“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar; mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancurluluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka). Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan), “Rasailah azab yang membakar ini“. (Al-Haj:19-22)
Setelah itu, Allah ﷻ menjelaskan penetapan keputusan ini dengan berfirman, هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ “Inilah dua golongan (golongan Mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Rabb mereka.” Setiap pihak mengklaim berada di atas jalan kebenaran.
فَالَّذِينَ كَفَرُوا “Maka orang kafir.” Lafazh ini meliputi setiap orang kafir dari bangsa Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi`in dan kaum musyrikin قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ “akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka,” maksudnya dibuatkan baju bagi mereka yang terbuat dari cairan ter, dinyalakan api padanya, supaya siksaan mengenai mereka secara merata dari semua sisi.
يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ “Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka,” yaitu air yang sangat panas sekali. يُصْهَرُ بِهِ مَا فِي بُطُونِهِمْ وَالْجُلُودُ “Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka),” seperti daging, lemak serta usus-usus, karena dahsyatnya panas dan kengerian peristiwanya.
وَلَهُمْ مَقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍ “Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi,” yang berada di tangan para malaikat yang kasar lagi keras. Para malaikat memukuli dan menghantam mereka dengannya.
Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. Sehingga siksaan tidak diredakan dari mereka, dan mereka tidak mendapatkan tempo. Dikatakan kepada mereka sebagai pencelaan وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ “Rasakanlah azab yang membakar ini,” yakni siksaan yang akan membakar hati dan tubuh-tubuh mereka.
Kitab Syarah Bulugul Maram Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam
Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)
Shaf terbaik bagi laki-laki dan wanita
Hadits 335: Dari Abu Hurairah Radhilallahu Anhu, ia berkata: Rasulullahﷺ bersabda,”Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama, dan yang paling buruk adalah yang paling belakang. Sementara sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling buruk adalah yang pertama” (HR. Muslim).
Hal-Hal Penting dari Hadits:
Hadits ini menunjukkan lebih disukainya shaf pertama, dan shaf pertama itu merupakan posisi yang paling utama, sedangkan yang paling buruk adalah shaf-shaf yang belakang, karena jauhnya makmum dari mendengarkan bacaan imam dan dari tempat imam, disamping hal ini menunjukkan kecilnya ambisi orang yang datang belakangan dalam meraih kebaikan dan pahala.
Selain itu, bahwa yang lebih utama adalah mendahulukan cendekia berada di belakang imam, sehingga bisa menjadi panutan orang-orang yang di belakang mereka dalam hal ucapan dan perbuatan.
Adapun bagi wanita, yang dianjurkan adalah bertabir dan jauh dari pandangan laki-laki. Maka shaf-shaf yang belakang lebih utama dan lebih tertutup. Sedangkan shaf-shaf depan adalah yang paling buruk, karena lebih dekat kepada fitnah, atau bisa menimbulkan fitnah. Demikian ini bila mereka shalat dengan kaum laki-laki. Namun apabila shalat dengan sesama kaum wanita, maka hukum shaf mereka seperti shafnya laki-laki.
Yang paling berhak terhadap shaf pertama dan lebih dekat kepada imam adalah para ulama cendekia; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Hendaknya yang dibelakangku dari kalian adalah para ulama cendekia”.
Kitab Syarah Bulugul Maram Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam
Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)
Merapatkan Shaf Shalat
Hadits 334: Dari Anas Radhilallahu Anhu: Bahwa Nabiﷺ bersabda,”Rapatkanlah shaf-shaf kalian, saling berdekat diantara shaf dan sejajarkanlah leher kalian” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i). Dinilah shahih oleh Ibnu Hibban.
Hal-Hal Penting dari Hadits:
Hadits ini menunjukkan disunnahkannya merapatkan dan meluruskan shaf serta saling berdekatannya antar orang yang shalat; yaitu jangan sampai meninggalkan celah di dalam shaf (barisan shalat).
Nabiﷺ bersabda, “Tidaklah kalian berbaris sebagaimana berbarisnya malaikat di hadapan Rabbnya?” Mereka berkata, “Bagaimana berbarisnya malaikat di hadapan Rabbnya?” Beliau bersabda, “Mereka menyempurnakan barisan demi barisan dan saling merapat dalam barisan.” Tidak ada perbedaan pendapat bahwa melurskan shaf hukumnya sunnah mu’akadah.
Saling menempelkan mata kaki hukumnya sunnah mu’akadah, sebagaimana dalam hadits An-Nu’man bin Basyir, Rasulullah ﷺ bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian!” – beliau ucapkan tiga kali – Ia (Nu’man bin Basyir) mengatakan, “Lalu aku melihat orang menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya.”
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lāta dan Al-ʻUzzā, dan Manāh yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (An-Najm: 19-23)
Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid
Bab ini merupakan kelanjutan penyebutan tentang kesyirikan-kesyirikan yang bisa menghilangkan tauhid atau kesempurnaan tauhid.
‘at-tabarruk‘: meminta/mencari, mengharapkan dan meyakini berkah tersebut.
‘wanahwi hima‘: dan apa saja yang menyerupai keduanya, berupa sebidang tanah, sebuah gua, kuburan, monumen, atau petilasan (jejak peninggalan sejarah).
‘al-laata‘: Dapat dibaca dengan memperingan (tanpa tasydid) huruf ta-nya, juga dapat dibaca dengan tasydid. Menurut bacaan yang pertama, itu adalah nama sebuah batu besar berwarna putih yang di atasnya dipahat sebuah rumah, dan terletak di Thaif. Adapun menurut bacaan kedua, itu adalah isim fa’il dari kata Latta yang merupakan sebutan bagi seorang laki-laki yang dahulu biasa membuat adonan roti bagi jamaah haji, kemudian dia meninggal, lalu orang-orang beri’tikaf di atas kuburannya.
‘al-‘uzza‘: nama suatu berhala yang berupa pohon Samur yang di sekelilingnya dibuat bangunan dan diberi kelambu, terletak di daerah antara Mekkah dan Thaif.
‘al-manat‘: nama suatu behala beraap patung yang berbentuk manusia, berada di daerah Al-Musyallal, antara Makkah dan Hudaibiyyah,
Makna Ayat-Ayat Secara Global
Allah meminta hujjah kepada kaum musyrikin tentang peribadahan mereka kepada benda yang tidak berakal, berupa ketiga berhala tersebut, apa yang kalian dapatkan dari (berhala-berhala) tersebut?!. Allah juga mencela mereka atas kecurangan yang mereka lakukan dalam pembagian, bahwa mereka menyucikan diri mereka terhadap kepemilikan anak perempuan dan menjadikan anak perempuan itu untuk Allah.
Kemudian, Allah meminta keterangan kepada mereka tentang kebenaran peribadahan kepada berhala-berhala tersebut, dan menjelaskan bahwa persangkaan dan keinginan jiwa tidak bisa dijadikan hujjah dalam permasalahan ini. Sesungguhnya hujjah dalam masalah itu hanyalah pada (risalah) yang para rasul bawa berupa keterangan-keterangan yang jelas dan hujjah-hujjah yang pasti tentang kewajiban kepada Allah semata dan meninggalkan peribadahan kepada patung.
Hubungan antara Ayat-Ayat dan Bab
Pada ayat ini, terdapat pengharaman mencari berkah kepada pepohonan dan batu-batuan serta penggolongan perbuatan tersebut sebagai kesyirikan. Sebab, sesungguhnya para penyembah patung-patung tersebut melakukan hal itu karena menyakini akan mendapatkan berkah dari patung-patung tersebut dengan cara mengagungkan dan berdoa kepada (patung-patung) itu. Maka, mencari berkah kepada kuburan sama seperti mencari berkah kepada Laata, sedangkan mencari berkah kepada pepohonan dan bebatuan sama seperti mencari berkah kepada Uzza dan Manah.
Faedah Ayat-Ayat
Bahwasannya mencari berkah kepada pohon dan batu tergolong sebagai kesyirikan.
Pensyariatan untuk membantah orang-orang musyrikin dalam membatalkan kesyirikan dan menetapkan tauhid.
Bahwa hukum tidaklah ditetapkan, kecuali berdasarkan dalil dari (syariat) yang Allah turunkan, bukan semata-mata berdasarkan prasangka dan hawa nafsu.
Bahwa Allah telah menegakkan hujjah dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab.
Sumber:
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.
Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang hukum tabarruk (mengharap berkah) kepada pohon, bebatuan dan semisalnya. Bahwa hal ini termasuk dalam syirik akbar.
At-Tabarruk berasal dari kata Al-barakah yang berasal dari kata birka yang artinya tempat air berkumpul.
Pengertian Barakah
Secara bahasa al-barakah kembali pada dua makna:
Yang tetap dan terus menerus.
Berkembang dan bertambah.
Apabila Allah Ta’ala menjadikan sesuatu menjadi berkah, maka hal itu akan menjadi lebih baik, luas, dan berkembang. Sebagai contoh, kambing adalah hewan yang diberkahi karena dijadikan sebagai hewan qurban, pembayaran kafarah (sumpah, hadyu, fidyah).
Keberkahan ada yang terkait dengan agama dan ada yang terkait dengan dunia. Keberkahan yang paling besar adalah Al-Qur’an Al-Karim, yang merupakan rahmat untuk semesta alam dan berlaku untuk seluruh manusia yang sekarang dan yang akan datang, penyembuh segala penyakit, petunjuk pada setiap perkara.
Rasulullah dijadikan oleh Allah berkah. Dengan diutusnya beliau, ajaran yang beliau bawa. Juga beliau berkah pada dzatnya, perbuatannya, ucapannya, dan peninggalannya.
Demikian juga para Nabi yang lain juga diberkahi. Nabi Ibrahim Alaihi Salam, disebutkan keberkahan Nabi Isya Alaihi Salam dalam Al-Qur’an:
Demikian juga para Malaikat. Allah menjadikannya keberkahan terhadap kaum mukminin. Orang Shaleh juga ada keberkahan.
Keberkahan di Beberapa Masjid Terkemuka
Beberapa masjid memiliki keberkahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masjid lainnya. Misalnya, shalat di Masjid Al-Haram sama dengan 100 ribu kali shalat di masjid lain. Di Masjid Nabawi, shalat di sana nilainya seperti seribu kali shalat di masjid lainnya, kecuali Masjid Al-Haram. Sementara di Masjid Al-Aqsa, nilainya seperti 500 kali shalat di masjid lainnya, kecuali Masjid Al-Haram dan Nabawi. Meskipun begitu, semua masjid mengandung keberkahan di atas masjid lainnya, seperti halnya Masjid Quba.
Bulan Ramadhan penuh berkah karena berisi berbagai keberkahan. Lailatul Qadr juga penuh berkah. 10 hari pertama bulan Dzulhijah adalah hari-hari terbaik dalam kehidupan dunia dan penuh dengan keberkahan. Juga, hari-hari tasyrik, bulan-bulan haram, hari Jumat, senin/kamis, dan sepertiga malam terakhir.
Juga di tempat lain seperti Mekah, Madinah, dan Syam ada keberkahan. Keberkahan juga bisa dilihat dari turunnya hujan, pohon zaitun, susu, kuda, pohon kurma, dan madu.
Pengertian Tabarruk
Tabarruk berarti mencari berkah. Ini bisa dilakukan melalui ucapan, perbuatan, atau keyakinan.
Tabarruk dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Ada yang diperbolehkan dalam syariat, ada pula yang merupakan bentuk kesyirikan. Selain itu, ada juga tabarruk yang bersifat bid’ah dan khurafat.
Tabarruk yang disyariatkan:
Tabarruk pada sesuatu yang Allah berkahi sebagaimana penjelasan diatas
Tabarruk pada perkara yang dilarang.
Bagaimana cara membedakan kedua tabarruk tersebut? Jika ada aturan dari Allah Ta’ala, itu adalah tabaruk yang diperbolehkan. Selain itu, tabarruk itu tidak boleh dilakukan. Tabarruk yang tidak diperbolehkan dapat termasuk dalam perbuatan menyekutukan Allah atau tidak.
Tabarruk menjadi kesyirikan pada dua keadaan:
Menjadi syirik akbar apabila meyakini pada perkara yang dia pakai bertabarruk dengan sendirinya memberi kebaikan. Seperti meyakini suatu pohon akan memberikan kebaikan atau meyakini batu yang menurunkan hujan. Juga termasuk menyembelih di suatu pohon untuk mencari keberkahan. Kaidahnya, menyekutukan selain Allah dengan Allah pada sesuatu yang merupakan kekhususan Allah Ta’ala.
Menjadi syirik kecil pada dua bentuk:
Menjadikan apa yang bukan sebab keberkahan sebagai hal yang dia pakai untuk bertabarruk. Sebab keberkahan ada ketentuannya dalam syariat.
Menjadikan sebab keberkahan melebihi kadar yang diizinkan secara syar’i. Sebagai contoh diizinkan meminta doa kepada orang yang shalih ketika masih hidup. Namun apabila kita minta doa dan bersandar kepadanya, merasa tenang dengannya, maka ini masuk syirik asghar karena melebihi dari kadar yang diizinkan. Tapi apabila minta didoakan dan bersandar hanya kepada Allah, maka ini tidak ada masalah.
Dalil 1: Firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nazm ayat 19-23
Apakah Laata, Uzza, dan Manah bisa memberi manfaat dan memberi bahaya?. Kalian mengetahui bahwa ketiga ini bukan sesembahan kenapa kalian jadikan sekutu.
Disebutkan ketiga berhala ini karena ketiganya yang paling besar dan paling agung pada masa itu.
Al-Laata tanpa tasydid ada makna tersendiri dan apabila bertasydid, Laatta, ada makna lainnya. Dan in merupakan dua Qiraah bacaan Al-Qur’an. Laata adalah batu putih yang berukir, diatasnya ada rumah. Berata di kota Thaif. Ini adalah beribadah kepada batu.
Al-Laatta maka ibnu Abbas mengatakan bahwa itu adalah orang shalih dahulu yang membuat adonan terigu dengan air dibagikan untuk orang yang berhaji untuk makanan mereka. Maka dia adalah orang shalih dan baik yang membagikan makanan untuk jamaah haji. Maka setelah orang shalih ini meninggal, maka mereka menyembah kuburannya. Ini adalah beribadah kepada kuburan.
Al-Uzza, adalah sebuah pohon yang ada tirai-tirainya yang mengelilingi pohon. Al-Uzza berada di sebuah tempat yang bernama Al-Mudhoyyir, terletak antara Mekkah dan Thaif. Para kaum musyrikin mengaggungkan pohon ini. Pada saat perang Uhud, Abu Sofyan berkata kepada Nabi dan para sahabat, “Kami punya Uzza, dan tidak ada Uzza bagi kalian”. Maka Nabi memerintahkan para sahabat untuk membalasnya dengan mengatakan, “Bahwa Allah adalah maula (pelindung) kami sedangkan tidak ada maula bagi kalian”.
Ketika Nabi menaklukan Mekkah, beliau mengirim Khalid bin Walid untuk memotong pohon Al-Uzza dan menghancurkan bangunan yang ada disekitarnya. Maka Khalid melakukan perintah tersebut dan kembali kepada Nabi. Nabi memerintahkan Khalid untuk balik lagi karena sesungguhnya kamu belum buat apa-apa. Ketika Khalid kembali lagi ke tempat pohon Al-Uzza ditebang, ada seorang perempuan telanjang yang rambutnya telah terurai dan penuh tanah diwajahnya. Maka Khlaid membunuhnya. Kemudian Nabi bersabda, “Itulah Al-Uzza”. Terkadang ada Jin dipohon yang berbicara untuk menipu orang. Terkadang apa yang dibicarakan jin itu terjadi, hal ini membuat mereka tersesat. Yang hakikatnya adalah jin-jin yang menipu manusia.
Al-Maanah, berada di Al-Musyallal di antara Mekkah dan Madinah. Berhala ini dihormati oleh orang-orang Madinah. Ada yang mengatakan bahwa kabilah Ghafattan yang mengagungkannya karena letaknya di tempat tinggal mereka.
Apa yang kaum musyrikin sembah dari pepohonan dan bebatuan, maka tidak ada hujjah pada nya.
Kesesuian Ayat dengan Bab
Bentuk ibadah kaum musryikin adalah hati-hati mereka menginginkan dan mengharapkan keberkahan dari apa yang mereka ibadahi: Laata, Uzza, Maanah.
Memutus bahwa itu adalah ibadah yang bathil dan kesyirikan yang dilarang.
Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah
Bab 6 Takwa
Hadits ke 74: Dari Umamah Shuday bin Ajlan Al-Bahili Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ berkhutbah pada haji wada’, maka beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, Shalatlah kalian lima waktu, dan berpuasalah pada bulan (Ramadhan) kalian, bayarlah zakat harta kalian, taatilah pemimpin kalian, maka kalian akan masuk surga.” (HR. At-Tirmidzi dalam akhir bab Kitabus Shalah ia berkata, hadits hasan shahih)
Penjelasan
Di dalam haji wada’ Nabi ﷺ berkhutbah pada hari Arafah, beliau berkhutbah pada hari Nahr (Hari berkurban) memberi nasehat kepada manusia dan mengingatkan mereka.
“Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhan kalian”, Rasulullah ﷺ memerintahkan semua manusia untuk bertakwa kepada Tuhan mereka yang telah menciptakan mereka dan memberikan kepada mereka nikmat dan memberikan kesiapan kepada mereka untuk menerima risalahnya dan mmerintahkan mereka bertakwa kepada Allah.
Shalatlah lima waktu yang telah Allah fardhukan kepada kalian dan atas Rasul-Nya.
Berpuasalah pada bulan Ramadhan.
“Bayarkanlah zakat harta kalian“, yakni berikanlah harta kalian kepada yang berhak menerimanya dan janganlah bersifat bakhil.
“Taatilah para pemimpin kalian“, yakni orang-orang yang telah Allah jadikan pemimpin kalian, ini mencakup para pemimpin daerah maupun negeri, mencakup pula pemimpin secara umum yakni pemimpin negara seluruhnya.
Wajib bagi rakyat untuk menaati mereka (pemimpin) selain dalam hal bermaksiat kepada Allah. Adapun dalam bermaksiat kepada Allah maka tidak boleh menaati mereka, walaupun mereka memerintahkan hal tersebut.
Ketaatan kepada makhluk tidak didahulukan dari ketaatan kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (An-Nisa: 59)
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
Penulis:Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
Pensyarah:Dr. Shalih bin Fauzan Al-FauzanHafizahullah
Bab 7: Tentang Ruqiyah dan Tamimah
Dari Sa’id bin Jubair Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Siapa saja yang memutus suatu tamimah dari seseorang, tindakannya itu sama dengan memerdekakan budak.” Diriwayatkan oleh Waki’.
(Diriwayatkan) pula oleh (Waki’) dari Ibrahim bahwa (Ibrahim) berkata, “Mereka (yakni murid-murid Abdullah bin Mas’ud) membenci segala jenis tamimah, baik berupa (ayat-ayat) Al-Qur’an maupun selain (ayat-ayat) Al-Qur’an.”
Biografi
Waki’ adalah Waki’ bin Al-Jarrah, orang yang terperaya, seseorang imam dan pemilik banyak tulisan. Beliau meninggal pada 197 H.
Ibrahim adalah Imam Ibrahim An-Nakha’iy, seorang yang terpercaya dari kalangan tokoh ahli fiqih. Beliau meninggal pada 96 H.
‘setara dengan seorang budak’: artinya dia mendapat pahala seperti pahala orang yang memerdekakan budak.
Makna Kedua Atsar Secara Global
Pengabaran bahwa siapa saja yang melenyapkan sesuatau dari seseorang yang dia gantungkan pada dirinya untuk menolak bahaya, dia mendapat pahala seperti pahala orang yang memerdekakan seorang budak dari perbudakan terhadap (budak) itu. Sebab, dengan menggantungkan jimat, berarti ia telah mejadi penyembah syaithan sehingga, jika jimat tersebut telah dia putuskan, berarti ia telah melenyapkan perbudakan syaithan dari orang itu.
Ibrahim An-Nakha’iy menceritakan dari sebagaian tokoh tabi’in bahwa mereka memutlakan larangan penggantungan jimat, meskipun jimat itu hanya bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an saja, dalam rangka menutup pintu kesyirikan.
Hubungan antara Kedua Atsar dan Bab
Sangat jelas bahwa, pada dua atsar di atas, terdapat kisah larangan penggantungan jimat secara mutlak dari tokoh-tokoh mulia dari kalangan pemuka tabi’in
Faedah Kedua Atsar
Keutamaan memutus jimat karena hal itu tergolong sebagai menghilangkan kemungkaran dan melepaskan manusia dari kesyirikan.
Pengharaman menggantungkan jimat secara mutlak, meskipun (jimat) itu terbuat dari ayat-ayat Al-Qur’an, menurut sekelompok tabi’in.
Semangat salaf dalam menjaga aqidah dari berbagai bentuk khurafat.
Wallahu Ta’ala A’lam
Sumber:
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
Penulis:Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
Pensyarah:Dr. Shalih bin Fauzan Al-FauzanHafizahullah
Bab 7: Tentang Ruqiyah dan Tamimah
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi’ Radhiyallahu Anhu bahwa (Ruwaifi’) berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku,
“Wahai Ruwaifi, barangkali engkau berumur panjang. Sampaikanlah kepada manusia bahwa siapa saja yang menggelung janggutnya, mengalungkan tali busur, atau beristinja’ dengan kotoran binatang atau dengan tulang, sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya‘.”
Biografi
Ruwaifi’ adalah Ruwaifi’ bin Tsabit bin As-Sakan bin ‘Ady bin Al-Harits, dari bani Malik bin An-Najjar Al-Anshary. Beliau pernah diangkat sebagai gubernur di Barqah dan Tharabulus dan menaklukan wilayah Afrika pada 47 H. Beliau meninggal di Barqah pada 56 H.
‘menggelung janggutnya’: dikatakan bahwa maknanya adalah perbuatan mereka dalam peperangan dengan memilih dan mengikat (janggut)nya untuk menyombongkan diri. Ada yang mengatakan bahwa yang diinginkan dengan hal itu adalah menata rambut (janggut) agar tergelung dan terkuncir mengikuti gata perempuan dan gaya hidup mewah. Ada yang mengatakan bahwa artinya adalah mengikat (janggut) ketika shalat, yakni mengumpulkan janggut (menyatukan janggut).
‘mengalungkan tali busur panah‘: yakni menjadikan (tali busur) sebagai kalung pada lehernya atau pada leher hewan peliharaannya dengan tujuan berlindung dari penyakit ‘ain.
‘dengan kotoran hewan‘: ar-raji’ adalah kotoran. Dinamakan raji’ karena kembali pada keadaannya yang pertama setelah menjadi makanan.
‘berlepas diri darinya’: ini adalah ancaman keras bagi pelaku hal tersebut.
Makna Hadits Secara Global
Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa shahabat (Ruwaifi’) ini akan berumur panjang sehingga (Ruwaifi’) akan menjumpai orang-orang yang menyelisihi petunjuk beliau ﷺ dalam hal janggut, yang petunjuk tersebut adalah membiarkan (janggut) panjang serta menjauhkan (janggut) dari perlakuan sia-sia dengan penampilan yang menyerupai orang-orang ajam atau orang yang bermewah-mewahan dan dungu. Atau, (menjumpai) orang-orang yang aqidah tauhidnya kurang dengan menggunakan sarana-sarana kesyirikan, yang mereka memakai kalung atau mengenakan (kalung) tersebut pada hewan-hewan peliharaan mereka guna menolak bahaya. Atau, (menjumpai) orang-orang yang melakukan hal-hal yang Nabi mereka larang berupa beristijmar dengan kotoran hewan dan tulang. Maka, Nabi ﷺ mewasiatkan sahabatnya agar (sahabatnya) menyampaikan kepada umat bahwa Nabi mereka berlepas diri dari para pelaku hal tersebut.
Hubungan antara Hadits dan Bab
Dalam hadits, terdapat larangan mengenakan kalung dari tali busur untuk menolak bahaya, dan bahwasannya hal itu tergolong sebagai perbuatan kesyirikan sebab tiada yang mampu menolak bahaya, kecuali Allah.
Faedah Hadits
Hadits ini menunjukan salah satu tanda kenabian sebab umur Ruwaifi’ dipanjangkan sampai (beliau meninggal pada) 56H.
Kewajiban untuk mengabarkan manusia tentang hal-hal yang diperintahkan kepada mereka dan hal-hal yang dilarang terhadap mereka berupa perkara-perkara yang wajib dikerjakan atau yang wajib ditinggalkan.
Pensyariatan untuk memuliakan dan membiarkan janggut, serta larangan berbuat sia-sia terhadap (janggut) dengan cara mencukur, memotong, mengikat, menguncir, atau perbuatan (sia-sia) lainnya.
Pengharaman mengenakan kalung untuk menolak bahaya, dan bahwasannya hal itu tergolong sebagai kesyirikan.
Pengharaman beristinja’ dengan kotoran hewan dan tulang.
Bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut tergolong sebagai dosa besar.
“Wahai Ruwaifi, barangkali engkau berumur panjang. Sampaikanlah kepada manusia bahwa siapa saja yang menggelung janggutnya, mengalungkan tali busur, atau beristinja’ dengan kotoran binatang atau dengan tulang, sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya‘.”
Tanda kenabian dari nabi ﷺ yang mengabarkan bahwa Ruwaifi berumur panjang dan memang terbukti berumur panjang, meninggal pada tahun 56 H. Panjang umur harus ada gunanya yaitu dengan amalan-amalan shaleh. Maka Ruwaifi’ dipesankan untuk menyampaikan pesan.
Terdapat kewajiban bagi yang mempunyai ilmu untuk menyampaikan kepada manusia apa yang diperintah dan apa yang dilarang. Sebagaimana Allah telah mengambil sumpah dalam firman-Nya:
Apabila Ilmu itu hanya ada pada seseorang, maka orang tersebut fardu ‘ain untuk menyampaikan. Akan tetapi apabila Ilmu itu ada pada beberapa orang, maka penyampainnya menjadi fardu kifayah apabila sudah ada yang menyampaikan dalam jumlah yang cukup.
Mengabarkan tiga perbuatan
Tidak boleh menggelung jenggot. Jenggot akan terus ada sampai hari kiamat karena Nabi yang memberitakan dan hukum tetap berlaku.
Menggantung kalung dari tali busur.
Tidak boleh beristinja dengan kotoran binatang karena najis, tidak membersihkan malah membuat semakin kotor.
Tidak boleh beristinja dengan tulang karena makanan dari jin. Makanan tidak boleh dipakai untuk istinja.
Maka sesungguhnya Nabi Muhammad berlepas diri darinya. Hal ini menunjukan dosa besar.
Wallahu Ta’ala A’lam
Sumber:
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Al-Isra: 36)
Maksudnya, janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Namun, telitilah setiap apa yang hendak kamu katakan dan kerjakan. Janganlah pernah sekali-kali menyangka semua itu akan pergi tanpa memberi manfaat bagimu dan (bahkan) mencelakakanmu.
اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” Sudah sepantasnya seorang hamba yang mengetahui bahwasanya dia akan diminta pertanggung jawaban tentang segala yang telah dia katakan dan perbuat serta (cara) pemanfaatan anggota badan yang telah Allah ﷻ ciptakan untuk beribadah kepadaNya, untuk mempersiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (yang akan diajukan). Hal itu tidak bisa terlaksana kecuali dengan menggunakannya (hanya) dalam rangka pengabdian diri (beribadah) kepada Allah ﷻ , mengikhlaskan agama ini (hanya) untukNya dan mengekangnya dari setiap yang dibenci Allah
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
Penulis:Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
Pensyarah:Dr. Shalih bin Fauzan Al-FauzanHafizahullah
Bab 7: Tentang Ruqiyah dan Tamimah
Dari Abdullah bin ‘Ukraim secara marfu’, (beliau berkata), “Siapa saja yang menggantungkan suatu benda (dengan anggapan bahwa benda itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), niscaya dia akan diserahkan kepada benda tersebut.“
Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzy
Biografi
Abdullah bin ‘Ukaim memiliki kunyah Abu Ma’bad Al-Juhany Al-Kufy. Beliau mendapati zaman kenabian, tetapi tidak diketahui bahwa beliau mendengar dari Nabi ﷺ
‘siapa saja yang menggantungkan sesuatu‘: yaitu hatinya berpaling dari Allah kepada sesuatu yang dia yakini bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.
‘diserahkan kepadanya‘: yaitu Allah menyerahkan orang tersebut kepada sesuatu tempat dia bergantung, dan Allah menghinakannya.
Makna Hadits Secara Global
Hadits ini lafaznya ringkas tetapi faedahnya sangat agung, bahwa Nabi ﷺ mengabarkan kepadanya bahwa siapa saja yang berpaling dengan hatinya, perbuatannya, atau dengan keduanya kepada sesuatu (selain Allah) dengan mengharap mendapat manfaat dan terhindar dari bahaya, Allah akan menyerahkan orang tersebut kepada sesuatu tempat ia bergantung. Siapa saja yang bergantung kepada Allah, Allah akan mencukupinya serta akan memudahkan segala kesulitan. (Namun), siapa saja yang bergantung kepada selain Allah, Allah akan menyerahkan diri-Nya tersebut dan Allah akan menghinakannya.
Hubungan antara Hadits dan Bab
Pada hadits di atas, terdapat larangan dan peringatan terhadap bergantung kepada selain Allah untuk mendapatkan manfaat dan menolak bahaya.
Faedah Hadits
Larangan terhadap bergantung kepada selain Allah.
Kewajiban untuk bergantung hanya kepada Allah dalam segala urusan.
Penjelasan tentang bahaya dan akibat jelek kesyirikan.
Bahwasannya balasan (yang diperoleh) sesuai dengan amalannya
Bahwa hasil/buah perbuatan akan kembali kepada pelakunya, baik (perbuatan tersebut) baik maupun jelek.
“Barang siapa yang menggantungkan suatu benda (dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), niscaya (Allah) menjadikan dia selalu bergantung kepada benda tersebut.”
Haditsnya hasan.
Bergantung bisa dengan hati, bisa dengan perbuatan dan mungkin dengan hati dan perbuatan. Maka diserahkan kepada dirinya sendiri, pada selain Allah. Maka pasti akan binasa.
Harus bergantung hanya kepada Allah, sehingga Allah akan mencukupi dan memenuhi nya.
Bagaimana bergantungnuya? Apakah sebab atau bukan sebab. Apabila bukan sebab bukan qodari, maka masuk dalam hadits. Tapi apabila sebab tersebut adalah sebab qodari. Maka harus dipastikan sebab syari’i.
Misalkan seorang ingin anak, tapi dengan cara berzina. Ini merupakan sebab untuk mendapatkan anak tapi ini sebab yang diharamkan. Atau ingin sembuh tapi mimum obat yang diharamkan. Ini juga sebab yang diharamkan.
Yang benar bergantung pada Allah dan sebab yang disyariatkan Allah. Tapi selain dari itu maka dia akan disandarkan kepada sesuatu tersebut. Kaidah nya apabila disandarkan kepada selain Allah maka akan mengantarkan kepada kebinasaan.
Wallahu Ta’ala A’lam
Sumber:
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.
Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah
Bab 6 Takwa
Hadits ke 73: Dari Abu Tharif Adi bin Hatim Ath-Tha’i Radhiyallahu Anhu ia berkata, Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa bersumpah atas sesuatu, kemudian ia melihat ada sesuatu yang lebih membuatnya bertakwa kepada Allah daripada sumpah itu, maka hendaknya dia melaksanakan ketakwaannya itu.” (HR Muslim)
Penjelasan
Bersumpah kepada Allah Ta’la dengan nama dari nama-namanya atau sifat dari sifat-sifat-Nya, dan tidak boleh bersumpah dengan sesuatu selain Allah.
Nabi ﷺ bersabda “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah kafir atau musyrik“.
Tidak sepantasnya seseorang banyak bersumpah, sebagaimana firman Allah Ta’ala “Dan jagalah sumpahmu” (Al-Maidah: 89). Sebagian mufasir berkata “Jagalah sumpah-sumpah kalian, yakni jangan memperbanyak sumpah kepada Allah, jika kamu bersumpah hendaklah dibatasi dengan ucapan Insya Allah. Kamu ucapkan, “Demi Allah, Insya Allah”.
Dalam hadits ini Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa jika mau bersumpah dan kamu melihat bahwa selain sumpah ini lebih bertakwa kepada Allah maka bayarlah kafarat sumpahmu dan datangilah yang lebih bertakwa tersebut.
Jika ada yang mengatakan, “Demi Allah saya tidak akan berbicara kepada Fulan,” padahal ia seorang muslim, maka yang lebih bertakwa adalah kamu berbicara kepadanya, karena mendiamkan seorang muslim itu adalah haram, maka hendaklah kamu berbicara dan membayar kafarat dengan sumpahmu.
Bersumpah atas sesuatu yang telah berlalu, maka tidak ditanyakan keparatnya, karena tidak ada kafarat disini. Akan tetapi, bisa jadi orang yang bersumpah selamat atau ia berdosa.
Sedangkan bersumpah untuk masa yang akan datang inilah yang mengandung kafarat, jika seseorang bersumpah untuk masa yang akan datang, maka wajib baginya membayar kafarat, kecuali ia membarengi ucapan sumpahnya dengan kehendak Allah ia berkata, “Insya Allah”, maka tidak ada kafarat.