Ini adalah pendahuluan yang ketiga, yaitu penjelasan mengenai makna Al-Hanifiyyah serta mengenai perintah dan larangan Allah yang paling besar.
Kata Al-Hanifiyyah telah diulang beberapa kali dari beberapa kitab karya para penulis. Hal ini terjadi karena Al-Hanifiyyah adalah pokok dari agama di mana seluruh nabi dan rasul berada di atas Al-Hanifiyyah.
Pada khususnya Nabi Ibrahim Alaihi Salam yang merupakan imam orang-orang yang Hanif. Nabi Ibrahim wajib diikuti oleh umat, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrāhīm seorang yang hanif.” (QS. An-Nahl: 123)
Terjemahan Kitab
Ketahuilah semoga Allah membimbingmu untuk mentaatinya bahwa hanafiyah agama Nabi Ibrahim adalah engkau beribadah kepada Allah saja dengan memurnikan agama untukNya. Dengan itulah Allah memerintahkan seluruh manusia dan menciptkan mereka karena hal tersebut. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS. Adz Dzariat: 56)
Maksud kalimat “agar beribadah kepadaKu” adalah agar mereka mentauhidkan Aku. Perkara paling besar yang Allah perintahkan adalah tauhid yaitu mengesakan Allah dalam ibadah. Perkara paling besar yang Allah larang adalah kesyirikan yaitu beribadah kepada selain Allah bersamaan dengan itu dia juga beribadah kepada Allah. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala,
“Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan menduakan Allah dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Pembahasan:
Pertama: Penggabungan antara pengajaran dan doa
Ketahuilah semoga Allah membimbingmu untuk mentaatinya bahwa hanafiyah agama Nabi Ibrahim.
Apabila seorang hamba mentaati Allah, maka telah mendapatkan seluruh kebaikan. Sehingga sangat penting untuk mendapatkan hidayah ini. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dalam Shahih Muslim, berpesan kepada Ali Radhiyallahu Anhu:
Kedua: Penjelasan makna Al-Hanifiyyah
Al-Hanifiyyah berasal dari kata Al-Hanaf, yang bermakna condong. Hal ini dikarenakan seseorang yang condong kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan.
Adapaun secara istilah, Al-Hanifyyah adalah engkau beribadah kepada Allah saja dengan memurnikan agama untukNya.
Al-Hanifyyah mempunyai dua makna:
Makna umum artinya Islam
Makna khusus artinya menghadap kepada Allah dengan tauhid dan berpaling dari kesyirikan dengan berlepas diri darinya.
Al-Hanifiyyah dikhususkan agama Nabi Ibrahim. Padahal seluruh Nabi dan Rasul juga Al-Hanifiyyah. Hal ini disebabkan:
Nabi Muhammad Shallallhu Alaihi Wasalam adalah keturunan dari Nabi Ismail Alaihi Salam, putra dari Nabi Ibrahim Alaihi Salam
Nabi Ibrahim dijadikan imam (panutan) dalam Al-Hanifiyyah. “Sesungguhnya Nabi Ibrahim adalah sebuah umat yang jujur, taat, tekun dan giat beribadah kepada Allah dan orang yang Hanif“
Nabi Ibrahim adalah manusia yang paling sempurna didalam mentahqiq tauhid, sampai kepada derajat Al-Hulla. Disebut sebagai Halillullah, kekasih Allah Ta’ala demikian juga Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam.
Mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya. Ini adalah perintah Allah kepada seluruh manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’lla:
Ketiga: Makna Ibadah
Dengan itulah Allah memerintahkan seluruh manusia dan menciptkan mereka karena hal tersebut.
Hakikat dari Al-Hanifyyah adalah ibadah sehingga ini adalah perintah untuk seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS. Adz Dzariat: 56).
Makna “beribadah kepadaKu” adalah mentahuidkan Ku. Ibadah ada dua makna:
Makna umum, Ibadah adalah melaksanakan perintah syariat disertai dengan kecintaan dan ketundukan. Ibnu Qoyim berkata Ibadah adalah puncak kecintaan kepada Allah disertai dengan penghinaan dirinya tunduk kepada Allah.
Makna khusus, Ibadah adalah tauhid. Ibnu Abbas mempunyai kaidah yang disebutkan Al-Baghawi dalam tafsirnya, yaitu apa saja yang dalam dalam Al-Quran dari kalimat ibadah, maka makanya adalah tauhid.
Keempat: Tafsir ayat Sura Adz-Dzariyat
Firman Allah Ta’ala:
Tafsir Pertama: Ini adalah hikmah diciptakannya manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini bukan berarti Allah perlu kepada makhluk, karena Allah maha cukup dan maha kaya, tidak perlu sedikitpun dari makhluk. Akan tetapi makhluk lah yang perlu kepada Allah, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Tafsir Kedua: Sebagian ahli tafsir mengatakan ayat dalam surat Adz-Dzariat ini adalah khusus bagi orang-orang yang taat. Dalam bacaan Ibnu Abbas ayat ini disebutkan: “Tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia dari kaum mukminin, kecuali untuk beribadah kepada Ku.” Adapun Jin dan Manusia adalah kebanyakan penghuni neraka jahanam, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Kelima: Yang teragung dari segala yang Allah perintah
Tauhid adalah perkara yang paling agung, dikarenakan hal berikut:
Tauhid adalah perintah Allah kepada seluruh makhluk
Tauhid adalah tujuan diutusnya para Nabi dan Rasul
Tauhid terdapat pada seluruh kitab yang diturunkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Keenam: Definisi Tauhid
Tauhid adalah mengesakan Allah didalam beribadah, artinya seseorang beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak ada serikat bagi-Nya.
Tauhid memilik dua makna:
Pertama, Makna umum, yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh haknya.
Hak Allah ada dua:
Hak dalam ma’rifah (pengenalan) dan isbat (penetapan). Hak ini terkait dengan tauhid rububiyyah dan asma wa sifat
Hak dalam al-iradah (kehendak) dan al-qas (maksud). Hak ini terkati dengan tauhid uluhiyyah.
Dengan kata lain hak Allah ada tiga, yaitu: rububiyyah, uluhiyah, dan asma wa sifat.
Kedua, Makna khusus, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah. Dengan kata lain tauhid uluhiyyah.
Ketujuh: Yang terbesar dari segala yang Allah larang
Syirik adalah larangan Allah yang terbesar. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada kesyirikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Dalam hadits Abu Bakrah Radhiyallahu Anhu, riwayat Al-Bukhariy dan Muslim, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, riwayat Al-Bukhariy dan Muslim, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Kedelapan: Definisi kesyirikan
Syirik adalah menyeru kepada selain Allah bersama dengan menyeru kepada-Nya. Syirik adalah mempersekutukan Allah dengan yang lainnya.
Definisi syirik dengan makna Umum adalah menjadikan sesuatu dari kekhususan Allah kepada selain Allah. Ini mencakup syirik dalam rububiyyah, uluhiyyah dan asma wa sifat.
Definisi syirik dengan makna Khusus adalah menjadikan sesuatu dari ibadah Allah kepada selain Allah. Ini yang definisikan penulis yaitu menyeru (ibadah) kepada selain Allah bersama-Nya.
Kesembilan: Tafsir ayat surah An-Nisa’
Dalil dari tauhid adalah perintah terbesar dan syirik adalah larangan terbesar adalah firman Allah Ta’ala:
Dalam ayat ini mencakup 10 hak Allah kepada hamba, dimana hak yang pertama adalah beribadah kepada Allah dan tidak berbuat kesyirikan kepada-Nya.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu:
Ini mencakup semua jenis kesyirikan baik kecil maupun bersar.
Syirik besar membatalkan keislaman, menghancurkan amalan, dan kekal dalam neraka.
Wallahu Ta’ala ‘Alam
Sumber:
Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah
Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah
Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah
Bab 9 Memikirkan Kekuasaan Allah, Fananya Dunia, Kesulitan-Kesulitan di Akhirat, Pengendalian dan Pendidikan Jiwa, Serta Membimbingnya untuk Istiqamah.
“Aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad)” (QS. Saba’: 46)
Penjelasan:
Tafakkur adalah berkonsentrasi untuk berpikir dan merenungkan suatu masalah hingga menghasilkan suatu kesimpulan atau hikmah darinya.
Makna ayat diatas, yakni wahai Muhammad katakanlah kepada semua manusia, “Aku tidak memberikan nasihat kepada kalian kecuali dengan satu hal saja, jika kalian mengerjakannya maka kalian akan mendapatkan apa yang kalian harapkan dan selamat dari yang menakutkan.” Nasihat itu adalah firman Allah, “Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kamu pikirkan.” (QS. Saba’: 46)
“Supaya kamu menghadap Allah,” dengan ikhlas kepada-Nya, lalu kamu melaksanakan ketaatan kepada Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada kamu dengan penuh keikhlasan, kemudian renungkanlah.
Pada ayat ini ada isyarat yang menunjukkan bahwa jika seseorang melaksanakan suatu pekerjaan hendaklah ia memikirkan apa yang ia lakukan dengan amal itu; Apakah ia telah melaksanakannya sesuai dengan yang diperintahkan, mengurangi, atau menambah. Apakah amal yang dilakukan itu dapat menyucikan hati dan menbersihkan jiwa atau tidak. Jangan seperti orang yang melakukan kesalehan sebagai rutinitas sehari-hari tanpa pernah merenungkannya. Oleh karena itu renungkanlah ibadah yang telah kamu lakukan, seberapa jauh pengaruhnya terhadap hatimu dan keistiqamahanmu.
Misalnya dalam ibadah shalat, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar“(QS. Al-‘Ankabut: 45)
Makalihatlah shalatmu, apakah kamu jika shalat, kamu mendapatkan jiwamu membenci kemungkaran dan kemaksiatan atau shalat tidak memberikan faedah dalam hal ini.
Contoh lain dalam masalah zakat, yaitu harta yang wajib dikeluarkan zakatnya kepada orang-orang yang telah diperintahkan Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103)
Jika kamu telah menunaikan zakat, maka lihatlah zakat telah mensucikan dari akhlak-akhlak yang tercela dan dosa? Apakah hartamu telah bersih?.
Banyak orang yang menunaikan zakat, seakan-akan zakat adalah utang yang harus dilunasi, sehingga hatinya tidak menyukainya, tidak merasa bahwa harta itu dapat membersikahnnya, dan mensucikan jiwanya.
Ini adalah nasihat agung yang jika seseorang ternasehati dengannya maka akan bermanfaat baginya dan akan baik keadannya.
Kami memohon kepada Allah semoga Dia memperbaiki amal-amal dan keadaan kita.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat: 30-31)
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istikamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Ahqad: 13-14)
Penjelasan
Istiqamah yaitu seorang berpegang teguh dengan syariat Allah sebagaimana yang telah diperintahkan dan dilakukan ikhlas karena Allah Ta’ala.
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu“. Perintah untuk istiqomah dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan juga berlaku bagi umatnya. Semuanya wajib untuk beristiqamah sebagaimana yang diperintahkan dan tidak boleh menukar agama Allah, menambah atau dan menguranginya.
“Tuhan kami Allah” yaitu pencipta kami, raja kami dan pengatur urusan kami, maka kami ikhlas kepda-Nya. “Kemudian mereka beristiqamah” atas ucapan mereka bahwa Tuhan mereka adalah Allah dengan menegakkan syariat-syariat Allah.
Orang-orang inilah yang disifati dengan dua sifat. “Turun kepada mereka para malaikat“. Satu persatu mengatakan “Dan mereka tidak merasa takut dan bersedih“, yakni malaikat akan turun kepada mereka dengan perintah Allah di setiap tempat yang menakutkan apalagi ketika kematian datang, malaikat itu berkata pada mereka, “Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa bersedih“, yakni jangan takut dengan apa yang kalian hadapi dari perkara-perkara kalian dan jangan sedih dengan apa yang berlalu dari perkara-perkara kalian.
“Dan berilah kabar gembira mereka dengan surga yang telah Allah janjikan kepadamu“, tidak diragukan lagi bahwa seseorang akan gembira jika dikatakan akan menjadi penduduk surga.
Di dalam hal ini ada dalil tentang pentingya istiqamah dalam agama Allah supaya manusia bisa kokoh tidak berkurang dan tidak bertambah, tidak merubah dan menggantinya. Adapun orang yang berlebihan dalam agama Allah, atau orang yang keras dari agama atau merubahnya maka dia bukan orang yang istiqamah pada syariat Allah Ta’ala. Istiqmah itu harus dengan keadilan di segala sisi, kemudian orang ini mampu komitmen.
Ini adalah Pendahuluan kedua dari tiga pendahuluan yang disebutkan penulis, yaitu ada tiga pembahasan yang wajib untuk diamalkan:
Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wasalam
Bathilnya kesyirikan.
Al-Wala dan Al-Bara.
Terjemahan Kitab
Ketahuhilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa wajib bagi seorang muslim dan muslimah mempelajari tiga perkara dan mengamalkannya.
Pertama ia mempelajari bahwa Allah telah menciptakan kita, memberi kita rezeki, dan tidak membiarkan kita terlantar. Tapi Allah mengutus kepada kita seorang rasul. Siapa yang mentaati Rasul itu, ia akan masuk surga dan siapa yang durhaka kepadanya ia akan masuk ke dalam neraka. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala
“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Firaun. Maka Firaun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat” (QS. al Muzammil: 15-16)
Kedua ia mempelajari bahwa Allah tidak ridha jika disyerikatkan dengan seorang pun dalam ibadah. Baik disyerikatkan dengan seorang malaikat yang didekatkan dengan Allah atau Nabi yang diutus.
“Dan masjid-masjid hanyalah milik Allah, maka janganlah kalian beribadah kepada Allah bersamaan dengan itu kalian juga ibadah kepada seseorang” (QS. al Jin: 18)
Ketiga siapa yang mentaati Rasul dan mentauhidkan Allah maka tidak boleh baginya untuk membela orang yang menentang Allah dan RasulNya walaupun dia adalah kerabat yang paling dekat dengannya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
“Kamu tidak akan mendapati sebuah kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang kepada orang yang menentang Allah dan rasulNya walaupun mereka adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka adalah orang yang telah Allah tetapkan keimanan dalam hati mereka dan Allah kuatkan dengan pertolongan dari Allah. Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Merekalah golongan Allah dan ketahuilah bahwa golongan Allah pasti akan menang” (QS. Al Mujadilah: 22)
Pembahasan:
Pertama: Menggabungkan antara pengajaran dan doa
Pengajaran dan Doa yang disebutkan yaitu “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu”
Belajar harus dilakukan dengan mengambil ilmu dari seorang guru yang ahli pada bidangnya, bukan hanya dengan belajar dan membaca sendiri.
Kedua: Kewajiban mempelajari dan mengamalkan tiga masalah
Hal ini dijelaskan dipendahuluan agar kita mengenal hakikat dari agama dan tauhid yang dibawa oleh Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam. Ada tiga hal yang disebutkan penulis diatas yang wajib dipelajari dan diamalkan.
Ketiga: Keimanan kepada tauhid rububiyyah
Keimaman rububiyah menyatakan bahwa Allah menciptakan kita, memberi kita rezeki, dan tidak membiarkan kita terlantar.
Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, memperbaiki ciptaan, dan memberikan berbagai rezeki serta anugerah kepada manusia agar tidak kelaparan.
Keimanan pada tauhid rububiyyah sama di antara muslim dan musyrik pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Iblis pun tidak menyangkal hal ini.
Keimanan Rububiyyah adalah mengesakan Allah dalam perbuatannya.
Keempat: Hikmah penciptaan jin dan manusia
Kita tidak hidup tanpa perintah dan larangan. Kita memiliki kewajiban yang harus dikerjakan dan larangan yang harus dihindari.
Firman Allah Ta’ala:
Bahkan diutus seorang Rasul untuk membawa petunjuk pada jalan yang lurus, menyuruh kepada kebaikan, dan meninggalkan segala kejelekan. Siapa yang taat kepada Rasul akan masuk surga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Makhluk paling sempurna adalah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara dhohir maupun batin.
Hal ini juga berarti bahwa orang yang bermaksiat kepada Rasul akan masuk neraka, sebagaimana Firman Allah.
Manusia diciptakan Allah dan diberi rezeki. Allah mengutus Rasul, yang taat akan masuk surga, yang bermaksiat akan masuk neraka.
Kelima: Kewajiban taat kepada Rasulullah ﷺ
Imam Ahmad berkata terdapat lebih dari 33 tempat dalam Al-Qur’an mengenai taat kepada Rasul.
Ketaatan kepada Rasul berarti juga taat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Sehingga diwajibkan taat kepada Rasul sebagaimana dalam surah Al-Muzammil ayat 15-16.
Keenam: Tafsir dua ayat surah Al-Muzzammil
Tafsir surah Al-Muzammil ayat 15-16:
Sesungguhnya kami telah mengutus kepada kalian seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul.
Rasul yang akan menjadi saksi amalan-amalan kalian di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang Rasul, yaitu Nabi Musa Alaihi Salam.
Fir’aun menentang Nabi Musa, lalu Firaun dan tentaranya disiksa dengan ditenggelamkan ke dalam laut. Mereka juga disiksa di dalam kubur sampai hari kiamat, sesuai dengan Firman Allah Ta’ala.
Umat Nabi Musa yang membangkang kepada beliau disiksa di neraka, begitu juga umat Nabi Muhammad yang membangkang kepada beliau akan disiksa di neraka.
Diakhirat akan ditanya bagaimana kalian menjawab seruan para Rasul:
Hanya terdapa dua golongan: mengikuti Rasul atau mengikuti hawa nafsu.
Seorang mukmin apabila sudah ada printah dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada pilihan lain.
Ketujuh: Kebatilan kesyirikan dalam ibadah dan kebenaran tauhid untuk Allah
Ini adalah poin kedua dari penulis tentang kebatilan kesyirikan dan kebenaran tauhid. Perintah terbesar adalah tauhid dan larangan terbesar adalah kesyirikan. Wasiat Allah dalam surat Al-An’am pertama kali membahas tentang tauhid. Begitu juga dalam surat Al-Isra, yang dimulai dengan pembahasan tentang tauhid.
Kedelapan: Tafsir surah Al-Jinn
Dalil bahwa ibadah hanya milik Allah terdapat dalam Surat Al-Jinn ayat 18. Mesjid-mesjid (tempat shalat) dan anggota tubuh yang digunakan untuk sujud adalah milik Allah, dan tidak boleh digunakan untuk menyembah selain Allah.
Larangan beribadah kepada selain Allah termasuk pada malaikat, Nabi, wali, dan lainnya. Ibadah mencakup doa, nadzar, sembelihan, dan sebagainya.
Kesembilan: Kewajiban berlepas diri dari kaum musryikin
Ini adalah poin ketiga dari penulis, yang melanjutkan poin pertama dan kedua. Siapa yang taat kepada rasul dan mentauhidkan Allah, tidak boleh berloyalitas kepada yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah keluarga dekatnya.
Penulis ingin menjelaskan bahwa Islam itu tidak hanya taat kepada Rasul, mentauhidkan Allah, tetapi Islam itu harus Al-Wara dan Al-Bara. Artinya wajib memberikan cinta hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta kaum mukminin. Dan juga wajib berlepas diri dari yang memberikan loyalitasnya kepada orang kafir.
Kesepuluh: Penjelasan ayat surat Al-Mujadilah dan beberapa pembahasan seputar Al-Wara dan Al-Bara
Dalil larangan memberikan loyalitas kepada yang menentang Allah dan Rasul-Nya adalah surat Al-Mujadilah ayat 22.
Engkau tidak akan menemukan kelompok yang benar-benar beriman, yaitu beriman kepada Allah dan hari akhirat, namun juga memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir, walaupun mereka adalah keluarga dekat. Ini adalah konsekuensi dari Tauhid, yaitu tidak memberikan loyalitas kepada orang kafir.
Mereka adalah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dan keteguhan dalam hati. Mereka akan masuk surga dan kekal di dalamnya karena Allah ridha pada mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan Allah, dan beruntung di dunia maupun akhirat.
Mereka yang benar pada Al-Wala dan Al-Bara-nya maka disebutkan enam keutamaan:
Dikumpulkan dan dikuatkan keimanan dalam hatinya
Dikuatkan oleh Allah dengan petunjuk dan cahaya
Dijamin masuk surga
Ridha Allah terhadap mereka
Ridha hamba kepada Allah karena dimasukan ke surga
Dijadikan orang-orang khusus Allah (hizbullah)
Ini adalah hakikat Islam: keislaman seseorang tidak lengkap, meskipun dia bersaksi atas keesaan Allah dan meninggalkan kesyirikan, jika dia tidak secara terang-terangan menentang dan membenci kaum musyrikin.
Hal ini tidak berarti ekstrem atau tidak adil terhadap orang kafir. Keadilan adalah perintah dalam Agama, baik untuk muslim maupun kafir. Umat Islam yang memegang teguh aqidah ini, tidak akan menjadi penyebab kerusakan bagi orang kafir. Pada zaman Nabi, orang-orang Yahudi tinggal di Madinah dan hidup damai, kecuali mereka yang melanggar perjanjian.
Saikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Al-Bara’ (berlepas diri) adalah kebalikan dari Al-Wala’ (memberi loyalitas). Kata Al-Bara’ berarti kebencian, sedangkan kata Al-Wala’ berarti cinta. Inti dari konsep Tauhid adalah mencintai hanya Allah serta mencintai semua yang Allah cintai, dan tidak mencintai kecuali untuk Allah serta tidak membenci kecuali untuk Allah.
Saikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ketika seorang hamba telah kuat dalam pembenaran, pengetahuan, dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hal tersebut mengharuskan adanya kebencian terhadap musuh-musuh Allah.
Apa Hukum memberi Loyalitas kepada orang Kafir?
Secara umum jawaban nya ada dua hukum:
Al-Tawali, ini adalah hukumnya kafir, keluar dari Islam.
Al-Muwalah, ini adalah hukumnya dosa besar.
Al-Tawali adalah mencintai kesyirikan, mencintai orang-orang yang berbuat kesyirikan, membantu orang kafir agar menang diatas kaum mukminin, bergembira apabila orang kafir yang menang diatas kaum mukminin, menolong kaum kafir untuk membinasakan kaum mukminin.
Firman Allah Ta’ala
Al-Baghawi menafsirkan, Iman seorang mukmin menjadi rusak karena memberikan kecintaan kepada orang kafir.
Al-Muwalah merupakan kecintaan dan pertemanan yang berkaitan dengan urusan dunia saja. Tidak ada cinta orang kafir terhadap kemenangan atas Islam, tetapi ada urusan dunia yang dicari. Tidak ada alasan untuk membantu orang kafir untuk menang atas kaum mukminin. Orang yang memberikan loyalitas hanya untuk kepentingan dunia masih disebut mukmin.
Hal ini terjadi pada Hatib bin Abi Baltah, seorang sahabat mulia, yang membocorkan rahasia Nabi. Kemudian Nabi memanggil Hatib, dan bertanya mengapa dia melakukannya. Hatib menjawab bahwa para sahabat yang berhijrah ke Madinah memiliki keluarga di Mekah yang dilindungi, sementara keluarganya di Mekah tidak aman. Hatib hadir di Pertempuran Badar dan memperoleh keutamaan.
Sehingga ini tidak membatalkan keislaman, tetapi dosa besar.
Orang Muslim yang tinggal di Negeri Kafir dan memiliki kewajiban untuk membela negaranya dalam pertempuran melawan Negeri Muslim tidak dapat disebut kafir. Jika mereka membela negara kaum Musyrikin demi kepentingan dunia, itu adalah dosa besar.
Hubungan antara negara Muslim dan non-Muslim tidak membuat salah satu pihak menjadi kafir. Ini disebabkan oleh banyak keterkaitan dengan hubungan dunia dan merupakan bagian dari strategi syar’iyyah.
Syeikh Shaleh Al Fauzan Hafihazullah memberikan ketentuan terkait sikap terhadap orang kafir, yang menekankan bahwa kita tidak boleh memberikan loyalitas kepada mereka. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus memutus hubungan dengan orang-orang kafir dalam segala hal. Beberapa hal yang diperkecualikan dalam hal ini, di antaranya:
Mendakwahi kepada Islam.
Melakukan perdamaian dengan orang Kafir (tidak saling berperang). Seperti dalam kisah perjanjian Hudaibiyah.
Tidak dilarang berbuat baik kepada orang kafir apabila mereka berbuat baik kepada umat Islam (Surat Al-Mumtahanah Ayat 8)
Taat kepada orang tua dalam hal yang baik
Dibolehkan pertukaran dalam perniagaan (jual-beli). Nabi mempekerjakan penduduk Khaibar.
Diperbolehkan menikahi perempuan ahlul kitab dengan syarat perempuan yang suci.
Memenuhi undangan orang kafir untuk makanan yang diperbolehkan.
Berbuat baik kepada tetangga orang kafir
Tidak boleh mendhalimi mereka.
Ayat ini sering disalahartikan oleh orang-orang liberal dan munafik masa kini. Pengertiannya sebenarnya adalah boleh berbuat baik pada orang yang tidak berarti memberikan loyalitas kepada mereka. Tidak memberikan loyalitas kepada orang kafir tidak berarti menolak berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka.
Wallahu Ta’ala ‘Alam
Sumber:
Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah
Judul kitab: Tiga Landasan Utama berserta Dalil-Dalilnya karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah Ta’ala.
Kitab ini menguraikan mengenai kewajiban setiap muslim dan muslimah yang harus diketahui, yang akan ditanyakan di alam kubur, yaitu tiga pertanyaan alam kubur. Diuraikan mengenai bagaimana mengenal Allah, mengenal Agama Islam, dan bagaimana mengenal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Kitab ini sangat penting, dahulu penulis mengajarkan selalu kitab ini kepada murid-murid dan orang-orang awam. Dan hingga saat ini kitab ini terus diajarkan secara rutin.
Disebut kita tsalatsatul ushul dikarenakan sebelum dijelaskan mengenai tiga landasan utama yaitu mengenal Allah, mengenal agama dan mengenal nabi, didahului oleh tiga risalah pendahuluan yaitu:
Kewajiban mempelajari empat masalah agama yang terkandung dalam surat Al-Ashr.
Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan bathilnya kesyirikan serta Al-Wala dan Al-Bara.
Penjelasan Makna Al-Hanifiyyah serta perintah teragung dan larangan terbesar.
Terjemahan Kitab
Ketahuhilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa wajib atas kita untuk mempelajari empat perkara.
Pertama : Berilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabiNya, dan mengenal agama Islam dari dalilnya.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. al‘Ashr: 1-3)
Berkata Imam Syafi’i rahimahullah
“Seandainya Allah tidak menurunkan keterangan kepada kepada makhluknya kecuali surah ini, maka surah ini sudah cukup bagi mereka”
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS.Muhammad: 19)
Dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah berilmu (belajar) sebelum berucap dan beramal.
Pembahasan:
Pertama: Pembukaan risalah dengan basmalah
Kitab ini dimulai dengan basmalah, memohon pertolongan Allah ketika memulai penulisan. Hal ini sesuai dengan Al-Quran dimana dimulai dengan basmalah pada setiap surah nya, kecuali surah At-Taubah.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam juga memulai surat-surat nya dengan basmalah, seperti penulisan surat kepada Heraclius dan perjanjian hudaibiyah.
Makna bismillahi, ismi adalah mufrad dan disandarkan pada ma’rifah (Allah) maka menunjukan artinya bersandar kepada seluruh nama-nama Allah. Allah adalah yang diibadahi dengan penuh pengagungan. Allah adalah nama yang terbesar dari seluruh Asma Al-Husna.
Ar-Rahman Ar-Rahim, maha pemberi rahmat yang terus bersambung. Perbedaannya adalah:
Ar-Rahman adalah nama khusus untuk Allah, tidak boleh digunakan untuk selain Allah. Adapun Ar-Rahim boleh digunakan untuk selain Allah.
Ar-Rahman adalah rahmat yang luas untuk umum termasuk mu’minin, kafir, jin dan manusia sedangkan Ar-Rahim adalah rahmat yang terus bersambung khusus untuk kaum mu’minin.
Ar-Rahman kaitannya dengan dzat Allah sedangkan Ar-Rahim kaitannya dengan fi’il (perbuatan) Allah. Dalam Ar-Rahman, Allah maha rahmat, sedangkan dalam Ar-Rahim, Allah maha merahmati kepada siapa yang Allah kehendaki dari orang yang beriman dan tidak merahmati dari orang-orang kafir.
Kedua: Menggabungkan pengajaran dan doa
Pada permulaan risalah disebutkan “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu”. Ketahuilah artinya diajarilah ilmu dan kemudian didoakan semoga Allah merahmatimu.
Ini adalah sifat seorang guru yang baik yaitu mengajari ilmu dan kemudian mengiginkan kebaikan untuk muridnya. Seorang guru yang baik juga memberikan ilmu yang sesuai untuk muridnya, yaitu diawali dengan buku-buku dasar dan ringan dipelajari. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu menyebut guru seperti ini sebagai Rabani, yaitu yang mengajari manusia ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar.
Ketiga: Kewajiban mempelajari empat masalah
Penulis menyebutkan “wajib atas kita untuk mempelajari empat perkara”. Kewajiban ini adalah untuk semua orang yang sudah mukalaf (dewasa, aqil, baligh). Sebagaimana dalam surat Al-Asr, apabila tidak mempelajari ini, maka orang tersebut menjadi golongan orang yang merugi.
Keempat perkara tersebut adalah:
Ilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalil.
Amalan dengan ilmu.
Mendakwahkan ilmu.
Sabar di atas rintangan dalam hal tersebut (mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan ilmu).
Keempat: Definisi Ilmu dan ma’rifah
Definisi Ilmu adalah mengenal petunjuk dengan dalilnya. Apabila seseorang mengerti akan sesuatu tetapi tidak mempunyai dalil maka itu tidak dianggap ilmu.
Definisi Ma’rifah adalah pengetahuan untuk mengenal sesuatu. Seperti ma’rifah Allah artinya bagaimana mengenal Allah dengan dalil-dalilnya.
Ilmu secara syar’i memiliki dua sifat:
Sifatnya dicari darinya atau darimana diambilnya. Terdapat 3 bagian yaitu mengenal Rabb, Agama, dan Nabi-nya.
Sifatnya dicari padanya. Padanya harus diketemukan ada dalilnya.
Mengetahui dengan dalil artinya kita pernah mendengar dan mengetahui dalil akan sesuatu. Dalil tidak harus dihafalkan akan tetapi kita memegang petunjuk dengan dalilnya. Sehingga tidak disebut sebagai orang yang ikut-ikutan.
Tidak mempunyai dalil dan hanya ikut-ikutan tidak akan diperhitungkan. Seperti orang yang tidak tahu jawaban dari tiga pertanyaan di alam kubur: “ha ha. Saya tidak tahu, Saya hanya mendengar manusia berucap seperti itu, saya juga ikut mengucapkannya“. Sehingga walaupun kita tahu jawaban tersebut adalah Allah tuhan saya, Islam agama saya, dan Muhammad Shallallahu Alaihi wasalam Nabi saya, akan tetapi tidak ada manfaatnya apabila hanya ikut-ikutan orang yang menyebutkannya.
Dalam buku ini dipaparkan jawaban dari tiga pertanyaan alam kubur tersebut dengan dalil-dalilnya. Seperti siapa Allah akan dijelaskan dalil-dalilnya. Kemudian apa itu agama Islam? dijelaskan tentang Islam dan tingkatan-tingkatannya Islam. Mengenai nabi, dijelaskan siapa namanya, dimana tinggalnya dan kemana beliau hijrah.
Apabila kita tidak tahu akan jawaban tersebut dengan dalil-dalilnya, maka akan susah menjawab pertanyaan dialam kubur dan di akhirat.
Kelima: Ilmu yang wajib untuk dipelajari
Ilmu yang wajib dipelajari adalah mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal Islam dengan dalil-dalilnya. Bagaimana kadar kewajiban dari ketiga ilmu tersebut adalah inti pembahasan pada kitab ini.
Ilmu syar’i yang wajib (fard ‘ain) dipelajari bagi setiap muslim adalah ilmu pokok-pokok syari’at secara umum. Adapun rincian rinician detail dari pokok-pokok tersebut, tidak diwajibkan untuk setiap muslim. Akan tetapi menjadi fadhu kifayah pada sebagian jumlah yang cukup dari kaum mu’minin, seperti: hakim, mufti, pengajar dan selainnya.
Bagaimana mengenal Allah? yaitu bagaimana Allah mengenalkan dirinya dalam Al-Qur’an dan juga apa yang Rasulullah perkenalkan Allah dalam hadits-haditsnya. Mengenal Allah yang diibadahi, mengenal jalan yang mengantarknya kepada Allah, kemudian mengenal Nabi yang menunjukan jalan.
Ibnul Qoyim berkata “Allah telah mencela siapa yang tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Dan Allah mencela siapa tidak mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan. Dan Allah mencela siapa yang tidak megenal sifat Allah dengan sebenar-benar pengsifatan”.
Bagaimana mengenal Nabi-Nya (Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) ? dan bagaimana mengenal agama Islam dengan dalilnya? Hal ini akan dijelaskan oleh penulis.
Didahului dengan Ilmu karena ilmu adalah landasan atau dasar dari semuanya. Ilmu disini adalah ilmu syar’i yang wajib dipelajari. Hukum mempelajarinya ada yang fardu ‘ain dan ada yang fardu kifayah.
Adapun ilmu dunia hukum asalnya mubah, bisa menjadi dianjurkan apabila banyak manusia yang memerlukannya. Atau bisa menjadi fardu kifayah apabila banyak umat Islam yang akan tertimpa bahaya, apabila tidak mempelajari ilmu dunia tersebut.
Keenam: Kewajiban beramal
Beramal dengan ilmu artinya tampaknya bentuk perintah Allah pada seorang hamba. Seperti perintah shalat, maka ketika diamalkan kelihatan dirinya shalat. Amalan adalah buah dari ilmu.
Kaidah disebagian ahli hadist agar dikuatkan hafalan haditsnya maka mereka mengamalkan hadits tersebut.
Dalam Surat An-Nisa ayat 66-68: Andaikata mereka melakukan amalan yang diberikan ilmu kepada mereka, maka ini adalah yang terbaik untuk mereka, hal yang mengukuhkan (amalannya menjadi lebih bagus), dan akan diberi pahala yang besar, serta akan diberi hidayah menuju kepada jalan yang lulus.
Sebagian ulama mengatakan, “siapa yang beramal dengan ilmu yang dia pelajari, maka Allah akan mengajarkan atau mewariskan kepadanya ilmu yang sebelumnya tidak dipelajari”.
Ilmu ada yang wajib diamalkan dan ada yang sunnah diamalkan. Ilmu dalam mengamalkannya ada yang cukup satu kali ada juga yang diamalkan terus menerus.
Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ada tiga kelompok yang pertama dipanggang api neraka. Salah satunya adalah orang yang belajar tentang ilmu tapi tidak mengamalkannya. Dua yang lainnya adalah yang berjuang dijalan Allah dan yang bersedekah. Ketiga kelompok ini melakukan amalan tapi tidak ikhlas hanya ingin disebut sebagai seorang yang berilmu, mujahid, dan dermawan.
Dalam surat Al-Fatihah, kita meminta jalan yang lurus, yaitu beramal dengan ilmu. Tidak seperti orang-orang yang dimurkai yaitu orang Yahudi yang punya ilmu tapi tidak beramal. Dan tidak seperti orang-orang yang disesatkan yaitu orang Nashrani yang beramal tanpa ilmu.
Ketujuh: Kewajiban berdakwah kepada Allah
Setelah dipelajari dan diamalkan, maka didakwahkan ilmunya. Seperti kita ketahui bahwa ada ilmu yang wajib untuk dipelajari dan setelah itu ada yang amalan yang wajib diamalkan, maka ada kewajiban juga untuk mendakwahkan atau mengajarkan ilmu. Sehingga wajib mempelajari bagaimana cara menyampaikan ilmu.
Terdapat etika dan adab dalam berdakwah, diantaranya
Dijelaskan jalan yang benar
Harus ikhlas mengajak kepada Allah
Diatas ilmu dan yakin.
Diatas tauhid.
Mengajak kepada jalan yang jelas yaitu jalan Allah
Dengan hikmah, yaitu meletakan sesuatu kepada tempatnya.
Pelajaran yang baik, artinya nasihat yang mendalam, sehingga mengamalkannya.
Berbantahan dengan cara yang baik, yaitu apabila perlu diluruskan kesalahan atau membantah syubhat.
Sifat seorang da’i adalah orang-orang yang adil dan terpercaya.
Mereka menafikan orang-orang yang melampaui batas.
Mereka juga menafikan orang-orang yang mengikuti kebathilan.
Mereka juga menafikan takwil orang-orang yang jahil. Maka mereka menjelaskan tafsir yang benar.
Pesan nabi ketika mengutus para shahabat ke Yaman:
Seorang da’i agar jangan menggunakan bahasa-bahasa yang sulit dipahami. Tapi juga tidak terlalu mempermudah tapi sesuai dengan batasan agama. Kemudian memberi kabar gembira dan jangan membuat orang lari. Tidak langsung diberikan ancaman masuk neraka, sehingga orang tidak mau lagi mendengarnya. Kemudian saling pengertian dan tidak berselisih.
Dakwah bertingkat-tingkat, dakwah yang paling tinggi adalah kepada tauhid dan memperingatkan dari bahaya kesyirikan. Kemudian tingkatan dibawahnya adalah kewajiban-kewajiban.
Kedelapan: Kewajiban bersabar
Kewajiban bersabar dalam ilmu, maksudnya mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan ilmu.
Sabar artinya mengurung dirinya diatas hukum Allah dan tidak keluar darinya. Sabar adalah mengekang jiwanya untuk tidak berkeluh kesah dan mengeluh, anggota badannya tenang tidak melakukan yang tidak baik.
Para ulama berkata terbagi dua, yaitu kesabaran terhadap hukum Allah qadari dan hukum Allah syar’i. Qadari adalah ketentuan dan takdir adapun Syar’i adalah perintah dan larangan Allah. Sehingga kebanyakan ulama membagi sabar menjadi tiga: sabar dalam menjalankan perintah, sabar dalam meninggalkan larangan, dan sabar dalam menerima ketentuan dan takdir Allah.
Apabila kita mulai berdakwah, maka akan ada gangguan sebagaimana para rasul juga mendapat gangguan dan cobaan:
Maka harus bersabar dalam berdakwah dalam menghadapi ujian dan cobaan, sehingga terbiasa dan semakin kuat dalam menghadapinya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam mengibaratkan seorang mu’min sebagai sebuah pohon yang apabila diterpa angin dari timur maka pohonnya condong kebarat dan apabila diterpa angin dari barat maka pohonnya condong ketimur. Dan apabila tidak ada angin maka pohonya kembali ketengah. Akan tetapi orang kafir diibaratkan sebagai pohon yang kuat, yang apabila diterpa angin tidak goyah. Akan tetapi apabila anginnya lebih besar maka pohonya tumbang.
Ibnul Qoyim rahimahullah menyebutkan empat tingkatan ini (ilmu, amal, dakwah dan sabar) sebagai jihadun nafs (jihad memperbaiki diri), yaitu jihad dalam menuntut ilmu, jihad dalam mengamalkan ilmu, jihad dalam mendakwahkan ilmu dan jihad bersabar. Apabila sempuran dalam empat tingkatan ini maka termasuk yang rabaniyyun.
Kesembilan: Tafsir surah Al’Ashr
Dalil dari empat kewajiban ini adalah surat Al-Ahsr ayat 1-3.
Wal Ashr, artinya Allah bersumpah dengan waktu yang berada diakhir hari atau waktu Ashr atau masa seluruhnya. Waktu ini adalah orang yang shalih mendapatkan amalan shalih dan orang yang merugi juga mendapatkan amalan yang merugi.
Yang ingin Allah tegaskan adalah “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian“. Dalam ayat ini dikuatkan sebanyak tiga kali, yaitu demi waktu ashr, sesungguhnya, dan benar-benar. Dengan sumpah ini mengingatkan kita bahwa manusia ini benar-benar merugi, kecuali apa yang dikecualikan. Manusia disini adalah untuk semua umat manusia. Merugi ada yang ruginya semuanya, ada yang rugi sebagian, ada yang rugi besar atau kecil, ada yang rugi dunia, ada yang rugi akhirat, dan ada yang rugi dunia dan akhirat.
Yang dikecualikan empat sifat, yang juga disebutkan penulis yaitu empat perkara:
Beriman adalah keyakinan atau mengakui sesuatu tidak mungkin kecuali dengan ilmu. Dasar iman dan lanjutannya adalah terkait dengan ilmu.
Beramal dengan amalan yang shalih baik dhohir maupun bathin.
Saling berwasiat dengan kebenaran artinya berdakwah mengajak dijalan Allah.
“Seandainya Allah tidak menurunkan keterangan kepada kepada makhluknya kecuali surah ini, maka surah ini sudah cukup bagi mereka”
“Mencukupi bagi mereka” maksudnya cukup tegaknya hujjah bagi mereka dan kewajiban dalam menjalankan hukum Allah. Tidak bermaksud bahwa surat ini mencukupi semua perkara agama karena dalam agama banyak perkara yang harus dijelaskan seperti shalat, zakat, puasa dan lainnya.
Dalam surat Al Ashr ini terdapat kesempurnaan. Apabila dia berilmu dan mengamalkan maka mendapat kesempurnaan akan dirinya. Dan apabila dia berdakwah dan bersabar maka menyempurnakan orang lain.
Ibnul Qoyim rahimahullah surah Al-Ashr ini ringkas tapi surah Al-quran yang luas cakupannya dan mengumpulkan segala kebagikan.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata mengenai surat Al-Ashr ini sebagai timbangan untuk amalan dimana seorang mukmin menimbang dirinya dengan surah ini agar kelihatan apakah termasuk yang beruntung atau yang merugi.
Kesebelas: Penjelasan ucapan Imam Al-Bukhariy Rahimahullah dan pendalian beliau berupa ayat surat Muhammad.
Imam Al-Bukhariy berucap Bab tentang Ilmu sebelum berucap dan beramal, dalam kitab shahih Al-Bukhariy. Dalilnya adalah firman Allah “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, dan mohonlah ampunan terhadap dosa-dosamu” (Muhammad: 19)
Sisi pendalilannya adalah Allah memulai perintah dengan mempelajari ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.
Maksudnya disini untuk mengurutkan dari empat kewajiban yang disebutkan yaitu: ilmu, amal, berdakwah dan bersabar. Sehingga yang didahulukan adalah Ilmu sebelum ucapan dan amalan.
Dari ayat diatas, perintah pertama adalah mengilmui la ilaha illallah, sebelum memohon pengampunan dan sebab-sebab yang mengantar kepada pengampunan Allah Subhanahu Wata’ala.
Sofyan Ibnu Uyeinah Rahimahullah juga sebelumnya mengucapkan hal semisal. Beliau ditanya mengenai keutamaan ilmu, maka beliau berkata “tidak kah engkau mendengar kepada firman Allah Subahanahu Wa Ta’ala yang memulai dengan ilmu, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah“, setelah itu Allah perintah Nabi Muhammad untuk beramal “dan mohonlah ampunan terhadap dosa-dosamu“.
Hal semisal diucapkan oleh ulama setelahnya yaitu Abu Qosim Al-Jauhari Rahimahullah, memberi judul Bab Ilmu Sebelum Amalan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah“.
Ilmu adalah pemimpin (imam) nya amalan. Ilmu didepan kemudian amalan mengikut bermakmum dibelakangnya. Maka amalan yang tidak mengikut pada ilmu tidak akan bermanfaat dan akan membahayakan. Sebagian As-Salaf berkata, “Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak dari apa yang dia perbaiki”.
Wallahu Ta’ala ‘Alam
Sumber:
Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
Penulis:Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
Pensyarah:Dr. Shalih bin Fauzan Al-FauzanHafizahullah
Bab 12: Termasuk Kesyirikan, Isti’adzah (Meminta Perlindungan) kepada Selain Allah.
Dari Khaulah bintu Hakim Radhiyallahu Anha, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saya yang singgah di suatu tempat, lalu berdoa,
‘Aduzubikalimatil lahit tammati min syarri ma khalaq, ‘aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna terhadap kejahatan segala makhluk-Nya’, tiada sesuatupun yang akan membahayakan dirinya sampai dia meninggalkan tempat tersebut“
Diriwayatkan oleh Muslim.
Biografi
Khaulah bintu Hakim adalah Khaulah bitu Hakim bin Ummayyah As-Sulamiyyah. Beliau pernah menjadi ‘Utsman bin Mazh’un Radhuyallahu Anhu dan merupakan perempuan shalilhah dan utama.
‘Dengan kalimat-kalimat Allah’ yang dimaksud dengannya adalah Al-Qur’an.
Makna Hadits Secara Global
Nabi ﷺ memberikan bimbingan kepada umatnya untuk melakukan isti’adzah yang bermanfaat, yang dengannya dapat tertolak semua bahaya yang dikhawatirkan oleh manusia ketika singgah di suatu tempat, yaitu dengan beristi’adzah dengan kalamullah yang manjur, mencukupi, dan sempurna dari semua kejelekan dan kekurangan, agar mendapatkan keamanan selama berada di tempat tersebut dari gangguan yang jelek.
Hubungan antara Hadits dan Bab
Dalam hadits ini terdapat petunjuk tentang isti’adzah yang bermanfaat lagi disyariatkan sebagai ganti dari isti’adzah yang syirik yang biasa dipergunakan oleh orang-orang musyrikin.
Fedah Hadits:
Penjelasan bahwa Isti’adzah adalah Ibadah.
Bahwa Isti’adzah yang disyariatkan adalah isti’adzah kepada Allah atau dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Bahwa ucapan Allah bukanlah makhluk karena Allah memerintahkan agar beristi’adzah (meminta perlindungan) dengan ucapan-Nya, sedangkan isti’adzah dengan makhluk adalah syirik maka hal ini menunjukkan bahwa ucapan Allah bukan makhluk.
Dalil 2: Hadits dari Khaulah bintu Hakim Radhiyallahu Anha, riwayat Muslim
Makna dari “singgah disuatu tempat” tidak harus dalam keadaan safar, tapi bisa juga singgah pada suatu tempat walaupun dalam kota yang sama.
Biografi: Khaulah bintu hakim
Ummu Syariq, yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz sebaik perempuan yang shalihah. Yang meghibahkan dirinya kepada Nabi, akan tetapi Nabi tidak menginginkannya. Hal ini adalah salah satu keutamaannya dikarenakan besar keimannnya dan kesadaran pada kebaikan.
Penjelasan:
Kalimat Allah terbagi dua:
Pertama, kalimat kauniyah qodariyah, yaitu ketetapan dan takdir Allah. Apabila Allah menghendaki terjadi maka terjadi.
Kedua, kalimat diniyyah syar’iyah, ini adalah Al-Qur’an dan hadits qudsi yang merupakan Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla.
Pada hadits ini mencakup dua-duanya.
Dengan berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna, maka tidak akan dibahayakan oleh sesuatu apapun termasuk gangguan manusia, jinn, hewan liar, dan semua gangguan kejelekan dari makhluk. Sampai meninggalkan tempat tersebut.
Nabi menganjurkan untuk berlindung hanya kepada Allah (kalimat Allah).
Sisi pendalilannya yaitu Nabi mengajarkan bagaimana ber-isti’adzah dengan benar yaitu hanya kepada Allah, nama-nama Allah, sifat-sifat Allah dan Kalimat Allah. Karena diajarkan beristi’adzah oleh Nabi maka ini adalah Ibadah. Sehingga Ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.
Imam Qurtubi menyebutkan mengenai hadits ini bahwa hadits ini adalah bahwa saya mengetahui kebenaran hadits ini berdasarkan dalil dan kenyataan. Semenjak mendengarkan hadits ini saya selalu membacakannya dan tidak pernah meninggalkan kecuali pada suatu hari saya tinggalkan membaca dzikir ini dan malamnya disengat oleh kalajengking. Kemudian beliau berpikir kenapa bisa disengat kalajengking padahal sebelumnya tidak pernah seperti itu. Maka beliau menyadari bahwa beliau lupa membaca dzikir ini.
Pembahasan-pembahasan.
Pertama, tafsir surat Jinn ayat 6.
Kedua, meminta perlindungan kepada jinn termasuk kesyirikan. Hal ini dikarenakan meminta perlindungan adalah Ibadah. Sehingga harus ditujukan untuk Allah Subhanahu Wa Ta’lla. Sehingga apabila ditujukan kepada jinn, maka termasuk kesyirikan.
Ketiga, Isti’adzah kepada selain Allah termasuk kesyirikan. Hal ini dikarenakan dalil dari hadits diatas, yang para ulama mengatakan bahwa kalimat-kalimat Allah bukan makhluk. Sehingga berlindung dengan kalimat Allah, tidak mengapa karena bukan perlindungan kepada makhluk.
Bantahan terhadap kelompok Jahmiya dan siapa yang mengikutinya, mengenai sifat al-kalam. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Maka dengan hadits ini terbantahkan. Al-Qur’an adalah kalam Allah. Andaikata Al-Qur’an adalah makhluk maka tidak mungkin Nabi mengajari untuk berlindung dengan makhluk.
Keempat, doa yang ringkas tapi banyak keutamaannya.
Kelima, Sesungguhnya sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat duniawi baik dengan mencegah segala keburukan maupun mendatangkan manfaat, tidak menunjukan bahwa sesuatu tersebut tidak tergolong sebagai suatu kesyirikan.
Dahulu apabila mereka berlindung pada Jinn, pembesar lembah, dari kejelekan kaumnya, terkadang mendapatkan manfaatnya walaupun akhirnya mereka bertambah ketakutan dan dosa. Walaupun ada manfaatnya, tidak menunjukan kebenaran apa yang dilakukan dan tidak menahan untuk disebutkan kesyirikan. Dapat dipastikan apabila ada manfaat dari kesyirikan, bentuk bahayanya lebih banyak.
Ini adalah salah satu pintu masuk syaithon kepada selain manusia. Kaidahnya walaupun sesuatu ada manfaatnya tidak menunjukan sesuatu itu benar. Seperti contoh orang yang stress minum khamar, sehingga menjadi tenang. Tapi tenang karena hilang akalnya. Memang ada manfaatnya tapi tidak berarti dia tidak berdosa. Kejelekan lebih banyak dari pada manfaatnya.
Seorang mukmin melihat pada dalil dan tuntunan. Apabila sesuai dengan syariat maka akan ada manfaat, ketenangan yang lebih besar. Akan tetapi apabila diatas dosa, walaupun ada manfaat itu akan sementara dan bahayanya lebih besar.
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jinn: 6)
Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid
Dalam bab ini ada penjelasan tentang salah satu jenis kesyirikan yang bisa menghilangkan tauhid, yaitu beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah, agar manusia berhati-hati dan menjauhinya.
Al-Isti’adzah: secara bahasa berarti bersandar, berpegang, dan berlindung. Hakikatnya adalah: lari dari sesuatu yang engkau takuti kepada yang bisa melindungimu darinya.
Ya’udzuna, ‘mereka meminta perlindungan’: yang salah seorang dari mereka, ketika melewati suatu lembah dan takut terhadap jin penunggunya, mengatakan, “Aku berlidung kepada penguasa lembah ini terhadap gangguan pengikut-pengikutnya.
Makna Ayat Secara Global
Allah Subhanahu mengabarkan bahwa sebagian manusia datang kepada sebagian jin untuk meminta keamanan dari apa-apa yang mereka takutkan. Maka yang mereka datangi (jin) justru menambahkan ketakutan mereka (manusia) sebagai ganti rasa aman yang mereka inginkan. Demikianlah keadaan mereka berbalik dengan tujuan yang diinginkan, dan ini sebagai hukuman dari Allah untuk mereka.
Hubungan antara Ayat dan Bab
Bahwa Allah Ta’ala menceritakan tentang jin-jin yang beriman bahwa ketika agama Rasulullah ﷺ telah jelas bagi mereka dan mereka telah beriman kepadanya, maka merekapun menyebutkan hal-hal kesyirikan yang terjadi dikalangan manusia pada zaman zahiliyyah. Diantaranya adalah meminta perlindungan kepada selain Allah. Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk pengingkaran terhadap perbuatan tersebut.
Faedah Ayat
Pertama, bahwa meminta perlindungan kepada selain Allah adalah kesyirikan sebab jin-jin yang beriman mengatakan,
وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدًۭا
“Dan Kami sama sekali tidak akan pernah menyekutukan Rabb kami (Allah) dengan sesuatupun” (Al-Jinn: 2)
Kemudian setelah itu dalam rangka mengingkari mereka menyebutkan,
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jinn: 6)
Kedua, keumuman risalah Muhammad ﷺ yang mencakup kepada kalangan jin dan manusia.
Ketiga, bahwa isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah justru mendatangkan ketakutan dan kelemahan.
Keempat, difahami dari ayat bahwa isti’adzah kepada Allah akan mewariskan kekuatan dan perasaan aman.
Maksud dari dibawakannya bab ini adalah penjelasan tentang salah satu bentuk yang bertentangan dengan tauhid atau kesyrikan yaitu isti’adzah kepada selain Allah.
Isti’adzah adalah ibadah yang sangat agung dan terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga Isti’adzah kepada selain Allah, maka hukumnya adalah syirik akbar.
Rinician hukum Isti’adzah (meminta perlindungan):
Isti’adzah yang merupakan ibadah, ini hanya untuk Allah.
Isti’adzah kepada selain Allah, yaitu pada makluk hidup yang tidak hadir atau tidak mampu. Ini yang dihahas pada bab ini.
Isti’adzah, berkata aku berlidung kepada Allah dan kamu. kata “Dan” disini menjadikan syirik ashghar.
Istiadah kepada makhluk hidup, yang hadir, dalam perkara yang dia mampu. Ini hukumnya boleh tidak ada malalah.
Contohnya berlindung kepada seseorang dari kejaran perampok, maka orang tempat berlindung itu harus makhluk, hidup, hadir, dan mampu.
Dalil 1: Surat Al-Jinn Ayat 6.
Ayat ini menceritakan tentang sekelompok manusia, yang berlindung kepada sebagian jin. Agar dilinduingi dari apa yang mereka takutkan. Maka jin ini membuat mereka menjadi semakin takut.
Pada masa jahiliyah, Ada suatu tempat angker, maka orang jahiliyah berkata: saya berlindung kepada pemimpin lembah ini dari bahaya orang-orang bodoh dari kaumnya. Maka para jin membuat mereka semakin takut, berdosa, dan hina. Maka Allah mencela perbuatan mereka dalam ayat ini.
Terdapat kaidah yaitu apabila melakukan kesyirikan untuk mendapatkan sesuatu maka yang akan didapatkan adalah sebaliknya. Misalnya apabila mencari keamanan maka akan mendapatkan ketakutan, mencari kesehantan maka akan mendapatkan penyakit, dan mencari kekuatan maka dapat akan mendapatkan kelemahan.
Bab ini dimasukan kedalam kitab tauhid dikarenakan ucapan orang yang beriman dikalangan jinn bahwa ada dikalangan manusia yang meminta perlindungan dari kalangan jinn.
Ayat ini dikonteks adalah orang beriman dikalangan jin. Mereka mengatakan tidak pernah membuat kesirikan sama sekali. Kemudian mereka menyebutkan bentuk-bentuk kesyirikan yang pernah terjadi dikalangan jin.
Isti’adzah dengan Jin adalah istiadah kepada selain Allah yang merupakan syirik akbar.
Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah Penjelasan: Kajian Riyadhush Shalilhin #108 oleh Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc Hafizahullah
Bab 7 Yakin dan Tawakal
Doa Keluar Rumah: Aku bertawakal kepada Allah
Hadits Ke 84: Dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan (doa) – yakni ketika keluar dari rumahnya –
“Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan tidak ada upaya (kekuatan) kecuali milik Allah“.
Maka dikatakan kepadanya, “Engkau telah diberi hidayah, engkau telah dicukupi, engkau telah dijaga, dan setan akan menyingkir darinya“.
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan selain mereka. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan”). Abu Dawud menambakan, “Maka dia -setan- berkata kepada setan yang lain, “Bagaimana engkau dapat mengajak (menggoda) seseorang yang telah diberi petunjuk, yang telah dilindungi, dan telah dijaga (oleh Allah)?“
Penjelasan Hadits:
Doa ini pendek akan tetapi berisi kandungan yang luar biasa. Bismillah, dengan menyebut nama Allah, yakni saya meminta pertolongan dengan nama Allah.
Tawakaltu ‘ala Allah, saya bertawakal kepada Allah. Ketika meninggalkan rumah untuk suatu urusan maka hendaknya menyandarkan urusan-urusannya hanya kepada Allah. Kita semua ini adalah hamba yang lemah, yang hanya punya keinginan atau rencana. Akan tetapi Allah lah yang menentukan. Tidak boleh bersandar kepada kekuatan dan kemampuan kita.
Menghadirkan bahwa kita butuh dan percaya kepada Allah, rendah diri kita dihadapan Allah karena kita bukan siapa-siapa.
Kita tidak mempunyai kekuatan kecuali semua urusan dikembalikan kepada Allah.
Maka apabila kita membaca doa keluar rumah ini, malaikat berkata, “Kamu telah diberikan hidayah, dicukupi dan dilindungi”.
“Telah diberikan hidayah“, maksudnya ada malaikat yang berkata, wahai hamba Allah, apabila engkau menyebut nama Allah maka sungguh engkau telah mendapatkan hidayah. Maksudnya telah diberikan rejeki untuk mencocoki kebenaran dan mendapati jalan yang lurus.
“Dan kamu telah dicukupi“, maksudnya dicegah darimu kesedihanmu (kegalauanmu) dari apa-apa yang kamu inginkan atau yang kamu rencanakan. Terkadang kita merasa kegalauan ketika ingin melakukan sesuatu, maka dengan doa ini tidak akan terjadi kegalauan lagi dalam menjalankan urusan kita.
“Dan kamu telah dijaga“, maksudnya telah dijaga dari musuhmu yaitu syaithon. Sehingga kelanjutan hadits dikatakan, “Dan menyingkir darinya syaithon“.
Faedah Hadits (dari beberapa ulama):
Pertama, dianjurkan (disunahkan) bagi seseorang apabila keluar dari rumahnya untuk membaca doa diatas.
Kedua, sesungguhnya apabila seorang hamba meminta pertolongan dengan menyebut nama Allah, dan dengan Nama Allah yang diberkahi. Maka sungguh Allah akan memberinya hidayah dan membimbingnya, dan menolongnya dalam urusan-urusan agama dan dunianya.
Ketiga, Hadits ini menunjukan kepada kita tentang agungnya dzikir yang diberkahi ini. Dan pentingnya melakukan penjagaan terhadap doa ini, ketika seorang muslim keluar dari rumahnya. Pada setiap kali dia keluar, agar dia meraih sifat-sifat yang diberkahi ini yaitu diberikan hidayah, dicukupi, dan dilindungi. Dan juga buah-buahnya yang agung tersebut dalam hadits ini termasuk syaithon yang menjauh.
Keempat, ada ulama yang membuat bab khusus yaitu Bab Keutamaan La Haula Wala Kuwata ila Billah.
Kelima, ada ulama yang menasukan hadits ini dengan judul bab: adab masuk dan keluar dari rumah.
Keenam, didalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang manusia sepantasnya agar mengucapkan dzikir ini. Dalam doa ini terdapat tawakal seorang hamba kepada Allah, dan berlindungnya dia kepada Allah. Hal ini dikarenakan apabila seorang manusia keluar dari rumahnya, maka dia hakikatnya adalah sasaran untuk terkena musibah yang menimpa dirinya. Atau ada yang menyerangknya berupa hewan (ular, kala jengking) atau orang jahat.
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid
Penulis:Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
Pensyarah:Dr. Shalih bin Fauzan Al-FauzanHafizahullah
Bab 11: Tergolong sebagai Kesyirikan, Bernadzar kepada selain Allah
(Diriwayatkan) dalam Ash-Shahih dari Aisyah Radhiyallahu Anha, (beliau berkata): Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa saja yang bernadzar untuk menaati Allah, hendaklah dia menaati-Nya. Akan tetapi, siapa saja bernadzar untuk bermaksiat terhadap Allah, janganlah dia bermaksiat terhadap-Nya (dengan melaksanakan nadzar itu).”
Biografi
Aisyah adalah Ummul Mu’minin, salah satu istri Rasulullah ﷺ. Beliau adalah perempuan yang paling mengerti ilmu agama secara mutlak, juga merupakan istri Nabi ﷺ yang paling utama selain Khadijah. Dalam membandingkan (istri) yang paling utama di antara keduanya, ada perselisihan (dikalangan ulama). Beliau meninggal pada 57 H.
Makna Hadits Secara Global
Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan orang yang bernadzar dalam ketaatan agar dia hendaknya menunaikan nadzarnya, seperti seseorang yang bernadzar untuk mengerjakan shalat, bersedekah, atau amal ketaatan lainnya, dan melarang orang yang bernadzar dalam kemaksiatan untuk menunaikan (nadzar) tersebut, seperti seseorang yang bernadzar untuk menyembelih untuk selain Allah, mengerjakan shalat di kuburan atau kemaksiatan lain.
Hubungan antara Hadits dan Bab
Hadits ini menunjukan bahwa nadzar itu ada yang berupa ketaatan, tetapi ada pula yang berupa kemaksiatan, juga menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah. Siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah, sungguh ia telah mempersekutukan Allah dalam ibadah kepada-Nya.
Faedah Hadits:
Bahwa nadzar adalah ibadah maka memalingkan (nadzar) kepada selain Allah adalah kesyirikan.
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 270)
Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid
Bahwasannya, pada bab ini, penulis menerangkan salah satu bentuk kesyirikan yang bisa meniadakan tauhid seseorang, yaitu bernadzar untuk selain Allah, agar perbuatan tersebut dapat dihindari dan dijauhi.
‘bernadzar untuk selain Allah’, yakni sebab (nadzar) adalah ibadah, sedang memalingkan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.
Nadzar berarti mewajibkan suatu hal, yang sebelumnya tidak wajib secara syari’at, kepada dirinya dalam rangka mengagungkan sesuatu yang kepadanya nadzar tersebut ditujukan. Pada asalnya, secara bahasa, nadzar adalah mewajibkan.
Makna Kedua Ayat Secara Global
Sesungguhnya Allah memuji orang-orang yang beribadah kepada-Nya dengan suatu hal yang mereka wajibkan atas diri mereka berupa amalan-amalan ketaatan. Allah Subhanahu juga mengabarkan bahwa diri-Nya mengetahui semua sedekah yang kita infakkan serta semua ibadah yang kita wajibkan bagi diri sendiri, baik (sedekah dan ibadah) itu untuk Allah maupun untuk selain Allah. Maka, Allah akan membalas semuanya sesuai dengan niat dan maksud orang tersebut.
Hubungan antara Kedua Ayat dan Bab
Keduanya menunjukan bahwa nadzar adalah suatu ibadah, bahwa Allah memuji orang-orang yang menunaikan (nadzar) sebab Allah tidaklah memuji, kecuali kepada pelaksanaan perintah atau peninggalan larangan. Allah juga mengabarkan bahwa diri-Nya mengetahui semua hal yang kita lakukan berupa infak-infak dan nadzar-nadzar, serta akan membalas kita semua yang kita lakukan tersebut. Maka, hal ini menunjukan bahwa nadzar adalah suatu ibadah, sedang apa saja yang merupakan ibadah, memalingkannnya kepada selain Allah adalah kesyirikan.
Faedah Kedua Ayat:
Bahwasannya nadzar adalah ibadah maka memalingkan (nadzar) untuk selain Allah adalah syirik besar.
Terdapat berbagai macam bentuk nadzar. Para ahli fiqih membaginya menjadi beberapa bagian: ada yang 5 dan 6 bagian. Akan tetapi di Bab ini penulis menitikberatkan nadzar yang berkaitan dengan Tauhid.
Pembagian Nadzar, secara umum nadzar terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: Nadzar yang tanpa mengharapkan imbalan.
Misalkan saya bernadzar akan melaksanakan itikaf satu hari di mesjid dengan alasan ingin beribadah saja. Tidak mengharapkan imbalan apapun. Hukum asal melakukan itikaf adalah sunnah. Akan tetapi dikarenakan nadzar tersebut menjadi wajib bagi dirinya. Hal ini tidak mengapa, bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuji orang yang melaksanakan nadzar seperti ini. (QS. Al-Insan: 7).
Kedua: Nadzar yang mengharapkan balasan.
Misalkan seseorang bernadzar yang apabila anaknya sembuh dari penyakit maka dia akan berpuasa 3 hari. Atau apabila bisnisnya lancar, maka dia akan bersedekah sebanyak 5 juta rupiah. Hal ini menjadikan sesuatu yang tidak wajib, menjadi wajib bagi dirinya.
Terdapat silang pendapat di kalangan para ulama pada jenis nadzar yang mengharapkan balasan ini. Yang benarnya adalah tidak diperbolehkan. Hal ini dikarenakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mensifati orang yang seperti ini sebagai tidak datang dari kebaikan, hanya dikeluarkan oleh orang-orang yang bakhil.
Akan tetapi apabila dia sudah bernadzar dan ternyata apa yang diminta tersebut terlaksana (anaknya sembuh atau bisnisnya lancar), maka dia wajib melaksanakan nadzarnya selama nadzarnya tersebut berupa ketaatan kepada Allah.
Nadzar yang termasuk kesyirikan.
Penulis ingin menjelaskan mengenai kesyirikan, yaitu bernadzar kepada selain Allah. Nadzar adalah salah satu bentuk ibadah, sehingga apabila diserahkan kepada selain Allah, maka hukumnya adalah syirik akbar. Misalnya, apabila selesai haji dan pulang dengan selamat, maka akan datang ke kuburan si fulan (berbuat kesyirikan).
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan1, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 270)
Dalam ayat ini menunjukan bahwa infak dan nadzar adalah Ibadah. Sehingga apabila ditujukan kepada selain Allah, maka hukumnya syirik akbar.
Sebagian ulama berkata nadzar kepada selain Allah artinya berbuat syirik kepada Allah. Demikian halnya dengan menyembelih untuk selain Allah.
Terdapat 5 perkara yang apabila diserahkan kepada selain Allah maka perkara tersebut termasuk kesyirikan, yaitu: ruku, sujud, nadzar, penyembelihan, dan sumpah.
Misalkan seseorang yang ruku atau sujud kepada selain Allah, maka termasuk kesyirikan. Termasuk juga seseorang yang membungkukan dirinya seperti ruku kepada seseroang karena mau melewatinya. Hal ini bisa dihindari yaitu dengan isyarat tangan yang juga menandakan kesopanan.
Mencium tangan seseorang terdapa silang pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang memakruhkan. Yang benar adalah tidak mengapa apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan pada suatu budaya atau daerah. Akan tetapi tidak sampai rukuk. Terdapat kekeliruan yang harus diluruskan yaitu anak-anak yang mencium tangan seseorang bukan dengan bibir akan tetapi menggunakan jidatnya, sehingga seperti bersujud diatas tangan.
Dalil Ketiga, (Diriwayatkan) dalama Ash-Shahih dari Aisyah Radhiyallahu Anha, (beliau berkata): Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa saja yang bernadzar untuk mentaati Allah, hendaklah dia menaati-Nya. Akan tetapi, siapa saja yang bernadzar untuk bermaksiat terhadap Allah, janganlah dia bermaksiat terhadap-Nya (dengan melaksanakan nadzar itu).“
As-Shahih maksudnya dari riwayat Al-Bukhariy,
Biografi Aisyah
Aisyah adalah Ummul Mu’minin, salah satu dari istri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, merupakan putri dairi Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu.
Aisha dinikahi Nabi ketika berusia 7 tahun. Kemudian tinggal dengan Nabi saat Aisha berusia 9 tahun. Terdapat hukum diperbolehkan akad nikah dahulu sebelum tinggal bersama. Hal ini adalah kekhususan dari perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam hal ini perlu digandengkan dengan kaidah-kaidah lain sehingga benar dalam pendalillan.
Sebagian orang munafikin menolak hadist ini bahkan orang syiah mengkafirkan karena hadits ini. Kemudian dijadikan celaan.
Perlu digandengan dengan kaidah dalam agama, salah satunya “tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan“. Usia seorang perempuan bisa tinggal dengan suami beranekaragam diantara perempuan, ada yang 9 tahun sudah mampu hidup sebagai suami istri. Ada yang umur 17 tahun baru mampu, tinggal bersama suami. Sehingga hal ini tidak dijadikan sebagai suatu masalah. Ini adalah adalah perbuatan Nabi yang bukan berarti disunahkan menikah umur 7 tahun. Sehingga harus belajar ilmu pendalilan sehingga mengerti cara pendalilan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang paling afdhal diantara Khadijah dan Aisha. Yang benar adalah khadijah lebih afdhal dari sisi kedahuluan masuk islam dan pembelaan terhadap agama. Adapun Aisha lebih afdhal dari sisi keilmuan dan hukum-hukum syariat yang dikuasai.
Tiga pembahasan:
Kewajiban penunaian nadzar. Seperti terlihat pada hadits diatas.
Apabila sesuatu telah ditetapkan sebagai suatu peribadatan kepada Allah, maka memalingkan kepada selain Allah adalah kesyirikan (kaidah tauhid)
Nadzar untuk melakukan sesuatu maksiat tidak boleh ditunaikan. Misalnya berzina, meminum khamar.