Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu, dan Sejenisnya – Dalil Ke-2

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 8: Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu, dan Sejenisnya

Dalil Ke-2:

Dari Abu Waqid Al-Laitsiy, beliau berkata, “Kami keluar (untuk berperang) bersama Rasulullah ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (baru memeluk Islam). (Ketika itu) kaum musyrikin mempunyai sebatang pohon bidara tempat mereka berdiam diri dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka. (Pohon) itu dinamakan Dzatu Anwath. Oleh karena itu, tatkala melewati sebatang pohon bidara, kami pun berkata, “Wahai Rasulullah buatkanlah Dzatu Anwath untuk kami sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah bersabda, “Allahu Akbar – Sungguh itu merupakan tradisi (orang-orang sebelum kalian)-. Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian berkata seperti Bani Israil berkata kepada Musa, ‘Buatkanlah sembahan untuk kami sebagaimana mereka mempunyaia sembahan-sembahan. ‘Musa menjawab, ‘Sungguh kalian adalah kaum jahil.’ Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian‘.”.


Biografi

Abu Aqid Al-Laitsiy adalah Al-Harits bin ‘Auf, seorang sahabat yang terkenal, meninggal pada 68 H dalam usia delapan puluh lima tahun.

Makna Hadits Secara Global

Abu Waqid mengabarkan suatu kejadian yang mengandung hal yang menakjubkan juga nasihat. Yaitu, mereka berperang bersama Rasulullah melawan suku Hawazin, sedang mereka baru saja memeluk Islam sehingga perkara kesyirikan tersembunyi bagi mereka. Ketika melihat perbuatan kaum musyrikin berupa meminta berkah kepada pohon, mereka pun meminta kepada Rasulullah agar dibuatkan pohon yang sama. Maka, Rasulullah bertakbir sebagai pengingkaran terhadap permintaan mereka dan pengagungan kepada Allah serta sebagai bentuk keheranan atas ucapan tersebut. Rasulullah juga mengabarkan bahwa ucapan (meminta dibuatkan pohon) itu menyerupai ucapan kaum (Nabi) Musa kepada Musa, “Jadikanlah bagi kami sembahan sebagaimana mereka mempunyai sembahan,” ketika (kaum Nabi Musa) melihat penyembah patung, juga (mengabarkan) bahwa permintaan mereka untuk dibuatkan pohon Dzatu Anwath berjalan di atas jalan (kaum Nabi Musa). Kemudian, Rasulullah mengabarkan bahwa umat ini akan mengikuti jalan orang-orang Yahudi dan Nashara, akan menempuh manhaj-manhaj orang-orang itu, dan mengerjakan perbuatan (orang-orang) tersebut. Itu adalah kabar yang bermakna celaan dan peringatan terhadap perbuatan tersebut.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Dalam hadits tersebut, terdapat dalil bahwa mencari berkah kepada pohon dan selainnya tergolong sebagai kesyirikan dan peribadahan kepada selain Allah.

Faedah Hadits

  1. Bahwa mencari berkah kepada pepohonan tergolong sebagai kesyirikan, demikian kepada bebatuan dan selainnya.
  2. Bahwa orang yang berpindah dari kebatilan -yang sudah menjadi adat kebiasannya- tidaklah aman dari masih adanya sisa-sisa kebiasaan tersebut di dalam hatinya.
  3. Bahwa sebab terjadinya peribadahan kepada patung adalah karena pengagungan dan beri’tikaf di sisi (patung) serta mencari berkah kepada (patung) itu.
  4. Bahwasannya manusia kadang beranggapan baik kepada sesuatu yang dia sangka dapat mendekatkannya kepada Allah, padahal sesuatu itu justru menjauhkannya dari Allah.
  5. Bahwasannya seorang muslim seyogyanya bertasbih dan bertakbir ketika mendengar sesuatu yang tidak pantas diucapkan dalam agama atau ketika mendengar sesuatu yang mengherankan.
  6. Pengabaran tentang terjadinya kesyirikan pada umat ini, dan sungguh (hal itu) telah terjadi.
  7. Menunjukkan salah satu tanda kenabian , yaitu terjadinya kesyirikan pada umat ini sebagaimana yang beliau kabarkan.
  8. Larangan menyerupai orang-orang jahiliyah, Yahudi, dan Nasrani, kecuali hal-hal yang dalil tunjukan bahwa hal itu termasuk ke dalam agama kita.
  9. Bahwa yang dianggap dalam hukum adalah makna, bukan nama, karena Nabi telah menjadikan permintaan mereka seperti permintaan Bani Israil dan tidak melihat keadaan mereka, yang (Bani Israil) menamakan (sembahan)nya dengan Dzatu Anwath.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi HafizahullahBab 8 Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu dan Sejenisnya

Abu Aqid Al-Laitsiy adalah Al-Harits bin ‘Auf, seorang sahabat yang terkenal, meninggal pada 68 H dalam usia delapan puluh lima tahun. Beliau sudah masuk Islam sebelum fatthu Mekkah dan membawa bendera dari sukunya.

Dalam riwayat lain disebutkan mereka berperang setelah penaklukan mekkah dan jumlah mereka lebih dari seribu.

Pohon bidara yang dijadikan sesembahan dinamakan Dzatu Anwath. Dinamakan demikian karena banyaknya senjata yang digantung pada pohon tersebut.

Kaum musyrikin beritikaf di Dzatu Anwath. Itikaf merupakan salah satu bentuk ibadah. Dengan tujuan untuk mencari keberkahan.

Mereka menggantung senjata-senjatan nya di Dzatu Anwath untuk mengharapkan berkah.

Sebab-sebab melakukan kesyirikan:

  1. Taqlid, Ikut-ikutan
  2. Jahil terhadap agama
  3. Ghuluw terhadap orang-orang shaleh
  4. Tasyabuh terhadap orang-orang kafir
  5. Mengagungkan dari peninggalan-peninggalan

Awal sejarah masuknya kesyirikan adalah Amar bin Nuaim yang menemukan berhala-berhala yang sudah tertanam dibawah pasir. Beliau sedang tidur didaerah situ, kemudian syaitan mendatanginya lewat mimpi. Kemudian membawa berhala tersebut kebangsa Arab dan diibadahi.

Mereka yang baru masuk Islam ingin dibuatkan pohon yang bisa dipakai itikaf dan digantungkan senjata seperti Dzatu Anwath. Udzurnya disini adalah dikarenakan mereka baru masuk Islam.

Rasulullah berkata “Allahu Akbar”, sebagian riwayat “Subhanallah”. Hal dikatakan karena keheranan kenapa bisa seperti ini.

Nabi mengabarkan akan datang orang-orang yang mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.

Ucapan ini seperti apa yang diucapkan bani israil kepada Nabi Musa.

Yang dilihat adalah Hakikat, sebagaimana shabat ingin dibuatkan pohon Dzatu Anwath, tapi Nabi mengukumi ucapan itu sema seperti ucapan Bani Israil yaitu “Buatkan untuk kami berhala (sesembahan). Kesamaannya adalah mereka sama-sama meminta menjadikan sesuatu yang diibadahi selain Allah.

Sama halnya dengan orang masa kini bahwa mereka beribadah hanya kepada Allah, tapi mereka pergi kekuburan untuk mendekatkan diri. Sehingga hakikatnya adalah sama.

Kekeliuran dalam Tabaruk

Sebagian orang ada yang membolehkan bertabaruk dengan orang yang shaleh (jejaknya dan bekasnya).

Imam Nawawi menyebutkan dalam sebagian hadits, diantaranya ketika Nabi mentahnik Abdullah bin Tolha, Imam Nawawi membolehkan meminta hal seperti itu kepada orang shaleh. Ini adalah hal yang dianggap keliru oleh para ulama, dikarenakan:

  1. Berbeda antara Nabi dan orang Shaleh. Tidak ada orang shaleh yang sampai sederejat dengan Nabi. Ada yang terkait dengan Nabi tapi khusus untuk Nabi, seperti Nabi meludah, para saahabat berebut. Ini adalah kekhususan untuk Nabi.
  2. Andaikata benar bahwa ada orang shaleh, maka perlu dalil khusus.
  3. Para sahabat tidak pernah melakukan hal yang seperti itu. Hanya nabi saja yang diperlakukan seperti itu.

Pembahasan:

Pertama: Penafsiran ayat surah An-Najm

Al-Lat adalah nama batu atau nama orang yang diagungkan kuburnya.

Al-Uzza adalah nama pohon.

Al-Manat adalah nama berhala.

Sehingga bertabaruk dengan bebatuan dan pepohonan termasuk kepada kesyirikan.

Kedua: Pengenalan bentuk perkara/pengharapan yang mereka minta

Mereka meminta dijadikan untuk mereka pohon untuk mereka bertabarruk dengannya.

Ketiga: Keberadaan mereka yang belum melakukannya.

Para sahabat baru meminta belum melakukan bertabarruk kepada pohon. Mereka menyangka itu bagus. Mereka tidak melakukan karena Nabi melarangnya dan mereka taat kepada nabi.

Orang yang baru belajar belum tahu perkara-perkara. Begitu mengetahuinya, hukumnya maka ditinggalkan.

Keempat: Keberadaan mereka yang menghendaki taqarrub (pendekatan diri / peribadahan) kepada Allah dengan hal itu karena persangkaan mereka bahwa Allah mencintainya.

Mereka ketika meminta kepada Nabi agar menjadikan pohon untuk bertabarruk, mereka menganggap bahwa hal tersebut mendekatkan diri mereka kepada Allah. Tidak mungkin shahabat meminta sesuatu untuk bermaksiat, apalagi berbuat kesyirikan.

Kelima: Sesungguhnya, jika mereka tidak mengetahui hal ini, selain dari mereka lebih patut atas ketidaktahuan tersebut.

Apabila para shahabat meminta seperti ini karena sangkaan mereka untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dan mereka tidak tahu tentang hal tersebut, maka selain dari para shahabat lebih pantas untuk tidak mengetahui akan hal ini.

Keenam: Mereka dijanjikan kebaikan dan janji mendapatkan ampunan yang janji tersebut tidak diberikan kepada selain mereka.

Para sahabat dijanjikan kebaikan dan pengampunan dan mereka bersama Nabi , yang tidak dimiliki oleh yang lain. Akan tetapi Nabi tetap menegur para sahabat. Sehingga apabila terjadi bukan para sahabat maka akan lebih ditegur dan diingkari lagi.

Ketujuh: Bahwa Nabi tidak memberi udzur bagi mereka terhadap perkara tersebut, tetapi beliau menyanggah mereka dengan sabda beliau , “Allahu Akbar, sesungguhnya hal tersebut adalah tradisi orang-orang sebelum engkau. Sungguh kalian akan mengikuti tradisi-tradisi kaum sebelum kalian.” Oleh karena itu, beliau menegur keras perkara tersebut dan tiga hal ini.

Nabi menegur dengan tiga hal:

  1. Bertakbir, menunjukan pengingkaran
  2. Itu adalah jalannya orang sebelum kalian.
  3. Sungguh kalian akan mengikuti jalan mereka.

Kedelapan: Perkara besar -yang menjadi tujuan hadits-: beliau () mengabarkan bahwasannya permintaan mereka serupa dengan permintaan Bani Israil ketika mereka mengatakan kepada Musa. Firman Alla Ta’ala yang artinya “Adakanlah suatu sembahan bagi kami” (Al-A’raf: 138).

Maksudnya bahwa para sahabat yang meminta pohon untuk dijadikan berkah, hal ini diserupakan dengan permintaan Bani Israil yang meminta sesembahan. Apabila kita sudah jelas akan hakikat kesyirikan maka apabila berubah bentuk dan penamaan kita akan mengetahui hakikatnya.

Terdapat pengajaran dari Nabi bahwa mengingkari sesuatu dengan dalil agar lebih kuat dan diterima.

Kesembilan: Peniadaan hal ini adalah tergolong sebagai bagian dari makna La Ilaha Illallah, bersamaan dengan kedalaman dan kesamaran (hal tersebut) bagi mereka.

Nabi mengingkari orang yang meminta pohon untuk bertabarruk, merupakan sebagian bagian dari makna La Ilaha Illallah, yaitu An-Nafi (penafikan).

Tidak meyakini keberkahan pada pepohonan, batuan, dan selainnya, itu adalah bagian dari makna La Ilaha Illallah. Andaikata tidak bertentangan dengan makna La Ilaha Illallah, maka Nabi tidak akan mengingkari mereka.

Shahabat saja luput dalam hal ini, bagaimana pula dengan yang bukan sahabat?. Bahkan orang yang berilmu juga bisa luput dalam hal ini, bagaimana pula dengan orang awam?

Kesepuluh: Bahwa beliau () bersumpah atas fatwa, sedang beliau tidak akan bersumpah, kecuali untuk kemaslahatan.

Rasulullah bersumpah “demi jiwaku berada ditangannya”, menunjukkan penting dan besarnya masalah ini.

Kesebelas: Syirik terbagi menjadi syirik besar dan syirik kecil. (Hal ini) karena mereka (para sahabat) tidaklah menjadi murtad karena perkara ini.

Kedua belas: Perkara mereka (para sahabat), “Kami baru-baru saja meninggalkan masa kekufuran,” menunjukkan bahwa selain mereka tidaklah ‘jahil’ akan hal itu.

Maksudnya sahabat yang sudah lama masuk Islam mengetahui bahwa itu adalah hal yang keliru. Perkara ini hanya terjadi kepada para sahabat yang baru masuk Islam.

Ketiga belas: Bertakbir karena ada sesuatu yang mengejutkan. (Hal ini) berbeda dengan pendapat yang menganggapnya makruh.

Bertakbir dibolehkan apabila takjub pada sesuatu karena Nabi melakukannya. Bukan seperti orang jaman sekarang yang ikut-ikutan bertakbir di jalanan.

Keempat belas: Kaidah “saddu adz-dzara’i” pencegahan dini dengan menutup segala sarana.

saddu artinya mencegah. dzara’i artinya yang bisa membawa. Sehingga artinya pencegahan dini dengan menutup segala sarana yang bisa mengantar kepada hal yang dilarang.

Hadits ini termasuk pada saddu adz-dzara’i, begitu sahabat meminta pohon untuk dibuat bertabaruuk, maka Nabi langsung mengingkarinya agar tidak menjurus kepada perbuatan.

Kaidah ini merupakan salah satu pembahasan pokok di berbagai tempat. Ibnu Qoyim menyebutkan 99 dalil untuk kaidah saddu adz-dzara’i ini.

Kelima belas: Larangan terhadap menyerupakan diri dengan kaum jahiliyah.

Larangan tasyabuhnya yaitu melarang mengikuti orang jahilyah dalam bertabarruk dengan pohon. Dan Nabi mengabarkan bahwa ini adalah jalannya orang musyrikin sebelum mereka.

Ini juga kaidah larangan bertasyabuh dengan orang jahiliyah, kufur, dan syirik.

Keenam belas: -Menampakan- kemarahan pada saat pengajaran.

Menampakan kemarahan ketika pengajaran dibolehkan. Nabi mengingkari dengan perkataan Allahu Akbar yang menunjukkan kemarahan beliau akan terjadinya hal tersebut.

Ketujuh belas: Kaidah umum pada sabda beliau (), “Sesungguhnya hal tersebut adalah tradisi

Kaidah menyeluruh bahwa apa saja dari jalan (tradisi) orang-orang kafir adalah tercela.

Kedelapan belas: Perkara ini adalah salah satu dari sekian tanda kenabian karena hal tersebut terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan.

Nabi pernah mengabarkan bahwa “mereka akan mengikuti jalan orang-orang sebelum mereka” dan terjadi pada kejadian ini. Ini menunjukkan tanda kenabian , yaitu nabi mengabarkan sesuatu yang akan terjadi dan terjadi sebagaimana yang nabi kabarkan.

Kesembilan belas: Segala sesuatu, yang dengannya Allah mencela kaum Yahudi dan Nashara di dalam Al-Qur’an, juga berlaku bagi kita.

Ketika para sahabat berkata “Jadikan untuk kami Dztu Anwath, ya Rasulullah, sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.” Nabi menyebutkan celaan Allah Ta’ala terhadap Bani Israil didalam Al-Qur’an. Nabi Musa berkata kepada mereka “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)” (Al-A’raf: 138) . Maka celaan terhadap kaum Yahudi dan Nashara di dalam Al-Qur’an, maka juga berlaku bagi kita.

Seperti ayat yang artinya “Wahai Ahlu Kitab janganlah extrim dengan agama kalian”. Maka larangan ini tidak berlaku bagi ahlul kitab saja, tapi juga berlaku bagi kita, dilarang ekstrim dalam agama.

Kedua puluh: Sesuatu yang baku menurut mereka (sahabat) bahwa setiap bentuk peribadahan berdasarkan pada perintah (syar’i). Dengan demikian, hadits tersebut mengandung penegasan akan pertanyaan-pertanyaan di kubur. Adapun (pertanyaan) “siapa Rabb-mu?” adalah sesuatu yang jelas adanya. Pertanyaan “siapa Nabi-mu?” adalah berupa pengabaran beliau () akan berita-berita gaib. Sementara itu, pertanyaan “apa agama-mu?” adalah disadur dari perkataan mereka, “Adakanlah suatu sembahan bagi kami.” (Al-A’raf: 138) hingga akhir.

Para sahabat mempunyai kaidah dalam melaksanakan peribadahan harus ada perintah (syar’i) atau dalil. Maka berdasarkan kaidah ini, haditst ini mengandung penegasan akan pertanyaan-pertanyaan di alam kubur. Di alam kubur harus menjawab pertanyaan berdasarkan apa yang dia yakini.

Para sahabat ketika ingin Dztu Anwath, mereka tidak langsung melakukan. Akan tetapi bertanya dulu kepada Nabi . Sudah tetap dalam diri para sahabat bahwa tidak boleh melakukan sesuatu sebelum ada perintah. Dan tidak boleh mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam hal apapun. Ketika Nabi melarang, maka mereka tidak melakukannya.

Ada tiga pertanyaan kubur: “Siapa Rabbmu, Siapa Nabimu, dan apa agamamu?” Pertanyaan ini tercakup dalam hadits. Adapun pertanyaan siapa Rabbmu? adalah sesuatu yang sudah jelas karena mereka tidak mengatakan bahwa pohon itu dapat mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan. Mereka mengetahui bahwa yang mencipta, memberi rezki, menghidupkan, dan mematikan hanyalah Allah Ta’ala. Sehingga ini sudah jelas diketahui oleh para sahabat dan mereka tidak bertanya tentang itu.

Adapun pertanyaan, “siapa Nabimu?” Nabi mengabarkan tentang hal yang ghaib menunjukkan tanda kenabian beliau. Menunjukkan bahwa yang mereka lakukan sama dengan perbuatan Bani Israil.

Kemudian pertanyaan yang ketiga, apa agama-mu?. yaitu diambil dari ucapan mereka “Jadikan kami sembahan …(sampai akhir).” Bagaimana diingkari mereka menjadikan dzatu anwath sama dengan ucapan Bani Israil. Dilarang karena bertentangan dengan agama Islam. Maka agama Islam adalah hati yang selalu menghadap kepada Allah Ta’ala dalam segala keadaan. Hal ini berbeda dengan agama kaum musyrikin. Maka ini adalah penjelasan mengenai pertanyaan “Apa Agama mu?”

Penulis membahas Bab ini ringkas tapi mendetail yaitu didalamnya ada peringatan mengenai pertanyaan di alam kubur. Sebenarnya kalau kita memperhatikan surah-surah Al-Quran mencakup pertanyaan di alam kubur. Misalnya surat Al-Fatihah didalamnya ada penjelasan siapa Allah: Rabbul ‘Alamin dan sifat-sifatnya. Kemudian tentang Nabi pada ayat yang artinya “Tunjukanlah jalan yang lurus”, yaitu yang ditunjukan oleh Nabi . Dan ayat terakhir surat al-fatihah, menunjukkan bahwa Islam berbeda dengan Yahudi dan Nashara.

Kedua puluh satu: Sesungguhnya tradisi ahli kitab adalah tercela sebagaimana halnya tradisi kaum musyrikin.

Begitu dicela perbuatan mereka meminta dzatu anwath, disebutkan bahwa hal tersebut sama dengan perbuatan bani israil dan kaum musyrikin.

Kedua puluh dua: Seseorang yang berpindah dari kebatilan, yang hatinya telah terbiasa dengan kebatilan tersebut, tidaklah aman bila dihatinya masih terdapat sisa-sisa kebiasaan tersebut. Hal ini berdasarkan perkataan mereka, “Kami baru-baru saja meninggalkan masa kekufuran”.

Mereka berkata “buatkan kami dzatu anwath?”. Udzurnya adalah karena kami baru saja masuk Islam. Mereka masih tersisa sebagian kebiasaan sebelum masuk Islam.

Seorang yang bertauhid harus berhati-hati yang terkadang muncul darinya tapi tidak menyadari. Terlebih apabila mempunyai masa lalu yang tidak bagus.

Juga terdapat kekeliruan da’i-da’i yang sebelum mengenal Sunnah, mereka mengenal jama’ah kelompok yang menyimpang terkait dengan pergerakan, pemikiran, pengkafiran, tasawuf. Maka apabila tidak mempelajari dengan mendetail, terkadang muncul kebiasaan lamanya.

Contohnya kelompok Ikhwanul Muslimin, yang mempunyai pemikiran mengenai kudeta terhadap pemerintah, mengangkat senjata, demonstrasi, pengkafiran, dan seterusnya. Setelah mengenal aqidah as-salaf tapi sering mengkritik pemerintah atau pengkafirkan orang yang berbuat dosa.

Setelah mengenal jalan as-sunnah terdapat kewajiban-kewajiban:

  1. Mempelajari ilmu yang benar
  2. Mempelajari aqidah dan manhaj as-salaf secara terperinci, jangan memahami secara global saja.
  3. Mempelajari akar-akar penyimpangan dahulu, agar bisa menghilangkan penympangan pemikiran dari dasarnya.

Ketiga hal kewajiban tersebut perlu diajari oleh guru yang baik.

Wallahu Ta’ala A’lam

Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu, dan Sejenisnya

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 8: Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu, dan Sejenisnya

Dalil Ke-1: Firman Allah Ta’ala,

أَفَرَءَيْتُمُ ٱللَّـٰتَ وَٱلْعُزَّىٰ ١٩ وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلْأُخْرَىٰٓ ٢٠ أَلَكُمُ ٱلذَّكَرُ وَلَهُ ٱلْأُنثَىٰ ٢١ تِلْكَ إِذًۭا قِسْمَةٌۭ ضِيزَىٰٓ ٢٢ إِنْ هِىَ إِلَّآ أَسْمَآءٌۭ سَمَّيْتُمُوهَآ أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ بِهَا مِن سُلْطَـٰنٍ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَمَا تَهْوَى ٱلْأَنفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَآءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ ٱلْهُدَىٰٓ ٢٣

Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lāta dan Al-ʻUzzā, dan Manāh yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (An-Najm: 19-23)


Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Bab ini merupakan kelanjutan penyebutan tentang kesyirikan-kesyirikan yang bisa menghilangkan tauhid atau kesempurnaan tauhid.

at-tabarruk‘: meminta/mencari, mengharapkan dan meyakini berkah tersebut.

wanahwi hima‘: dan apa saja yang menyerupai keduanya, berupa sebidang tanah, sebuah gua, kuburan, monumen, atau petilasan (jejak peninggalan sejarah).

al-laata‘: Dapat dibaca dengan memperingan (tanpa tasydid) huruf ta-nya, juga dapat dibaca dengan tasydid. Menurut bacaan yang pertama, itu adalah nama sebuah batu besar berwarna putih yang di atasnya dipahat sebuah rumah, dan terletak di Thaif. Adapun menurut bacaan kedua, itu adalah isim fa’il dari kata Latta yang merupakan sebutan bagi seorang laki-laki yang dahulu biasa membuat adonan roti bagi jamaah haji, kemudian dia meninggal, lalu orang-orang beri’tikaf di atas kuburannya.

al-‘uzza‘: nama suatu berhala yang berupa pohon Samur yang di sekelilingnya dibuat bangunan dan diberi kelambu, terletak di daerah antara Mekkah dan Thaif.

al-manat‘: nama suatu behala beraap patung yang berbentuk manusia, berada di daerah Al-Musyallal, antara Makkah dan Hudaibiyyah,

Makna Ayat-Ayat Secara Global

Allah meminta hujjah kepada kaum musyrikin tentang peribadahan mereka kepada benda yang tidak berakal, berupa ketiga berhala tersebut, apa yang kalian dapatkan dari (berhala-berhala) tersebut?!. Allah juga mencela mereka atas kecurangan yang mereka lakukan dalam pembagian, bahwa mereka menyucikan diri mereka terhadap kepemilikan anak perempuan dan menjadikan anak perempuan itu untuk Allah.

Kemudian, Allah meminta keterangan kepada mereka tentang kebenaran peribadahan kepada berhala-berhala tersebut, dan menjelaskan bahwa persangkaan dan keinginan jiwa tidak bisa dijadikan hujjah dalam permasalahan ini. Sesungguhnya hujjah dalam masalah itu hanyalah pada (risalah) yang para rasul bawa berupa keterangan-keterangan yang jelas dan hujjah-hujjah yang pasti tentang kewajiban kepada Allah semata dan meninggalkan peribadahan kepada patung.

Hubungan antara Ayat-Ayat dan Bab

Pada ayat ini, terdapat pengharaman mencari berkah kepada pepohonan dan batu-batuan serta penggolongan perbuatan tersebut sebagai kesyirikan. Sebab, sesungguhnya para penyembah patung-patung tersebut melakukan hal itu karena menyakini akan mendapatkan berkah dari patung-patung tersebut dengan cara mengagungkan dan berdoa kepada (patung-patung) itu. Maka, mencari berkah kepada kuburan sama seperti mencari berkah kepada Laata, sedangkan mencari berkah kepada pepohonan dan bebatuan sama seperti mencari berkah kepada Uzza dan Manah.

Faedah Ayat-Ayat

  1. Bahwasannya mencari berkah kepada pohon dan batu tergolong sebagai kesyirikan.
  2. Pensyariatan untuk membantah orang-orang musyrikin dalam membatalkan kesyirikan dan menetapkan tauhid.
  3. Bahwa hukum tidaklah ditetapkan, kecuali berdasarkan dalil dari (syariat) yang Allah turunkan, bukan semata-mata berdasarkan prasangka dan hawa nafsu.
  4. Bahwa Allah telah menegakkan hujjah dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab.

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi HafizahullahBab 8 Orang yang Mengharap Berkah kepada Pohon, Batu dan Sejenisnya

Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang hukum tabarruk (mengharap berkah) kepada pohon, bebatuan dan semisalnya. Bahwa hal ini termasuk dalam syirik akbar.

At-Tabarruk berasal dari kata Al-barakah yang berasal dari kata birka yang artinya tempat air berkumpul.

Pengertian Barakah

Secara bahasa al-barakah kembali pada dua makna:

  • Yang tetap dan terus menerus.
  • Berkembang dan bertambah.

Apabila Allah Ta’ala menjadikan sesuatu menjadi berkah, maka hal itu akan menjadi lebih baik, luas, dan berkembang. Sebagai contoh, kambing adalah hewan yang diberkahi karena dijadikan sebagai hewan qurban, pembayaran kafarah (sumpah, hadyu, fidyah).

Keberkahan ada yang terkait dengan agama dan ada yang terkait dengan dunia. Keberkahan yang paling besar adalah Al-Qur’an Al-Karim, yang merupakan rahmat untuk semesta alam dan berlaku untuk seluruh manusia yang sekarang dan yang akan datang, penyembuh segala penyakit, petunjuk pada setiap perkara.

Rasulullah dijadikan oleh Allah berkah. Dengan diutusnya beliau, ajaran yang beliau bawa. Juga beliau berkah pada dzatnya, perbuatannya, ucapannya, dan peninggalannya.

Demikian juga para Nabi yang lain juga diberkahi. Nabi Ibrahim Alaihi Salam, disebutkan keberkahan Nabi Isya Alaihi Salam dalam Al-Qur’an:

Demikian juga para Malaikat. Allah menjadikannya keberkahan terhadap kaum mukminin. Orang Shaleh juga ada keberkahan.

Keberkahan di Beberapa Masjid Terkemuka

Beberapa masjid memiliki keberkahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masjid lainnya. Misalnya, shalat di Masjid Al-Haram sama dengan 100 ribu kali shalat di masjid lain. Di Masjid Nabawi, shalat di sana nilainya seperti seribu kali shalat di masjid lainnya, kecuali Masjid Al-Haram. Sementara di Masjid Al-Aqsa, nilainya seperti 500 kali shalat di masjid lainnya, kecuali Masjid Al-Haram dan Nabawi. Meskipun begitu, semua masjid mengandung keberkahan di atas masjid lainnya, seperti halnya Masjid Quba.

Bulan Ramadhan penuh berkah karena berisi berbagai keberkahan. Lailatul Qadr juga penuh berkah. 10 hari pertama bulan Dzulhijah adalah hari-hari terbaik dalam kehidupan dunia dan penuh dengan keberkahan. Juga, hari-hari tasyrik, bulan-bulan haram, hari Jumat, senin/kamis, dan sepertiga malam terakhir.

Juga di tempat lain seperti Mekah, Madinah, dan Syam ada keberkahan. Keberkahan juga bisa dilihat dari turunnya hujan, pohon zaitun, susu, kuda, pohon kurma, dan madu.

Pengertian Tabarruk

Tabarruk berarti mencari berkah. Ini bisa dilakukan melalui ucapan, perbuatan, atau keyakinan.

Tabarruk dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Ada yang diperbolehkan dalam syariat, ada pula yang merupakan bentuk kesyirikan. Selain itu, ada juga tabarruk yang bersifat bid’ah dan khurafat.

Tabarruk yang disyariatkan:

  1. Tabarruk pada sesuatu yang Allah berkahi sebagaimana penjelasan diatas
  2. Tabarruk pada perkara yang dilarang.

Bagaimana cara membedakan kedua tabarruk tersebut? Jika ada aturan dari Allah Ta’ala, itu adalah tabaruk yang diperbolehkan. Selain itu, tabarruk itu tidak boleh dilakukan. Tabarruk yang tidak diperbolehkan dapat termasuk dalam perbuatan menyekutukan Allah atau tidak.

Tabarruk menjadi kesyirikan pada dua keadaan:

  1. Menjadi syirik akbar apabila meyakini pada perkara yang dia pakai bertabarruk dengan sendirinya memberi kebaikan. Seperti meyakini suatu pohon akan memberikan kebaikan atau meyakini batu yang menurunkan hujan. Juga termasuk menyembelih di suatu pohon untuk mencari keberkahan. Kaidahnya, menyekutukan selain Allah dengan Allah pada sesuatu yang merupakan kekhususan Allah Ta’ala.
  2. Menjadi syirik kecil pada dua bentuk:
    • Menjadikan apa yang bukan sebab keberkahan sebagai hal yang dia pakai untuk bertabarruk. Sebab keberkahan ada ketentuannya dalam syariat.
    • Menjadikan sebab keberkahan melebihi kadar yang diizinkan secara syar’i. Sebagai contoh diizinkan meminta doa kepada orang yang shalih ketika masih hidup. Namun apabila kita minta doa dan bersandar kepadanya, merasa tenang dengannya, maka ini masuk syirik asghar karena melebihi dari kadar yang diizinkan. Tapi apabila minta didoakan dan bersandar hanya kepada Allah, maka ini tidak ada masalah.

Dalil 1: Firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nazm ayat 19-23

Apakah Laata, Uzza, dan Manah bisa memberi manfaat dan memberi bahaya?. Kalian mengetahui bahwa ketiga ini bukan sesembahan kenapa kalian jadikan sekutu.

Disebutkan ketiga berhala ini karena ketiganya yang paling besar dan paling agung pada masa itu.

Al-Laata tanpa tasydid ada makna tersendiri dan apabila bertasydid, Laatta, ada makna lainnya. Dan in merupakan dua Qiraah bacaan Al-Qur’an. Laata adalah batu putih yang berukir, diatasnya ada rumah. Berata di kota Thaif. Ini adalah beribadah kepada batu.

Al-Laatta maka ibnu Abbas mengatakan bahwa itu adalah orang shalih dahulu yang membuat adonan terigu dengan air dibagikan untuk orang yang berhaji untuk makanan mereka. Maka dia adalah orang shalih dan baik yang membagikan makanan untuk jamaah haji. Maka setelah orang shalih ini meninggal, maka mereka menyembah kuburannya. Ini adalah beribadah kepada kuburan.

Al-Uzza, adalah sebuah pohon yang ada tirai-tirainya yang mengelilingi pohon. Al-Uzza berada di sebuah tempat yang bernama Al-Mudhoyyir, terletak antara Mekkah dan Thaif. Para kaum musyrikin mengaggungkan pohon ini. Pada saat perang Uhud, Abu Sofyan berkata kepada Nabi dan para sahabat, “Kami punya Uzza, dan tidak ada Uzza bagi kalian”. Maka Nabi memerintahkan para sahabat untuk membalasnya dengan mengatakan, “Bahwa Allah adalah maula (pelindung) kami sedangkan tidak ada maula bagi kalian”.

Ketika Nabi menaklukan Mekkah, beliau mengirim Khalid bin Walid untuk memotong pohon Al-Uzza dan menghancurkan bangunan yang ada disekitarnya. Maka Khalid melakukan perintah tersebut dan kembali kepada Nabi. Nabi memerintahkan Khalid untuk balik lagi karena sesungguhnya kamu belum buat apa-apa. Ketika Khalid kembali lagi ke tempat pohon Al-Uzza ditebang, ada seorang perempuan telanjang yang rambutnya telah terurai dan penuh tanah diwajahnya. Maka Khlaid membunuhnya. Kemudian Nabi bersabda, “Itulah Al-Uzza”. Terkadang ada Jin dipohon yang berbicara untuk menipu orang. Terkadang apa yang dibicarakan jin itu terjadi, hal ini membuat mereka tersesat. Yang hakikatnya adalah jin-jin yang menipu manusia.

Al-Maanah, berada di Al-Musyallal di antara Mekkah dan Madinah. Berhala ini dihormati oleh orang-orang Madinah. Ada yang mengatakan bahwa kabilah Ghafattan yang mengagungkannya karena letaknya di tempat tinggal mereka.

Apa yang kaum musyrikin sembah dari pepohonan dan bebatuan, maka tidak ada hujjah pada nya.

Kesesuian Ayat dengan Bab

  1. Bentuk ibadah kaum musryikin adalah hati-hati mereka menginginkan dan mengharapkan keberkahan dari apa yang mereka ibadahi: Laata, Uzza, Maanah.
  2. Memutus bahwa itu adalah ibadah yang bathil dan kesyirikan yang dilarang.

Wallahu Ta’ala A’lam


Atsar mengenai Tamimah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 7: Tentang Ruqiyah dan Tamimah

Dari Sa’id bin Jubair Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Siapa saja yang memutus suatu tamimah dari seseorang, tindakannya itu sama dengan memerdekakan budak.” Diriwayatkan oleh Waki’.

(Diriwayatkan) pula oleh (Waki’) dari Ibrahim bahwa (Ibrahim) berkata, “Mereka (yakni murid-murid Abdullah bin Mas’ud) membenci segala jenis tamimah, baik berupa (ayat-ayat) Al-Qur’an maupun selain (ayat-ayat) Al-Qur’an.”


Biografi

Waki’ adalah Waki’ bin Al-Jarrah, orang yang terperaya, seseorang imam dan pemilik banyak tulisan. Beliau meninggal pada 197 H.

Ibrahim adalah Imam Ibrahim An-Nakha’iy, seorang yang terpercaya dari kalangan tokoh ahli fiqih. Beliau meninggal pada 96 H.

‘setara dengan seorang budak’: artinya dia mendapat pahala seperti pahala orang yang memerdekakan budak.

Makna Kedua Atsar Secara Global

Pengabaran bahwa siapa saja yang melenyapkan sesuatau dari seseorang yang dia gantungkan pada dirinya untuk menolak bahaya, dia mendapat pahala seperti pahala orang yang memerdekakan seorang budak dari perbudakan terhadap (budak) itu. Sebab, dengan menggantungkan jimat, berarti ia telah mejadi penyembah syaithan sehingga, jika jimat tersebut telah dia putuskan, berarti ia telah melenyapkan perbudakan syaithan dari orang itu.

Ibrahim An-Nakha’iy menceritakan dari sebagaian tokoh tabi’in bahwa mereka memutlakan larangan penggantungan jimat, meskipun jimat itu hanya bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an saja, dalam rangka menutup pintu kesyirikan.

Hubungan antara Kedua Atsar dan Bab

Sangat jelas bahwa, pada dua atsar di atas, terdapat kisah larangan penggantungan jimat secara mutlak dari tokoh-tokoh mulia dari kalangan pemuka tabi’in

Faedah Kedua Atsar

  1. Keutamaan memutus jimat karena hal itu tergolong sebagai menghilangkan kemungkaran dan melepaskan manusia dari kesyirikan.
  2. Pengharaman menggantungkan jimat secara mutlak, meskipun (jimat) itu terbuat dari ayat-ayat Al-Qur’an, menurut sekelompok tabi’in.
  3. Semangat salaf dalam menjaga aqidah dari berbagai bentuk khurafat.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Larangan Menggelung Jenggot, Mengalungkan Tali Busur, Beristinja dengan Kotoran atau Tulang.

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 7: Tentang Ruqiyah dan Tamimah

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi’ Radhiyallahu Anhu bahwa (Ruwaifi’) berkata, “Rasulullah bersabda kepadaku,

Wahai Ruwaifi, barangkali engkau berumur panjang. Sampaikanlah kepada manusia bahwa siapa saja yang menggelung janggutnya, mengalungkan tali busur, atau beristinja’ dengan kotoran binatang atau dengan tulang, sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya‘.”


Biografi

Ruwaifi’ adalah Ruwaifi’ bin Tsabit bin As-Sakan bin ‘Ady bin Al-Harits, dari bani Malik bin An-Najjar Al-Anshary. Beliau pernah diangkat sebagai gubernur di Barqah dan Tharabulus dan menaklukan wilayah Afrika pada 47 H. Beliau meninggal di Barqah pada 56 H.

menggelung janggutnya’: dikatakan bahwa maknanya adalah perbuatan mereka dalam peperangan dengan memilih dan mengikat (janggut)nya untuk menyombongkan diri. Ada yang mengatakan bahwa yang diinginkan dengan hal itu adalah menata rambut (janggut) agar tergelung dan terkuncir mengikuti gata perempuan dan gaya hidup mewah. Ada yang mengatakan bahwa artinya adalah mengikat (janggut) ketika shalat, yakni mengumpulkan janggut (menyatukan janggut).

mengalungkan tali busur panah‘: yakni menjadikan (tali busur) sebagai kalung pada lehernya atau pada leher hewan peliharaannya dengan tujuan berlindung dari penyakit ‘ain.

dengan kotoran hewan‘: ar-raji’ adalah kotoran. Dinamakan raji’ karena kembali pada keadaannya yang pertama setelah menjadi makanan.

berlepas diri darinya’: ini adalah ancaman keras bagi pelaku hal tersebut.

Makna Hadits Secara Global

Rasulullah mengabarkan bahwa shahabat (Ruwaifi’) ini akan berumur panjang sehingga (Ruwaifi’) akan menjumpai orang-orang yang menyelisihi petunjuk beliau dalam hal janggut, yang petunjuk tersebut adalah membiarkan (janggut) panjang serta menjauhkan (janggut) dari perlakuan sia-sia dengan penampilan yang menyerupai orang-orang ajam atau orang yang bermewah-mewahan dan dungu. Atau, (menjumpai) orang-orang yang aqidah tauhidnya kurang dengan menggunakan sarana-sarana kesyirikan, yang mereka memakai kalung atau mengenakan (kalung) tersebut pada hewan-hewan peliharaan mereka guna menolak bahaya. Atau, (menjumpai) orang-orang yang melakukan hal-hal yang Nabi mereka larang berupa beristijmar dengan kotoran hewan dan tulang. Maka, Nabi mewasiatkan sahabatnya agar (sahabatnya) menyampaikan kepada umat bahwa Nabi mereka berlepas diri dari para pelaku hal tersebut.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Dalam hadits, terdapat larangan mengenakan kalung dari tali busur untuk menolak bahaya, dan bahwasannya hal itu tergolong sebagai perbuatan kesyirikan sebab tiada yang mampu menolak bahaya, kecuali Allah.

Faedah Hadits

  1. Hadits ini menunjukan salah satu tanda kenabian sebab umur Ruwaifi’ dipanjangkan sampai (beliau meninggal pada) 56H.
  2. Kewajiban untuk mengabarkan manusia tentang hal-hal yang diperintahkan kepada mereka dan hal-hal yang dilarang terhadap mereka berupa perkara-perkara yang wajib dikerjakan atau yang wajib ditinggalkan.
  3. Pensyariatan untuk memuliakan dan membiarkan janggut, serta larangan berbuat sia-sia terhadap (janggut) dengan cara mencukur, memotong, mengikat, menguncir, atau perbuatan (sia-sia) lainnya.
  4. Pengharaman mengenakan kalung untuk menolak bahaya, dan bahwasannya hal itu tergolong sebagai kesyirikan.
  5. Pengharaman beristinja’ dengan kotoran hewan dan tulang.
  6. Bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut tergolong sebagai dosa besar.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 7 Tentang Ruqyah dan Tamimah 2

Wahai Ruwaifi, barangkali engkau berumur panjang. Sampaikanlah kepada manusia bahwa siapa saja yang menggelung janggutnya, mengalungkan tali busur, atau beristinja’ dengan kotoran binatang atau dengan tulang, sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya‘.”

Tanda kenabian dari nabi yang mengabarkan bahwa Ruwaifi berumur panjang dan memang terbukti berumur panjang, meninggal pada tahun 56 H. Panjang umur harus ada gunanya yaitu dengan amalan-amalan shaleh. Maka Ruwaifi’ dipesankan untuk menyampaikan pesan.

Terdapat kewajiban bagi yang mempunyai ilmu untuk menyampaikan kepada manusia apa yang diperintah dan apa yang dilarang. Sebagaimana Allah telah mengambil sumpah dalam firman-Nya:

Apabila Ilmu itu hanya ada pada seseorang, maka orang tersebut fardu ‘ain untuk menyampaikan. Akan tetapi apabila Ilmu itu ada pada beberapa orang, maka penyampainnya menjadi fardu kifayah apabila sudah ada yang menyampaikan dalam jumlah yang cukup.

Mengabarkan tiga perbuatan

  1. Tidak boleh menggelung jenggot. Jenggot akan terus ada sampai hari kiamat karena Nabi yang memberitakan dan hukum tetap berlaku.
  2. Menggantung kalung dari tali busur.
  3. Tidak boleh beristinja dengan kotoran binatang karena najis, tidak membersihkan malah membuat semakin kotor.
  4. Tidak boleh beristinja dengan tulang karena makanan dari jin. Makanan tidak boleh dipakai untuk istinja.

Maka sesungguhnya Nabi Muhammad berlepas diri darinya. Hal ini menunjukan dosa besar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Larangan Terhadap Bergantung Kepada Selain Allah.

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 7: Tentang Ruqiyah dan Tamimah

Dari Abdullah bin ‘Ukraim secara marfu’, (beliau berkata), “Siapa saja yang menggantungkan suatu benda (dengan anggapan bahwa benda itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), niscaya dia akan diserahkan kepada benda tersebut.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzy


Biografi

Abdullah bin ‘Ukaim memiliki kunyah Abu Ma’bad Al-Juhany Al-Kufy. Beliau mendapati zaman kenabian, tetapi tidak diketahui bahwa beliau mendengar dari Nabi

siapa saja yang menggantungkan sesuatu‘: yaitu hatinya berpaling dari Allah kepada sesuatu yang dia yakini bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.

diserahkan kepadanya‘: yaitu Allah menyerahkan orang tersebut kepada sesuatu tempat dia bergantung, dan Allah menghinakannya.

Makna Hadits Secara Global

Hadits ini lafaznya ringkas tetapi faedahnya sangat agung, bahwa Nabi mengabarkan kepadanya bahwa siapa saja yang berpaling dengan hatinya, perbuatannya, atau dengan keduanya kepada sesuatu (selain Allah) dengan mengharap mendapat manfaat dan terhindar dari bahaya, Allah akan menyerahkan orang tersebut kepada sesuatu tempat ia bergantung. Siapa saja yang bergantung kepada Allah, Allah akan mencukupinya serta akan memudahkan segala kesulitan. (Namun), siapa saja yang bergantung kepada selain Allah, Allah akan menyerahkan diri-Nya tersebut dan Allah akan menghinakannya.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Pada hadits di atas, terdapat larangan dan peringatan terhadap bergantung kepada selain Allah untuk mendapatkan manfaat dan menolak bahaya.

Faedah Hadits

  1. Larangan terhadap bergantung kepada selain Allah.
  2. Kewajiban untuk bergantung hanya kepada Allah dalam segala urusan.
  3. Penjelasan tentang bahaya dan akibat jelek kesyirikan.
  4. Bahwasannya balasan (yang diperoleh) sesuai dengan amalannya
  5. Bahwa hasil/buah perbuatan akan kembali kepada pelakunya, baik (perbuatan tersebut) baik maupun jelek.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 7 Tentang Ruqyah dan Tamimah 1

Barang siapa yang menggantungkan suatu benda (dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), niscaya (Allah) menjadikan dia selalu bergantung kepada benda tersebut.”

Haditsnya hasan.

Bergantung bisa dengan hati, bisa dengan perbuatan dan mungkin dengan hati dan perbuatan. Maka diserahkan kepada dirinya sendiri, pada selain Allah. Maka pasti akan binasa.

Harus bergantung hanya kepada Allah, sehingga Allah akan mencukupi dan memenuhi nya.

Bagaimana bergantungnuya? Apakah sebab atau bukan sebab. Apabila bukan sebab bukan qodari, maka masuk dalam hadits. Tapi apabila sebab tersebut adalah sebab qodari. Maka harus dipastikan sebab syari’i.

Misalkan seorang ingin anak, tapi dengan cara berzina. Ini merupakan sebab untuk mendapatkan anak tapi ini sebab yang diharamkan. Atau ingin sembuh tapi mimum obat yang diharamkan. Ini juga sebab yang diharamkan.

Yang benar bergantung pada Allah dan sebab yang disyariatkan Allah. Tapi selain dari itu maka dia akan disandarkan kepada sesuatu tersebut. Kaidah nya apabila disandarkan kepada selain Allah maka akan mengantarkan kepada kebinasaan.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Ruqyah, Tamimah, dan Tiwalah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 7: Tentang Ruqiyah dan Tamimah

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda,

Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah kesyirikan

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud.

Tamimah adalah sesuatu yang dikalungkan pada leher anak-anak untuk menangkal ‘ain. Namum, apabila yang dikalungkan itu berupa (ayat-ayat) Al-Qur’an, sebagian salaf memberi keringanan dalam hal ini, tetapi sebagian lain tidak memperbolehkan dan menggolongkan hal it sebagai larangan. Di antara mereka (yang tidak memperbolehkan) adalah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu.

Ruqyah disebut pula dengan ‘azimah. (Metode pengobatan) ini (diperbolehkan) secara khusus selama bebas dari hal-hal kesyirikan sebab Rasulullah telah memberi keringanan dalam hal (ruqyiah) ini untuk mengobati ‘ain atau sengatan kalajengking.

Tilawah adalah sesuatu yang mereka buat dengan anggapan bahwa sesuatu tersebut dapat menjadikan seorang istri lebih dicintai oleh suaminya atau seorang suami lebih dicintai oleh istrinya.


Makna Hadits Secara Global

Bahwasanya Rasul mengabarkan bahwa menggunakan hal-hal tersebut (dalam hadits) untuk tujuan menolak bahaya dan mendapatkan manfaat dari selain Allah tergolong kesyirikan terhadap Allah. Karena, tidak ada yang berkuasa untuk menolak bahaya dan mendatangkan kebaikan, kecuali Allah. Kabar ini berarti larangan untuk mengerjakan hal tersebut.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Hadits ini menjelaskan bahwa menggunakan hal-hal tersebut tergolong sebagai kesyirikan yang merusak tauhid.

Faedah Hadits

  1. Anjuran untuk menjaga aqidah terhadap hal-hal yang bisa merusak (aqidah), meskipun hal tersebut banyak dikerjakan oleh manusia.
  2. Keharaman menggunakan hal-hal tersebut (dalam hadits)
  3. Bahwa tiga perkara yang disebut dalam hadits adalah kesyirikan tanpa pengecualian.

Simpulan Penyebutan Penulis Rahimahullah tentang Hukum Perkara-Perkara tersebut adalah Sebagai Berikut:

  1. Bahwa Ruqiyah terbagi menjadi dua jenis: jenis yang disyariatkan dan jenis yang dilarang. Yang disyariatkan adalah yang bebas dari kesyirikan, sedangkan yang terlarang adalah yang mengandung kesyirikan.
  2. Bahwa tamimah terbagi menjadi dua jenis. Jenis yang terlarang secara ijma’ yaitu tamimah yang mengandung kesyirikan. Sedangkan, jenis yang diperselisihkan adalah tamimah yang terbuat dari Al-Qur’an. Ada yang mengatakan (bahwa jenis kedua ini) boleh, tetapi ada pula yang mengatakan tidak boleh. Namun, yang benar adalah tidak boleh demi menutup jalan-jalan kesyirikan dan untuk menjaga Al-Qur’an.
  3. At-Tiwalah terlarang tanpa ada perselisihan karena tergolong sebagai salah satu jenis sihir.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 7 Tentang Ruqyah dan Tamimah 1

Kisah dalam musnad Imam Ahmad: Zaenab (istri Ibnu Mas’ud), Kata Ibnu Mas’ud melihat ada benang di leherku. Ibnu Mas’ud berkata apa ini, ini adalah benang yang telah dirukiah untuku. Maka Ibnu Mas’ud mengambilnya (memutusnya). Kalian keluarga Abdulah Ibnu Mas’ud tidak perlu kepada kesyirikan kemudian berkata hadits ini.

Para sahabat apabila ada kemungkaran di keluarga, maka mereka perbaiki. Seorang suami shaleh menjaga keluarganya, tapi pengaruh bisa datang dari arah yang tidak dia sangka. Abdulah bin Mas’ud termasuk shaabat yang menajaga keluarganya. Ketika ada seseorang yang ingin ketemu dengan Ibnu Mas’ud di pagi hari tidak jadi. Kemudian ditanyakan kenapa, karena tidak ingin menganggu istrihaatnya. Ibnu Mas’ud berkata apakah ada kelalaian di keluarga Ibnu Mas’ud?

Tiga hal ini dihukumkan pada kesyirikan. Tapi jangan dikatakan hukum asal rukiyah adalah syirik. Tamimah dan tiwalah memang hukum asalnya syirik tapi tidak pada rukiyah. Ada alif lam pada ketiganya sehingga tertentu.

Makna Tamimah, Ruqyah dan Tiwalah

Tamaim, tamimah: adalah sesuatu yang dikalungkan pada leher anak-anak untuk menangkal ‘ain. Tapi berkembang lebih dari itu dipakai dilainnya utnuk mendapat manfaat dan menolak bahaya. Hal ini diperintahkan untuk diputus, kesyirikan. Akan tetapi tidak semua tamimah. apabila yang digantung adalah sebagaian ayat Al-quran, sebagian salaf memberi keringanan dalam hal ini. Tapi sebagian salaf lainnya tidak memperbolehkan. Dan mereka menggolongkan sebagai larangan. Diantara salaf yang tidak membolehkan adalah ibnu mas’ud.

Tamimah terbagi dua:

  1. Ada yang dari selain Al-Qur’an, mengandung kesyirikan. Yang ini jelas akan keharamannya. pendapat mayoritas ulama, Ibnu ‘Abas, Ibnu Mas’ud.
  2. Dan ada yang dari Al-Qur’an.Yang digantung berasal dari Al-Qur’an ada dua pendapat dikalangan as-salaf. Ada yang membolehkan seperti Abdulah bin Amr. Ibnul Qoyim cenderung pada pendapat ini.

Kenapa pendapat yang tidak membolehkan dikuatkan karena 4 alasan:

  1. Dalil-dalil Menjelaskan keharaman tamimah dalilnya umum tidak ada pengkhususan.
  2. Menutup pintu jatuh pada hal yang diharamkan.
  3. Karena menggantung dari Al-Qur’an diharuskan dibawa kemana-mana bisa ketempat yang dilarang membawa Al-Qur’an, sehingga bisa menghinakan Al-Qur’an.
  4. Nabi meruqiyah dan di ruqiyah. Apabila gantungan dari Al-Qur’an boleh, maka Nabi akan membolehkan pada sahabatnya.

Apakah digantungkan Al-Qur’an dikatakan syirik? apabila bergantung pada ayat-ayatnya maka tidak dikatakan syriik tapi diharamkan. Tapi kalau dia bergantung pada gantungannya (bukan Al-Qur’annya), maka bisa masuk dalam kesyirikan.

Ruqyah adalah perlindungan dari bacaan. Atau azimah atau jampi-jampi.

Ruqyah terbagi dua yang tidak mengandung kesyirikan dan yang mengandung kesyirikan. Yang mengandung kesyirikan misalnya memohon atau berdoa kepada selain Allah seperti nama Malaikat, nama Nabi, dan nama Jin.

Adapun ruqyah yang disyariatkan adalah apabila ruqiyah tidak mengandung kesyirikan, sebagaimana sabda Nabi :

Ibnu Hajar Rahimahullah menyebutkan tiga sayarat Ruqyah:

  1. Ruqyah berasal dari kalam Allah (nama dan sifat-sfat Allah).
  2. Ruqyah dengan lisan bahasa Arab atau selain bahasa Arab tapi dipahami dan dimaklumi maknanya.
  3. Harus diyakini bahwa Ruqyah itu dengan sendirinya tidak bermanfaat tapi yang menjadikannya bermanfaat adalah Allah Ta’ala.

Ulama lain menambahkan dua syarat lainnya yaitu:

  1. Ruqyah tidak boleh dijadikan sandaran. tapi bersandar kepada Allah Ta’ala. Karena ruqyah hanya sekedar sebab saja.
  2. Hendaknya orang yang meruqyiah bukan dari tukang sihir atau dukun.

Tiwalah adalah sesuatu yang mereka buat dengan anggapan dapat menjadikan seorang istri lebih dicintai oleh suaminya atau seorang suami lebih dicintai oleh istrinya. Tiwalah tidak ada silang pendapat mengenai kesyirikannya karena termasuk kedalam sihir.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Rasulullah Perintahkan untuk Memutus Kalung yang Dipakai dengan Tujuan untuk Tolak Bala

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 7: Tentang Ruqiyah dan Tamimah

(Diriwayatkan) dalam Ash-Shahih, dari Abu Basyir Al-Anshary Radhiyallahu ‘Anhu, (beliau berkata) bahwa beliau pernah bersama Rasulullah dalam salah satu perjalaman (Rasulullah), lalu (Rasulullah) mengutus seorang utusan (untuk memaklumkan),

Tidaklah ada kalung dari tali busur atau kalung apapun pada leher unta, kecuali harus diputus


Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Bahwa bab ini merupakan kelanjutan penyebutan tentang segala sesuatu yang bisa merusak tauhid berupa ruqyah dan tamimah yang syirik.

Makna Hadits Secara Global

Bahwa, pada satu kesempatan dalam perjalanan Nabi , beliau mengutus seseorang untuk menyeru manusia agar melepaskan taili-ltai yang ada di leher unta-unta mereka, yang (tali itu) ditujukan sebagai penolak ‘ain dan bala, karena hal tersebut tergolong sebagai kesyirikan yang wajib dihilangkan.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Dari sisi tinjauan, bahwasannya hadits tersebut menunjukkan bahwa mengikat unta atau binatang lain, dengan bekas tali busur panah atau yang sejenisnya, dengan tujuan untuk tolak bala adalah haram dan tergolong sebagai kesyirikan karena hal itu dianggap sebagai menggantungkan jimat yang dilarang.

Faedah Hadits

  1. Bahwa menggantungkan bekas tali busur panah (untuk tolak bala) masuk ke dalam hukum tamimah (jimat) yang dilarang.
  2. Menghilangkan kemungkaran
  3. Menyampaikan perkara kepada manusia yang bisa menjaga aqidah mereka.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 7 Tentang Ruqyah dan Tamimah 1

Tidak seperti bab sebelumnya yang dipastikan kesyirikannya, pada bab ini penulis tidak memastikan hukum mengenai ruqiyah dan tamimah karena dua hal:

  1. Butuh rincian pada ruqiyah dan tamimmah. Ruqiyah ada yang dibolehkan dan yang diharamkan (mengandung kesyirikan). Tamimah ada yang dipastikan kesyirikannya dan ada tamimah yang silang pendapat dikalangan ulama apabila tamimah tersebut berasal dari Al-Quran
  2. Agar yang membaca buku melihat dalil yang dibawakan dari Al-Qur’an dan hadits mengenai hukum hal ini.

Ar-Ruqaya jamak dari ruqyah. adalah bacaan perlindungan yang orang yang terkena penyakit diruqiyah dengannya.

Sendangkan At-Tamaim adalah bentuk jamak dari Tamimah yang artinya apa yang digantung untuk perlindungan, mendatangkan manfaat atau menolak bahaya.

Tidaklah ada kalung dari tali busur atau kalung apapun pada leher unta, kecuali harus diputus

Nabi mengutus sebagian sahabat dalam suatu perlajalan supaya diumumkan kepada manusia agar kalung-kalung dileher unta yang dimasukan untuk menolak ‘ain dan bahaya, harus diputus. Karena ini kesyrikan yang wajib dihilangkan.

Orang Arab mempunyai kebiasaan pada unta dikalungkan kadang dari tali busur yang sudah tua dan tidak dipakai. Mereka meyakini bahwa hal tersebut menolak penyakit ain dan bahaya dari kendaraannya.

Sisi pendalilan adalah perintah Nabi untuk memutuskan. Menunjukan hal ini di haramkan, tidak diperbolehkan.

Faedah:

  1. Mengantung dari tali dileher unta, masuk dalam hukum tamimah (gantungan-gantungan).
  2. Pelajaran yang membuat akidah terjaga
  3. Perintah untuk memutusnya, penegasan bahwa tali-tali yang di ikat sama saja dalam hukumnya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Hudzaifah Memutus Benang yang Digunakan untuk Mengobati Demam

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

Bab 6: Termasuk sebagai Kesyirikan Memakai Gelang, Benang dan Sejenisnya Sebagai Pengusir atau Penangkal Mara Bahaya

Dalil 4: Atsar dari Hudzaifah yang Memutus Benang yang Digunakan untuk Mengobati Demam.

(Diriwayatkan) oleh Ibnu Abi Hatim, dari Hudzaifah, (beliau berkata) bahwa beliau melihat seorang lelaki yang di tangannya ada benang untuk mengobati demam maka beliau memutus benang itu seraya membaca firman-Nya:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ

Dan sebagian besar di antara mereka itu tidaklah beriman kepada Allah, kecuali bahwa mereka berbuat syirik (kpeada-Nya)” [Yusuf: 106]

dari Hudzaifah‘: yaitu Ibnul Yaman Al-‘Absyi yang merupakan halif ‘aliansi’ bagi kaum Anshar. Beliau adalah seorang shahabat yang mulia, termasuk sebagai orang yang pertama-tama dan terdahulu memeluk Islam. Beliau meninggal pada 36 H -semoga Allah meridhai beliau-.

  • Ayah Hudzaifah meninggal di perang Uhud dibarisan kaum Musyrikin dibunuh oleh kaum Muslimin. Kaum Muslimin menyangka bahwa dia dibarisan kaum Musyrikin. Hudzaifah memaafkan hal tersebut.
  • Hudzaifah dikenal sebagai pemegang rahasia Rasulullah
  • Hudzaifah diangkat oleh Umar bin Khatab sebagai Gubernur di Madain.
  • Hudzaifah wafat di Madain pada 36H
  • Ibnu Abi Hatim adalah Abdurahman bin Muhammad bin Idris. Seorang Imam besar dan Ahli Hadits.
  • Sanad hadits ini ada kelemahan namun makna nya benar.

Makna Atsar Secara Global

Bahwa Hudzaifah Ibnul Yamam Radhiallahu ‘Anhu melihat seorang lelaki yang mengikat seutas benang pada lengannya untuk menjaga diri dari penyakit demam maka beliau pun melepaskan (ikatan benang) itu dari lelaki tersebut, sebagai bentuk pengingkaran terhadap perbuatan itu, seraya berdalil dengan ayat pada ayat tersebut, Allah mengabarkan bahwa kaum musyirikin menggabungkan antara pengakuan kepada rububiyyah dan kesyirikan pada peribadahan kepada Allah.

Hubungan antara Atsar dan Bab

Dalam atsar, terdapat petunjuk bahwa memakai benang untuk menangkal penyakit dianggap perbuatan syirik yang wajib diingkari.

Faedah Atsar

  1. Pengingkaran terhadap pemakaian benang untuk menghilangkan atau menolak bencana, dan bahwasannya hal itu tergolong sebagai kesyirikan.
  2. Kewajiban untuk menghilangkan kemungkaran bagi yang memiliki kemampuan untuk menghilangkan (kemungkaran) tersebut.
  3. Pembenaran tentang berdalil dengan (keterangan) yang diturunkan berkenaan dengan syirik besar untuk menghukumi syirik kecil karena keumuman dalil tersebut.
  4. Bahwa kaum musyrikin mengakui tauhid rububiyyah, tetapi mereka tetap dihukumi musryik karena tidak memurnikan peribadahan hanya kepada Allah.

Pembahasan:

  1. Ancaman besar terhadap pemakaian gelang, benang dan sejenisnya untuk hal yang seperti ini.
  2. Shahabat apabila meninggal dan masih melekat padanya gelang dan benang tersebut, maka dia tidak beruntung.
  3. Bahwa dia tidak diberi udzur dengan ketidaktahuan. Nabi berkata kalau kamu meninggal diatas hal tersebut maka engkau tidak akan beruntung selama-lamanya. Tidak diberi udzur dengan kejahilan dalam kondisi dia mampu untuk belajar. Berada di negeri Islam, tidak ada penghalang dia untuk mengetahuinya. Adapun apabila dia bersungguh-sungguh ingin tahu kebenaran tapi tidak sampai kepadanya yang benar, maka ini diberi udzur.
  4. Hal tersebut tidak memberi manfaat dalam waktu dekat tapi justru memberi mudharat berdasarkan sabda beliau akan hal tersebut tidak menambahkan apa-apa kecuali kelemahan padamu.
  5. Pengingkaran keras terhadap siapa saja yang melakukan hal tersebut.
  6. Siapa saja yang bergantung pada sesuatu maka dia selalu akan bergantung pada sesuatu itu.
  7. Penegasan siapa yang mengantungkan tamimah, sungguh telah berbuat kesyirikan.
  8. Bahwa mengantung benang untuk menghalau penyakit panas, merupakan bagian dari kesyirikan.
  9. Lantunan bacaan ayat dari Hudzaifah dari surah Yusuf, adalah bukti bahwa para shahabat berargumen dengan ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan syirik akbar digunakan pada hal merupakan syirik kecil. Hal ini sama seperti yang disebtukan oleh Ibnu Abas pada ayat di surat Al-Baqarah.
  10. Menggantungkan wad’ah untuk menangkal penyakit ‘ain (disebabkan pandangan mata), termasuk syirik kecil.
  11. Doa untuk orang yang mengantungkan tamimah bahwa Allah tidak akan mengabulkan keinginannya. Dan didodakan semoga Allah tidak memberikan ketenangan pada dirinya.

Ibnu Mas’ud berkata: “Saya bersumpah atas nama Allah tapi berdusta lebih saya sukai daripada bersumpah dengan selain nama Allah (syirik) dalam keadaan jujur.” Menunjukan bahwa syirik kecil lebih besar daripada dosa besar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Larangan Menggantung Tamimah dengan Tujuan untuk Mendatangkan Manfaat atau Menolak Bahaya

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

Bab 6: Termasuk sebagai Kesyirikan Memakai Gelang, Benang dan Sejenisnya Sebagai Pengusir atau Penangkal Mara Bahaya

Dalil 3: Hadits Uqbah bin Amir tentang Larangan Menggantung Tamimah dengan Tujuan untuk Mendatangkam Manfaat atau Menolak Bahaya

(Diriwayatkan) pula dari ‘Uqbah nin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu secara marfu’, “Siapa saja yang menggantungkan tamimah, niscaya Allah tidak akan mengabulkan keinginannya, dan siapa saja yang menggantungkan wad’ah, niscaya Allah tidak akan memberi ketenangan pada dirinya.”

Dalam riwayat lain (disebutkan), “Siapa saja yang menggantungkan tamimah, sungguh dia telah berbuat syirik.

  • Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Hadits nya di hasankan oleh para ulama. Secara marfu’ artinya Nabi yang berucap.

Biografi

‘Uqbah bin ‘Amir adalah ‘Uqbah nin ‘Amir Al-Juhany, seorang shahabat yang terkenal. Beliau seorang yang faqih (berilmu) dan memiliki keutamaan, diangkat sebagai penguasa di Mesir pada masa kekhalifahan Mu’awiyah selama tiga tahun. Beliau meninggal dalam usia mendekati enam puluh tahun.

  • Salah satu sahabat yang mengumpulkan Al-Quran, sangat fasih.
  • Hadir pada beberapa peperangan
  • Pernah menjadi gubernur Mesir selama 3 tahun.

Penjelasan Hadits:

  • Menggantungkan bisa mengantungkan pada dirinya sendiri atau menggantungkan pada orang lain seperti anak kecil, keluarganya dan lainnya.
  • Atau bermakna hatinya bergantung dalam mencari kebaikan atau menolak bahaya.
  • Maka Allah tidak akan diberi apa yang dimaksudkan, bahkan akan diberi hal yang bertentangan dengan apa yang dimaksudkan.
  • Megantungkan pada selain Allah yang bukan sebab sya’ri dan sebab qadari, maka ini adalah kesyirikan.

menggantungkan tamimah‘: yaitu menggantungkan pada dirinya atau pada selainnya dengan keyakinan bahwa hal itu bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Tamimah adalah sejenis tali yang dahulu orang-orang Arab ikatkan/kalungkan pada anak-anak untuk melindungi anak terhadap penyaki ‘ain ‘kejelekan karena pandangan mata’.

wad’ah‘: adalah sesuatu yang diambil dari laut yang menyerupai rumah kerang yang digunakan untuk menangkal penyaki ‘ain.

Dalam riwayat Imam Ahmad, ada sebab turunnya hadits ini:

  • Bahwa Rasulullah pernah didatangi sebuah kaum yang berjumlah 10 orang. Nabi membaiat 9 orang, yang satu lagi tidak di baiat. Maka dikatakan “Ya Rasulullah, engkau telah membaiat 9 orang, dan tidak membaiat 1 orang lagi”. Nabi berkata “Pada orang ini ada tamimah”, kemudian Nabi memutuskan tamimah pada orang itu. Kemudian Nabi membaiatnya dan berkata “Siapa yang bergantung dengan tamimah maka dia telah berbuat kesyirikan”.

Makna Hadits Secara Global

Bahwa Nabi mendoakan kejelekan bagi para pemakai tamimah (jimat), yang menyakini bahwa hal itu bisa menangkal/melindungi dari bahaya, agar Allah membalikkan keadaan orang tersebut dari yag dimaksudkan dan tidak menyempurnakan urusannya, sebagaimana Nabi juga mendoakan kejelekan bagi para pemakai wad’ah -dengan tujuan untuk menolak/melindungi diri terhadap bahaya- agar Allah tidak membiarkan mereka merasa santai dan berada dalam ketenangan, tetapi menimpakan semua gangguan kepadanya.

Doa tersebut bermaksud sebagai peringatan agar manusia tidak melakukan hal tersebut sebagaimana yang Nabi kabarkan dalam hadits kedua bahwa hal itu termasuk sebagai kesyirikan terhadap Allah.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Bahwa kedua hadits tersebut merupakan dalil untuk tentang keharaman menggantungkan tamimah dan wad’ah ‘jimat’, dan mengategorikan hal itu sebagai kesyirikan karena adanya ketergantungan hati kepadanya, yang hal ini tergolong sebagai bersandar kepada selain Allah.

Faedah Kedua Hadits

  1. Bahwa menggantungkan tamimah dan wad’ah tergolong sebagai kesyirikan.
  2. Bahwa siapa saja yang besandar kepada selain Allah, Allah akan memperlakukan dia dengan memberikan sesuatu kepadanya yang berlawanan dengan maksudnya.
  3. Pensyariatan untuk mendoakan kejelekan terhadap orang-orang yang menggantungkan tamimah dan wad’ah agar mereka tidak mendapatkan hal yang dia maksudkan dan agar diberi sesuatu yang berlawanan dengan tujuan yang diinginkan.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Dalil 2: Hadits Imran bin Hushain, Larangan Memakai Gelang dengan Tujuan untuk Menolak Bahaya

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullah

Bab 6: Termasuk sebagai Kesyirikan Memakai Gelang, Benang dan Sejenisnya Sebagai Pengusir atau Penangkal Mara Bahaya

Dalil 2: Hadits Imran bin Hushain, Larangan Memakai Gelang dengan Tujuan untuk Menolak Bahaya

Dari ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, (beliau berkata), “Rasullullah melihat seeorang lelaki yang di tangannya terdapat gelang kuningan maka beliau bertanya, ‘(Gelang) apa ini?’

Lelaki itu menjawab, ‘(penangkal) al-wahinah’

Beliau pun bersabda, ‘Lepaskanlah (gelang) itu karena (gelang) itu tidak akan menambah sesuatu pada dirimu, kecuali kelemahan. Sebab, jika meningal dalam keadaan (gelang) itu (masih melekat) pada (tubuh)mu, engkau tidak akan beruntung selamanya.’.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang tidak mengapa.

Biografi

‘Imran adalah ‘Imran bin Hushain bin ‘Ubaid bin Khalaf Al-Khuza’iy, seorang sahabat dan anak dari seorang shahabat. Beliau memeluk Islam pada tahun terjadinya Perang Khaibar dan meninggal pada 52 H di Basrah.

‘al-wahinah’: sejenis penyakit yang menimpa tangan.

Makna Hadits Secara Global

Kepada kita, ‘Imran bin Hushain Radhiallahu ‘Anhuma meyebutkan salah satu sikap Rasulullah dalam memerangi kesyirikan dan membebaskan manusia dari kesyirikan. Sikap itu adalah: ketika melihat seseorang memakai gelang yang terbuat dari kuningan, beliau bertanya tentang sebab ia memakai gelang tersebut. Orang itu menjawab bahwa ia memakai gelang untuk melindungi diri dari penyakit maka beliau segera memerintah orang itu untuk melepas (gelang) tersebut dan mengabarkan bahwa hal itu tidak mendatangkan manfaat, bahkan akan membahayakan dan akan menambah penyakit, yang dengan alasan itu ia memakai gelang tersebut. Bahkan, lebih dari itu, seandainya terus memakai gelang itu sampai meninggal, ia akan diharamkan untuk mendapatkan keberuntungan di akhirat.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Hadits ini menunjukkan larangan memakai gelang untuk menolak bahaya karena hal itu termasuk kesyirikan yang akan menghilangkan keberuntungan.

Faedah Hadits

  1. Memakai gelang atau selainnya untuk melindungi diri dari penyakit termasuk sebagai kesyirikan
  2. Larangan untuk berobat dengan sesuatu yang haram
  3. Mengingkari kemungkaran dan mengajari orang yang belum tahu
  4. Bahaya kesyirikan di dunia dan di akhirat
  5. Seorang mufti, secara lebih detail, menanyakan suatu masalah dan menghukumi sesuatu berdasarkan tujuan sesuatu tersebut
  6. Bahwa syirik kecil termasuk ke dalam dosa besar.
  7. Bahwa kesyirikan tidak menerima udzur berdasarkan ketidakahuan.
  8. Teguran keras dalam mengingkari pelaku kesyirikan dengan tujuan agar orang tersebut lari (menjauh) dari kesyirikan itu.

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Biografi

Perang Khaibar terjadi di tahun ke-7. Pada saat Fatul Makkah, banyak kabilah para sahabat yang hadir. ‘Imran membawa bendera Kabilah Khuja’ah. Kemudian beliau pindah ke Basrah dan meninggal pada tahun 52H.

Penjelasan Hadits

Di riwayat Al-Hakim yang memakai gelang ditangannya itu adalah ‘Imran sendiri. “Dilenganku ada lingkaran dari kuningan”.

Beberapa bentuk keyakinan kaum Musyrikin di masa jahiliyah:

  1. Memakai Gelang kuning, untuk menolak gangguan ‘ain dan jin serta yang semisalnya
  2. Memakai Gelang Perak, untuk mendatangkan keberkahan atau menolak penyakit bawasir
  3. Memakai Cincin yang ada ukiran, untuk penjagaan dari Jin

Benda-benda tersebut dipakai dengan tujuan dijadikan sebab untuk menolak bahaya.

Nabi bertanya, “Apa sebabnya memakai itu?” Ini adalah bentuk pertanyaan atau juga pengingkaran dalam bentuk pertanyaan.

Al-Wahina adalah penyakit yang membuat badan menjadi lemah. Penyakit ini ada pada urat yang menimpa bahu dan tangan.

Nabi berkata: “Lepaskanlah“. An-Naja mengambil dengan kekuatan. Disebagian riwayat, “Buang lah

Ini membahayakan karena membuatmu semakin lemah. Kaidah orang yang berbuat kesyirikan akan mendapatkan lawan apa yang dia cari.

Sanad dari hadits ini tidak masalah. Apabila dilihat pada rawi’nya ada kelemahan. Dari sisi makna benar tapi riwayat ada kelemahan.

Tidak beruntuk selamanya”: artinya tergantung masuk kepada syirik besar atau kecil.

  • Apabila syirik akbar maka tidak dapat sama sekali beruntung selama-lamanya.
  • Apabila syirik kecil, maka artinya menjauhkan keberuntungan dan bukan berarti tidak dapat sama sekali.

Maksud dibawakan hadits adalah bahwa memakai gelang untuk menolak bahaya adalah kesyirikan yang tidak membawa keberuntungan.

Wallahu Ta’ala A’lam