempunyai pertanyaan.
  • Diperbolehkan mengatakan sesuatu yang tidak biasa apabila di perlukan.
  • Sesuatu yang dilakukan Nabi menjadi dalil dibolehkannya.

Hadits 6: Siapa yang lupa makan dan minum ketika berpuasa, maka puasanya diteruskan. Allah memberi makanan kepada yang berpuasa tersebut.

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seseorang lupa lalu dia makan dan minum (ketika sedang berpuasa) maka hendaklah dia meneruskan puasanya, ● karena hal itu berarti Allah telah memberinya makan dan minum

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.

Apabila lupa makan dan minum ketika menjalankan ibadah puasa, maka tidak apap dan boleh meneruskan puasanya. Hal ini dikarenakan tidak ada niat orang tersebut untuk membatalkan puasanya.

Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah” (Al-Baqarah: 286)

Faedah Hadits:

  • Puasa tidak batal dikarenakan lupa makan atau minum. Hal ini juga diqiyaskan kepada pembatal puasa yang lainnya.
  • Puasa tidak berkurang nilainya setelah lupa makan dan minum ketika berpuasa.
  • Sesuatu yang lupa tidak dihitung.
  • Rahmat Allah Ta’ala kepada hambanya.

Hadits 7: Kafarah orang yang melakukan hubungan suami istri ketika berpuasa

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata: “Ketika kami sedang duduk bermajelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu berkata: “Wahai Rasulullah, binasalah aku”. ● Beliau bertanya: “Ada apa denganmu?”. ● Orang itu menjawab: “Aku telah berhubungan dengan isteriku sedangkan aku sedang berpuasa”. ● Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?”. Orang itu menjawab: “Tidak”. ● Lalu Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”. Orang itu menjawab: “Tidak”. ● Lalu Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?”. Orang itu menjawab: “Tidak”. ● Sejenak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam. Ketika kami masih dalam keadaan tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan satu keranjang berisi kurma, lalu Beliau bertanya: “Mana orang yang bertanya tadi?”. Orang itu menjawab: “Aku”. ● Maka Beliau berkata: “Ambillah kurma ini lalu bershadaqahlah dengannya“. ● Orang itu berkata: “Apakah ada orang yang lebih faqir dariku, wahai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal diantara dua perbatasan, yang dia maksud adalah dua gurun pasir, yang lebih faqir daripada keluargaku”. ● Mendengar itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersenyum hingga tampak gigi seri Beliau. ● Kemudian Beliau berkata: “Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma ini“.

Ketika Rasulullah duduk bersama para shahabat, datang seseorang dan berkata “Saya telah hancur, telah berbuat dosa dan menyesal”. Kemudian Rasulullah berkata “Apa yang telah kamu lakukan”. Orang itu menjawab, “Saya telah berhubungan intim dengan istri saya ketika berpuasa”.

Kemudian Rasulullah menjelaskan kafarahnya, “Apakah kamu bisa membebaskan budak?”. Orang itu menjawab, “Tidak bisa wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bertanya, “Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?”. Orang itu menjawab, “Saya tidak sanggup wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?” Orang itu menjawab, “Saya tidak bisa, wahai Rasulullah.”

Kemudian ada seseorang datang dengan membawa kurma 15 sha (sekitar 45 kg). Rasulullah berkata kepada orang yang melakukan hubungan suami istri itu, “Ambilah kurma ini dan bagikanlah kepada orang miskin disekitar mu”. Orang itu menjawab, “Tidak ada rumah di Madinah yang lebih miskin dari rumah saya”. Kemudian Rasulullah tersenyum dan berkata, “Ambilah kurma ini dan berikan kepada keluargamu.”.

Faedah hadits:

  • Berhubungan badan ketika berpuasa adalah dosa besar. Dibolehkan berhubungan badan ketika Ramadhan pada waktu malam hari sampai waktu subuh. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌۭ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌۭ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٔـٰنَ بَـٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, (Al-Baqarah: 187)

  • Kewajiban besar dalam hal 3 kafarat yang disebutkan.
  • Bolehnya seseorang menolong orang yang tidak mampu untuk membayar kafarat.
  • Membayar kafarat adalah kewajiban apabila bisa.
  • Jika seseorang butuh, maka penuhi kebutuhan sendiri dulu.
  • Islam adalah agama yang mudah bagi yang tidak mampu melaksanakannya.
  • Orang yang telah melakukan dosa besar kemudian menyesal akan dosanya tersebut. Maka tidak boleh dilecehkan dan harus di perlakukan dengan baik.
  • Bolehnya bersumpah kepada Allah Ta’ala walaupun tidak ada yang memintanya untuk bersumpah.
  • Bolehnya menjelaskan keadaan kita pada orang lain.
  • Dalam hadits disebutkan para shahabat duduk di majelis Rasulullah untuk mendapatkan ilmu ﷺ.

Bab Puasa dalam berpergian dan lainnya

Dalam bab ini akan dijelaskan hukum berpuasa ketika dalam perjalanan. Apakah boleh melanjutkan puasa? Atau boleh membatalkan puasa?. Dan apa yang paling afdhal dalam berpuasa ketika berpergian.

Pengertian berpergian disini adalah meninggalkan tempat tinggal untuk berpergian kesebuah tempat. Dimana penduduk setempat telah terbiasa mengatakan berpergian atau safar apabila kita kesebuah tempat tersebut. Tidak disebutkan berapa jarak dan lamanya waktu berpergian. Terdapat sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah ﷺ melakukan perjalanan berjarak 3 mil, kemudian memperpendek shalat nya.

Hadits 1: Ketika safar apabila mau meneruskan puasa tidak mengapa dan apabila mau membatalkan puasa maka tidak mengapa juga.

Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa Hamzah bin ‘Amru Al Aslamiy berkata, kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah aku boleh berpuasa saat bepergian? ● Dan dia ini adalah orang yang banyak berpuasa. ● Maka Beliau menawab: “Jika kamu mau berpuasalah, dan jika kamu mau berbukalah“.

Hadits ini diriwayatkan oleh Aisha Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dibolehkan untuk berpuasa atau membatalkan puasa ketika berpergian (safar).

Faidah Hadits:

  • Para Sahabat bertanya kepada Rasulullah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
  • Ketika berpergian maka diperbolehkan untuk memilih tetap berpuasa atau membatalkan puasanya.
  • Hadits ini menunjukkan kemudahan menjalankan syariat Islam.
  • Hadits ini membantah golongan Jabbariyah yang menyimpang dalam memahami Qadar. Mereka mengatakan tidak ada pilihan bagi hamba. Akan tetapi dalam hadits ini Rasulullah ﷺ memberikan pilihan.

Hadits 2: Larangan untuk mencela kepada orang yang berpuasa dan orang yang membatalkan puasanya ketika berpergian.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata; “Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ● Maka orang yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, dan yang berbuka juga tidak mencela yang berpuasa”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik.

Faedah Hadits:

  • Dibolehkan untuk berbuka puasa ketika berpergian.
  • Kesepakatan dari para shahabat bisa dijadikan hujjah atau dalil.

Hadits 3: Berpergian ketika berpuasa dan cuaca panas, hanya Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah yang berpuasa.

Dari Abu Ad-Darda’ radliallahu ‘anhu berkata; Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada cuaca yang sangat panas di bulan Ramadhan, ● sehingga ada seseorang yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena amat panasnya, ● dan tidak ada diantara kami yang berpuasa kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ‘Abdullah Ibnu Rawahah.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Darda Radhiyallahu ‘Anhu. Saat itu para sahabat dan Nabi ﷺ melakukan safar ketika Ramadhan. Cuaca pada saat itu panas di mana kebanyakan para sahabat menutup wajah mereka dengan tangan. Pada saat itu hanya Nabi ﷺ dan Abdullah bin Rawahah yang berpuasa.

Faedah Hadits:

  • Diperbolehkan untuk tidak berpuasa ketika berpergian.
  • Membatalkan puasa lebih utama jika dalam perjalanan tersebut memberatkan.
  • Memilih untuk membatalkan puasa tidak berarti mengurangi ketawakalan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Hadits 4: Diperbolehkan membatalkan puasa dalam perjalanan apabila memberatkan.

Dari Jabir bin ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dalam suatu perjalanan melihat kerumunan orang, yang di antaranya ada seseorang yang sedang dipayungi. Beliau bertanya: “Ada apa ini?” Mereka menjawab: “Orang ini sedang berpuasa”. Maka Beliau bersabda: “Tidak termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan“.

Lafal Muslim: “Ambillah keringanan dari Alloh, yang telah Dia berikan kepada kalian.

Hadits ini diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu ‘Anhu. Ketika Rasulullah ﷺ safar melihat sekelompok orang di mana terdapat satu orang yang dipayungi tergeletak di tanah. Rasulullah ﷺ bertanya kepada mereka, “Ada apa ini?”. Mereka menjawab, “Dia sedang berpuasa. Kemudian Rasulullah ﷺ berkata, “Bukan sesuatu yang kebajikan berpuasa ketika berpergian”. Dalam riwayat lain, “Allah memperbolehkan untuk membatalkan puasa”.

Jika perjalanannya memberatkan, maka boleh membatalkan puasa. Akan tetapi apabila perjalanannya tidak memberatkan, maka boleh meneruskan berpuasa.

Faedah Hadits:

  • Rasulullah ﷺ sangat peduli pada umatnya.
  • Bukan sesuatu kebajikan berpuasa ketika berpergian.
  • Dibolehkan melakukan ijtihad untuk berpuasa atau membatalkan puasa ketika berpergian.
  • Dibolehkan melihat sesuatu yang aneh yang terjadi pada suatu perkumpulan.

Hadits 5:

Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka di antara kami ada yang berpuasa, dan di antara kami ada juga yang buka. ● Dia berkata, “Lalu kami singgah di suatu tempat singgahan, pada suatu hari yang panas. ● Orang yang paling banyak naungannya adalah yang memiliki selendang, dan di antara kami ada yang bernaung dari terik matahari dengan telapak tangannya. ● Dia berkata, “Lalu orang-orang yang tetap berpuasa roboh (tidak melakukan apa-apa), sementara mereka yang berbuka bangkit, lalu mereka memasang kemah-kemah dan memberi minum tunggangan-tunggangan. ● Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang berbuka pada hari ini telah bepergian dengan mendapatkan pahala“.

Faedah hadits:

  • Diperbolehkan bagi yang berpergian untuk tetap berpuasa atau berbuka puasa pada Bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan Nabi ﷺ menyetujui keduanya.
  • Lebih baik untuk berbuka puasa apabila ada manfaatnya pada saat perjalanan.
  • Keutamaan membantu teman perjalanan pada saat berpergian
  • Apabila mengambil kemudahan untuk berbuka puasa ketika dalam perjalanan maka hal ini tidak mengurangi ketawakalannya.
  • Pahala berdasarkan orang yang melakukan amalan. Dalam hadits disebutkan bahwa mereka yang berbuka puasa ketika dalam perjalanan mendapat pahala: membantu teman perjalannya, membangunkan tenda, memberi makan dan minum tungangan dan pahala dalam berbuka puasa pada hari itu.
  • Diperbolehkan untuk membiarkan orang lain untuk melakukan suatu amal shaleh walaupun kita tidak melakukannya.

Hadits 6:

Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata: “Aku berhutang puasa Ramadhan, ● maka aku tidak bisa mengqadha’nya kecuali pada bulan Sya’ban”.

Hadits ini berkaitan dengan perempuan yang tidak bisa berpuasa Ramadhan dikarenakan menstruasi atau nifas. Aisha radhiyallahu anha mengatakan bahwa dia tidak bisa mengqadha’ puasa nya kecuali pada bulan sya’ban, yaitu bulan sebelum ramadhan.

Ahlus sunnah wal jammah secara ijma mengharuskan perempuan yang berhalangan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan kewajiban membayar puasa setelah Ramadhan. Akan tetapi tidak ada kewajiban bagi mereka untuk membayar shalatnya. Bertolak belakang dengan kalangan khawarij yang mengharuskan membayar shalatnya bagi perempuan yang berhalangan (menstruasi).

Faedah hadits:

  • Diperbolehkan untuk membayar puasa Ramadhan pada hingga pada bulan Sya’ban.
  • Diutamakan untuk membayar puasa Ramadhan sesegera mungkin, tidak menunggu sampai bulan Sya’ban. Hal ini dikarenakan Aisha menyesal tidak bisa membayar puasanya sebelum bulan sya’ban. Bulan Sya’ban adalah bulan terakhir untuk membayar puasa pada tahun itu.
  • Tidak diperbolehkan untuk membayar puasa setelah Ramadhan berikutnya datang. Hal ini dikarenakan di hadist disebutkan bulan Sya’ban adalah bulan terakhir untuk membayar puasa.
  • Aisha memintah maaf (menyesal) karena tidak bisa membayar puasa sebelum sya’ban


Hadits 7:

Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki hutang puasa, maka walinya (boleh) berpuasa untuknya“. ● Abu Dawud juga mentakhrijnya dan berkata, “Ini (berlaku) pada (shaum) nadzar, dan itulah pendapat Ahmad bin Hanbal.”

Fadilah Hadits:

  • Kewajiban bagi orang yang terdekat (ahli waris) untuk membayar hutang puasa keluarga yang meninggal dunia.
  • Jika tidak ada yang bisa membayar puasa orang yang meninggal tersebut, maka memberi makan orang miskin sejumlah hari hutang puasanya dari uang yang ditinggalkannya. Jika yang meninggal tidak meninggalkan uang yang cukup, maka seseorang bisa bershadaqah untuk membayarkannya. Apabila tidak ada orang yang mau bersedekah untuk membayar puasa orang yang meninggal tersebut, maka urusannya diserahkan pada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini bukan kewajiban untuk membayarkan hutang puasa, tapi merupakan amal shaleh.
  • Tidak ada bedanya dengan membayar hutang puasa wajib pada ramadhan atau nadzar.
  • Diperbolehkan membayar hutang puasa orang meninggal dalam satu hari dilakukan oleh beberapa ahli waris. Sehingga jumlah harinya bisa dihitung oleh para ahli waris yang membayar puasanya.
  • Apabila orang tersebut mempunyai kewajiban puasa akan tetapi tidak dapat melakukannya misalnya dikarenakan sakit, maka bukan kewajiban ahli waris untuk membayarnya. Hal ini dikarenakan orang yang meninggal tersebut memang tidak bisa membayarnya pada saat sebelum meninggal. Akan tetapi apabila orang yang meninngal tersebut mampu membayarnya tapi tidak sempat misalkan dikarena menunda atau malas, maka ahli waris mempunyai kewajiban untuk membayarnya.

Hadits 8:

Dari ‘Abdullah Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, ia berkata; Seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, padahal ia memiliki hutang puasa selama satu bulan. Apakah saya harus membayarkan untuknya?” ● Beliau menjawab: “Sekiranya ibumu memiliki hutang uang, apakah kamu harus membayarnya?” Dia menjawab, “Ya, tentu.” ● Beliau bersabda: “Kalau begitu, maka hutang kepada Allah adalah lebih berhak untuk dilunasi.

Dalam sebuah riwayat, “Seorang wanita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ibuku telah meninggal, sedangkan beliau masih memiliki hutang puasa Nadzar, (bolehkah) aku membayarnya?” ● Beliau menjawab: “Bagaimana menurutmu, jika ibumu memiliki hutang, lalu kamu membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi hutangnya?” wanita itu menjawab, “Ya.” ● Beliau bersabda: “Kalau begitu, berpuasalah untuknya.

Faedah hadits:

  • Keinginan para sahabat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka bisa mengamalkannya dengan dasar ilmu yang jelas.
  • Diperbolehkan untuk membayar puasa bagi orang yang telah meninggal.
  • Tata cara yang baik yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
  • Rasulullah ﷺ dalam memberikan pelajaran dengan cara memberikan permisalan. Ketika sahabat menanyakan, “Apakah saya harus membayar hutang puasa ibu saya?”, maka Rasulullah ﷺ balik bertanya, “Apakah apabila ibumu punya hutang, apakah kamu mau membayarnya?”. Dengan demikian para sahabat akan memahaminya dengan lebih baik.
  • Qiyas pada agama adalah dalil yang syar’i.
  • Diperbolehkan membayar hutang orang yang telah meninggal. Terlebih hutang kepada Allah Ta’ala lebih wajib untuk melunasinya.

Hadits 9:

Dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka“.

Maksudnya sunnah untuk menyegerakan berbuka puasa pada waktunya (matahari tenggelam). Dari hadist sebelumnya diutamakan untuk memperlambat waktu makan sahur dan menyegerakan berbuka puasa. Ini adalah rahmat dari Allah Ta’ala untuk hamba-Nya.

Faedah Hadits:

  • Amalan yang terbaik adalah amalan yang sesuai dengan syariat dan tidak berlebihan melampaui syariat.
    • Berbuka puasa pada saat matahari tenggelam.
  • Menyegerakan berbuka puasa menjadikan kebaikan bagi orang yang melaksanakannya.
  • Apabila menunda berbuka puasa, maka ini menjadi tidak baik bagi orang yang melaksanannya.
  • Kecintaan Allah pada hamba-Nya untuk mempermudah dalam ibadah puasa.

Wallahu Ta’ala A’lam