Kesungguhan untuk menunaikan amalan-amalan wajib, apalagi ditambah dengan amalan sunnah.

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah

Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 11 Mujahadah (Bersungguh-sungguh Menunaikan Amal Shalih)

Hadits 96:Dari Abu Hurairah Radhyiallahu Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku nyatakan perang kepadanya. Tidak ada hamba-Ku yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik kecuali dengan apa yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku masih tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya, dan jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, tangannya yang ia pergunakan untuk memegang, kakinya yang ia pergunakan untuk melangkah. Jika ia memohon kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya, dan jika ia berlindung kepada-Ku, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Al-Bukhari)

Penjelasan

Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku nyatakan perang kepadanya“, memusuhi artinya menjauhi, lawan kata menolong.

Yang dimaksud Wali Allah adalah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa” (QS. Yunus: 62-63)

Wali Allah adalah orang yang beriman, yaitu hakikat keimanan yang menghujam dalam hati dengan menunaikan konsekuensi keimanan. Dan orang yang bertakwa, yaitu menunaikan amal shalih dengan anggota badan sebaik-baiknya, menjauhi semua larangan-Nya, mereka memiliki keshalihan batin dengan keimanannya dan keshalihan lahir dengan ketakwaannya; mereka itu berhak mendapat predikat Wali Allah.

Wali Allah ini bukan orang yang mengklaim bahwa dirinya wali sebagaimana yang dilakukan para dajjal yang mengklaim di hadapan orang-orang awam, padahal hakikatnya adalah musuh Allah, na’udzubillah.

Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku nyatakan perang kepadanya“, yaitu terang-terangan Aku umumkan perang kepadanya. Dengan demikian, orang yang memusuhi mereka ini sama halnya dengan memusuhi Allah.

Tidak ada hamba-Ku yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik kecuali dengan apa yang Aku wajibkan kepadanya“, artinya amalan wajib itu lebih dicintai Allah daripada amalan sunnah.

Hamba-Ku masih tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya“. Ibadah sunnah itu untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dan penyempurna ibadah wajib. Jika seorang hamba memperbanyak perbuatan ini dengan tetap melakukan ibadah wajibnya dengan baik, maka ia berhak mendapat kecintaan Allah.

Jika Allah mencintainya, maka seperti firman-Nya, “maka Aku menjadi pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, tangannya yang ia pergunakan untuk memegang, kakinya yang ia pergunakan untuk melangkah,” yaitu Allah selalu mengarahkan empat anggota tubuh ini; pendengarannya tidak mendengar sesuatupun kecuali suatu kebaikan, penglihatannya tidak memandang yang diharamkan Allah, tangannya tidak melakukan sesuatu kecuali yang diridhai-Nya, dan kakinya tidak melangkah kecuali pada kebaikan yang diridhai-Nya.

Jika ia memohon kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya,” hal ini menjadi dalil bahwa wali Allah yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah wajib dan sunnah, jika ia memohon kepada-Nya, pasti akan dikabulkan.

Dan jika ia berlindung kepada-Ku, pasti Aku akan melindunginya.” Yaitu jika ia berlindung dan menyerahkan urusannya kepada-Ku dari kejahatan orang-orang jahat, pasti Aku akan melindunginya, mengabulkan permohonannya, dan menghindarkannya dari semua yang ia khawatirkan.

Penulis menyebutkannya dalam bab ini karena jiwa manusia itu membutuhkan kesungguhan untuk menunaikan amalan-amalan wajib, apalagi ditambah dengan amalan sunnah.

Kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk selalu berdzikir, bersyukur, dan menunaikan ibadah kepada-Nya dengan baik.

Wallahu Ta’ala A’lam

Pendahuluan – Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Mujahadah

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah

Bab 11 Mujahadah (Bersungguh-sungguh Menunaikan Amal Shalih)

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ ٦٩

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)

وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ ٩٩

dan sembahlah Tuhan-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)

وَٱذْكُرِ ٱسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًۭا ٨

Sebutlah nama Tuhan-mu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (QS. Al-Muzammil: 8)

Maksudnya menyendiri untuk beribadah kepada-Nya, Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًۭا يَرَهُۥ ٧

Sebutlah nama Tuhan-mu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (QS. Al-Zalzalah: 7)

وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍۢ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيْرًۭا وَأَعْظَمَ أَجْرًۭا ۚ

Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS. Al-Muzammil: 20)

وَمَا تُنفِقُوا۟ مِنْ خَيْرٍۢ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (QS. Al-Baqarah: 273)

Dan ayat-ayat lain dalam bab ini sudah banyak di ketahui.

Penjelasan

Mujahadah, bersungguh-sungguh menunaikan amal shalih, maksudnya berusaha sekuat tenaga mengekang hawa nafsu diri dan orang lain.

Mengekang hawa nafsu ini dalam dua hal: dalam menunaikan ketaatan dan menjauhi maksiat.

Yang terpenting dalam hal ini adalah mengekang hawa nafsu untuk senantiasa ikhlas karena Allah Ta’ala dalam beribadah. Untuk ikhlas ini sangatlah berat karena sifat dasar manusia adalah ingin tinggi dan dihormati, senang dipuji dan dikatakan “seorang ahli ibadah, gemar menunaikan kebajikan, dan sebagainya.”

Dalam menunaikan ketaatan, memerlukan kesungguhan dalam melawan hawa nafsu seperti puasa dan menunaikan shalat berjamaah.

Begitu juga bersungguh-sungguh untuk meninggalkan perbuatan haram. Kebanyakan perbuatan yang diharamkan Allah sangat berat untuk ditinggalkan bagi sebagian orang.

Adapun berjihad melawan orang lain itu terbagi menjadi dua bagian: sebagian dengan ilmu dan bayaan (penjelasan) dan sebagian dengan senjata dan fisik.

Pertama, berjihad menghadapi orang-orang yang mengaku Muslim tetapi bukan orang Muslim, seperti orang-orang munafik. Kita tidak mungkin melawan mereka dengan senjata, karena mereka menampakkan keislaman bersama-sama kita, tetapi kita melawan mereka dengan menggunakan ilmu dan penjelasan.

Firman Allah Ta’ala: “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahanam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. At-Taubah: 73)

Kedua, berjihad melawan orang-orang kafir itu dengan memanggul senjata untuk melawan musuh yang terang-terangan menampakkan permusuhan terhadap Islam, seperti Yahudi dan Nasrani.

Kita memohon kepada-Nya untuk memuliakan kita dengan agama ini, dan memuliakan agama ini dengan kita, menjadikan kita semua termasuk para penyeru dan penolong kebenaran, menyiapkan pemimpin yang shalih untuk umat Islam ini menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Wallahu Ta’ala A’lam

An-Nisa: 23: Wanita-Wanita yang Diharamkan (Untuk Dinikahi)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Tafsir An-Nisā 4:23

Allah ta’ala berfirman,,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَـٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّـٰتُكُمْ وَخَـٰلَـٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَـٰتُكُمُ ٱلَّـٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَـٰعَةِ وَأُمَّهَـٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَـٰٓئِبُكُمُ ٱلَّـٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّـٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَـٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَـٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nisa: 23)

Tafsir As-Sa’di:
Ayat-ayat yang mulia ini mengandung penjelasan tentang:

  • wanita-wanita yang diharamkan karena pertalian darah, dan
  • wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan dan
  • wanita-wanita yang diharamkan karena perkawinan dan
  • wanita-wanita yang diharamkan karena penyatuan dan
  • juga wanita-wanita yang dihalalkan.

Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena pertalian darah, mereka ada tujuh kelompok sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ﷻ, yaitu:

  1. Ibu, dan termasuk dalam makna ibu adalah setiap orang yang menjadi sebab kelahiran dirimu walaupun jauh.
  2. Kemudian anak perempuan, dan termasuk dalam makna anak perempuan adalah setiap orang yang engkau menjadi penyebab kelahirannya.
  3. Saudara perempuan kandung atau seayah atau seibu.
  4. Saudara perempuan ayah yaitu seluruh saudara perempuan ayah Anda atau kakek Anda dan seterusnya ke atas.
  5. Saudara perempuan ibu, yaitu setiap saudara perempuan ibu Anda atau nenek Anda dan seterusnya ke atas yang menjadi ahli waris ataupun tidak.
  6. Keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan
  7. Keponakan perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

Mereka semua itu adalah wanita-wanita yang diharamkan karena pertalian darah menurut ijma’ para ulama, sebagaimana juga nash ayat yang mulia di atas, sedangkan selain dari mereka, maka termasuk dalam Firman Allah ﷻ:

, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian” yang demikian itu seperti anak perempuan bibi atau paman dari ayah atau anak perempuan bibi atau paman dari ibu.

Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan, maka sesungguhnya Allah ﷻ telah menyebutkan pada ayat di atas yaitu di antara mereka adalah ibu dan saudara perempuan, hal itu adalah sebuah dalil tentang haramnya menikahi ibu, padahal hak air susunya bukanlah miliknya, sesungguhnya air susu itu adalah hak yang memiliki susu, indikasi ayat tersebut menunjukkan bahwa pemilik dari air susu itu adalah ayah bagi anak susuan tersebut, lalu bila telah terbukti dalam hal tersebut penamaan ayah dan ibu, maka harus terbukti pula hal-hal yang menjadi cabang dari kedua label tersebut, seperti saudara-saudara perempuan keduanya, kakek nenek keduanya, dan keturunan keduanya, dan Nabi ﷺ telah bersabda,

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ.

Diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari keturunan.

Dengan demikian tersebarlah pengharaman itu dari pihak ibu yang menyusui dan pemilik air susu tersebut, sebagaimana juga tersebar pada sanak famili pada anak tersebut hingga kepada anak keturunannya saja, akan tetapi dengan syarat persusuan tersebut adalah sebanyak lima kali susuan dalam usia dua tahun, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sunnah.

Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena pernikahan adalah empat kelompok, yaitu:

  1. istri-istri bapak dan seterusnya ke atas,
  2. istri-istri anak dan seterusnya ke bawah, baik yang menjadi ahli waris maupun yang terhalang,
  3. ibu dari istri dan seterusnya ke atas, dan mereka yang disebut tadi adalah diharamkan dengan sempurnanya akad nikah,
  4. sedangkan yang keempat adalah anak perempuan tiri, yaitu anak perempuan istrinya dan seterusnya ke bawah, kelompok yang satu ini tidaklah haram kecuali bila suami telah menggauli istrinya,

sebagaimana Allah ﷻ berfirman dalam ayat ini, وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ “Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri” dan jumhur ulama juga telah berkata, “Sesungguhnya Firman Allah ﷻ, اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ “Yang dalam pemeliharaanmu” sebuah pengikatan yang keluar dari perkara yang sering terjadi hingga tidak memiliki arti dan makna, karena sesungguhnya anak perempuan tiri itu tetap haram (dinikahi) walaupun tidak berada dalam pemeliharaan. Namun ikatan tersebut memiliki dua faidah; pertama, menyimpan sebuah indikasi tentang hikmah dari pengharaman anak perempuan tiri dan bahwa ia adalah dalam posisi anak kandung, maka sangatlah jelek menjadikannya halal untuk dinikahi, kedua; ikatan itu menyimpan sebuah isyarat tentang bolehnya berkhalwat dengan anak perempuan tiri, karena ia adalah dalam posisi orang-orang yang ada dalam pemeliharaannya seperti anak-anak perempuan-nya sendiri dan semisalnya, Wallahua’lam

Sedangkan wanita-wanita yang diharamkan karena penghimpunan, maka Allah ﷻ telah menyebutkan tentang penyatuan dua saudara perempuan kemudian Allah ﷻ mengharamkannya, dan Nabi ﷺ juga telah mengharamkan penyatuan antara seorang perempuan dengan ammah (bibi dari pihak ayah atau khalah (bibi dari pihak ibu) , maka setiap dua perempuan yang disatukan yang memiliki ikatan pertalian darah adalah diharamkan, seandainya diumpamakan salah seorangnya adalah laki-laki dan lainnya adalah perempuan, maka yang perempuan haram bagi yang laki-laki, karena itu diharamkan menyatukan antara keduanya, yang demikian itu karena akan menjadi salah satu sebab di antara sebab-sebab putusnya tali kekeluargaan.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Sumber:

Quran Tadabbur, https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bekalislam.qurantadabbur

Perhatikanlah Apa yang Telah Dilakukan oleh orang-orang Kafir Terdahulu dan Bagaimana Keadaan Mereka

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah

Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 9 Memikirkan Kekuasaan Allah, Fananya Dunia, Kesulitan-Kesulitan di Akhirat, Pengendalian dan Pendidikan Jiwa, Serta Membimbingnya untuk Istiqamah.

Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Tafakkur

Firman Allah Ta’ala,

۞ أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَـٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ دَمَّرَ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۖ وَلِلْكَـٰفِرِينَ أَمْثَـٰلُهَا

Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (QS. Muhammad: 10)

Penjelasan:

Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan perjalanan dengan telapak kaki dan perjalanan dengan hati.

  1. Perjalanan dengan telapak kaki adalah seseorang berjalanan di muka bumi dengan kedua kakinya atau dengan kendaraan sehingga dia dapat melihat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir dan bagaimana keadaan mereka.
  2. Perjalanan dengan hati yaitu merenungi cerita-cerita yang telah dinukil dari berita-berita mereka.

Kitab yang paling shahih yang menceritakan kabar-kabar orang terdahulu adalah kitab Allah Azza wa Jalla, sebagaimana Allah berfirman: “Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.

Al-Qur’an dipenuhi dengan cerita-cerita orang-orang terdahulu yang mendustakan para rasul dan para pendukung rasul, dan Allah menjelaskan akibat perbuatan masing-masing.

Begitu juga dalam As-Sunnah terdapat cerita-cerita orang-orang yang terdahulu. Terdapat banyak sekali hadist-hadist yang bermanfaat yang jika itu shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam maka ia termasuk kabar yang paling benar yang dinukilkan. Adapun yang diceritakan oleh para pakar sejarah, maka perlu hati-hati karena kebiasan kitab-kitab sejarah, ini tidak memiliki dasar dan sanad tetapi hanya berupa cerita-cerita yang beredar di antara manusia.

Wallahu Ta’ala A’lam

Perhatikanlah, bagaimana unta diciptakan, langit ditingikan, gunung ditegakkan dan bumi dihamparkan.

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah

Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 9 Memikirkan Kekuasaan Allah, Fananya Dunia, Kesulitan-Kesulitan di Akhirat, Pengendalian dan Pendidikan Jiwa, Serta Membimbingnya untuk Istiqamah.

Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Tafakkur

Firman Allah Ta’ala,

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ١٧ وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ ١٨ وَإِلَى ٱلْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ١٩ وَإِلَى ٱلْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ٢٠

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan? (Al-Ghasyiyah: 17-20)

Penjelasan:

Apakah mereka tidak memperhatikan”, ini termasuk bab motivasi untuk meneliti pada empat perkara ini, tentang unta coba renungkanlah bagaimana Allah menciptakannya dengan bentuk besar ini sehingga mampu membawa barang yang berat. Unta yang besar dan kuat ini telah Allah tundukan kepada hamba-Nya (An-Nahl: 16).

dan kepada langit bagaimana ia diangkat”, langit yang besar diangkat oleh Allah Ta’ala dengan sangat tinggi tidak ada makhluk yang bisa menjangkaunya. Langit diangkat tanpa penyangga, maka renungkanlah (Ar-ra’ad: 2).

dan lihatlah gunung bagaimana ia ditegakkan,” jikalau seluruh makhluk berkumpul dengan segala kekuatan yang mereka miliki, tentu tidak akan dapat membuat yang semisal dengannya. Diantara hikmah Allah Ta’ala tegakkah gunung yang begitu besar adalah sebagai pasak yang menetapkan bumi dan menjaganya dari goncangan (Luqman: 10).

dan bumi bagaimana ia dihamparkan,” Allah Ta’ala menjadikan bumi terhampar, dan ditundukkan kepada hamba-Nya, dapat diberdayakan oleh makhluk-Nya, tanahnya dapat ditanami sehingga manusia dapat mengambil manfaat.

Wallahu Ta’ala A’lam

Ali ‘Imran 195: Pahala Keimanan, Hijrah, dan Berjihad di Jalan Allah.

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Tafsir Āli `Imrān 3:195

Allah ta’ala berfirman,

فَٱسۡتَجَابَ لَهُمۡ رَبُّهُمۡ أَنِّي لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٖ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ ۖ بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖ ۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَٰتَلُواْ وَقُتِلُواْ لَأُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَيِّـَٔاتِهِمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ ثَوَابٗا مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلثَّوَابِ

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang, dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. (Ali ‘Imran: 195)

Tafsir As-Sa’di:
Maksudnya Allah ﷻ memenuhi doa mereka berupa doa ibadah maupun doa permohonan seraya berfirman, لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى “Sesungguhnya Aku tidak menyianyiakan amal orang-orang yang beramal dari kalian, baik laki-laki atau perempuan.” Semua orang akan mendapatkan balasan perbuatannya masing-masing secara penuh dan sempurna. Artinya, setiap kalian menurut batasan yang sama dalam pahala maupun siksa,

فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا “maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalanKu, yang berperang dan yang dibunuh“, mereka menyatukan antara keimanan, hijrah, dan meninggalkan hal-hal yang dicintai berupa negeri dan harta untuk mencari keridhaan Rabb mereka dan mereka berjihad di jalan Allah ﷻ, لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ “Pastilah akan Aku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah ﷻ,” Yang memberikan kepada hambaNya pahala yang melimpah untuk perbuatan yang sedikit.


وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ “Dan Allah ﷻ pada sisiNya pahala yang baik” dari hal-hal yang tidak pernah terlihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas pada benak seorang manusia pun. Dan barangsiapa yang mengharap hal itu, maka memohonlah kepada Allah ﷻ dengan cara taat kepadaNya, dan mendekatkan diri kepadaNya menurut kemampuan hamba.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Sumber:

Quran Tadabbur, https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bekalislam.qurantadabbur

Mengingat Allah Dalam Setiap Keadaan.

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah

Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 9 Memikirkan Kekuasaan Allah, Fananya Dunia, Kesulitan-Kesulitan di Akhirat, Pengendalian dan Pendidikan Jiwa, Serta Membimbingnya untuk Istiqamah.

Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Tafakkur

Kemudian Allah berfirman dalam mensifati orang-orang berakal:

ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَـٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَـٰطِلًۭا سُبْحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali-‘Imran 191)

Penjelasan:

  • Orang-orang yang berakal adalah yang mengingat Allah dalam setiap keadaannya.

Dua macam dzikir:

  1. Dzikir mutlak di setiap waktu. Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam bersabda, “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan dzikir kepada Allah”. Maka dzikir kepada Allah di sini bersifat mutlak tidak dibatasi dengan jumlah, bahkan sesuai dengan kegiatan seseorang.
  2. Dzikir yang dibatasi dengan jumlah atau keadaan tertentu, seperti dzikir-dzikir shalat dalam ruku’, dalam sujud, setelah salam, dzikir masuk rumah dan keluar rumah, dzikir naik kendaraan, dan sebagainya.

Dua cara dzikir:

  1. Dzikir Tamm (sempurna), yaitu dzikir terus menerus dilakukan seseorang dengan hati dan lisannya.
  2. Dzikir Naqis (tidak sempurna), yaitu dzikir yang dilakukan dengan lisan sedangkan hatinya lalai.

Firman-Nya, “Dan mereka berfikir tentang penciptaan langit dan bumi” kemudian mereka berkata, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini sia-sia“, yakni mereka berfikir tentang penciptaan langit dan bumi, mengapa Allah menciptakannya dan lain sebagainya.

Tidaklah penciptaan langit dan bumi ini sia-sia. Manusia tidak diciptakan hanya untuk makan, minum, dan bersenang-senang, sebagaimana bersenang-senangnya hewan. Allah Ta’ala berfirman, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzariyat: 56)

Orang-orang yang menyangka penciptaan langit dan bumi ini hanya sia-sia, mereka itulah penduduk neraka. Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka” (Shad: 27)

Maka lindungilah kami dari azab neraka“, yakni mereka bertawasul kepada Allah dengan memuji kepada-Nya dengan sifat-sifat yang sempurna, agar dijauhkan dari neraka.

Wallahu Ta’ala A’lam

Dalam Setiap Apa yang telah diciptakan Allah Terdapat Tanda-Tanda Kekuasan-Nya.

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah

Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 9 Memikirkan Kekuasaan Allah, Fananya Dunia, Kesulitan-Kesulitan di Akhirat, Pengendalian dan Pendidikan Jiwa, Serta Membimbingnya untuk Istiqamah.

Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Tafakkur

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ali-‘Imran 190)

Penjelasan:

  • Ini adalah ayat pertama dari sepuluh ayat yang Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam selalu membacanya ketika terbangun tidur untuk shalat malam.
  • Dalam setiap apa yang telah diciptakan Allah di langit dan di bumi, seperti bintang-bintang, matahari, bulan, pepohonan, lautan, sungai dan yang lainnya, ada tanda-tanda besar yang menunjukkan kesempurnaan keesaan-Nya, kekuasaan-Nya, kasih sayang-Nya, dan hikmah-Nya.
  • Firman Allah Ta’ala:

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ سَبْعَ سَمَـٰوَٰتٍۢ وَمِنَ ٱلْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi” (At-Talaq: 12)

  • Firman Allah Ta’ala: “Dan silih bergantinya malam dan siang

Perbedaan siang dan malam:

  1. Malam itu gelap dan siang itu terang, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang benderang” (Al-Isra: 12).
  2. Terkadang malam lebih panjang dan terkadang siang lebih panjang dan terkadang sama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Allah (kuasa) memasukan malam ke dalam siang dan memasukan siang ke dalam malam” (Al-Hajj: 61).
  3. Perbedaan keduanya dalam hal panas dan dingin, terkadang dingin dan terkadang panas.
  4. Dari segi subur dan kering terkadang dunia ini kering, panas bertahun-tahun dan terkadang subur bersemi dan luas.
  5. Perbedaan keduanya dalam masa perang dan damai, terkadang dunia ini berkecamuk perang, terkadang pula dalam keadaang damai, terkadang menang menjadi mulia dan terkadang kalah terhina, sebagaimana firman Allah: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran” (Ali-‘Imran: 14).
  • Barangsiapa yang merenungi perbedaan siang dan malam maka ia akan menemukan tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala yang tidak akan dapat dijangkau oleh akal-akal.
  • Firman Allah Ta’ala, “Sebagai tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir“, yakni bagi orang yang mempergunakan akalnya.
  • Kecerdasan itu berbeda dengan akal. Terkadang seorang cerdas namun gila dalam tingkah lakunya. Maka akal adalah yang mencegah dari tingkah laku yang jelek walaupun dia bukan seorang yang cerdas.
  • Semua orang kafir walaupun mereka cerdas, namun mereka bukanlah orang yang berakal, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ شَرَّ ٱلدَّوَآبِّ عِندَ ٱللَّهِ ٱلصُّمُّ ٱلْبُكْمُ ٱلَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan tidak memahami kebenaran) yaitu orang-orang yang tidak mengerti. (Al-Anfal: 22)

  • Ulul Albab adalah orang-orang yang berakal yang berfikir tentang penciptaan langit dan bumi, melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan merenunginya, serta menjadikan bukti yang mengokohkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Maka hendaklah kamu terus berusaha memikirkan alam semesta disertai dengan tadabbur.

Wallahu Ta’ala A’lam

An-Nisa Ayat 97-100: Kewajiban Berhijrah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

٩٦ إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمْ قَالُوا۟ فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا۟ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ قَالُوٓا۟ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةًۭ فَتُهَاجِرُوا۟ فِيهَا ۚ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ٩٧ إِلَّا ٱلْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلْوِلْدَٰنِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةًۭ وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًۭا ٩٨ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًۭا ٩٩ ۞ وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًۭا كَثِيرًۭا وَسَعَةًۭ ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ ٱلْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا ١٠٠

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa Ayat 97-100)

Tafsir Ayat 97:

Ancaman yang keras ini ditujukan kepada orang yang meninggalkan hijrah hingga ia meninggal padahal ia mampu melakukannya, sesungguhnya para malaikat yang mencabut nyawanya mencelanya dengan celaan yang keras tersebut, mereka berkata kepadanya, فِيْمَ كُنْتُمْ “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” maksudnya, dalam kondisi bagaimana kalian dahulu? Dan dengan apa kalian berbeda dengan kaum musyrikin? Akan tetapi kalian hanya menambah jumlah kekuatan mereka, dan kemungkinan kalian membantu mereka untuk melawan kaum Mukminin, dan hilanglah dari kalian kebaikan yang banyak dan kesempatan berjihad bersama Rasulullah ﷺ serta berada dengan kaum Mukminin dan membantu mereka untuk melawan musuh-musuh mereka, قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِي الأَرْضِ “mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)‘.” Maksudnya, kami adalah orang-orang yang lemah dan tertindas serta dizhalimi, kami tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah, padahal mereka tidaklah jujur dalam hal tersebut, karena Allah ﷻ telah mencela dan mengancam mereka, dan Allah ﷻ tidaklah membebankan sesuatu atas seseorang kecuali yang mampu dilakukannya, dan Allah ﷻ mengecualikan orang-orang yang benar-benar tertindas, oleh karena itu malaikat berkata kepada mereka, أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا “Bukankah bumi Allah ﷻ itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Ini merupakan pertanyaan pemantapan, artinya sesungguhnya telah pasti bagi setiap orang bahwa bumi Allah ﷻ itu luas, maka di manapun seorang hamba berada dan ia tidak mampu meninggikan agama Allah ﷻ di sana, ia memiliki keluasan dan kemudahan pada bumi Allah ﷻ yang lain di mana ia mampu beribadah kepada Allah ﷻ di tempat itu, sebagaimana Allah ﷻ berfirman,

يَا عِبَادِيَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُوْنِ
Hai hamba-hambaKu yang beriman, sesungguhnya bumiKu luas, maka sembahlah Aku saja.” (Al-Ankabut: 56).

Allah ﷻ berfirman tentang orang-orang yang tidak memiliki udzur tersebut, فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا “Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali,” hal ini sebagaimana yang telah berlalu mengandung ungkapan penjelasan tentang sebab yang mengakibatkan hal tersebut, dan terkadang juga tuntutannya telah ada dengan adanya syarat-syaratnya dan tidak adanya penghalang-penghalangnya atau terkadang juga ada penghalang yang merintanginya.

Ayat ini merupakan sebuah dalil bahwa hijrah adalah di antara kewajiban yang paling besar, dan meninggalkannya adalah suatu hal yang diharamkan bahkan termasuk dosa-dosa besar. Dan ayat ini juga sebuah dalil bahwa setiap orang yang meninggal telah memenuhi dan melengkapi apa yang ditakdirkan untuknya berupa rizki, ajal, dan perbuatannya, ini diambil dari lafazh تَوَفَّهُمْ “diwafatkan,” yang menunjukkan akan hal tersebut, karena apabila masih tersisa sesuatu pun dari perkara-perkara tersebut, maka ia belum dikatakan telah memenuhinya. Ayat ini juga isyarat tentang keimanan kepada malaikat dan pujian kepada mereka, karena Allah ﷻ telah menjadikan percakapan itu dari mereka dalam bentuk penetapan dan kebaikan dari mereka serta kecocokannya dengan kondisinya.

Tafsir Ayat 98 – 99:

Kemudian Allah ﷻ mengecualikan orang-orang yang benar-benar tertindas, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah dalam bentuk apa pun, وَلا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلَا “dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” Allah ﷻ berfirman tentang mereka, فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُوْرًا “Mereka itu, mudah-mudahan Allah ﷻ memaafkannya. Dan Allah ﷻ Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,” kata عَسَى “Mudah-mudahan” dan semacamnya menunjukkan kepastian terjadinya (jika bersumber) dari Allah ﷻ karena tuntutan kemuliaan dan kebaikanNya. Dan pengharapan akan pahala dari orang-orang yang melakukan beberapa perbuatan mengandung faidah, yaitu bahwa orang tersebut bisa jadi tidak benar-benar memenuhinya, dan tidak melakukannya menurut bentuk yang sesuai dari yang diinginkan, akan tetapi ia lalai, maka tidaklah ia berhak mendapatkan pahala tersebut, Wallahua’lam.

Di dalam ayat yang mulia ini terdapat sebuah dalil bahwa orang yang tidak mampu mengerjakan suatu perintah berupa kewajiban atau selainnya, maka sesungguhnya ia dimaafkan, sebagaimana Allah ﷻ berfirman tentang orang-orang yang tidak mampu berjihad,

لَيْسَ عَلَى الأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang).” (Al-Fath: 17).

Dan Allah ﷻ berfirman tentang keumuman segala perintah,

فَاتَّقُوْا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah ﷻ menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16).

Nabi ﷺ bersabda,

إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
Apabila aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah perkara itu menurut kesanggupanmu.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337)

Akan tetapi tidaklah seorang manusia itu dimaafkan kecuali setelah ia mengerahkan segenap kemampuannya, namun tertutup baginya segala pintu-pintu usaha, atas dasar FirmanNya, لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيْلَةً “Yang tidak mampu berdaya upaya.

Ayat ini juga menyimpan suatu isyarat bahwa dalil tentang haji dan umrah -dan semacamnya dari perkara yang butuh perjalanan- di antara syarat menunaikannya adalah kemampuan.

Tafsir Ayat 100:

Ayat ini sebagai suatu penjelasan tentang anjuran untuk berhijrah dan dorongan kepadanya serta penjelasan tentang kemaslahatan yang terkandung di dalamnya, dan Allah ﷻ Yang Maha menepati janji itu telah menjanjikan bahwa barangsiapa yang berhijrah di jalanNya dengan hanya mengharap keridhaanNya, ia akan mendapatkan tempat yang luas dan rizki yang melimpah, tempat yang luas itu mencakup kemaslahatan-kemaslahatan agama, dan rizki yang melimpah mencakup kemaslahatan-kemaslahatan dunia, yang demikian itu ketika sebagian besar manusia mengira bahwa berhijrah itu akan mengakibatkan perpecahan setelah kebersamaan, kefakiran setelah kekayaan, keterhinaan setelah kemuliaan dan kesusahan setelah kelapangan, padahal hijrah itu tidaklah demikian, karena sesungguhnya seorang Mukmin selama ia masih berada di antara kaum musyrikin, maka agamanya berada dalam kondisi sangat kritis, tidak hanya pada ibadah-ibadahnya yang pribadi seperti shalat dan semacamnya, dan tidak juga pada ibadah-ibadahnya yang berhubungan dengan orang seperti jihad dengan perkataan maupun perbuatan dan hal-hal yang mengikutinya, karena ia tidak mampu melakukan hal tersebut, dan ia berada dalam sasaran empuk dalam perkara agamanya, khususnya jika termasuk dari orang-orang yang tertindas, namun bila ia berhijrah di jalan Allah ﷻ, niscaya ia mampu menegakkan agama Allah ﷻ dan berjihad melawan musuh-musuh Allah ﷻ dan memerangi mereka, sesungguhnya al-muraghamah itu adalah sebuah kata komprehensif yang mencakup segala hal yang membuat marah musuh-musuh Allah ﷻ berupa perkataan dan perbuatan, dan juga mengakibatkan perolehan rizki yang luas, dan sesungguhnya apa yang dikabarkan oleh Allah ﷻ tersebut benar-benar telah terjadi.

Maka ambillah pelajaran tersebut dari para sahabat radhiallahu ‘anhum, sesungguhnya mereka ketika berhijrah di jalan Allah ﷻ dan meninggalkan negeri, anak-anak, serta harta mereka karena Allah ﷻ, sempurnalah iman mereka dengannya, dan mereka memperoleh keimanan yang sempurna, jihad yang besar, dan pembelaan terhadap agama Allah ﷻ, di mana mereka menjadi para pemimpin bagi orang-orang setelah mereka, demikian juga mereka memperoleh hal-hal yang diakibatkan dari hal itu berupa kemenangan-kemenangan dan ghanimah-ghanimah, di mana mereka menjadi orang-orang yang paling kaya, dan demikianlah, setiap orang yang melakukan seperti apa yang mereka lakukan, niscaya ia akan memperoleh apa yang mereka peroleh sampai Hari Kiamat.

Kemudian Allah ﷻ berfirman, مَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ “Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah ﷻ dan RasulNya” yaitu bertujuan kepada Rabbnya, keridhaanNya dan kecintaan kepada RasulNya, pembelaan terhadap agama Allah ﷻ, dan bukan bertujuan selain itu, ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ “kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),” dengan terbunuh atau selainnya, فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ “maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah ﷻ,” yaitu sesungguhnya ia telah memperoleh pahala orang yang berhijrah yang telah mendapatkan maksudnya dengan jaminan dari Allah ﷻ, yang demikian itu karena ia telah berniat dan bertekad serta adanya tindakan memulai perbuatan tersebut, maka di antara rahmat Allah ﷻ kepadanya dan kepada orang-orang yang semisalnya bahwa Allah ﷻ memberikan pahala untuk mereka secara penuh walaupun mereka belum menyempurnakan perbuatannya, dan Allah ﷻ mengampuni apa yang terjadi dari mereka berupa kelalaian dalam berhijrah dan selainnya, karena itulah Allah ﷻ menutup ayat ini dengan dua namaNya yang mulia tersebut seraya berfirman, وَكَانَ اللَّهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا “Dan Allah ﷻ Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Allah ﷻ mengampuni bagi kaum Mukminin apa yang telah mereka lakukan berupa kesalahan-kesalahan, khususnya orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada Rabb mereka, Allah ﷻ Maha Penyayang terhadap seluruh makhluk dengan rahmat yang membuat mereka ada atau hidup, menyehatkan mereka, memberi rizki kepada mereka berupa harta, anak cucu, kekuatan dan lain sebagainya, Maha Penyayang terhadap kaum Mukminin di mana Allah ﷻ membimbing mereka kepada keimanan, mengajarkan mereka ilmu yang mengakibatkan keyakinan, memudahkan bagi mereka sebab-sebab kebahagiaan dan kemenangan, dan perkara yang membuat mereka memperoleh keuntungan yang besar, mereka akan melihat di antara rahmat dan karuniaNya yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbesit pada hati seorang manusia pun. Kita memohon kepada Allah ﷻ agar tidak menahan kebaikanNya karena keburukan yang ada pada diri kita.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Sumber:

Quran Tadabbur, https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bekalislam.qurantadabbur

Tafakkur Terhadap Amal Ibadah yang Telah Dilakukan.

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah

Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 9 Memikirkan Kekuasaan Allah, Fananya Dunia, Kesulitan-Kesulitan di Akhirat, Pengendalian dan Pendidikan Jiwa, Serta Membimbingnya untuk Istiqamah.

Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Tafakkur

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَآ أَعِظُكُم بِوَٰحِدَةٍ ۖ أَن تَقُومُوا۟ لِلَّهِ مَثْنَىٰ وَفُرَٰدَىٰ ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا۟

“Aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad)” (QS. Saba’: 46)

Penjelasan:

Tafakkur adalah berkonsentrasi untuk berpikir dan merenungkan suatu masalah hingga menghasilkan suatu kesimpulan atau hikmah darinya.

Makna ayat diatas, yakni wahai Muhammad katakanlah kepada semua manusia, “Aku tidak memberikan nasihat kepada kalian kecuali dengan satu hal saja, jika kalian mengerjakannya maka kalian akan mendapatkan apa yang kalian harapkan dan selamat dari yang menakutkan.” Nasihat itu adalah firman Allah, “Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kamu pikirkan.” (QS. Saba’: 46)

Supaya kamu menghadap Allah,” dengan ikhlas kepada-Nya, lalu kamu melaksanakan ketaatan kepada Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada kamu dengan penuh keikhlasan, kemudian renungkanlah.

Pada ayat ini ada isyarat yang menunjukkan bahwa jika seseorang melaksanakan suatu pekerjaan hendaklah ia memikirkan apa yang ia lakukan dengan amal itu; Apakah ia telah melaksanakannya sesuai dengan yang diperintahkan, mengurangi, atau menambah. Apakah amal yang dilakukan itu dapat menyucikan hati dan menbersihkan jiwa atau tidak. Jangan seperti orang yang melakukan kesalehan sebagai rutinitas sehari-hari tanpa pernah merenungkannya. Oleh karena itu renungkanlah ibadah yang telah kamu lakukan, seberapa jauh pengaruhnya terhadap hatimu dan keistiqamahanmu.

Misalnya dalam ibadah shalat, Allah Ta’ala berfirman:

وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا

Dan memohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat” (QS. Al-Baqarah: 45)

Maka, hendaklah kita berfikir, apakah jika kita shalat akan menambah kekuatan dan semangat kita dalam melakukan amal shaleh ataukah tidak.

Firman Allah Ta’ala:

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ

Dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar“(QS. Al-‘Ankabut: 45)

Maka lihatlah shalatmu, apakah kamu jika shalat, kamu mendapatkan jiwamu membenci kemungkaran dan kemaksiatan atau shalat tidak memberikan faedah dalam hal ini.

Contoh lain dalam masalah zakat, yaitu harta yang wajib dikeluarkan zakatnya kepada orang-orang yang telah diperintahkan Allah. Allah Ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةًۭ تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103)

Jika kamu telah menunaikan zakat, maka lihatlah zakat telah mensucikan dari akhlak-akhlak yang tercela dan dosa? Apakah hartamu telah bersih?.

Banyak orang yang menunaikan zakat, seakan-akan zakat adalah utang yang harus dilunasi, sehingga hatinya tidak menyukainya, tidak merasa bahwa harta itu dapat membersikahnnya, dan mensucikan jiwanya.

Ini adalah nasihat agung yang jika seseorang ternasehati dengannya maka akan bermanfaat baginya dan akan baik keadannya.

Kami memohon kepada Allah semoga Dia memperbaiki amal-amal dan keadaan kita.

Wallahu Ta’ala A’lam