Ali ‘Imran 195: Pahala Keimanan, Hijrah, dan Berjihad di Jalan Allah.

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Tafsir Āli `Imrān 3:195

Allah ta’ala berfirman,

فَٱسۡتَجَابَ لَهُمۡ رَبُّهُمۡ أَنِّي لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٖ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ ۖ بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖ ۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَٰتَلُواْ وَقُتِلُواْ لَأُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَيِّـَٔاتِهِمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ ثَوَابٗا مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلثَّوَابِ

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang, dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. (Ali ‘Imran: 195)

Tafsir As-Sa’di:
Maksudnya Allah ﷻ memenuhi doa mereka berupa doa ibadah maupun doa permohonan seraya berfirman, لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى “Sesungguhnya Aku tidak menyianyiakan amal orang-orang yang beramal dari kalian, baik laki-laki atau perempuan.” Semua orang akan mendapatkan balasan perbuatannya masing-masing secara penuh dan sempurna. Artinya, setiap kalian menurut batasan yang sama dalam pahala maupun siksa,

فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا “maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalanKu, yang berperang dan yang dibunuh“, mereka menyatukan antara keimanan, hijrah, dan meninggalkan hal-hal yang dicintai berupa negeri dan harta untuk mencari keridhaan Rabb mereka dan mereka berjihad di jalan Allah ﷻ, لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ “Pastilah akan Aku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah ﷻ,” Yang memberikan kepada hambaNya pahala yang melimpah untuk perbuatan yang sedikit.


وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ “Dan Allah ﷻ pada sisiNya pahala yang baik” dari hal-hal yang tidak pernah terlihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas pada benak seorang manusia pun. Dan barangsiapa yang mengharap hal itu, maka memohonlah kepada Allah ﷻ dengan cara taat kepadaNya, dan mendekatkan diri kepadaNya menurut kemampuan hamba.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Sumber:

Quran Tadabbur, https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bekalislam.qurantadabbur

An-Nisa Ayat 97-100: Kewajiban Berhijrah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

٩٦ إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمْ قَالُوا۟ فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا۟ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ قَالُوٓا۟ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةًۭ فَتُهَاجِرُوا۟ فِيهَا ۚ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ٩٧ إِلَّا ٱلْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلْوِلْدَٰنِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةًۭ وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًۭا ٩٨ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًۭا ٩٩ ۞ وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًۭا كَثِيرًۭا وَسَعَةًۭ ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ ٱلْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا ١٠٠

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa Ayat 97-100)

Tafsir Ayat 97:

Ancaman yang keras ini ditujukan kepada orang yang meninggalkan hijrah hingga ia meninggal padahal ia mampu melakukannya, sesungguhnya para malaikat yang mencabut nyawanya mencelanya dengan celaan yang keras tersebut, mereka berkata kepadanya, فِيْمَ كُنْتُمْ “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” maksudnya, dalam kondisi bagaimana kalian dahulu? Dan dengan apa kalian berbeda dengan kaum musyrikin? Akan tetapi kalian hanya menambah jumlah kekuatan mereka, dan kemungkinan kalian membantu mereka untuk melawan kaum Mukminin, dan hilanglah dari kalian kebaikan yang banyak dan kesempatan berjihad bersama Rasulullah ﷺ serta berada dengan kaum Mukminin dan membantu mereka untuk melawan musuh-musuh mereka, قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِي الأَرْضِ “mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)‘.” Maksudnya, kami adalah orang-orang yang lemah dan tertindas serta dizhalimi, kami tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah, padahal mereka tidaklah jujur dalam hal tersebut, karena Allah ﷻ telah mencela dan mengancam mereka, dan Allah ﷻ tidaklah membebankan sesuatu atas seseorang kecuali yang mampu dilakukannya, dan Allah ﷻ mengecualikan orang-orang yang benar-benar tertindas, oleh karena itu malaikat berkata kepada mereka, أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا “Bukankah bumi Allah ﷻ itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Ini merupakan pertanyaan pemantapan, artinya sesungguhnya telah pasti bagi setiap orang bahwa bumi Allah ﷻ itu luas, maka di manapun seorang hamba berada dan ia tidak mampu meninggikan agama Allah ﷻ di sana, ia memiliki keluasan dan kemudahan pada bumi Allah ﷻ yang lain di mana ia mampu beribadah kepada Allah ﷻ di tempat itu, sebagaimana Allah ﷻ berfirman,

يَا عِبَادِيَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُوْنِ
Hai hamba-hambaKu yang beriman, sesungguhnya bumiKu luas, maka sembahlah Aku saja.” (Al-Ankabut: 56).

Allah ﷻ berfirman tentang orang-orang yang tidak memiliki udzur tersebut, فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا “Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali,” hal ini sebagaimana yang telah berlalu mengandung ungkapan penjelasan tentang sebab yang mengakibatkan hal tersebut, dan terkadang juga tuntutannya telah ada dengan adanya syarat-syaratnya dan tidak adanya penghalang-penghalangnya atau terkadang juga ada penghalang yang merintanginya.

Ayat ini merupakan sebuah dalil bahwa hijrah adalah di antara kewajiban yang paling besar, dan meninggalkannya adalah suatu hal yang diharamkan bahkan termasuk dosa-dosa besar. Dan ayat ini juga sebuah dalil bahwa setiap orang yang meninggal telah memenuhi dan melengkapi apa yang ditakdirkan untuknya berupa rizki, ajal, dan perbuatannya, ini diambil dari lafazh تَوَفَّهُمْ “diwafatkan,” yang menunjukkan akan hal tersebut, karena apabila masih tersisa sesuatu pun dari perkara-perkara tersebut, maka ia belum dikatakan telah memenuhinya. Ayat ini juga isyarat tentang keimanan kepada malaikat dan pujian kepada mereka, karena Allah ﷻ telah menjadikan percakapan itu dari mereka dalam bentuk penetapan dan kebaikan dari mereka serta kecocokannya dengan kondisinya.

Tafsir Ayat 98 – 99:

Kemudian Allah ﷻ mengecualikan orang-orang yang benar-benar tertindas, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah dalam bentuk apa pun, وَلا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلَا “dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” Allah ﷻ berfirman tentang mereka, فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُوْرًا “Mereka itu, mudah-mudahan Allah ﷻ memaafkannya. Dan Allah ﷻ Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,” kata عَسَى “Mudah-mudahan” dan semacamnya menunjukkan kepastian terjadinya (jika bersumber) dari Allah ﷻ karena tuntutan kemuliaan dan kebaikanNya. Dan pengharapan akan pahala dari orang-orang yang melakukan beberapa perbuatan mengandung faidah, yaitu bahwa orang tersebut bisa jadi tidak benar-benar memenuhinya, dan tidak melakukannya menurut bentuk yang sesuai dari yang diinginkan, akan tetapi ia lalai, maka tidaklah ia berhak mendapatkan pahala tersebut, Wallahua’lam.

Di dalam ayat yang mulia ini terdapat sebuah dalil bahwa orang yang tidak mampu mengerjakan suatu perintah berupa kewajiban atau selainnya, maka sesungguhnya ia dimaafkan, sebagaimana Allah ﷻ berfirman tentang orang-orang yang tidak mampu berjihad,

لَيْسَ عَلَى الأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang).” (Al-Fath: 17).

Dan Allah ﷻ berfirman tentang keumuman segala perintah,

فَاتَّقُوْا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah ﷻ menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16).

Nabi ﷺ bersabda,

إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
Apabila aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah perkara itu menurut kesanggupanmu.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337)

Akan tetapi tidaklah seorang manusia itu dimaafkan kecuali setelah ia mengerahkan segenap kemampuannya, namun tertutup baginya segala pintu-pintu usaha, atas dasar FirmanNya, لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيْلَةً “Yang tidak mampu berdaya upaya.

Ayat ini juga menyimpan suatu isyarat bahwa dalil tentang haji dan umrah -dan semacamnya dari perkara yang butuh perjalanan- di antara syarat menunaikannya adalah kemampuan.

Tafsir Ayat 100:

Ayat ini sebagai suatu penjelasan tentang anjuran untuk berhijrah dan dorongan kepadanya serta penjelasan tentang kemaslahatan yang terkandung di dalamnya, dan Allah ﷻ Yang Maha menepati janji itu telah menjanjikan bahwa barangsiapa yang berhijrah di jalanNya dengan hanya mengharap keridhaanNya, ia akan mendapatkan tempat yang luas dan rizki yang melimpah, tempat yang luas itu mencakup kemaslahatan-kemaslahatan agama, dan rizki yang melimpah mencakup kemaslahatan-kemaslahatan dunia, yang demikian itu ketika sebagian besar manusia mengira bahwa berhijrah itu akan mengakibatkan perpecahan setelah kebersamaan, kefakiran setelah kekayaan, keterhinaan setelah kemuliaan dan kesusahan setelah kelapangan, padahal hijrah itu tidaklah demikian, karena sesungguhnya seorang Mukmin selama ia masih berada di antara kaum musyrikin, maka agamanya berada dalam kondisi sangat kritis, tidak hanya pada ibadah-ibadahnya yang pribadi seperti shalat dan semacamnya, dan tidak juga pada ibadah-ibadahnya yang berhubungan dengan orang seperti jihad dengan perkataan maupun perbuatan dan hal-hal yang mengikutinya, karena ia tidak mampu melakukan hal tersebut, dan ia berada dalam sasaran empuk dalam perkara agamanya, khususnya jika termasuk dari orang-orang yang tertindas, namun bila ia berhijrah di jalan Allah ﷻ, niscaya ia mampu menegakkan agama Allah ﷻ dan berjihad melawan musuh-musuh Allah ﷻ dan memerangi mereka, sesungguhnya al-muraghamah itu adalah sebuah kata komprehensif yang mencakup segala hal yang membuat marah musuh-musuh Allah ﷻ berupa perkataan dan perbuatan, dan juga mengakibatkan perolehan rizki yang luas, dan sesungguhnya apa yang dikabarkan oleh Allah ﷻ tersebut benar-benar telah terjadi.

Maka ambillah pelajaran tersebut dari para sahabat radhiallahu ‘anhum, sesungguhnya mereka ketika berhijrah di jalan Allah ﷻ dan meninggalkan negeri, anak-anak, serta harta mereka karena Allah ﷻ, sempurnalah iman mereka dengannya, dan mereka memperoleh keimanan yang sempurna, jihad yang besar, dan pembelaan terhadap agama Allah ﷻ, di mana mereka menjadi para pemimpin bagi orang-orang setelah mereka, demikian juga mereka memperoleh hal-hal yang diakibatkan dari hal itu berupa kemenangan-kemenangan dan ghanimah-ghanimah, di mana mereka menjadi orang-orang yang paling kaya, dan demikianlah, setiap orang yang melakukan seperti apa yang mereka lakukan, niscaya ia akan memperoleh apa yang mereka peroleh sampai Hari Kiamat.

Kemudian Allah ﷻ berfirman, مَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ “Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah ﷻ dan RasulNya” yaitu bertujuan kepada Rabbnya, keridhaanNya dan kecintaan kepada RasulNya, pembelaan terhadap agama Allah ﷻ, dan bukan bertujuan selain itu, ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ “kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),” dengan terbunuh atau selainnya, فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ “maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah ﷻ,” yaitu sesungguhnya ia telah memperoleh pahala orang yang berhijrah yang telah mendapatkan maksudnya dengan jaminan dari Allah ﷻ, yang demikian itu karena ia telah berniat dan bertekad serta adanya tindakan memulai perbuatan tersebut, maka di antara rahmat Allah ﷻ kepadanya dan kepada orang-orang yang semisalnya bahwa Allah ﷻ memberikan pahala untuk mereka secara penuh walaupun mereka belum menyempurnakan perbuatannya, dan Allah ﷻ mengampuni apa yang terjadi dari mereka berupa kelalaian dalam berhijrah dan selainnya, karena itulah Allah ﷻ menutup ayat ini dengan dua namaNya yang mulia tersebut seraya berfirman, وَكَانَ اللَّهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا “Dan Allah ﷻ Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Allah ﷻ mengampuni bagi kaum Mukminin apa yang telah mereka lakukan berupa kesalahan-kesalahan, khususnya orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada Rabb mereka, Allah ﷻ Maha Penyayang terhadap seluruh makhluk dengan rahmat yang membuat mereka ada atau hidup, menyehatkan mereka, memberi rizki kepada mereka berupa harta, anak cucu, kekuatan dan lain sebagainya, Maha Penyayang terhadap kaum Mukminin di mana Allah ﷻ membimbing mereka kepada keimanan, mengajarkan mereka ilmu yang mengakibatkan keyakinan, memudahkan bagi mereka sebab-sebab kebahagiaan dan kemenangan, dan perkara yang membuat mereka memperoleh keuntungan yang besar, mereka akan melihat di antara rahmat dan karuniaNya yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbesit pada hati seorang manusia pun. Kita memohon kepada Allah ﷻ agar tidak menahan kebaikanNya karena keburukan yang ada pada diri kita.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Sumber:

Quran Tadabbur, https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bekalislam.qurantadabbur

Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan?”

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)

Firman Allah Ta’ala:

أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْـًۭٔا وَهُمْ يُخْلَقُونَ ١٩١ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًۭا وَلَآ أَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ ١٩٢

Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Di dalam bab ini, Penulis menjelaskan dalil-dalil tentang kebatilan kesyirikan dan menjelaskan keadaan mereka yang diseru selain Allah. Dalam hal ini, ada penetapan tauhid dengan keterangan-keterangan yang kuat dan kukuh.

Makna Ayat Secara Global

Allah mencela kaum musyrikin karena mereka menyembah bersama Allah sembahan-sembahan yang tidak bisa menciptakan sesuatu dan tidak memiliki hak untuk disembah, serta tidak mampu melindungi orang-orang yang menyembahnya dari bahaya, bahkan tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari bahaya. Kalau keadaannya seperti ini maka batillah penyeruan/penyembahan kepada mereka. Karena makhluk tidak mungkin bisa menjadi sekutu bagi khaliq/pencipta, sedang yang lemah tidak akan menjadi sekutu bagi Yang Maha Kuat yang tidak ada sesuatu yang bisa melemahkan-Nya.

Faedah Ayat

  1. Menunjukkan batilnya kesyirikan dari dasarnya, karena bergantung kepada makhluk yang lemah.
  2. Bahwa sang penciptalah yang berhak untuk diibadahi.
  3. Pendalilan dengan tauhid rububiyyah untuk menetapkan tauhid uluhiyyah.
  4. Disyariatkan untuk membantah kaum musyrikin dalam rangka membela al-haq dan menghancurkan kebatilan.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 14 Firman Allah Ta’ala – Al-A’raf: 191-192

Bab ini dibawahkan sebagai bantahan terhadap kaum musyrikin, siapapun dia, dan penjelasan bagaimana keadaan orang-orang yang dimintai doa. Bahwa mereka yang didoai tidak bisa memberi manfaat dan tidak bisa menolak bahaya.

Bab ini menegaskan tauhid dengan hujjah dan argumen. Bantahan kaum musyrikin sekaligus menjelaskan keadaan orang-orang yang didoakan.

Bagaimana mungkin bisa menjadi tandaingan bagi Allah yang menciptakannya.

Ini adalah celaan terhadap kaum musyrikin. Mereka beribadah kepada selain Allah yang tidak berhak diibadahi karena empat hal, sebagai berikut

  1. Tidak menciptakan sesuatu apapun
  2. Yang diibadahi adalah makhluk ciptaan Allah
  3. Mereka tidak mempu menolong kaum musyrikin yang menyembah mereka
  4. Mereka sendiri tidak mampu menolong diri-diri mereka.

Syirik adalah bergantung kepada makhluk yang tidak mampu.

Faedah Ayat

  1. Kebatilan kesyirikan dari dasarnya karena adalah ketergantungan kepada makhluk yang lemah
  2. Yang mencipta dialah satu-satunya yang berhak diibadahi
  3. Terdapat pernyataan dengan tauhid rubuiyyah akan penetapan tauhid uluhiyyah. Sebab kaum musyrikin mengakui bahwa yang mencipta hanyalah Allah. Kaum musyrikin mengakui bahwa Allah satu-satunya yang mencipta, seharusnya mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya yang diibadahi.
  4. Syariat untuk mematahkan hujjah kaum musyrikin

Wallahu Ta’ala A’lam

Referensi:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

Larangan Meminta Perlindungan Kepada Selain Allah – Dalil 2

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 12: Termasuk Kesyirikan, Isti’adzah (Meminta Perlindungan) kepada Selain Allah.

Dari Khaulah bintu Hakim Radhiyallahu Anha, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Siapa saya yang singgah di suatu tempat, lalu berdoa,

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

‘Aduzubikalimatil lahit tammati min syarri ma khalaq, ‘aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna terhadap kejahatan segala makhluk-Nya’, tiada sesuatupun yang akan membahayakan dirinya sampai dia meninggalkan tempat tersebut

Diriwayatkan oleh Muslim.

Biografi

Khaulah bintu Hakim adalah Khaulah bitu Hakim bin Ummayyah As-Sulamiyyah. Beliau pernah menjadi ‘Utsman bin Mazh’un Radhuyallahu Anhu dan merupakan perempuan shalilhah dan utama.

‘Dengan kalimat-kalimat Allah’ yang dimaksud dengannya adalah Al-Qur’an.

Makna Hadits Secara Global

Nabi memberikan bimbingan kepada umatnya untuk melakukan isti’adzah yang bermanfaat, yang dengannya dapat tertolak semua bahaya yang dikhawatirkan oleh manusia ketika singgah di suatu tempat, yaitu dengan beristi’adzah dengan kalamullah yang manjur, mencukupi, dan sempurna dari semua kejelekan dan kekurangan, agar mendapatkan keamanan selama berada di tempat tersebut dari gangguan yang jelek.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Dalam hadits ini terdapat petunjuk tentang isti’adzah yang bermanfaat lagi disyariatkan sebagai ganti dari isti’adzah yang syirik yang biasa dipergunakan oleh orang-orang musyrikin.

Fedah Hadits:

  1. Penjelasan bahwa Isti’adzah adalah Ibadah.
  2. Bahwa Isti’adzah yang disyariatkan adalah isti’adzah kepada Allah atau dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
  3. Bahwa ucapan Allah bukanlah makhluk karena Allah memerintahkan agar beristi’adzah (meminta perlindungan) dengan ucapan-Nya, sedangkan isti’adzah dengan makhluk adalah syirik maka hal ini menunjukkan bahwa ucapan Allah bukan makhluk.
  4. Keutamaan doa ini, meskipun kalimatnya ringkas.
  5. Bahwa ubun-ubun manusia berada di tangan Allah

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 12 Termasuk Kesyirikan, Isti’adzah (Meminta Perlindungan) kepada Selain Allah

Dalil 2: Hadits dari Khaulah bintu Hakim Radhiyallahu Anha, riwayat Muslim

Makna dari “singgah disuatu tempat” tidak harus dalam keadaan safar, tapi bisa juga singgah pada suatu tempat walaupun dalam kota yang sama.

Biografi: Khaulah bintu hakim

Ummu Syariq, yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz sebaik perempuan yang shalihah. Yang meghibahkan dirinya kepada Nabi, akan tetapi Nabi tidak menginginkannya. Hal ini adalah salah satu keutamaannya dikarenakan besar keimannnya dan kesadaran pada kebaikan.

Penjelasan:

Kalimat Allah terbagi dua:

Pertama, kalimat kauniyah qodariyah, yaitu ketetapan dan takdir Allah. Apabila Allah menghendaki terjadi maka terjadi.

Kedua, kalimat diniyyah syar’iyah, ini adalah Al-Qur’an dan hadits qudsi yang merupakan Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla.

Pada hadits ini mencakup dua-duanya.

Dengan berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna, maka tidak akan dibahayakan oleh sesuatu apapun termasuk gangguan manusia, jinn, hewan liar, dan semua gangguan kejelekan dari makhluk. Sampai meninggalkan tempat tersebut.

Nabi menganjurkan untuk berlindung hanya kepada Allah (kalimat Allah).

Sisi pendalilannya yaitu Nabi mengajarkan bagaimana ber-isti’adzah dengan benar yaitu hanya kepada Allah, nama-nama Allah, sifat-sifat Allah dan Kalimat Allah. Karena diajarkan beristi’adzah oleh Nabi maka ini adalah Ibadah. Sehingga Ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.

Imam Qurtubi menyebutkan mengenai hadits ini bahwa hadits ini adalah bahwa saya mengetahui kebenaran hadits ini berdasarkan dalil dan kenyataan. Semenjak mendengarkan hadits ini saya selalu membacakannya dan tidak pernah meninggalkan kecuali pada suatu hari saya tinggalkan membaca dzikir ini dan malamnya disengat oleh kalajengking. Kemudian beliau berpikir kenapa bisa disengat kalajengking padahal sebelumnya tidak pernah seperti itu. Maka beliau menyadari bahwa beliau lupa membaca dzikir ini.

Pembahasan-pembahasan.

Pertama, tafsir surat Jinn ayat 6.

Kedua, meminta perlindungan kepada jinn termasuk kesyirikan. Hal ini dikarenakan meminta perlindungan adalah Ibadah. Sehingga harus ditujukan untuk Allah Subhanahu Wa Ta’lla. Sehingga apabila ditujukan kepada jinn, maka termasuk kesyirikan.

Ketiga, Isti’adzah kepada selain Allah termasuk kesyirikan. Hal ini dikarenakan dalil dari hadits diatas, yang para ulama mengatakan bahwa kalimat-kalimat Allah bukan makhluk. Sehingga berlindung dengan kalimat Allah, tidak mengapa karena bukan perlindungan kepada makhluk.

Bantahan terhadap kelompok Jahmiya dan siapa yang mengikutinya, mengenai sifat al-kalam. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Maka dengan hadits ini terbantahkan. Al-Qur’an adalah kalam Allah. Andaikata Al-Qur’an adalah makhluk maka tidak mungkin Nabi mengajari untuk berlindung dengan makhluk.

Keempat, doa yang ringkas tapi banyak keutamaannya.

Kelima, Sesungguhnya sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat duniawi baik dengan mencegah segala keburukan maupun mendatangkan manfaat, tidak menunjukan bahwa sesuatu tersebut tidak tergolong sebagai suatu kesyirikan.

Dahulu apabila mereka berlindung pada Jinn, pembesar lembah, dari kejelekan kaumnya, terkadang mendapatkan manfaatnya walaupun akhirnya mereka bertambah ketakutan dan dosa. Walaupun ada manfaatnya, tidak menunjukan kebenaran apa yang dilakukan dan tidak menahan untuk disebutkan kesyirikan. Dapat dipastikan apabila ada manfaat dari kesyirikan, bentuk bahayanya lebih banyak.

Ini adalah salah satu pintu masuk syaithon kepada selain manusia. Kaidahnya walaupun sesuatu ada manfaatnya tidak menunjukan sesuatu itu benar. Seperti contoh orang yang stress minum khamar, sehingga menjadi tenang. Tapi tenang karena hilang akalnya. Memang ada manfaatnya tapi tidak berarti dia tidak berdosa. Kejelekan lebih banyak dari pada manfaatnya.

Seorang mukmin melihat pada dalil dan tuntunan. Apabila sesuai dengan syariat maka akan ada manfaat, ketenangan yang lebih besar. Akan tetapi apabila diatas dosa, walaupun ada manfaat itu akan sementara dan bahayanya lebih besar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Larangan Meminta Perlindungan Kepada Selain Allah – Dalil 1

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 12: Termasuk Kesyirikan, Isti’adzah (Meminta Perlindungan) kepada Selain Allah.

Firman Allah Ta’ala

وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٌۭ مِّنَ ٱلْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍۢ مِّنَ ٱلْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًۭا.

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jinn: 6)

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Dalam bab ini ada penjelasan tentang salah satu jenis kesyirikan yang bisa menghilangkan tauhid, yaitu beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah, agar manusia berhati-hati dan menjauhinya.

Al-Isti’adzah: secara bahasa berarti bersandar, berpegang, dan berlindung. Hakikatnya adalah: lari dari sesuatu yang engkau takuti kepada yang bisa melindungimu darinya.

Ya’udzuna, ‘mereka meminta perlindungan’: yang salah seorang dari mereka, ketika melewati suatu lembah dan takut terhadap jin penunggunya, mengatakan, “Aku berlidung kepada penguasa lembah ini terhadap gangguan pengikut-pengikutnya.

Makna Ayat Secara Global

Allah Subhanahu mengabarkan bahwa sebagian manusia datang kepada sebagian jin untuk meminta keamanan dari apa-apa yang mereka takutkan. Maka yang mereka datangi (jin) justru menambahkan ketakutan mereka (manusia) sebagai ganti rasa aman yang mereka inginkan. Demikianlah keadaan mereka berbalik dengan tujuan yang diinginkan, dan ini sebagai hukuman dari Allah untuk mereka.

Hubungan antara Ayat dan Bab

Bahwa Allah Ta’ala menceritakan tentang jin-jin yang beriman bahwa ketika agama Rasulullah ﷺ telah jelas bagi mereka dan mereka telah beriman kepadanya, maka merekapun menyebutkan hal-hal kesyirikan yang terjadi dikalangan manusia pada zaman zahiliyyah. Diantaranya adalah meminta perlindungan kepada selain Allah. Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk pengingkaran terhadap perbuatan tersebut.

Faedah Ayat

Pertama, bahwa meminta perlindungan kepada selain Allah adalah kesyirikan sebab jin-jin yang beriman mengatakan,

وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدًۭا

Dan Kami sama sekali tidak akan pernah menyekutukan Rabb kami (Allah) dengan sesuatupun” (Al-Jinn: 2)

Kemudian setelah itu dalam rangka mengingkari mereka menyebutkan,

وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٌۭ مِّنَ ٱلْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍۢ مِّنَ ٱلْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًۭا.

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jinn: 6)

Kedua, keumuman risalah Muhammad ﷺ yang mencakup kepada kalangan jin dan manusia.

Ketiga, bahwa isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah justru mendatangkan ketakutan dan kelemahan.

Keempat, difahami dari ayat bahwa isti’adzah kepada Allah akan mewariskan kekuatan dan perasaan aman.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 12 Termasuk Kesyirikan, Isti’adzah (Meminta Perlindungan) kepada Selain Allah

Maksud dari dibawakannya bab ini adalah penjelasan tentang salah satu bentuk yang bertentangan dengan tauhid atau kesyrikan yaitu isti’adzah kepada selain Allah.

Isti’adzah adalah ibadah yang sangat agung dan terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga Isti’adzah kepada selain Allah, maka hukumnya adalah syirik akbar.

Rinician hukum Isti’adzah (meminta perlindungan):

  1. Isti’adzah yang merupakan ibadah, ini hanya untuk Allah.
  2. Isti’adzah kepada selain Allah, yaitu pada makluk hidup yang tidak hadir atau tidak mampu. Ini yang dihahas pada bab ini.
  3. Isti’adzah, berkata aku berlidung kepada Allah dan kamu. kata “Dan” disini menjadikan syirik ashghar.
  4. Istiadah kepada makhluk hidup, yang hadir, dalam perkara yang dia mampu. Ini hukumnya boleh tidak ada malalah.

Contohnya berlindung kepada seseorang dari kejaran perampok, maka orang tempat berlindung itu harus makhluk, hidup, hadir, dan mampu.

Dalil 1: Surat Al-Jinn Ayat 6.

Ayat ini menceritakan tentang sekelompok manusia, yang berlindung kepada sebagian jin. Agar dilinduingi dari apa yang mereka takutkan. Maka jin ini membuat mereka menjadi semakin takut.

Pada masa jahiliyah, Ada suatu tempat angker, maka orang jahiliyah berkata: saya berlindung kepada pemimpin lembah ini dari bahaya orang-orang bodoh dari kaumnya. Maka para jin membuat mereka semakin takut, berdosa, dan hina. Maka Allah mencela perbuatan mereka dalam ayat ini.

Terdapat kaidah yaitu apabila melakukan kesyirikan untuk mendapatkan sesuatu maka yang akan didapatkan adalah sebaliknya. Misalnya apabila mencari keamanan maka akan mendapatkan ketakutan, mencari kesehantan maka akan mendapatkan penyakit, dan mencari kekuatan maka dapat akan mendapatkan kelemahan.

Bab ini dimasukan kedalam kitab tauhid dikarenakan ucapan orang yang beriman dikalangan jinn bahwa ada dikalangan manusia yang meminta perlindungan dari kalangan jinn.

Ayat ini dikonteks adalah orang beriman dikalangan jin. Mereka mengatakan tidak pernah membuat kesirikan sama sekali. Kemudian mereka menyebutkan bentuk-bentuk kesyirikan yang pernah terjadi dikalangan jin.

Isti’adzah dengan Jin adalah istiadah kepada selain Allah yang merupakan syirik akbar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Larangan Bernadzar kepada Selain Allah – Bagian 2

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 11: Tergolong sebagai Kesyirikan, Bernadzar kepada selain Allah

(Diriwayatkan) dalam Ash-Shahih dari Aisyah Radhiyallahu Anha, (beliau berkata): Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa saja yang bernadzar untuk menaati Allah, hendaklah dia menaati-Nya. Akan tetapi, siapa saja bernadzar untuk bermaksiat terhadap Allah, janganlah dia bermaksiat terhadap-Nya (dengan melaksanakan nadzar itu).”

Biografi

Aisyah adalah Ummul Mu’minin, salah satu istri Rasulullah ﷺ. Beliau adalah perempuan yang paling mengerti ilmu agama secara mutlak, juga merupakan istri Nabi ﷺ yang paling utama selain Khadijah. Dalam membandingkan (istri) yang paling utama di antara keduanya, ada perselisihan (dikalangan ulama). Beliau meninggal pada 57 H.

Makna Hadits Secara Global

Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan orang yang bernadzar dalam ketaatan agar dia hendaknya menunaikan nadzarnya, seperti seseorang yang bernadzar untuk mengerjakan shalat, bersedekah, atau amal ketaatan lainnya, dan melarang orang yang bernadzar dalam kemaksiatan untuk menunaikan (nadzar) tersebut, seperti seseorang yang bernadzar untuk menyembelih untuk selain Allah, mengerjakan shalat di kuburan atau kemaksiatan lain.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Hadits ini menunjukan bahwa nadzar itu ada yang berupa ketaatan, tetapi ada pula yang berupa kemaksiatan, juga menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah. Siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah, sungguh ia telah mempersekutukan Allah dalam ibadah kepada-Nya.

Faedah Hadits:

  1. Bahwa nadzar adalah ibadah maka memalingkan (nadzar) kepada selain Allah adalah kesyirikan.
  2. Kewajiban untuk menunaikan nadzar ketaatan.
  3. Keharaman untuk menunaikan nadzar kemaksiatan.

Wallahu Ta’ala A’lam

Larangan Bernadzar kepada Selain Allah – Bagian 1

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 11: Tergolong sebagai Kesyirikan, Bernadzar kepada selain Allah

Firman Allah Ta’ala:

يُوفُونَ بِٱلنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًۭا كَانَ شَرُّهُۥ مُسْتَطِيرًۭا

Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan: 7)

وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍۢ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُهُۥ ۗ

Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 270)

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Bahwasannya, pada bab ini, penulis menerangkan salah satu bentuk kesyirikan yang bisa meniadakan tauhid seseorang, yaitu bernadzar untuk selain Allah, agar perbuatan tersebut dapat dihindari dan dijauhi.

bernadzar untuk selain Allah’, yakni sebab (nadzar) adalah ibadah, sedang memalingkan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.

Nadzar berarti mewajibkan suatu hal, yang sebelumnya tidak wajib secara syari’at, kepada dirinya dalam rangka mengagungkan sesuatu yang kepadanya nadzar tersebut ditujukan. Pada asalnya, secara bahasa, nadzar adalah mewajibkan.

Makna Kedua Ayat Secara Global

Sesungguhnya Allah memuji orang-orang yang beribadah kepada-Nya dengan suatu hal yang mereka wajibkan atas diri mereka berupa amalan-amalan ketaatan. Allah Subhanahu juga mengabarkan bahwa diri-Nya mengetahui semua sedekah yang kita infakkan serta semua ibadah yang kita wajibkan bagi diri sendiri, baik (sedekah dan ibadah) itu untuk Allah maupun untuk selain Allah. Maka, Allah akan membalas semuanya sesuai dengan niat dan maksud orang tersebut.

Hubungan antara Kedua Ayat dan Bab

Keduanya menunjukan bahwa nadzar adalah suatu ibadah, bahwa Allah memuji orang-orang yang menunaikan (nadzar) sebab Allah tidaklah memuji, kecuali kepada pelaksanaan perintah atau peninggalan larangan. Allah juga mengabarkan bahwa diri-Nya mengetahui semua hal yang kita lakukan berupa infak-infak dan nadzar-nadzar, serta akan membalas kita semua yang kita lakukan tersebut. Maka, hal ini menunjukan bahwa nadzar adalah suatu ibadah, sedang apa saja yang merupakan ibadah, memalingkannnya kepada selain Allah adalah kesyirikan.

Faedah Kedua Ayat:

  1. Bahwasannya nadzar adalah ibadah maka memalingkan (nadzar) untuk selain Allah adalah syirik besar.
  2. Penetapan ilmu Allah Ta’ala atas segala sesuatu.
  3. Menetapkan adanya balasan terhadap setiap amalan.
  4. Anjuran untuk menunaikan nadzar.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 11 Termasuk Kesyirikan, Bernadzar Kepada Selain Allah

Pendahuluan

Terdapat berbagai macam bentuk nadzar. Para ahli fiqih membaginya menjadi beberapa bagian: ada yang 5 dan 6 bagian. Akan tetapi di Bab ini penulis menitikberatkan nadzar yang berkaitan dengan Tauhid.

Pembagian Nadzar, secara umum nadzar terbagi menjadi dua jenis:

Pertama: Nadzar yang tanpa mengharapkan imbalan.

Misalkan saya bernadzar akan melaksanakan itikaf satu hari di mesjid dengan alasan ingin beribadah saja. Tidak mengharapkan imbalan apapun. Hukum asal melakukan itikaf adalah sunnah. Akan tetapi dikarenakan nadzar tersebut menjadi wajib bagi dirinya. Hal ini tidak mengapa, bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuji orang yang melaksanakan nadzar seperti ini. (QS. Al-Insan: 7).

Kedua: Nadzar yang mengharapkan balasan.

Misalkan seseorang bernadzar yang apabila anaknya sembuh dari penyakit maka dia akan berpuasa 3 hari. Atau apabila bisnisnya lancar, maka dia akan bersedekah sebanyak 5 juta rupiah. Hal ini menjadikan sesuatu yang tidak wajib, menjadi wajib bagi dirinya.

Terdapat silang pendapat di kalangan para ulama pada jenis nadzar yang mengharapkan balasan ini. Yang benarnya adalah tidak diperbolehkan. Hal ini dikarenakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mensifati orang yang seperti ini sebagai tidak datang dari kebaikan, hanya dikeluarkan oleh orang-orang yang bakhil.

Akan tetapi apabila dia sudah bernadzar dan ternyata apa yang diminta tersebut terlaksana (anaknya sembuh atau bisnisnya lancar), maka dia wajib melaksanakan nadzarnya selama nadzarnya tersebut berupa ketaatan kepada Allah.

Nadzar yang termasuk kesyirikan.

Penulis ingin menjelaskan mengenai kesyirikan, yaitu bernadzar kepada selain Allah. Nadzar adalah salah satu bentuk ibadah, sehingga apabila diserahkan kepada selain Allah, maka hukumnya adalah syirik akbar. Misalnya, apabila selesai haji dan pulang dengan selamat, maka akan datang ke kuburan si fulan (berbuat kesyirikan).

Dalil Pertama, Firman Allah Ta’ala:

يُوفُونَ بِٱلنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًۭا كَانَ شَرُّهُۥ مُسْتَطِيرًۭا

Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan: 7)

  • Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuji orang yang menunaikan nadzar. Hal ini menandatakan bahwa nadzar adalah suatu Ibadah.
  • Kaidah: Memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah, maka hukumnya syirik besar.

Dalil Kedua, Firman Allah Ta’ala:

وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍۢ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُهُۥ ۗ

Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan1, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 270)

  • Dalam ayat ini menunjukan bahwa infak dan nadzar adalah Ibadah. Sehingga apabila ditujukan kepada selain Allah, maka hukumnya syirik akbar.
  • Sebagian ulama berkata nadzar kepada selain Allah artinya berbuat syirik kepada Allah. Demikian halnya dengan menyembelih untuk selain Allah.
  • Terdapat 5 perkara yang apabila diserahkan kepada selain Allah maka perkara tersebut termasuk kesyirikan, yaitu: ruku, sujud, nadzar, penyembelihan, dan sumpah.
    • Misalkan seseorang yang ruku atau sujud kepada selain Allah, maka termasuk kesyirikan. Termasuk juga seseorang yang membungkukan dirinya seperti ruku kepada seseroang karena mau melewatinya. Hal ini bisa dihindari yaitu dengan isyarat tangan yang juga menandakan kesopanan.
    • Mencium tangan seseorang terdapa silang pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang memakruhkan. Yang benar adalah tidak mengapa apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan pada suatu budaya atau daerah. Akan tetapi tidak sampai rukuk. Terdapat kekeliruan yang harus diluruskan yaitu anak-anak yang mencium tangan seseorang bukan dengan bibir akan tetapi menggunakan jidatnya, sehingga seperti bersujud diatas tangan.

Dalil Ketiga, (Diriwayatkan) dalama Ash-Shahih dari Aisyah Radhiyallahu Anha, (beliau berkata): Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa saja yang bernadzar untuk mentaati Allah, hendaklah dia menaati-Nya. Akan tetapi, siapa saja yang bernadzar untuk bermaksiat terhadap Allah, janganlah dia bermaksiat terhadap-Nya (dengan melaksanakan nadzar itu).

  • As-Shahih maksudnya dari riwayat Al-Bukhariy,

Biografi Aisyah

Aisyah adalah Ummul Mu’minin, salah satu dari istri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, merupakan putri dairi Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu.

Aisha dinikahi Nabi ketika berusia 7 tahun. Kemudian tinggal dengan Nabi saat Aisha berusia 9 tahun. Terdapat hukum diperbolehkan akad nikah dahulu sebelum tinggal bersama. Hal ini adalah kekhususan dari perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam hal ini perlu digandengkan dengan kaidah-kaidah lain sehingga benar dalam pendalillan.

Sebagian orang munafikin menolak hadist ini bahkan orang syiah mengkafirkan karena hadits ini. Kemudian dijadikan celaan.

Perlu digandengan dengan kaidah dalam agama, salah satunya “tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan“. Usia seorang perempuan bisa tinggal dengan suami beranekaragam diantara perempuan, ada yang 9 tahun sudah mampu hidup sebagai suami istri. Ada yang umur 17 tahun baru mampu, tinggal bersama suami. Sehingga hal ini tidak dijadikan sebagai suatu masalah. Ini adalah adalah perbuatan Nabi yang bukan berarti disunahkan menikah umur 7 tahun. Sehingga harus belajar ilmu pendalilan sehingga mengerti cara pendalilan.

Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang paling afdhal diantara Khadijah dan Aisha. Yang benar adalah khadijah lebih afdhal dari sisi kedahuluan masuk islam dan pembelaan terhadap agama. Adapun Aisha lebih afdhal dari sisi keilmuan dan hukum-hukum syariat yang dikuasai.

Tiga pembahasan:

  1. Kewajiban penunaian nadzar. Seperti terlihat pada hadits diatas.
  2. Apabila sesuatu telah ditetapkan sebagai suatu peribadatan kepada Allah, maka memalingkan kepada selain Allah adalah kesyirikan (kaidah tauhid)
  3. Nadzar untuk melakukan sesuatu maksiat tidak boleh ditunaikan. Misalnya berzina, meminum khamar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Larangan terhadap Menyembelih Binatang untuk Allah pada Tempat yang Dipergunakan untuk Menyembelih kepada Selain Allah – Dalil 1

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 10: Larangan terhadap Menyembelih Binatang untuk Allah pada Tempat yang Dipergunakan untuk Menyembelih kepada Selain Allah

Dalil 1: Firman Allah Ta’ala,

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًۭا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌۭ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ

Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Qubā`) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. (At-Taubah: 108)

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Bab ini merupakan kelanjutan dari bab sebelumnya. Pada bab sebelumnya, terdapat keterangan tentang hukum menyembelih untuk selain Allah. Adapun pada bab ini, terdapat larangan terhadap sarana yang mengantar kepada penyembelihan untuk selain Allah dan larangan untuk menyerupai pelaku perbuatan tersebut.

disembelih untuk selain Allah pada (tempat) itu’, yakni (tempat) yang dipersiapkan dan dimaksudkan untuk penyembelihan kepada selain Allah.

Makna Ayat Secara Global

Allah Subhanahu melarang Rasul-Nya ﷺ untuk mengerjakan shalat di masjid dhirar, yang dibangun oleh kaum munafikin untuk mendatangkan kerugian (kesulitan) bagi masjid Quba’ dan untuk berbuat kekafiran kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka (kaum munafikin) meminta kepada Rasul ﷺ untuk mendirikan shalat di masjid tersebut agar mereka dapat menjadikan (perbuatan Rasulullah) itu sebagai alasan pembenaran akan perbuatan mereka dan untuk menutupi kebathilan mereka. Maka Rasul ﷺ berjanji kepada mereka untuk memenuhi permintaan tersebut, dan beliau tidak mengetahui maksud jelek mereka. Oleh karena itu, Allah melarang terhadap hal itu dan memerintah agar Rasul mengerjakan shalat di masjid Quba’ yang dibangun di atas dasar ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau di masjid Rasul (masjid Nabawi), walaupun ada perselisihan para ahli tafsir tentang hal tersebut. Kemudian, Allah memuji orang-orang yang mendirikan masjid tersebut karena telah membersihkan masjid dari kesyirikan dan perkara-perkara najis, dan Allah mencintai orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut.

Hubungan antara Ayat dan Bab

Ini merupakan qiyas (penyamaan) antara tempat yang dipersiapkan untuk penyembelihan kepada selain Allah dan masjid yang dipersiapkan untuk bermaksiat kepada Allah dalam (hukum) pelarangan beribadah kepada Allah di tempat tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana halnya masjid ini yang tidak diperbolehkan untuk melaksanakan shalat di dalamnya, demikian pula tempat yang dipersiapkan untuk penyembelihan kepada selain Allah. Tidaklah diperbolehkan menyembelih untuk selain Allah Subhanahu di tempat tersebut.

Faedah Ayat

  1. Larangan menyembelih untuk Allah di tempat yang dipersiapkan untuk menyembelih kepada selain-Nya, dengan mengqiyaskan hal itu kepada larangan mengerjakan shalat di masjid yang dibangun diatas kemaksiatan terhadap Allah.
  2. Disukai untuk mengerjakan shalat bersama dengan kumpulan orang-orang yang shalih lagi suka menjauhkan diri dari berbuat hal-hal jelek.
  3. Penetapan sifat mahabbah (kecintaan) bagi Allah yang sesuai dengan keagungan-Nya Subhanahu sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain.
  4. Anjuran untuk menyempurnakan wudhu dan menyucikan diri dari najis.
  5. Bahwa niat berpengaruh terhadap tempat.
  6. Pernsyariatan menutup jalan-jalan yang mengantar kepada kesyirikan.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 10 Larangan Menyembelih Binatang untuk Allah di Tempat Kesyirikan 1

La disini adalah La Nafiyah (penafian) atau La Nahiyah (larangan). Keduanya terdapat penjelasan haramnya menyembelih untuk Allah ditempat yang digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah. Penulis membawakan dua dalil: 1 ayat dan 1 hadits.

Alasan pelarangannya ada dua sebab:

  1. Menghindari menyerupai kaum musyrikin dalam ibadah mereka
  2. Memutus pintu kesyirikan atau menutup jalan pada pintu kesyirikan.

Dahulu kala penduduk Najed, menyembelih untuk Jin demi menyembuhkan penyakit mereka. Mereka mempunyai tempat khusus untuk menyembelih dirumah mereka. Maka dengan dakwah syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah, hal tersebut hilang.

Fiman Allah terkait mesjid yang dibangun kaum munafikin untuk menandingi mesjid Quba:

وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مَسْجِدًۭا ضِرَارًۭا وَكُفْرًۭا وَتَفْرِيقًۢا بَيْنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًۭا لِّمَنْ حَارَبَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَآ إِلَّا ٱلْحُسْنَىٰ ۖ وَٱللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَـٰذِبُونَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran, dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin, serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, “Kami tidak menghendaki, selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (At-Taubah: 107)

Disebutkan kaum munafikin yang membangun masjid ini ada 12 orang. Ada seseorang bernama Abu Amir Ar-Rahiban (digelari Al Fasik). Awalnya seorang Nasrani yang memiliki kedudukan di kalangan bani Al-Khazraj. Ketika Rasulullah tiba di Madinah, maka Al-Fasik ini menampakkan permusuhan. Diantaranya terkait dengan masjid Ad-Dhiraar.

Mereka membangun Masjid Ad-Dzarrar ketika Nabi ﷺ akan berangkat ke perang Tabuk. Mereka meminta agar Nabi ﷺ shalat di masjid itu. Mereka menyebutkan alasan pembangunan masjid yaitu untuk kaum duafa, orang yang lemah atau sakit, yang apabila tidak bisa ke masjid Quba, maka bisa shalat di masjid ini. Maka Nabi ﷺ berkata “Kami akan melakukan perjalanan, apabila kami kembali Insya Allah akan shalat di sana”. Setelah Nabi ﷺ kembali dari perang Tabuk dimana jarak ke Madinah tinggal beberapa hari, maka turun wahyu yang menjelaskan tentang masjid itu. Maka Nabi ﷺ mengirim orang untuk menghancurkan masjid dan membakarnya sebelum Nabi ﷺ tiba di Madinah.

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًۭا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌۭ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ

Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Qubā`) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. (At-Taubah: 108)

Allah melarang Nabi ﷺ untuk shalat di mesjid itu. Mesjid Quba dan Mesjid Nabi lebih layak untuk shalat disitu. Menunjukkan mesjid Ad-Dhirar tidak dibangun di atas ketaqwaan melainkan atas dosa, maksiat, dan kekufuran.

Ini adalah sisi pendalilan penulis yaitu dilarang melakukan ibadah di tempat yang dibangun di atas dosa. Maka tempat yang dibangun untuk menyembelih atas selain Allah, harus ditinggalkan. Hal ini adalah qiyas.

Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah wajibnya menghilangkan tempat-tempat kekafiran dan kemaksiatan, yaitu Nabi ﷺ memerintahkan untuk menghancurkan masjid Ad-Dhirar karena dibangun atas dosa dan kemaksiatan. Seseorang dilarang untuk hadir di tempat maksiat dan kesyirikan dikarenakan terdapat 5 bahaya:

  1. Memperbanyak barisan pelaku dosa dan maksiat.
  2. Menjadi fitnah bagi orang-orang yang lemah keimanannya.
  3. Menjadi buruk sangka terhadap dirinya.
  4. Membawa syubhat terhadap dirinya.
  5. Tempat ini dikhawatirkan turun adzab dan petaka.

Dalil Ke-2:

Ada seseorang yang bernadzar untuk menyembelih seekor unta di Buwanah (dekat Yanbu). Buwanah adalah desa yang berada di pesisir pantai. Maka Nabi bersabda “Apakah di tempat itu ada salah satu berhala Jahiliyah yang disembah?”, Dia menjawab “Tidak”. Nabi bertanya lagi “Apakah di tempat itu salah satu hari perayaan mereka pernah dilaksanakan?”. Dia menjawab “Tidak”. Ied adalah suatu pertemuan umum yang selalu berulang dalam setahun, sebulan atau seminggu dalam melakukan Ibadah yang biasa dilakukan.

Nabi ﷺ sebelum menjawab mengenai hukum nadzarnya, meminta rincian pertanyaan terlebih dahulu.

Sisi pendalilan penulis yang melarang menyembelih untuk Allah di tempat menyembelih kepada selain Allah yaitu menutup pintu agar jangan sampai jatuh ke dalam kesyirikan dan tidak boleh menyerupai kaum musyrikin. Nabi ﷺ bertanya dua pertanyaan “Apakah ada berhala jahiliyah yang pernah diibadahi disitu?” dan “Apakah ada hari raya orang jahiliyah pernah dilakukan disitu?”.

Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Penuhilah nadzarmu.” Hal ini disebabkan karena tempat nadzarnya tidak ada berhala dan tidak ada hari raya kaum jahiliyah.

Dalam Islam, ada aturan yang harus diikuti terkait nadzar. Misalnya, nadzar harus dipenuhi asal tidak melibatkan perbuatan dosa. Selain itu, seseorang tidak boleh membuat nadzar tanpa memiliki kemampuan untuk memenuhinya. Contohnya, melarang membuat nadzar untuk menyakiti seorang Muslim atau memberikan sedekah kepada burung-burung di langit.

Pembahasan:

Pertama, Tafsir firman Allah “Janganlah engkau mendirikan shalat di mesjid itu selama-lamanya

    Bahwa mesjid Dhirar dilarang untuk shalat di situ karena dibangun di atas kekufuran. Maka demikian pula tempat untuk menyembelih kepada selain Allah, tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk menyembelih untuk Allah.

    Kedua, kemaksiaatan dapat bedampak kepada bumi sebagaimana ketaatan juga dapat berdampak dibumi ini.

    Ketika kaum munafikin membangun masjid Dhirar dengan maksud untuk kemaksiatan dan perpecahan, maka Nabi ﷺ dilarang Shalat di situ. Sehingga kemaksiatan berpengaruh yang menyebabkan tidak bisa shalat di situ.

    Sebaliknya masjid Quba yang dibangun atas dasar ketakwaan dan keimanan, maka disebutkan di masjid Quba ada sekolompok orang yang senang bersuci dan Allah mencintai orang yang bersuci.

    Ketiga, Sinkronisasi persoalan yang meragukan kepada masalah yang telah jelas. Agar keraguan tersebut menjadi sirna.

    Seorang bertanya mengenai hukum menyembelih di Buwanah. Apa itu Buwanah? tidak jelas tempatnya. Sehingga diarahkan kepada yang jelas dimana nabi ﷺ bertanya dua pertanyaan diatas. Sehingga jelas bagi Nabi ﷺ, maka Nabi memerintahkan untuk menunaikan nadzarnya.

    Keempat, Pengajuan detail persoalan dari seorang Mufti.

    Apabila seorang yang memberi fatwa (Mufti), ditanya mengenai sebuah perkara. Apabila perlu rincian pertanyaan, maka ditanyakan rinciannya.

    Kelima, Pengkuhsusan tempat tertentu untuk menunaikan nadzar, tidak mengapa. Apabila tempat tersebut terlepas dari segala hal yang terlarang.

    Keenam, Pengkhususan yang terlarang apabila ditempat tersebut ada berhala Jahiliyah, walaupun tempat tersebut telah disingkirkan.

    Apabila dahulunya ada berhala yang diibadahi dan telah disingkirkan, maka tetap tidak boleh untuk beribadah. Hal ini dikarenakan bisa menyerupai kaum musyrikin dan menjadi pintu untuk melakukan maksiat dan kesyirikan.

    Ketujuh, Larangan terhadap pengkhususan tersebut apabila pada tempat itu terdapat penyelenggaraan salah satu dari sekian hari raya kaum jahiliyah, walaupun perayaan tersebut telah ditiadakan.

    Kedelapan, tidak boleh menunaikan nadzar ditempat itu karena nadzar itu nadzar maksiat.

    Kesembilan, Peringatan terhadap penyerupaan dengan kaum musyrikin dalam hari-hari mereka.

    Walaupun tidak dimaksudkan untuk memperingati hari-hari mereka. Nabi tidak menanyakan niatnya dulu, tapi langsung menanyakan dua hal diatas.

    Kesepuluh, Tidak ada nadzar pada maksiat

    Kesebelas, Tidak syah nadzar berupa sesuatu yang tidak dia miliki.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Tentang Menyembelih untuk Selain Allah – Dalil 4

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 9: Tentang Menyembelih untuk Selain Allah

    Dalil 4:

    Dari Thariq bin Syihab, (beliau berkata):

    Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada seseorang yang masuk ke dalam surga karena seekor lalat, tetapi ada pula seseorang yang masuk kedam neraka karena seekor lalat.

    (Para shahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu (terjadi), wahai Rasulullah?”

    Beliau menjawab, “Ada dua orang yang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang tidak seorang pun boleh melewati berhala itu, kecuali setelah mengurbankan sesuatu kepada (berhala) itu. Mereka (kaum tersebut) berkata kepada salah seorang di antara keduanya, ‘Berqurbanlah,’ Dia menjawab, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu apapun untuk kuqurbankan.” Mereka berkata lagi kepadanya, ‘Berqurbanlah, meski seekora lalat.’ Dia pun berqurban dengan seekor lalat maka mereka pun membiarkan dia berlalu. Oleh karena itulah, dia masuk ke dalam neraka. Kemudian, mereka berkata kepada seorang yang lain, ‘Berqurbanlah.’ Dia menjawab, ‘Aku tidak akan pernah mengurbankan sesuatu apapun kepada selain Allah Ta’ala,’ maka mereka pun memenggal lehernya. Oleh karena itulah, dia masuk surga.

    Diriwayatkan oleh Ahmad.

    [Biografi]

    Thariq bin Syihab adalah Thariq bin Syihab Al-Bahaly Al-Ahmasy, seorang yang melihat Nabi ﷺ, tetapi tidak mendengar dari Nabi maka hadits beliau adalah mursal. Beliau adalah seorang shahabat, dan meninggal pada 83 H -semoga Allah meridhai beliau-.

    Makna Hadits secara Global

    Nabi ﷺ mengabarkan tentang bahaya dan kejelekan kesyirikan. Beliau pun bercerita kepada para sahabatnya, yang beliau memulai ceritanya dengan suatu permulaan yang menjadikan jiwa-jiwa merasakan keanehan dan memerhatikan cerita tersebut, yaitu, “Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, tetapi ada pula yang masuk neraka karena seekor lalat.” yang (cerita) ini merupakan hal sepele yang telah menjadi sebab perkara yang membahayakan, dan menjadikan orang bertanya tentang rincian (cerita) itu.

    Maka, di sini beliau merinci dengan berkata bahwa kedua orang tersebut -tampak bahwa keduanya beralih dari bani Israil- ingin melintasi suatu tempat yang, di perkarangan (tempat) itu, sebuah berhala diletakkan. Siapapun yang bermaksud melewati (tempat) itu diwajibkan menyembelih binatang sebagai bentuk taqarrub dan pengagungan kepada berhala tersebut.

    Para penyembah berhala tadi meminta kepada kedua orang tadi untuk menjalankan aturan yang syirik itu. Salah seorang dari keduanya beralasan tidak memiliki sesuatu yang dikorbankan maka mereka mau menerima korban yang ringan sekalipun dari orang itu. Sebab, tujuan mereka adalah dicapainya kesepakatan atas kesyirikan tersebut. Sehingga orang itu berkorban dengan seekor lalat untuk berhala tersebut, lalu mereka pun membiarkan orang itu melanjutkan perjalanan. Orang itu pun dimasukkan ke dalam neraka karena perbuatannya karena ia telah melakukan kesyirikan tersebut serta menyetujui (menyepakati) mereka atas (kesyirikan tadi). Kemudian mereka meminta kepada orang yang satunya agar (orang itu) bertaqarrub kepada berhala mereka. Orang itu pun menolak dengan alasan bahwa hal itu tergolong sebagai kesyirikan sehingga tidak akan mungkin ia kerjakan. Oleh karena itu, mereka membunuh orang tersebut sehingga orang tersebut dimasukkan ke dalam surga karena penolakannya terhadap kesyirikan.

    Hubungan antara Hadits dan Bab

    Hadits ini menunjukkan bahwa menyembelih qurban tergolong sebagai ibadah, dan bahwa menyerahkan (qurban) kepada selain Allah tergolong sebagai kesyirikan.

    Faedah Hadits

    1. Penjelasan tentang bahaya kesyirikan, meskipun pada sesuatu yang sepele.
    2. Bahwa kesyirikan mewajibkan pelakunya untuk masuk kedalam neraka, sedangkan tauhid mewajibkan pelakunya untuk masuk ke dalam surga.
    3. Bahwa manusia kadang terjatuh ke dalam kesyirikan, sementara dia tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah kesyirikan yang mewajibkan untuk masuk ke dalam neraka.
    4. Peringatan terhadap dosa-dosa, meskipun (dosa) itu dianggap kecil.
    5. Bahwa orang (pertama) tersebut masuk ke dalam neraka berdasarkan suatu sebab yang tidak dia niatkan sejak awal, tetapi dia lakukan agar dapat lolos dari kejahatan penyembah berhala tersebut.
    6. Bahwa sesungguhnya seorang muslim, jika mengerjakan kesyirikan, batalah keislamannya dan akan masuk ke dalam neraka. (Demikianlah) sebab orang tersebut sebelumnya adalah muslim karena, kalau dia bukan seorang muslim, tentut tidak akan dikatakan, “Ada seseorang yang masuk ke dalam neraka karena seekor lalat.”
    7. Bahwa sesungguhnya yang dinilai adalah amalan hati, meskipun anggota badannya kecil dan sedikit.
    8. Bahwa menyembelih adalah ibadah maka memalingkannya kepada selain Allah adalah syirik besar.
    9. Keutamaan tauhid dan besarnya buah yang dihasilkan oleh (tauhid).
    10. Keutamaan bersabar di atas kebenaran.

    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 9 Tentang Menyembelih untuk Selain Allah 2

    Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada seseorang yang masuk ke dalam surga karena seekor lalat, tetapi ada pula seseorang yang masuk ke dalam neraka karena seekor lalat.

    Nabi ﷺ memberikan pendahuluan sebelum memberikan rincian. Terdapat dua orang dalam haditsnya yang barangkali ini adalah bani Israil. Terdapat pelajaran apabila mau menyampaikan sesuatu maka disampaikan secara global dahulu kemudian baru disampaikan rinciannya. Dengan demikian menjadi perhatian bagi para sahabat yang kemudian bertanya:

    “Bagaimana hal itu (terjadi), wahai Rasulullah?”

    Kemudian kelanjutan hadits Nabi ﷺ menjelaskan bahwa ada suatu kaum yang mempunyai berhala, mereka tidak boleh ada yang melewatinya kecuali berkurban untuk berhala tersebut. Maka kaum ini berkata pada salah seorang yang mau melewatinya “Berqurbanlah”. Kemudian orang itu menjawab “Saya tidak punya apa-apa untuk diqurbankan”. Mereka berkata “Berqurbanlah, meski hanya seekor lalat”. Maka dia berqurban dengan seekor lalat dan mereka membiarkan dia beralalu. Maka dia pun masuk neraka.

    Kemudian mereka berkata kepada orang lain, “Berqurbanlah”, maka dia berkata aku tidak pernah berqurban untuk selain Allah”. Maka mereka memenggal leher orang tersebut dan karena itulah dia masuk surga.

    Orang pertama berqurban dengan seekor lalat. Dia berqurban dengan hatinya dan mengamalkannya sehingga mendapatkan neraka. Ini adalah pelajaran besar mengenai kesyirikan yaitu masuk neraka walaupun bentuk syiriknya hanya sedikit. Sebagaimana firman Allah Ta’ala

    Wajib berhati-hati agar tidak terjatuh kepada kesyirikan bahkan terkadang tidak sadar telah terjatuh kepada kesyirikan. Orang yang pertama ini tidak bermaksud untuk melakukan qurban untuk berhala akan tetapi begitu diperintahkan, maka dia menerimanya untuk melakukan qurban tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa orang tersebut adalah seorang muslim, karena apabila dia kafir, maka pasti masuk neraka. Karena perbuatan kesyirikan ini membatalkan keislamannya dan menyebabkan masuk kedalam neraka. Juga terdapat pentingnya amal hati, bukan masalah kecilnya yang diqurbankan, akan tetapi kondisi amalan hati yang meridhainya.

    Orang yang kedua, langsung mengingkari untuk berqurban kepada berhala. Maka disembelih lehernya dan masuk kedalam surga. Ini menunjukkan akan pentingnya keikhlasan walaupun dia korbankan segala yang dimiliki. Ini prinsip yang menyebabkan seseorang masuk surga atau neraka. Sehingga harus bersabar dalam cobaan ini.

    Apabila ditanyakan apakah terpaksa melakukan kekufuran seperti Ammar bin Yasir maka tidak apa-apa?

    Jawabannya adalah:

    1. Ini adalah syariat sebelum kita bukan disyariat kita. Disyariat sebelum. kita memang tidak ada udzur kalau terpaksa.
    2. Mungkin ada keringanan atau bersabar. Akan tetapi dia memilih untuk bersabar yang paling besar keutamannya.

    Hukum dalam syariat kita apabila terpaksa melakukan kesyirikan dan hatinya tetap tenang dengan keimanan, maka tidak apa-apa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعْدِ إِيمَـٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلْكُفْرِ صَدْرًۭا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌۭ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌۭ

    Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (An-Nahl: 106)

    Dan juga seperti kisah Ammar bin Yasir yang kedua orang tuanya sudah dibunuh, maka Ammar terpaksa mengucapkan kekufuran tapi hatinya tenang dengan keimanannya.

    Wallahu Ta’ala A’lam

    Tentang Menyembelih untuk Selain Allah – Dalil 3

    بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

    Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

    Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

    • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
    • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

    Bab 9: Tentang Menyembelih untuk Selain Allah

    Dalil 3:

    Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ telah menuturkan empat kalimat kepadaku,

    Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah/kejahatan. Allah melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah.‘”

    Diriwayatkan oleh Muslim.

    Allah melaknat“, laknat dari Allah berarti Allah mengusir dan menjauhkan, sedang laknat dari makhluk berarti caci makian dan doa kejelekan.

    Menyembelih untuk selain Allah”, yakni untuk patung-patung, para wali, dan orang-orang shalih, jin atau selainnya.

    Melaknat kedua orang tua”, yang dimaksud dengan keduanya adalah bapak dan ibunya (dalam garis keturunan) terus ke atas. Sama saja, baik dia melaknat secara langsung maupun dia menjadi sebab adanya laknat terhadap orang tuanya, yaitu karena ia melaknat orang tua seseorang kemudian orang tersebut balas melaknat orang tuanya.

    Melindungi pelaku/perkara Bid’ah”, berarti ridha kepada (pelaku/perkara) tersebut.

    Mengubah tanda-tanda bumi”, tanda-tanda bumi berarti garis-garis batas yang memisahkan antara milikmu dan milik tetanggamu, maka mengubah (tanda-tadan bumi) adalah dengan memajukan atau memundurkan (garis-garis batas dari tempat yang semestinya).

    Makna Hadits secara Global

    Rasulullah ﷺ memperingatkan umatnya terhadap empat kejahatan. Beliau mengabarkan bahwa Allah Ta’ala mengusir dan menjauhkan pelaku salah satu di antara perkara tadi dari rahmat-Nya. Empat perkara itu adalah:

    Pertama: bertaqarrub dengan menyembelih untuk selain Allah karena hal itu berarti memalingkan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak mendapatkan peribadahan.

    Kedua: orang yang mendoakan kejelekan terhadap kedua orang tuanya, baik dengan melaknat atau mencaci maki keduanya maupun dengan menjadi sebab terjadinya hal tersebut. (Menjadi sebab terjadinya hal tersebut) yaitu dengan munculnya perbuatan tersebut dari dirinya terhadap kedua orang tua seseorang sehingga orang tersebut membalas dengan perbuatan yang sama terhadapnya.

    Ketiga: orang yang melindungi pelaku kejahatan yang pantas mendapatkan hukuman syar’i, lalu menghalangi pelaksanaan hukuman tersebut kepada orang itu, atau ia ridha kepada kebid’ahan dalam agama dan mengakui (mendukung) kebid’ahan itu.

    Keempat: pengubah tanda-tanda batas tanah, yang (tanda-tanda) itu memisahkan hak-hak pemiliknya masing-masing, dengan cara memajukan atau memundurkan (tanda-tanda) itu dari tempat sesungguhnya. Sehingga, oleh sebab itu, terjadilah pengambilan (penyerobotan) sebagian ranah orang lain secara zhalim.

    Hubungan antara Hadits dan Bab

    Bahwa, di dalam hadits ini, terdapat dalil tentang besarnya keharaman menyembelih untuk selain Allah, bahwa pelakunya adalah yang pertama mendapat laknat dari Allah.

    Faedah Hadits

    1. Bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah diharamkan dengan pengharaman yang sangat, dan merupakan suatu kesyirikan yang berada pada garis terdepan di antara dosa-dosa besar.
    2. Bahwa penyembelihan adalah suatu ibadah sehingga wajib diserahkan hanya kepada Allah semata.
    3. Pengharaman melankat dan mencaci maki kedua orang tua, baik secara langsung maupun menjadi sebab terjadinya hal itu.
    4. Pengharaman membantu dan melindungi para pelaku kejahatan dari penerapan hukum syar’i terhadap mereka, dan pengharaman ridha terhadap kebid’ahan.
    5. Keharaman mengubah batas-batas tanah dengan cara memajukan atau memundurkan (batas-batas) itu.
    6. Pembolehan melaknat bebagai jenis orang fasiq dalam rangka mencegah manusia dari kemaksiatan.

    Catatan Kajian

    Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 9 Tentang Menyembelih untuk Selain Allah 1

    Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata Rasulullah ﷺ telah menceritakan empat kalimat kepadaku.

    Ini adalah cara Rasulullah dalam mendidik, yaitu memberikan jumlah angka yang disampaikan dalam hal ini empat kalimat. Namun tidak berarti hanya empat kalimat saja, tapi ada banyak yang lainnya.

    Pertama: Allah melaknat siapa yang menyembelih untuk selain Allah.

    Laknat artinya pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Dari empat kalimat yang pertama disebutkan adalah menyembelih untuk selain Allah. Hal ini menunjukan perkara yang paling besar dari empat yang dilaknat ini.

    Kata laknat ini menunjukan bahwa hal tersebut adalah dosa besar. Kriteria bahwa suatu dosa termasuk dosa besar ada beberapa cirinya, salah satunya adalah perbuatan yang dilaknat Allah. Dosa besar mencakup kesyirikan dan selain kesyirikan.

    Menyembelih selain untuk Allah termasuk untuk jin, malaikat, nabi, orang sudah meninggal dan lainnya. Atau menyembelih dengan tidak menyebut nama Allah (Bismillah) misalkan dikatakan Al-Masih, Latta, Uzza, dan lainnya.

    Penyembelihan ada dua macam:

    1. Penyembelihan kebiasan yang sifatnya bukan Ibadah. Misalkan menyembelih kambing dengan menyebut “Bismillah” dengan tujuan untuk di makan.
    2. Penyembelihan yang bersifat ibadah. Ada beberapa macam:
      • Untuk bertaqarrub kepada Allah seperti untuk Qurban, Akikah, dan ketika Haji.Ini adalah Ibadah maka ketika dimaksukdkan untuk selain Allah maka hukumnya syirik akbar.
      • Untuk bertaqarrub kepada selain Allah seperti untuk kuburan, Jin, malaikat, maka ini masuk dalam syirik Akbar.
      • Untuk acara bid’ah (yang tidak disyariatkan) seperti untuk maulid walaupun dengan menyebut nama Allah, maka ini masuk pada yang diharamkan. Hal ini diharamkan karena bisa menjadi pintu pengantar pada hal yang lebih besar.

    Apabila seseorang menjadi sebab terjadi sesuatu, maka hukumnya sama dengan melakukan sesuatu tersebut. Misalnya ada yang berkata, “Kamu membunuh si Fulan”, maka orang itu pergi membunuh dan terjadi pembunuhan. Maka di qishash bukan orang yang membunuh saja, tapi juga orang yang memerintah membunuh, karena dia menjadi sebab pembunuhan tersebut.

    Jangan sampai seseorang membuka sesuatu yang menyebabkan terbuka pintu keharaman di tempat yang lain. Dalam hal ini seseorang mencela orang tua orang lain, maka orang tuanya dicela juga oleh orang lain.

    Ketiga: Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengadakan perkara baru (bid’ah atau kejahatan) atau hal yang baru.

    Terdapat dua arti dari “Muhdatsan” bisa pelaku bid’ah / kejahatannya atau perkara bid’ah atau kejahatan. Yang pertama Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah atau yang kedua orang yang berbuat bid’ah.

    Muhdatsan adalah yang mengadakan Al-Ihdats. Al-Ihdats banyak bentuknya diantaranya berbuat bid’ah, menumpahkan darah, melampaui batas. Contohnya dalam kasus pembunuhan maka Allah melaknat orang yang melindungi pembunuh dan orang yang membunuhnya. Hal ini termasuk dalam dosa besar.

    Hal ini juga berlaku bagi pemilik tanah maupun bukan pemilik tanah.

    Wallahu Ta’ala A’lam