Hadits mengenai kisah kematian Abu Thalib

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 17 Firman (Allah) Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai” (Al-Qashash: 56)

Dalam As-Shahih dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, (ayahnya) berkata, “Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, datanglah Rasulullah kepadanya, dan saat itu Abdullah bin Abi Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya, maka (Rasulullah) berkata kepadanya,

Wahai pamanku, ucapkanlah La Ilaha Illallah, suatu kalimat yang dapat kujadikan sebagai hujjah untukmu di sisi Allah

Namun, kedua orang itu berkata, ‘Apakah engkau membenci agama Abdul Muththalib?’

Nabi pun mengulangi ucapan (beliau) kepada paman (beliau), tetapi kedua orang itu juga mengulang-ulangi perkataan mereka kepadanya. Maka, akhir perkataannya adalah bahwa ia masih tetap berada pada agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La Ilaha Illallah.

Oleh karena itu, Nabi bersabda, ‘Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu sepanjang aku tidak dilarang

Maka, Allah ﷻ menurunkan (firman-Nya), ‘Nabi dan orang-orang yang beriman tidaklah patut memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun (orang-orang musyrik) itu adalah kaum kerabat(-nya)’ (At-Taubah: 113)

Mengenai Abu Thalib, Allah menurunkan (firman-Nya), ‘Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah‘ (Al-Qashash: 56)

Biografi

Ibnu Musayyib adalah Sa’id bin Al-Musayyib, salah seorang ulama dan ahli fikih serta termasuk kibar tabiin. Beliau meninggal setelah 90 H.

Makna Hadits Secara Global

Adalah Abu Thalib seorang yang senantiasa melindungi Nabi ﷺ dari gangguan kaumnya. Dia melakukan perlindungan yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain, sehingga Nabi ﷺ sangat bersemangat terhadap hidayah pamannya tersebut. Di antara upaya beliau dalam rangka semangatnya tersebut adalah bahwa beliau menjenguknya ketika sakit. Maka Nabi ﷺ mendatanginya ketika dia sedang dalam sakaratul maut dan menawarkan, (untuk masuk) Islam, agar Islam menjadi penutup bagi kehidupannya, sehingga dia mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Nabi ﷺ meminta agar Abu Thalib mengucapkan kalimat tauhid La Ilaha Illallah, Sedangkan kaum musyrikin menawarkan agar Abu Thalib tetap dalam agama nenek moyangnya yaitu agama kesyirikan, karena mereka mengetahui bahwa kalimat ini menunjukkan penolakan terhadap kesyirikan serta pengikhlasan ibadah hanya kepada Allah semata.

Nabi ﷺ mengulangi permintaannya kepada Abu Thalib agar melafadzhkan syahadat (_La Ilaha Illallah) itu, tetapi kaum musyrikin juga mengulangi bantahannya sehingga mereka telah menjadi sebab perpalingannya dari kebenaran dan kematiannya di atas kesyirikan.

Kemudian ketika itu, Nabi ﷺ bersumpah untuk memintakan ampun baginya kepada Allah selama hal itu tidak dilarang (oleh Allah). Maka Allah menurunkan larangan tentang hal tersebut dan menjelaskan bahwa hidayah itu di tangan Allah, dan Allahlah yang memberikan keutamaan dengan hidayah itu kepada siapa yang Dia kehendaki. Hal ini karena Allah lebih mengetahui orang-orang yang pantas mendapatkan hidayah dan orang-orang yang tidak pantas mendapatkan (hidayah) tersebut.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Bahwasannya Ar-Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam tidak berkuasa untuk memberi manfaat kepada orang yang paling dekat dengan dirinya, yang menunjukkan akan batilnya bergantung kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam untuk mendapatkan manfaat atau menolak bahaya, apalagi kepada selainnya.

Faedah Hadits

  1. Bolehnya menjenguk orang musyrik yang sakit apabila diharapkan dapat masuk Islam.
  2. Bahayanya sahabat yang jelek dan teman yang jahat bagi seseorang.
  3. Bahwa makna kalimat La Ilaha Illallah adalah meninggalkan peribadahan kepada patung, para wali, dan orang shalih, serta mengesakan peribadahan hanya untuk Allah, dan bahwasannya orang-orang musyrikin mengetahui maknanya.
  4. Bahwasannya siapa saja yang mengucapkan La Illaha Illallah dengan mengetahui (makna kalimat tersebut) dan penuh keyakinan (tidak ragu) serta mengimani (kalimat) itu, dia telah masuk Islam.
  5. Bahwa semua amalan itu bergantung pada (amalan) yang terakhir.
  6. Diharamkan memintakan ampun untuk orang-orang musyrikin, juga diharamkan untuk loyal dan mencintai mereka.
  7. Batilnya bergantung kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan yang lainnya dalam usaha mencari manfaat dan menolak bahaya.
  8. Bantahan terhadap orang yang meyakini keislaman Abu Thalib.
  9. Bahanya taqlid kepada nenek moyang dan para pembesar dengan menjadikan ucapan-ucapan mereka sebagai hujah untuk rujukan ketika terjadi perselisihan.

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 17

Hadits ini menafsirkan ayat yang sebelumnya.

Periwayat hadits Ibnul Musayyab merupakan salah satu Al-Fuqoha As-Sab’a, tujuh ahli fikih kota Madinah, yaitu:

  1. Urwa bin Zubair bin Awwam
  2. Ubaidullah bin Abdillah bin Usbah bin Mas’ud
  3. Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar As-Syidiq.
  4. Syaid bin Musayyab
  5. Abu Bakr bin Abdurahman bin Harits
  6. Sulaiman bin Yasar
  7. Khariya bin Zaid.

Ibnul Musayyab adalah imamnya para tabi’in dari sisi ilmu. Tabi’in paling afdhal adalah Uwais Al-Qarni karena Nabi memberikan hadits yang mengisyaratkan akan hal itu, yaitu Nabi berkata kepada Umar, “Nanti akan datang seorang lelaki yang bernama Uwais dari Bani Qarun. Apabila ketemu dia, minta supaya didoakan. Akan tetapi dari sisi ilmu, Ibnul Musayyab lebih utama.

Ayahnya, Al-Musayyab, adalah seorang sahabat, demikian pula kakeknya, Hazn, adalah seorang sahabat. Hazn meninggal di Yamama, ketika perang melawan Musailamah Al-Kadzab. Sedangkan ayahnya, Al-Musayyab, wafat di masa khilafah Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu.

Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, beliau didatangi oleh Rasulullah ﷺ. Hal ini menunjukkan bolehnya mengunjungi orang kafir yang sedang sakit, apabila ada maslahat atau apabila diharapkan masuk Islam. Waktu itu di sisi Nabi ada Abdullahi bin Ummaya dan Abu Jahal.

Periwayat hadits Al-Musayyab hadir pada kejadian ini, sehingga masuk Islam. Demikian pula Abdullahi bin Ummaya, pentolan Quraisy, masuk Islam. Abu Jahal mati di atas kekafiran, yang gelarannya adalah Firaun di tengah umat ini.

Maka, Nabi berkata, “Wahai Pamanku, katakanlah La Ilaha Illallah“. Terdapat kewajiban mengucapkan La Ilaha Illallah bagi yang ingin selamat dari api neraka dan masuk ke dalam Islam. Menunjukkan tidak cukup hanya menunjukkan pembelaan dan kecintaan, tapi harus ditegaskan dengan berucap La Ilaha Illallah.

Suatu kalimat yang dapat menjadikannya sebagai hujjah di sisi Allah“. Maksudnya, ucapan La Ilaha Illallah menjadi argumen di mana Nabi Muhammad akan membelanya di depan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa amalan itu tergantung penutupnya. Apabila penutupnya berucap La Ilaha Illallah, maka akan bermanfaat.

Namun kedua orang itu, Abdullahi bin Ummaya dan Abu Jahal, berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau membenci agama Abdul Muthalib?” Hal ini menunjukkan bahwa kaum musyrikin mengerti konsekuensi makna ucapan La Ilaha Illallah, yaitu dia harus kafir terhadap segala yang diibadahi selain daripada Allah dan berlepas diri dari agama kaum musyrikin. Sehingga kedua orang ini berupaya untuk tetap berada di kaum musyrikin dengan berkata, “Apakah engkau benci kepada agama Abdul Muthalib?”

Nabi ﷺ mengulangi ucapan kepada Abu Thalib, tetapi mereka berdua juga mengulangi perkataan mereka kepada Abu Thalib.

Maka akhir perkataan Abu Thalib masih berada di atas agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan La Ilaha Illallah.

Hal ini menunjukkan buruknya teman duduk karena andaikata tidak ada teman yang jelek ini, mungkin Abu Thalib masuk Islam. Dua teman jelek ini membuat Abu Thalib meninggal di atas kekufuran. Sehingga peringatan besar agar mengawasi teman duduknya karena bisa membawanya kepada kebinasaan.

Kemudian Nabi ﷺ bersabda, “Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu sepanjang aku tidak dilarang“. Maka Allah menurunkan firmannya, “Nabi dan orang-orang yang beriman tidaklah patut memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik” (At-Taubah: 113). Setelah tampak jelas bahwa mereka adalah penghuni neraka jahim, walaupun kaum musyrikin itu kerabatnya sendiri. Ayat ini menunjukkan larangan untuk memohonkan ampun bagi kaum musyrikin sekalipun kerabatnya. Setelah tampak jelas, maksudnya menunjukkan kejelasan bahwa mereka adalah penghuni neraka jahim.

Allah menurunkan firmannya tentang Abu Thalib, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) takkan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

Hadis ini menerangkan makna ayat dan menunjukkan bahwa Nabi ﷺ adalah manusia yang paling dekat dengan Allah, tidak bisa memberikan manfaat hidayah kepada pamannya. Sehingga batilnya bergantung kepada Nabi dalam mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Apabila terhadap Nabi saja hal yang batil, maka selain Nabi lebih batil lagi.

Faedah hadits:

Pertama, bolehnya mengunjungi orang kafir yang sakit apabila diajak masuk Islam.

Kedua, bahayanya berteman dengan teman yang buruk.

Ketiga, makna La Ilaha Illallah adalah meninggalkan peribadatan kepada berhala, wali-wali, dan orang sholeh serta mengesakan Allah dengan ibadah. Kaum musyrikin mengetahui akan makna ini.

Keempat, siapa yang berucap La Ilaha Illallah di atas ilmu dan keyakinan serta meyakininya, maka masuk dalam Islam.

Kelima, amalan tergantung pada penutupnya.

Keenam, haramnya memohonkan ampun untuk kaum musyrikin. Sebagaimana diharamkan memberi loyalitas dan kecintaan kepada mereka.

Ketujuh, batilnya bergantung kepada Nabi dan selainnya dalam mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.

Kedelapan, bantahan terhadap orang yang mengatakan Abu Thalib masuk Islam.

Kesembilan, bahaya fanatik terhadap bapak-bapak dan nenek moyang. Hal ini yang menjadikan Abu Thalib tidak mau masuk Islam.

Wallahu Ta’ala A’lam

Bab 17 Firman (Allah) Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai” (Al-Qashash: 56)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 17 Firman (Allah) Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai” (Al-Qashash: 56)

Kelengkapan Ayat

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allahlah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah” (Al-Qashash: 56)

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Bab ini merupakan bantahan terhadap para penyembah kubur yang meyakini bahwa para nabi dan orang-orang shalih bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Sisi bantahan tersebut adalah bahwa Nabi telah berusaha sekuat tenaga untuk memberi hidayah kepada pamannya (ketika masih hidup), tetapi beliau tidak berhasil. Kemudian, Nabi mendoakan kebaikan untuk pemannya setelah kematian (paman)nya, tetapi beliau dilarang melakukan hal itu. Lalu, Allah Subhanahu menyebutkan bahwa Rasul tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang dia cintai. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi tidak berkuasa untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya sehingga batallah sikap bergantung kepada Nabi dalam usaha mendapatkan manfaat dan menolak bahaya, lebih-lebih bergantung kepada selain beliau.

Innaka ‘sesungguhnya kamu’: ucapan ini ditujukan kepada Nabi .

La Tahdii ‘kamu tidak dapat memberi petunjuk’: yakni tidak dapat memberi hidayah taufik untuk masuk Islam. Adapun hidayah dalam arti berdakwah dan memberikan keterangan, maka Rasul kuasa atasnya. Allah berfirman,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ

Sesungguhnya engkau betul-betul memberi hidayah kepada kalan yang lurus” (Asy-Syu’ra: 52)

Man Ahbabta ‘orang yang kamu cintai’: untuk mendapatkan hidayah.

Walakinnallaha yahdii mayyasyaa‘ ‘akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki’: yakni memberi taufik untuk masuk Islam.

Wahuwa a’lamu bilmuhtadiin ‘dan Dia lebih mengetahui orang yang mendapat petunjuk’: yakni lebih mengetahui orang-orang yang pantas mendapat hidayah dan orang-orang yang pantas sesat.

Makna Ayat Secara Global

Allah Ta’ala mengatakan kepada Rasul-Nya : sesungguhnya kamu tidak mampu memberi taufik untuk masuk Islam kepada orang yang kamu cintai, tetapi hal itu ada di tangan Allah. Dialah yang memberi taufik kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia yang lebih mengetahui orang-orang yang berhak mendapat hidayah dan orang-orang yang tidak berhak mendapat (hidayah).

Hubungan antara Ayat dan Bab

Pada ayat ini terdapat dalil yang jelas bahwa Rasul tidak memiliki kekuasaan terhadap menfaat dan bahaya, tidak pula memberikan atau menghalangi, dan bahwa perkara itu semuanya ada di tangan Allah. Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap orang-orang yang menyeru (meminta) Nabi dalam rangka menghilangkan kesulitan-kesulitan mereka dan memenuhi keperluan-keperluan mereka.

Faedah Ayat

  1. Bantahan terhadap orang-orang yang menyakini para wali dapat memberi manfaat atau bahaya serta ikut mengatur segala urusan melalui karamahnya setelah meninggal.
  2. Bahwa hidayah taufik berada di tangan Allah Subhanahu.
  3. Penetapan sifat ilmu bagi bagi Allah Subhanahu.
  4. Penetapan sifat hikmah bagi Allah Subhanahu.
  5. Penetapan batilnya bergantung kepada selain Allah.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 17

Bab ini datang setelah pembahasan syafa’at dan masih berkaitan dengan beberapa bab sebelumnya, untuk menjelaskan tentang keharusan memurnikan tauhid hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Telah diterangkan tentang malaikat, hamba Allah yang paling dekat; mereka juga adalah makhluk yang perlu kepada Allah. Demikian pula manusia yang juga makhluk yang perlu kepada Allah, termasuk para rasul dan para wali. Semuanya adalah makhluk yang tidak berhak untuk diibadahi.

Juga telah diketahui bahwa syafaat hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kepada siapa saja yang beribadah kepada selain Allah, kepada hal yang tidak mampu kecuali Allah. Maka hal ini termasuk kepada kesyirikan.

Maka dalam bab ini, penulis ingin menegaskan bahwa syafaat itu murni milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad tidak berserikat dalam hal ini. Seseorang yang beliau cintai saja tidak mampu memberi hidayah.

Sehingga ibadah kepada Nabi adalah ibadah yang batil. Apabila ibadah kepada Nabi yang merupakan makhluk yang paling afdhal dianggap batil, maka beribadah kepada selain beliau menjadi lebih batil lagi.

Terdapat dua penekanan pada Bab ini:

  1. Penjelasan bahwa syafaat hanya milik Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Nabi Muhammad , hamba yang paling dekat dengan Allah, tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang dia cintai.
  2. Penegasan terhadap kaum musyrikin yang meyakini para Nabi dan orang-orang shalih memiliki manfaat dan bisa menolak bahaya. Apabila Nabi Muhammad tidak bisa memberi hidayah kepada siapa yang beliau cintai, maka hidayah itu hanya diminta dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Bab firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, Akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia lah, Allah, yang paling tahu siapa yang berhak mendapatkan hidayah tersebut.

Hidayah, terkait dengan pembahasan Bab ini, terbagi menjadi dua:

  1. Hidayah Ad-dalala wal irsyad, yaitu hidayah yang menunjukan, mengarahkan dan membimbing.
  2. Hidayah At-taufiq wal ilham, hidayah ini hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Hidayah yang dinafikan dalam ayat ini, bahwa Nabi tidak bisa memberikan hidayah yaitu hidayah At-taufiq wal ilham. Nabi Muhammad tidak bisa memberi taufiq dan ilham kepada siapa yang kamu cintai sehingga masuk ke dalam Islam. Hidayah at-taufiq wal ilham hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ayat ini semisal dengan Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah: “Bukan atas engkau, Nabi Muhammad, memberi hidayah kepada mereka“.

Hidayah Ad-dalala wal Irsyad, yaitu menunjukkan, mengajak, dan membimbing. Hidayah ini ditetapkan untuk Nabi Muhammad . Nabi Muhammad mengajak manusia ke jalan Allah, menunjukkan segala hal yang diperlukan oleh manusia. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Asy-Syura, “Dan engkau, Nabi Muhammad, sungguh memberi hidayah kepada jalan yang lurus“.

Demikian juga firman Allah, “Adapun Tsamud, kami telah beri hidayah kepadanya. Tapi dia lebih mencintai kebutaan di atas petunjuk atau hidayah“. Hidayah di sini juga adalah hidayah Ad-dalala wal irsyad.

Al-Qur’an perlu ditadaburi makna-maknanya sehingga tidak salah mengartikan bahwa terdapat kontradiksi dalam Al-Qur’an. Seperti dua ayat di atas, bahwa Nabi Muhammad tidak bisa memberi hidayah, kemudian di ayat yang lain Nabi Muhammad bisa memberi hidayah. Banyak dari kaum pembenci Islam yang mengungkap ayat-ayat seperti ini dengan tujuan membuat umat Islam ragu terhadap agamanya.

Beberapa pelajaran dari ayat ini:

Pertama, terdapat bantahan terhadap kaum musyrikin yang meyakini para nabi dan wali-wali, bahwa mereka bisa memberi manfaat dan menolak bahaya.

Kedua, hidayah, taufik, dan ilham hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ketiga, dalam ayat bahwa kecintaan yang bersifat tabiat kepada orang kafir, tidak dipermasalahkan. Misalkan seorang Muslim mencintai ayahnya yang kafir. Cintanya karena ayahnya, bukan kekafirannya. Dalam ayat “Siapa yang engkau cintai“. Allah tidak menegur Nabi yang mencintai pamannya, Abu Thalib.

Keempat, terdapat penetapan ilmu hanya untuk Allah dan penetapan hikmah hanya untuk Allah.

Kelima, terdapat batilnya bergantung kepada selain Allah.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.