“Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah berbuat kesyirikan dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-Nya“ (Al-Kahf: 110)
Pembahasan
Pertama: Definisi Raja’
Raja’ (pengharapan) merupakan ibadah hati. Raja’ artinya seseorang menghendaki untuk meraih sesuatu yang diharapkan. Dalam raja’ terkandung penghinaan diri dan ketundukan.
Kedua: Bentuk-bentuk raja’
Raja’ terbagi tiga jenis dimana dua terpuji dan satu tercela:
Dua Raja’ yang terpuji.
Seorang yang beramal dengan ketaatan sesuai dengan petunjuk dari Allah, dia mengharapkan pahala dari Allah.
Seorang yang berbuat dosa kemudian bertobat dari dosanya, dia mengharapkan pengampunan dan maaf dari Allah.
Adapun raja’ yang tidak terpuji adalah seorang yang terus menerus dalam kelalaian dan dosa, dia mengharap rahmat Allah tanpa beramal. Ini namanya tertipu atau berangan-angan.
Tiga pokok ibadah hati: khauf, raja’, dan mahabah. Ulama mengatakan ketiga ini sebagai yang menggerakan hati kepada Allah. Rasa cintanya membuat seseroang mempunyai arah. Rasa berharapnya yang membahwa seseorang berjalan kedepan. Adapun rasa takutnya adalah yang menghardik seseorang dari belakang.
Sebab munculnya raja’ pada seorang hamba:
Banyak berdizkir mengingat Allah yang dicintai.
Banyak memperhatikan nikmat dan karunia dari Allah.
Pengetahuan tentang nama-nama dan sifat Allah.
Ibnu qoyim berkata, “Kekuatan raja’ itu sesuai dengan kadar pengetahuan dia terhadap Allah, terhadap nama-nama dan sifat-Nya.”
Ketiga: Tafsir ayat yang menunjukkan bahwa raja’ adalah ibadah
Dalil raja’ adalah firman Allah Ta’ala: “Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah berbuat kesyirikan dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-Nya” (Al-Kahf: 110).
Barangsiapa yang mengharap, ini adalah raja’.
Pendalilan raja’ adalah ibadah adalah karena Allah Ta’ala memuji orang yang raja’. Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan akan syarat raja’ yang benar. Sehingga raja’ ini dicintai Allah Ta’ala.
Orang beriman memiliki Raja’, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Adapun orang kafir, tidak memilki raja’, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
Semua orang bisa mempunyai harapan, tidak boleh berputus asa.
Pengertian Liqo Ar Rabbihi ada dua penafsiran:
Bermakna melihat Allah Ta’ala. Ini adalah suatu nikmat yang paling besar di hari kiamat.
Bermakna berjumpa menghadap Allah Ta’ala. Ini juga bermakna bergembira.
Apabila ingin dapat keutamaan berjumpa dengan Allah Ta’ala, maka ada dua syaratnya:
Beramal shalih.
Tidak berbuat kesyirikan.
Syarat suatu amalan dikatakan shalih:
Amalannya Ikhlas karena Allah
Amalannya sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu Alaihi Wasalaam.
Amalannya bersih dari kesyirikan.
Akibat dari amalan yang tidak shalih, Allah ta’ala berfirman:
“janganlah berbuat kesyirikan dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-Nya”.
Wallahu Ta’ala ‘Alam
Sumber:
Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah
“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman” (Ali ‘Imran: 175)
Pembahasan
Khauf artinya rasa takut merupakan ibadah hati. Khauf merupakan salah satu dari inti ibadah.
Pertama: Definisi Khauf
Khauf adalah kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak disenangi dan dikhawatirkan terjadi di masa yang akan datang. Misalnya seseorang takut kehabisan makanan dalam satu bulan kedepan.
Perbedaan antara Al-Wajan dan Al-Khauf:
Al-Wajan, kekhwatiran dimasa yang sekarang. Misalnya seseorang melihat binatang buas sehingga takut pada saat itu (masa sekarang).
Al-Khauf, kekhawatiran dimasa yang akan datang.
Kedua: Tafsir Ayat yang Menunjukkan Bahwa Khauf Adalah Ibadah
Dalil bahwa khauf adalah ibadah “Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman” (Ali ‘Imran: 175). Maksudnya janganlah takut kepada kaum Musyrikin, tapi takut lah kepada Ku. Pembahasan ini terkait dengan peristiwa perang Ahzab, yang dijelaskan dalam surat Ali ‘Imran.
Sehingga Khauf adalah ibadah yang dirinci dalam 3 sisi:
Dilarang untuk takut kepada kaum Musyrikin karena takut hanyalah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Diperintah takut kepada Allah. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu Allah cintai. Maka rasa takut dicintai oleh Allah. Sehingga rasa takut adalah ibadah.
Rasa takut diakhir ayat dijadikan syarat keimanan. Sehingga ini juga menunjukan bahwa khauf adalah ibadah.
Khauf adalah ibadah yang sangat besar yang menjadi sebab kebaikan hati. Pokok penghambaan yang harus selalu ada dihati hamba ada 3 yaitu: rasa takut, berharap dan rasa cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Didalam Al-Qur’an disebutkan para Nabi takut kepada Allah, sebagaimana Allah berfirman,
Dikatakan kepada Nabi Nuh:
Dikatakan kepada Nabi Muhammad:
Tidak boleh rasa takut hilang dari seorang hamba karena akan merusak hati tersebut. Sulaiman Ad-Darani Rahimahullah berkata, “Tidaklah hati itu berpisah dari rasa takut, kecuali dihatinya akan menjadi rusak”.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan khauf:
Penafsiran takut pada kedudukan Rabb:
Bermakna keagunagan dan kebesaran Allah. Hal ini apabila kita mengetahui keagungan dan kebesaran Allah Subhahanhu Wa Ta’ala
Bermakna takut ketiga berdiri didepan Allah ketika mempertanggungjawabkan amalannya. Sehingga selalu mempersiapkan amalan dan memperbaiki ketaatannya.
Rasa takut ini tidak berdiri sendiri, tapi harus disertai dengan rasa harapan dan rasa cintai. Ketiganya tidak boleh dipisahkan. Sebagaian ulama mengibaratkan ketiga hal ini bagaikan burung dimana rasa cinta adalah badan burung. Adapun rasa takut dan rasa harapan adalah dua sayap burung. Ketiganya harus lengkap, apabila kekurangan salah satu maka tidak akan seimbang dan akan menjadi tersesat.
Sebagian as-salaf berkata, “Siapa yang beribadah kepada Allah hanya sekedar cinta saja, maka dia adalah zindiq. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa takut saja, maka dia adalah khawarij. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa harapan saja, maka di adalah murji’ah”.
Sehingga ketiga rasa ini harus dikumpulkan sekaligus, sebagaimana Allah berfirman:
Mereka ini adalah orang yang beribadah dengan cara mencari segala wasilah yang paling dekat, yaitu rasa cinta. Mereka punya harapan terhadap rahmat Allah dan mereka takut kepada adzab-Nya.
Rasa takut yang benar adalah rasa takut yang menyebabkan adanya harapan. Sehingga bukan rasa takut yang menyebabkan putus asa menjadi sulit beribadah. Demikian pula, rasa harapan yang benar adalah harapan yang menyebabkan rasa takut.
Ketiga: Bentuk Khauf
Ada empat jenis rasa takut:
Rasa takut ibadah. Ini adalah pembahasan dalam bab ini. Dengan rasa takut kepada Allah, maka beribadah. Apabila rasa takut ibadah ini dipalingkan kepada selain Allah, maka termasuk syirik akbar.
Khauf Sirr, rasa takut kepada sesuatu yang rahasia. Misalnya takut apabila tidak berjiarah ke kuburan wali, maka akan tidak berhasil usahanya atau tertimpa musibah. Ini termasuk syirik akbar.
Khauf yang meninggalkan kewajiban karena takut pada sebagian manusia. Ini hukumnya adalah haram, syirik kecil. Bentuk kesyirikan yang menghilangkan kesempurnaan tauhid.
Kaufu Thabi’i, rasa takut yang merupakan tabiat manusia. Misalnya takut memasukan tangan kedalam api, karena takut terbakar api, takut melihat binatang buas. Hal ini tidak ada masalah.
Nabi Musa Alaihi Salam dalam keadaan takut ketika keluar dari Mesir, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Wallahu Ta’ala ‘Alam
Sumber:
Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
Penulis:Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
Pensyarah:Dr. Shalih bin Fauzan Al-FauzanHafizahullah
Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)
Dalil Ke-4
Juga dalam (Ash-Shahih) dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Ketika (ayat), ‘Dan berilah peringatan kepada keluargmu yang terdekat.’ (Asy-Syu’ara: 214) diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, beliau berdiri seraya bersabda,
“Wahai segenap kaum Quraisy -atau ucapan yang semisalnya- tebuslah diri kalian (dari siksa Allah). Sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi kalian sedikitpun di hadapan Allah. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muthalib, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi/membela dirimu sedikitpun di hadapan Allah. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah ﷺ, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi/membela dirimu sedikitpun di hadapan Allah, Wahai Fathimah, putri Muhammad, mintalah harta kepadaku sebagaimana keinginanmu. Sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi/membela dirimu sedikitpun di hadapan Allah“.
Biografi
Abu Hurairah, disebutkan bahwa nama beliau yang benar adalah Abdurahman bin Shakr, dari suku Daus, termasuk orang-orang yang mulia, yang banyak hafalan lagi ulama dari kalangan sahabat. Beliau meriwayatkan lebih dari lima ribu hadits. Beliau meninggal pada 57, 58, atau 59 H.
Makna Hadits SecaraGlobal
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu mengabarkan tentang apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ ketika Allah memerintahkan dalam kitab-Nya yang mulia untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya, bahwa beliau betul-betul melaksanakan perintah tersebut. Beliau menyeru/memanggil orang-orang Quraisy secara keseluruhan, juga beliau seru pamannya, bibinya, serta anak perempuannya. Beliaupun memperingatkan mereka secara khusus dan memerintahkan mereka untuk menyelamatkan diri masing-masing dari adzab Allah dengan cara menauhidkan dan menaati-Nya. Beliau menyampaikan bahwa beliau tidak dapat melindungi mereka dari adzab Allah sedikitpun apabila mereka tidak beriman.
Maka semata-mata kedekatan hubungan kekerabatan mereka dengan Rasul, tidaklah bermanfaat bagi mereka tanpa keimanan.
Hubungan antara Hadits dan Bab
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh meminta kepada Rasul, apalagi kepada selain Rasul, kecuali apa-apa yang disanggupi dalam perkara dunia. Adapun dalam perkara-perkara yang tidak disanggupi kecuali oleh Allah, maka tidaklah boleh memintanya kecuali kepada Allah. Pada hadits ini, terdapat bantahan terhadap para penyembah kubur yang mereka beristighasah akan kesulitan-kesulitan dan dalam pemenuhan keperluan-keperluannya kepada orang-orang yang telah meninggal.
Faedah Hadits
Bantahan terhadap orang-orang yang menyembah para nabi dan orang-orang shalih, yang mereka itu menggantungkan diri kepada makhluk dalam pemenuhan keperluan-keperluan mereka yang tidak disanggupi (pemenuhannya) kecuali hanya oleh Allah.
Bahwasannya tidak boleh memintah kepada hamba kecuali apa-apa yang disanggupinya.
Bersegeranya Nabi ﷺ dalam melaksanakan perintah Allah serta menyampaikan risalah.
Bahwasannya tidak ada yang bisa menyelamatkan dari adzab Allah kecuali iman dan amal shalih, bukan hanya dengan bersandar kepada nasab keturunan seseorang.
Bahwa orang yang pantas menjadi paling dekat dengan Rasul ﷺ adalah orang-orang yang taat dan mengikuti beliau, baik dari kalangan kerabat-kerabat beliau maupun selainnya.
Bahwa semata-mata memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasul ﷺ tidak ada manfaatnya kalau tidak memiliki iman dan amal shalih serta aqidah yang benar.
Wallahu Ta’ala A’lam
Referensi:
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
Penulis:Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
Pensyarah:Dr. Shalih bin Fauzan Al-FauzanHafizahullah
Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)
Dalil Ke-3
Juga dalam (Ash-Shahih) dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, (beliau berkata) bahwa beliau mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berdoa (setelah kepala beliau terluka dan gigi taring beliau patah) ketika mengangkat kepala dari ruku’ pada rakaat terakhir dalam shalat Subuh, “Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan,” yaitu seletah mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah, Rabbana lakal hamdu“. Oleh karena itu, Allah menurunkan firman-Nya.
لَيْسَ لَكَ مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ
“Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128)
Di dalam riwayat lain (disebutkan), “Beliau mendoakan kejelekan bagi Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan Al-Harits bin Hisyam maka turnlah ayat,
“Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128)
Biografi
Ibnu Umar adalah Abdullah bin Umar bin Al-Khathtab Radhiyallahu Anhuma, seorang shahabat yang mulia, termasuk ahli ibadah dan ulama dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada 73 H.
Makna Hadits SecaraGlobal
Abdullah bin Umar Radyiallahu Anhu mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mendoakan kejelekan daam shalat terhadap beberapa orang dari kalangan tokoh-tokoh orang kafir yang telah menyakitinya pada perang Uhud, maka Allah menegurnya dengan firman-Nya “Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128).
Lalu Allah memberikan taubat kepada mereka, sehingga mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hubungan antara Hadits dan Bab
Di dalam hadits terdapat penjelasan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mampu membela dirinya dari gangguan kaum musyrikin, tidak pula membela para shahabatnya bahkan beliau meminta perlindungan kepada Allah Yang Maha Mampu dan Maha Berkuasa. Hal ini menunjukkan batilnya apa yang diyakini oleh para penyembah kubur terhadap para nabi dan orang-orang shalih.
Faedah Hadits
Batilnya bergantung kepada para wali dan orang shalih dalam meminta pemenuhan keperluan dan pelepasan diri dari kesulitan.
Bolehnya mendoakan kejelekan terhadap kaum musyrikin dalam shalat.
Sebagai dalil (petunjuk) bahwa menyebutkan nama orang yang didoakan kebaikan atau kejelekan untuknya tidak membatalkan shalat.
Adanya penegasan bahwa imam menggabungkan bacaan tasmi’ (Sami’allahu liman hamidah) dan tahmid (Rabbana wa lakal hamdu)
Wallahu Ta’ala A’lam
Referensi:
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
Penulis:Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
Pensyarah:Dr. Shalih bin Fauzan Al-FauzanHafizahullah
Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)
Dalil Ke-2
Di dalam Ash-Shahih dari Anas Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Pada perang Uhud, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam terluka pada kepala, dan gigi taring beliau patah. Beliau pun bersabda, “Bagaimana akan beruntung, suatu kaum yang melukai Nabi mereka?’ Maka turunlah (ayat),
لَيْسَ لَكَ مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ
“Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128)
Makna Hadits SecaraGlobal
Anas Radhiyallahu Anhu mengabarkan apa yang terjadi pada diri Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dalam peperangan Uhud berupa berbagai gangguan dan cobaan dari tangan musuh-musuhnya berupa luka-luka di dua tempat di tubuh beliau yang mulia. Maka seakan-akan beliau Shallallahu Alaihi Wasallam merasa putus asa bahwa orang-orang kafir Quraisy akan mendapatkan keburuntungan. Maka dengan sebab itualh dikatakan kepada beliau, “Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128).
Artinya akibat akhir dari suatu perkara dan hukum terhadap seseorang adalah di tangan Allah, maka berjalanlah kamu dengan keadaanmu dan teruslah berdakwah.
Hubungan antara Hadits dan Bab
Pada hadits ini terdapat dalil akan batilnya kesyirikan kepada wali dan orang shalih, sebab apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mampu menolak musibah yang menimpanya, dan beliau juga tidak mampunyai hak sedikitpun untuk turut campur dalam menentukan suatu perkara, maka lebih-lebih selain Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam.
Faedah Hadits
Menunjukkan batilnya kesyirikan kepada para wali dan orang shalih, karena apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja tidak mampu menolak bahaya dari diri beliau sendiri dan tidak berkuasa terhadap suatu perkara apapun, terlebih lagi selain beliau.
Terjadinya sakit dan ujian pada diri nabi ‘alaihimus shalatuwas salam.
Kewaijiban ikhlas dalam beribadah kepada Allah, karena hanya Dia semata yang menguasai segala urusan.
Disyrariatkan untuk bersabar dan menanggung gangguan dan kesulitan di jalan dakwah kepada Allah
Dilarang berputus asa dari rahmat Allah, meskipun manusia berbuat berbagai macam kemaksiatan selain kesyirikan.
Pada pertempuran Uhud, Nabi mengalami luka di kulit kepala tanpa menyentuh tulangnya. Beberapa gigi taringnya patah akibat serangan Ukbah bin Abi Wakos. Nabi pernah mendoakan agar Ukbah meninggal dalam tidak lebih dari setahun, dan doa tersebut dikabulkan. Ukbah meninggal dalam keadaan kafir sebelum setahun berlalu.
Maka Nabi mengatakan bahwa bagaimana mungkin suatu kaum bisa meraih kebahagiaan dengan melakukan kekerasan terhadap nabi mereka. Mereka melukai kepala nabinya dan mematahkan giginya.
Maka turunlah ayat “Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka“. Ini berarti bahwa Nabi Muhammad tidak memiliki hak untuk campur tangan dalam hukum para hamba Allah. Semuanya ditangan Allah Subhanahu Wata’ala.
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah. Apabila beliau meminta apapun, Allah akan memberikannya. Akan tetapi, ayat ini adalah penegasan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tidak memiliki kekuasaan apapun dalam hal seperti ini. Beliau hanyalah hamba dan rasul Allah Subhanahu Wata’ala. Yang menentukan hukuman terhadap makhluk hanyalah Allah Subahanahu Wata’ala.
Wallahu Ta’ala A’lam
Referensi:
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
Penulis:Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
Pensyarah:Dr. Shalih bin Fauzan Al-FauzanHafizahullah
Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)
Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat, mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. (Fathir: 13-14)
Makna Ayat Secara Global
Allah Ta’ala mengabarkan tentang keadaan mereka yang diseru dari selain Allah, seperti kalangan malaikat, para nabi, patung-patung, dan yang lainnya, yang menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuan mereka.
Juga, tidak ada pada mereka syarat-syarat yang harus ada pada yang diseru/diibadahi, yaitu: memiliki apa-apa yang diminta darinya, mendengar doa, dan mampu menjawab (mengabulkan) doa tersebut. Jika satu syarat saja tidak ada, maka batallah untuk dijadikan sebagai yang diseru/disembah, maka bagaimana pula kalau keseluruhan syaratnya tidak ada.
Hubungan antara Ayat dan Bab
Dalam ayat di atas terdapat keterangan yang pasti dan kukuh tentang batilnya kesyirikan, dan terdapat bantahan terhadap kaum musyrikin
Faedah Ayat
Menunjukkan batilnya kesyirikan dngan dalil yang kuat dan keterangan yang sangat jelas.
Penjelasan tentang syarat-syarat yang wajib dipenuhi pada yang diseru yang dimintai pertolongan yaitu:
Memiliki apa-apa yang diminta darinya.
Mendengan doa orang yang berdoa kepadanya.
Mampu menjawab doa.
Bahwa perkara aqidah dibangun di atas bukti keterangan-keterangan dan keyakinan, bukan dibangun di atas prasangka dan dugaan serta taqlid buta.
Penetapan ilmu Allah tentang akibat-akibat dari semua perkara.
Wallahu Ta’ala A’lam
Referensi:
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang, dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. (Ali ‘Imran: 195)
Tafsir As-Sa’di: Maksudnya Allah ﷻ memenuhi doa mereka berupa doa ibadah maupun doa permohonan seraya berfirman, لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى “Sesungguhnya Aku tidak menyianyiakan amal orang-orang yang beramal dari kalian, baik laki-laki atau perempuan.” Semua orang akan mendapatkan balasan perbuatannya masing-masing secara penuh dan sempurna. Artinya, setiap kalian menurut batasan yang sama dalam pahala maupun siksa,
فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا “maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalanKu, yang berperang dan yang dibunuh“, mereka menyatukan antara keimanan, hijrah, dan meninggalkan hal-hal yang dicintai berupa negeri dan harta untuk mencari keridhaan Rabb mereka dan mereka berjihad di jalan Allah ﷻ, لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ “Pastilah akan Aku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah ﷻ,” Yang memberikan kepada hambaNya pahala yang melimpah untuk perbuatan yang sedikit.
وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ “Dan Allah ﷻ pada sisiNya pahala yang baik” dari hal-hal yang tidak pernah terlihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas pada benak seorang manusia pun. Dan barangsiapa yang mengharap hal itu, maka memohonlah kepada Allah ﷻ dengan cara taat kepadaNya, dan mendekatkan diri kepadaNya menurut kemampuan hamba.
Penulis telah menyebutkan bahwa jenis-jenis ibadah yang diperintah Allah adalah Islam, Iman dan Ihsan, yang merupakan pokok dalam ibadah. Secara terinci mengenai pokok Ibadah ini akan dijelaskan di landasan kedua.
Kemudian penulis menyebutkan 14 jenis-jenis ibadah lainnya: berdo’a, takut, berharap, tawakkal, mengharap, cemas, khusu’, khashyah, kembali kepada Allah, meminta bantuan, memohon perlindungan, meminta perlindungan dikala susah, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya dari jenis-jenis ibadah yang Allah perintahkan.
Penulis akan menyebutkan dalil dari ibadah tersebut satu persatu.
Terjemahan Kitab
Dalam hadits disebutkan,
“Doa adalah inti ibadah” (HR. Tirmidzi nomo 3371)
Dalilnya bahwa do’a itu ibadah adalah firman Allah ta’ala
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku kabulkan do’amu . Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada Ku, ia akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” (QS. Ghafir: 60).
Pembahasan
Dalil dari Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan Rabbmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku kabulkan do’amu . Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada Ku, ia akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina“.
Pertama: Definisi Doa
Doa mempunyai makna umum dan khusus. Makna doa secara umum artinya menjalankan perintah syariat disertai dengan kecintaan dan meyerahkan diri. Makna ini sama dengan makna ibadah. Adapun makna doa secara khusus adalah seorang hamba meminta kepada Rabb-nya untuk mendapatkan yang bermanfaat baginya dan terus menerus bersamanya serta menolak apa yang membahayakannya dan mengangkat bahaya tersebut.
Kedua: Doa ada dua jenis: doa ibadah dan doa permohonan.
Doa ada dua jenis:
Doa Ibadah, artinya sama dengan definisi Ibadah
Doa Permohonan artinya memohon kepada Allah untuk meraih yang diinginkan, mendapatkan mafaatnya dan terus menerus bersamanya atau menolak bahaya dan mengangkatnya.
Ketiga: Penjelasan hadits dan tafsir ayat yang keduanya mengandung dalil bahwa doa adalah ibadah, sedangkan memalingkan doa kepada selain Allah adalah kesyirikan
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Doa itu adalah inti ibadah“. Inti maksudnya yang paling pokok. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Anas bin Malik. Dalam sanadnya ada rawi Abdullahi Ibnu Laihah, ini adalah hadits yang lemah.
Lafadz yang shahih adalah dari Nu’man bin Basyir dalam riwayat Abu Daud, yaitu
Semua doa adalah milik Allah sehingga tidak boleh diserahkan kepada selain Allah. Berdoa kepada selain Allah, maka hukum nya musyrik, kafir.
Dalil dari Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan Rabbmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku kabulkan do’amu . Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada Ku, ia akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina“.
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk berdoa. Perintah dari Allah artinya Allah mencintai dan meridhainya. Sehingga doa adalah ibadah karena merupakan perintah Allah. Apabila kita memahami bahwa doa itu ibadah, maka kaidahnya ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Apabila dipalingkan kepada selain Allah walau pun sedikit, maka itu adalah kesyirikan.
Mintalah dari hajat dan keperluan kalian, Allah akan perkenankan (kabulkan) permohonan kalian. “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada Ku”, disini disebutkan bahwa doa adalah ibadah sebagaimana diawal disebutkan doa.
“Mereka akan masuk dalam neraka jahanam dalam keadaan hina“, siksaan neraka dan kehinaan.
Wallahu Ta’ala ‘Alam
Sumber:
Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah
Jenis-jenis ibadah yang Allah perintahkan contohnya adalah Islam, Iman, Ihsan. Diantaranya juga berdo’a, takut, berharap, tawakkal, mengharap, cemas, khusu’, khashyah, kembali kepada Allah, meminta bantuan, memohon perlindungan, meminta perlindungan dikala susah, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya dari jenis-jenis ibadah yang Allah perintahkan. Semua ibadah itu hanya diperuntukkan bagi Allah semata. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah” (QS. Al Jin: 18)
Siapa saja yang memalingkan sesuatu dari jenis ibadah tersebut kepada selain Allah, maka ia telah menduakan Allah dan ingkar kepada Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
“Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping itu ia juga menyembah Allah, yang tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada akan beruntung” (QS. Al Mu’minun: 117)
Pembahasan
Pertama: Definisi Ibadah
Ibadah dari kata At-Tadalul, merendahkan diri atau penghinaan diri. Secara istilah ibadah adalah menjalankan perintah syariat dengan kecintaan dan ketundukan diri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendefinisikan ibadah adalah nama yang universal (cakupan yang luas), yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kedua: Jenis-jenis Ibadah
Pokok ibadah ada tiga, yaitu: Islam, Iman, dan Ihsan. Kemudian bercabang menjadi ibadah yang lain, di antaranya: takut, berharap, tawakkal, mengharap, cemas, khusu’, khashyah, kembali kepada Allah, meminta bantuan, memohon perlindungan, meminta perlindungan di kala susah, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya.
Ibadah adalah sesuatu yang Allah perintah, cintai, dan ridhoi. Sehingga cakupan ibadah sangat luas dan banyak. Terdapat ibadah dengan hati, lisan, dan badan serta terkait ketiganya.
Ketiga: Kewajiban mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah
Apabila sesuatu dikatakan ibadah maka semuanya harus kepada Allah. Tidak boleh beribadah kepada selain Allah.
Keempat: Tafsir ayat surah Al-Jinn
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah“. (QS. Al Jin: 18)
Lihat penjelasan ayat pada surat Al-Jinn pada pembahasan sebelumnya.
Dua pengertian masajid yaitu tempat-tempat ibadah (mesjid) atau anggota badan (untuk sujud) yang dipakai beribadah. Sehingga tidak boleh digunakan untuk beribadah kepada selain Allah.
Kelima: Kaidah agung tentang diapa saja yang memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah
Kaidah ini penting dalam tauhid yang membedakan seseorang mengenal tauhid atau tidak. Kaidahnya yaitu: barang siapa yang memalingkan sesuatu dari ibadah kepada selain Allah walaupun sedikit, maka hukumnya musyrik, kafir, dan keluar dari Islam.
Keenam: Tafsir ayatsurah Al-Mu’minun
“Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping itu ia juga menyembah Allah, yang tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada akan beruntung” (QS. Al Mu’minun: 117)
Maksud dari “perhitungan di sisi Rabbnya” adalah menandakan perkara ini sesuatu yang besar sekali. Ancamannya tidak disebutkan menandakan besarnya ancaman tersebut. Yang berbuat kesyirikan tidak akan beruntung di dunia dan di akhirat. Penulis menyebutkan orang tersebut sebagai kafir, keluar dari Islam.
Ayat ini dalil yang sangat jelas menunjukkan kafirnya siapa yang beribadah kepada sesembahan lain bersama Allah. Apakah yang diibadahi itu malaikat, nabi, kuburan dan lainnya.
Wallahu Ta’ala ‘Alam
Sumber:
Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah
Jika engkau ditanya: “Siapa Rabbmu?” Maka jawablah: “Rabbku adalah Allah, yang telah mengurus aku dan seluruh alam ini dengan nikmatNya. Dialah sesembahanku yang tidak ada sesembahan bagiku selain Dia”. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala,
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ
“Segala pujian hanya milik Allah Rabb semesta alam” (QS. Al Fatihah: 2)
Semua yang selain Allah adalah alam, dan aku adalah satu dari bagian alam tersebut.
Dan jika engkau ditanya: “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ? Maka katakanlah: “Aku mengenal Rabbku dengan ayat-ayatNya dan makhluq-makhluqNya. Diantara ayat-ayatNya adalah adanya malam dan siang, matahari dan bulan. Diantara makhluq- makhluqNya adalah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh dan apa saja yang ada diantara keduannya dan ada di dalamnya. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” (QS. Fushilat: 37)
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah bahwa menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam” (QS. Al A’raf: 54)
Makna Rabb adalah Dzat yang diibadahi. Dalinya adalah firman Allah subhanahu wata’ala,
“Hai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah- buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 21-22).
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “Yang menciptakan segala sesuatu maka Dilah yang berhak untuk diibadahi”
Pembahasan:
Pertama: Penjelasan, “Siapakah Rabbmu?”
Secara umum mengenai mengenal Allah, terdapat dua tingkatan:
Pertama, tingkatan mengenal Allah sebagai Rabb yang diibadahi. Manusia berserikat dalam tingkatan ini.
Kedua, tingkatan mengenal Allah yang menyebabkan dia merasa dekat, cinta, rindu berjumpa dengan-Nya. Tingkatan ini adalah untuk kaum mukminin.
Terdapat pokok-pokok wajib mengenal Allah Ta’la. Adapun kesempurnaan dalam mengenal Allah, maka manusia berjenjang tingkatannya. Hal ini tergantung ilmu yang didapatinya.
Penulis hanya menjelaskan kadar wajib tentang mengenal Allah. Maka jawaban pertanyaan Siapa Rabbmu? adalah Rabbku adalah Allah. Yang mentarbiah ku, dan mentarbiah seluruh alam semesta dengan segala nikmatnya. Dan dialah sembahanku, tidak ada sembahan bagiku kecuali Dia.
Makna Ar-Rabb: Al-Malik maha berkuasa, Al-Khaliq maha mencipta, Al-Mudabir maha mengatur segala perkara, Al-Murabbi maha memelihara dan memenuhi segala keperluan makhluk. Namun dalam penggunaan bisa bermakna Al-Ma’bud (yang diibadahi).
Rabb artinya yang mentarbiah (memelihara atau menjaga). Rabb juga ditafsirkan sebagai yang diibadahi. Ar-Rabb adalah yang berhak untuk diibadahi.
Makna Tabiyah (memelihara) Allah ada yang khusus dan umum. Makna tarbiyah umum mencakup seluruh manusia, jin, muslim, kafir. Adapun tarbiyah khusus adalah hanya untuk orang-orang yang beriman.
Penulis memaknai Ar-Rabb sebagai yang mencipta dan yang diibadahi. Ini adalah inti keislaman tidak sekedar mengakui Allah sebagai maha pencipta, pemberi rizki, menghidupkan dan mematika, tapi mengakui bahwa hanya Allah yang diibadahi.
Kedua: Pokok-pokok wajib dalam mengenal Allah
Pokok wajib mengenal Allah ada empat, yaitu:
Mengenal adanya Allah, seorang mukmnin mengimani bahwa Allah adalah Maha Ada.
Mengenal Rububiyyah Allah, seorang mukmnin mengimani bahwa Allah adalah Rabb segala sesuatu: Dialah Allah yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan seterusnya.
Mengenal Uluhiyyah Allah, seorang mukmnin mengimani bahwa Dialah Allah adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi.
Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah, seorang mukmnin mengimani bahwa Dialah Allah memiliki nama yang maha indah dan sifat yang maha tinggi dan maha agung.
Apabila kita sudah mengetahui 4 pokok wajib mengenal Allah, maka terangkat kewajibannya. Hal ini menjadi modal besar untuk masuk surga walaupun disiksa dalam neraka, tapi hanya sampai kadar dosanya, dan akan dimasukan ke dalam surga.
Adapun mengenal Allah lebih dari empat pokok wajib di atas, maka manusia berjenjang dalam ilmu dan pengetahuan.
Dalam mengenal adanya Allah, manusia berserikat. Hal ini tidak diingkari oleh Iblis, kaum musyrikin, Yahudi, dan Nashrani. Dalam mengenal Rububiyyah Allah, kaum musyrikin mengakui tapi mereka menyimpang pada masalah Uluhiyyah.
Dalam kurikulum Mafatihul Ilm, pada tema 10 kitab yang menyelamatkan dari api neraka, sudah mencakup empat kewajiban mengenal Allah. Pembahasan tauhid Uluhiyyah sudah dibahas pada kitab sebelumnya terutama ada di Kitab Tauhid. Pembahasan tauhid asma wasifat akan dijelaskan pada kitab aqidah wasitiyah.
Dengan demikian akan meneguhkan keimanan kita di dunia dan di akhirat termasuk di alam kubur, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Ucanpan yang teguh adalah tauhid.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Ketiga: Tafsir ayat surah Al-Fatihah
Dalil dalam mendeifinisikan siapa Rabbmu, adalah:
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. (Al-Fatihah: 2)
Alhamdu, artinya pujian terhadap Al-Mahmud (yang disanjung) tapi disertai dengan Al-Mahabbah Wa Takdim (kecintaan dan pengagungan). Alif Lam pada kata ini artinya mencakup segala jenis pujian.
Berbeda dengan pujian yang tanpa kecintaan dan pengagungan. Misalnya dikatakan, singa itu pemberani. Maka ini juga pujian dalam bahasa Indonesia akan tetapi dalam bahasa Arab tidak dikatakan hamdu, melainkan tsana. Karena singa berani atau tidak memang pemberani.
Lillahi, disertai dengan nama Allah. Segala jenis hamd adalah milik Allah dan Allah lah yang berhak terhadapnya.
Rabb Al-Alamin, Rabb semesta alam.
Penulis mengatakan segala selain Allah disebut alam. Maksudnya Alam secara bahasa cakupannya pada sebuah jenis, seperti alam manusia, alam jin, alam hewan. Adapun surga, neraka, kursi tidak masuk dalam alam.
Makhluk ada dua jenis: yang memiliki jenis yang sama yang disebut alam. Makhluk yang tidak ada semisal dengannya seperti surga, neraka, kursi, maka ini tidak disebut alam.
Dipuji Allah yang diibadahi bahwa dia adalah Rabbul Alamain. Rabb adalah yang menciptakan dan yang diibadahi
Keempat: Penjelasan “dengan apa engkau mengenal Rabbmu?”
Dengan apa mengenal Allah?, Maka katakanlah saya mengenalnya dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya.
Ayat terbagi menjadi dua: Kauniyah dan Syariyyah. Ayat kauniyah terkait dengan penciptaan yang terlihat di alam seperti langit, bumi, bintang, matahari, bulan, pohon, lautan. Adapun ayat Syariyyah kita mengenal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan tuntunan dalam agama.
Firman Allah Ta’ala:
Pencipta langit hanya Allah. Apabila ada pencipta lain selain Allah maka akan rusak binasa. Hal ini karena setiap yang berkuasa tidak mau diatas yang lainnya. Dalam ayat lain Allah berfirman:
Kisah Nabi Ibrahmim dalam mencari yang diibadahi:
Kisah ini menunjukan bahwa dari ayat-ayat kauniyyah, seseorang bisa mengenal Allah. Akan tetapi harus ada bimbingan dari ayat-ayat syariyyah karena hidayah itu ada ditangan Allah.
Kelima: Maksud ayat-ayat dan makhluk-makhluk
Penulis menyebutkan malam, siang, matahari dan bulan sebagai ayat-ayat Allah. Adapun langit, bumi, dan seluruh yang ada pada langit dan bumi serta diantara keduanya sebagai makhluk Allah.
Perbedaan ayat-ayat dan makhluk-makhluk?
Dalam bahasa Arab, ayat-ayat bermakna alamat (tanda) dimana terus berputar dan tampak dengan jelas. Sehingga siang dan malam disebut ayat-ayat karena silih berganti, begitu pula matahari dan bulan.
Adapun Makhluq berasal dari kata Al-Makhluqat, yang berarti sesuatu yang sudah ditetapkan, tidak berubah. Sehingga langit dan bumi termasuk makhluk karena sudah ditetapkan tidak berubah.
Seseorang mengenal Rabbnya dengan ayat-ayat dan makhluk-makhluk-Nya.
Langit dan bumi ada 7 lapisan sebagaimana Firman Allah Ta’ala:
Dan hadist yang dibaca ketika masuk sebuah negeri:
Keenam: Tafsir ayah surah Fushshilat
Dalilnya mengenai ayat-ayat Allah dalam Surat Fushilat Ayat 37. Dari ayat-ayat Allah yang menunjukkan keesaan, kekuasaan, dan rahmat Allah ada malam yang gelap untuk beristirahat, siang yang terang untuk beraktivitas, dan bulan.
“Maka jangan sujud kepada matahari dan bulan“. Hal ini menunjukkan di masa Nabi ada kaum yang beribadah kepada Matahari dan Bulan. Sujud kepada matahari dan bulan terlarang karena keduanya adalah ayat-ayat Allah.
Seharusnya, “Bersujudlah kepada Allah saja yang menciptakannya“. Ini menunjukkan pengakuan terhadap rububiyyah mengharuskan pengakuan kepada ululhiyyah. Apabila mengakui bahwa Allah yang menciptakan semuanya (malam, siang, matahari, bulan) maka seharusnya beribadah kepada Allah saja yang menciptakannya.
Ketujuh: Tafsir ayah surah Al-A’raf
Dalil mengenai makhluk-makhluk Allah dalam surat Al-A’raf ayat 54, yang menjelaskan bahwa langit yang tujuh dan bumi yang tujuh adalah makhluk-makhluk Allah. Hal ini menunjukkan adanya Allah, keesaan Allah dan Dia-lah satu-satunya yang berhak diibadahi.
“Sesungguhnya Rabb kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari“. Kita tidak tahu mengenai hari disini tapi dijelaskan sebagai 6 hari.
“Kemudian Allah beristiwa di atas Arsy-Nya“. Istiwa adalah sifat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Diterjemahkan sebagai bersemayam adalah keliru karena ada makna duduk. Adapun istiwa ditafsirkan dengan empat penafsiran:
Al-‘Ulu, bermakna ketinggian.
Al-Irtifa, artinya yang diatas (tinggi atau terangkat).
As-Saud, artinya paling atas.
Al-Istikrar, bermakna yang tetap (tidak berubah).
Tidak bisa dikatakan Allah duduk atau tidak duduk karena kita tidak tahu dan tidak ada dalilnya.
Al-Arsy secara bahasa adalah Sarirur Malik, keranjang atau tempat duduk raja. Al-Arsy adalah makhluk Allah yang paling agung dan besar. Dalam Al-Qur’an disebutkan Al-Arsy sangat besar, sangat luas. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menggambarkan besarnya Arsy, yaitu surga yang luas atapnya adalah Arsy. Juga dalam hadits disebutkan Al-Arsy memiliki tiang-tiang dimana pada hari kiamat disandang oleh 8 malaikat dan pada saat ini disandang oleh 4 malaikat. Disebutkan sifat malaikat penyandang Arsy yaitu jarak antara telinga dan bahunya ditempuh dengan jarak 500 tahun.
“Dia menutup malam kepada siang, senantiasa mengikutinya dengan cepat“, maksudnya ketika siang datang maka hilang malamnya begitu juga sebaliknya.
“Matahari dan bulan serta bintang-bintang ditundukan dengan perintah-Nya“.
“Ketahuilah milik Allah penciptaan dan perintah“. Disini dibedakan antara penciptaan makhluk dan perintah. Ini adalah bantahan dari kelompk Jahmiyyah yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk karena Allah membedakan penciptaan makhluk dan perintah. Al-Qur’an adalah berisi perintah Allah, bukan makhluk.
“Mahasuci Allah Rabb semesta alam“.
Kedelapan: Pengakuan bahwa Allah adalah Rabb mengharuskan pengakuan bahwa Allah adalah Yang diibadahi lagi disembah
Ini adalah kaidah penting dalam tauhid. Ar-Rabb, dialah yang berhak unntuk diibadahi.
Sebagaimana dalam beberapa firman Allah Ta’ala berikut:
Tidak ada dari ahlul kitab yang menyakini ada pencipta dan pemberi rejeki selain Allah. Akan tetapi mereka beribadah kepada selain Allah.
Kesembilan: Tafsir ayah surah Al-Baqarah dan penafsiran Ibnu Katsir terhadap ayat.
Dalilnya dalam surat Al-Baqarah ayat 21 dan 22.
“Wahai sekalian manusia, beribadah kepada Rabb kalian”. Ini adalah perintah beribadah kepada Allah. “Yang menciptakan kalian dan menciptakan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”.
Ayat ini adalah perintah yang paling pertama dalam Al-Qur’an. Yaitu perintah untuk beribadah. Tauhid adalah awal perintah dalam Al-Qur’an.
Dan kelanjutan ayat, “Janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah“. Ini adalah awal larangan dalam Al-Qur’an, yaitu larangan dari berbuat kesyirikan.
Diawal surat Al-Baqarah terdapat penjelasan tiga golongan manusia:
Ayat 1 – 5, penjelasan sifat kaum mukminin.
Ayat 6 -7, penjelasan sifat orang-orang kafir.
Ayat 8 -20, penjelasan sifat kaum munafikin.
Yang paling banyak penjelasan adalah kaum munafikin karena samar, tidak jelas bisa kemana-mana dan tidak tetap.
Rabb, “Yang telah menjadikan untuk kalian bumi ini sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan (hujan) dari langit, lalu dengan air Dia mengeluarkan segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian.“.
Hujan berasal dari awan. Pengertian sama’ dalam bahasa Arab selain langit juga berarti di atasnya. Sehingga tidak bertentangan dengan bahwa hujan berasal dari awan.
Kemudian banyak buah-buahan yang keluar, sebagai rezeki.
Sehingga pengakuan rububiyyah Allah, yaitu: Allah yang mencipta, menjadikan bumi hamparan, langit sebagai atap, menurunkan hujan, mengeluarkan berbagai rezeki, maka seharusnya tidak boleh mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ibnu Katsir Rahimahullah Ta’ala berkata, “Yang menciptakan segala sesuatu, Dialah yang berhak untuk diibadahi.”
Penutup
Penulis menerangkan mengenai hal penting sebagai berikut:
Menjelaskan siapa Rabb
Dengan apa mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Yang dikatakan Rabb, maka Dia-lah yang diibadahi.
Selanjutnya penulis akan menjelaskan beberapa bentuk-bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan tujuan untuk mengenal Allah.
Wallahu Ta’ala ‘Alam
Sumber:
Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah