An-Nisa: 23: Wanita-Wanita yang Diharamkan (Untuk Dinikahi)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Tafsir An-Nisā 4:23

Allah ta’ala berfirman,,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَـٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّـٰتُكُمْ وَخَـٰلَـٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَـٰتُكُمُ ٱلَّـٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَـٰعَةِ وَأُمَّهَـٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَـٰٓئِبُكُمُ ٱلَّـٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّـٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَـٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَـٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nisa: 23)

Tafsir As-Sa’di:
Ayat-ayat yang mulia ini mengandung penjelasan tentang:

  • wanita-wanita yang diharamkan karena pertalian darah, dan
  • wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan dan
  • wanita-wanita yang diharamkan karena perkawinan dan
  • wanita-wanita yang diharamkan karena penyatuan dan
  • juga wanita-wanita yang dihalalkan.

Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena pertalian darah, mereka ada tujuh kelompok sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ﷻ, yaitu:

  1. Ibu, dan termasuk dalam makna ibu adalah setiap orang yang menjadi sebab kelahiran dirimu walaupun jauh.
  2. Kemudian anak perempuan, dan termasuk dalam makna anak perempuan adalah setiap orang yang engkau menjadi penyebab kelahirannya.
  3. Saudara perempuan kandung atau seayah atau seibu.
  4. Saudara perempuan ayah yaitu seluruh saudara perempuan ayah Anda atau kakek Anda dan seterusnya ke atas.
  5. Saudara perempuan ibu, yaitu setiap saudara perempuan ibu Anda atau nenek Anda dan seterusnya ke atas yang menjadi ahli waris ataupun tidak.
  6. Keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan
  7. Keponakan perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

Mereka semua itu adalah wanita-wanita yang diharamkan karena pertalian darah menurut ijma’ para ulama, sebagaimana juga nash ayat yang mulia di atas, sedangkan selain dari mereka, maka termasuk dalam Firman Allah ﷻ:

, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian” yang demikian itu seperti anak perempuan bibi atau paman dari ayah atau anak perempuan bibi atau paman dari ibu.

Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan, maka sesungguhnya Allah ﷻ telah menyebutkan pada ayat di atas yaitu di antara mereka adalah ibu dan saudara perempuan, hal itu adalah sebuah dalil tentang haramnya menikahi ibu, padahal hak air susunya bukanlah miliknya, sesungguhnya air susu itu adalah hak yang memiliki susu, indikasi ayat tersebut menunjukkan bahwa pemilik dari air susu itu adalah ayah bagi anak susuan tersebut, lalu bila telah terbukti dalam hal tersebut penamaan ayah dan ibu, maka harus terbukti pula hal-hal yang menjadi cabang dari kedua label tersebut, seperti saudara-saudara perempuan keduanya, kakek nenek keduanya, dan keturunan keduanya, dan Nabi ﷺ telah bersabda,

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ.

Diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari keturunan.

Dengan demikian tersebarlah pengharaman itu dari pihak ibu yang menyusui dan pemilik air susu tersebut, sebagaimana juga tersebar pada sanak famili pada anak tersebut hingga kepada anak keturunannya saja, akan tetapi dengan syarat persusuan tersebut adalah sebanyak lima kali susuan dalam usia dua tahun, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sunnah.

Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena pernikahan adalah empat kelompok, yaitu:

  1. istri-istri bapak dan seterusnya ke atas,
  2. istri-istri anak dan seterusnya ke bawah, baik yang menjadi ahli waris maupun yang terhalang,
  3. ibu dari istri dan seterusnya ke atas, dan mereka yang disebut tadi adalah diharamkan dengan sempurnanya akad nikah,
  4. sedangkan yang keempat adalah anak perempuan tiri, yaitu anak perempuan istrinya dan seterusnya ke bawah, kelompok yang satu ini tidaklah haram kecuali bila suami telah menggauli istrinya,

sebagaimana Allah ﷻ berfirman dalam ayat ini, وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ “Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri” dan jumhur ulama juga telah berkata, “Sesungguhnya Firman Allah ﷻ, اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ “Yang dalam pemeliharaanmu” sebuah pengikatan yang keluar dari perkara yang sering terjadi hingga tidak memiliki arti dan makna, karena sesungguhnya anak perempuan tiri itu tetap haram (dinikahi) walaupun tidak berada dalam pemeliharaan. Namun ikatan tersebut memiliki dua faidah; pertama, menyimpan sebuah indikasi tentang hikmah dari pengharaman anak perempuan tiri dan bahwa ia adalah dalam posisi anak kandung, maka sangatlah jelek menjadikannya halal untuk dinikahi, kedua; ikatan itu menyimpan sebuah isyarat tentang bolehnya berkhalwat dengan anak perempuan tiri, karena ia adalah dalam posisi orang-orang yang ada dalam pemeliharaannya seperti anak-anak perempuan-nya sendiri dan semisalnya, Wallahua’lam

Sedangkan wanita-wanita yang diharamkan karena penghimpunan, maka Allah ﷻ telah menyebutkan tentang penyatuan dua saudara perempuan kemudian Allah ﷻ mengharamkannya, dan Nabi ﷺ juga telah mengharamkan penyatuan antara seorang perempuan dengan ammah (bibi dari pihak ayah atau khalah (bibi dari pihak ibu) , maka setiap dua perempuan yang disatukan yang memiliki ikatan pertalian darah adalah diharamkan, seandainya diumpamakan salah seorangnya adalah laki-laki dan lainnya adalah perempuan, maka yang perempuan haram bagi yang laki-laki, karena itu diharamkan menyatukan antara keduanya, yang demikian itu karena akan menjadi salah satu sebab di antara sebab-sebab putusnya tali kekeluargaan.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Sumber:

Quran Tadabbur, https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bekalislam.qurantadabbur

Tawakkal

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Tsalastatul Ushul

Landasan Pertama: Mengenal Allah

Ibadah dan Bentuk-Bentuknya: Tawakkal

Terjemahan Kitab

Dalil tawakkal adalah firman (Allah) Ta’ala,

وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allah-lah kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman” (Al-Ma’idah: 23)

Juga firman (Allah) Ta’ala:

وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (Ath-Thalaq: 3)

Pembahasan

Pertama: Definisi Tawakkal

Tawakkal artinya ketulusan didalam menyerahkan diri dan bersandar kepada Allah serta menampakan kelemahannya.

Tawakkal adalah wasilah menuju Inaba (jenis ibadah yang akan dibahas selanjutnya).

Hakikat pada Tawakkal:

  1. Bersandarnya hati hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala semata.
  2. Mengambil sebab.
  3. Tidak melihat kepada sebab setelah mendapatkan apa yang dicari.

Misalnya tawakkal orang yang sakit, maka pertama sandarkan sakitnya kepada Allah, berserah diri kepada Allah, tampakkan kelemahannya dan bersandar penuh kepada Allah.

Kedua, mengambil sebab dengan berobat ke dokter. Nabi memerintahkan untuk berobat, “Berobatlah hamba-hamba Allah“.

Dalam hadits Umar bin Khatab Radhyiallahu Anhu, Nabi Shallallahu Wasallam bersabda, “Andaikata kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka kalian akan diberi rezeki seperti burung diberi rezeki. Pergi diwaktu pagi dalam perut kosong dan kembali diwaktu sore dalam keadaan sudah penuh“. Burung diberi rezeki dengan tidak diam di sarangnya, akan tetapi burung keluar mencari rezeki. Dengan keluar dari sangkarnya, maka burung telah mengambil sebab. Burung tidak mempunyai gudang makanan disarangnya tapi bertawakal dengan upayanya.

Nabi Nuh Alaihi Salam ketika akan diselamatkan bersama kaumnya disuruh mengambil sebab dengan membuat perahu agar selamat. Allah maha mampu menyelamatkan tanpa ada perahu, tidak ada kesulitan bagi Allah. Akan tetapi sudah digariskan dalam kehidupan harus mengambil sebab.

Mariam Alaihi Salam ketika akan melahirkan, disuruh melahirkan dibawah pohon kurma. Diperintah untuk menggerakan dari ranting atau dahan pohon kurma agar berjatuhan kurma-kurma basah. Padahal pohon kurma apabila dipukul keraspun tidak jatuh buahnya kebawah. Akan tetapi Allah menyuruh untuk mengambil sebab agar buahnya jatuh.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berperang dengan baju besi, masuk ke Mekkah memakai topi besai. Semuanya ini adalah mengambil sebab.

Ketiga, apabila telah sembuh dengan berobat, maka jangan dibilang bahwa kesembuhannya dikarenakan obat nya. Akan tetapi disandarkan semata kepada Allah Ta’ala, anugerah dari Allah. Dia lah yang memberikan kesembuhan.

Kedua: Bentuk-bentuk Tawakkal

Syeikh Al-Utsaimin Rahimahullah Ta’ala menyebutkan empat bentuk tawakkal:

  1. Bersandar kepada Allah, ini yang telah dibahas diatas
  2. Tawakkalu Sirr, yaitu bersandar kepada orang yang sudah mati dalam mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Ini termasuk dalam syirik akbar.
  3. Tawakkal kepada orang lain yang bisa dilakukan oleh orang tersebut akan tetapi dia merasa tingginya derajat orang tersebut dan rendahnya derajat dia. Ini termasuk syirik asghar dikarenakan kuatnya ketergantungan hati dan bersndar kepada orang. Misalkan ada orang yang bersandar dalam rezekinya kepada seseorang. Dia melihat orang tersebut punya kedudukan yang tinggi dan tanpa orang ini, dia tidak bisa seperti itu. Maka ini adalah bentuk syirik asghar, karena dia sangat kuat bergantung kepada orang tersebut. Adapun menjadikan orang tersebut hanya sebagai sebab saja dengan tetapi bersandar kepada Allah Ta’ala, maka tidak mengapa. Dilihat dari kekuatan bersandarnya hati kepada seseorang agar tidak berlebihan.
  4. Taukil yaitu diwakilkan kepada orang lain apa yang dikerjakan. Misalnya mewakilkan kepada orang lain dalam pekerjannya. Hal ini tidak ada masalah.

Ketiga: Tafsir dua ayat yang berisi dalil bahwa tawakkal adalah ibadah

(tidak ada penjelasannya)

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Sumber:

  • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
  • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

Firman Allah Ta’ala, “Sehingga apabila rasa takut dari hati (para malaikat) itu telah dihilangkan, mereka betanya, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka pun menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba: 23)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 15: Firman Allah Ta’ala, “Sehingga apabila rasa takut dari hati (para malaikat) itu telah dihilangkan, mereka betanya, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka pun menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba’: 23)

Dalil Ke-1

Firman Allah Ta’ala:

حَتَّىٰٓ إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا۟ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ۖ قَالُوا۟ ٱلْحَقَّ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْكَبِيرُ

Sehingga apabila rasa takut dari hati (para malaikat) itu telah dihilangkan, mereka betanya, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka pun menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba’ : 23)

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Pada bab ini, terapat penjelasan tentang keadaan para malaikat, bahwa mereka adalah yang terkuat dan terbesar diantara apa-apa yang disembah selain Allah. Apabila keadaan mereka seperti itu terhadap Allah – sebagaimana disebutkan bahwa mereka mengagungkan dan takut kepada Allah -, maka bagaimana mereka diseru/disembah bersama Allah, dan apalagi selain mereka (para malaikat tersebut).

Dalam hal ini ada bantahan terhadap seluruh kaum musyrikin yang menyeru bersama Allah sesuatu yang (keadaannya) sangat jauh dengan malaikat (dari sisi kekuatan dan kebesarannya).

Makna Ayat Secara Global

Allah mengabarkan tentang para malaikat, bahwa ketika mereka mendengar wahyu dari Allah kepada Jibril, ketika itu mereka sangat ketakutan, karena pengagungan dan pemuliaan kepada Allah bahkan mereka gemetar sampai seperti pingsan. Ketika rasa ketakutan itu sudah hilang dari hati mereka, mulailah saling bertanya. Mereka berkata, “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” (Saba: 23).

Maka mereka menjawab, “(Perkataan) yang benar. Dan Dialah Yang Maha Tinggi di atas segala sesuatu dan Maha Besar, yang tidak ada yang lebih besar dan lebih agung daripada Allah.”

Faedah Ayat

  1. Bantahan terhadap semua kelompok musyrikin yang beribadah kepada Allah juga kepada mereka yang tidak mendekati apalagi menyamai malaikat pada salah satu dari sifat-sifatnya.
  2. Penetapan sifat kalam/berbicara bagi Allah, sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah.
  3. Bahwa kalam Allah Subhanahu Wa Ta’ala (ucapan Allah) itu bukan makhluk, sebab mereka para malaikat berkata “Apalah yang telah difirmankan/dikatakan oleh Rabb kalian?” tidak mengatakan “Apa yang telah diciptakan oleh Rabb-mu?”
  4. Penetapan ketinggian Allah Subhanahu di atas seluruh makhluk-Nya.
  5. Penetapan kebesaran/keagungan Allah.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 15 Firman Allah Ta’ala – Saba: 23

Telah diangkat dari hati malaikat (rasa takut), mereka bertanya apa yang di firmankan oleh Rabb kalian. Mereka menjawab perkataan yang benar.

Bab ini berkaitan dengan Bab sebelumnya yang menjelaskan kebatilan sesembahan kaum musrikin. Bab sebelumnya dijelaskan bahwa manusia khususnya para Rasul tidak memiliki kemampuan apapun, tidak bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Pada Bab ini akan dijelaskan bahwa Malaikat juga adalah makhluk dan hamba Allah yang tidak memiliki suatu apapun.

Penulis membawakan dari dari Surat Saba’ ayat 23 ini dikarenakan dua hal:

Pertama, Malaikat tunduk dibawah kekuasaan Allah, sehingga tidak berhak untuk diibadahi. Malaikat adalah makhluk Allah yang apabila Allah berfirman, maka mereka tersungkur pingsan. Mereka tidak memiliki sesuatu apapun, sehingga tidak berhak untuk diibadahi.

Kedua, Semua makhluk penduduk langit dan bumi, tidak berhak untuk diibadahi. Pada bab sebelumnya dijelaskan mengenai makhluk penduduk bumi (para rasul). Pada Bab ini dijelaskan megenai makhluk penduduk langit (para malaikat).

Ini terdapat bantahan kepada seluruh lapisan kaum musyrikin. Apabila malaikat dan para nabi saja tidak berhak untuk diibadahi, apalagi yang lainnya. Mereka lebih tidak berhak untuk diibadahi.

Makna Ayat

Malaikat tersungkur pingsan ketiga mendengar firman Allah yang disampaikan kepada Jibril. Kemudian malaikat berkata “Apa yang telah di firmankan oleh Rabb-mu?”. Ini menunjukkan bahwa malaikat cinta dengan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kemudian dikatakan Allah berfirman dengan ucapan yang haq.

Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Allah mempunyai sifat ‘ulu (ketinggian). Sifat ketinggian Allah mencakup 3 hal:

  1. ‘Ulu Al-Qodar, ketinggian dalam kemampuan. Allah Yang Maha Tinggi dalam kemampuannya
  2. ‘Ulu Al-Qohar, ketinggian dalam penaklukan dan penguasaan. Allah Yang Maha Tinggi dalam penaklukan dan penguasaan.
  3. ‘Ulu Ad-Dzat, ketinggian dalam dzat-Nya. Allah Yang Maha Tinggi dalam Dzat-Nya

Allah menerangkan diri-Nya berada diatas langit dalam berbagai ayat dan Allah menerangkan dalam Al-Qur’an bahwa Dia beristiwa diatas Arsy. Serta Rasulullah menjelaskan tentang ketinggian dzat Allah di atas langit, diatas seluruh makhluk.

Dalam Al-Qur’an nama asmaul husna yang bermakna ketinggian Allah ada tiga, yaitu: Al-Aliyyu, Al-‘Ala, dan Al-Muta’al.

Al-Kabir, artinya yang maha besar. Tidak ada yang lebih besar dan lebih agung dari-Nya.

Ayat ini bersambung dengan ayat sebelumnya yang nanti akan dibawahakan oleh penulis pada bab Syafaat. Ayat ini dikatakan para ulama bahwa dia memutus akar-akar kesyirikan dari hati.

Faedah Ayat

  • Bantahan terhadap seluruh kaum musyrikin yang beribadah kepada Allah bersama dengan selain Allah, termasuk dengan malaikat dan lainnya.
  • Terdapat dalil bahwa malaikat mempunya rasa takut, memiliki hati, memiliki jasad tidak hanya sekedar ruh, memiliki akal.
  • Penetapan sifat Al-Kalam bagi Allah
  • Firman Allah adalah hak.
  • Penetapan bahwa kalam Allah bukan makhluk.
  • Penetapan sifat Allah Al-‘Ulu, dari kata Al-Aliyyun yang bermakna ketinggian
  • Penetapan sifat Al-Kabir, kebesaran dan keagungan Allah.

Wallahu Ta’ala A’lam

Referensi:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

Raja’ (Pengharapan)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Tsalastatul Ushul

  • Penulis: Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah Ta’alla
  • Penjelasan: Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi Hafizahullah.
  • Rekaman video kajian: Landasan Pertama: Mengenal Allah

Landasan Pertama: Mengenal Allah

Ibadah dan Bentuk-Bentuknya: Raja’ (Pengharapan)

Terjemahan Kitab

Dalil raja’ adalah firman (Allah) Ta’ala,

فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah berbuat kesyirikan dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-Nya (Al-Kahf: 110)

Pembahasan

Pertama: Definisi Raja’

Raja’ (pengharapan) merupakan ibadah hati. Raja’ artinya seseorang menghendaki untuk meraih sesuatu yang diharapkan. Dalam raja’ terkandung penghinaan diri dan ketundukan.

Kedua: Bentuk-bentuk raja’

Raja’ terbagi tiga jenis dimana dua terpuji dan satu tercela:

Dua Raja’ yang terpuji.

  1. Seorang yang beramal dengan ketaatan sesuai dengan petunjuk dari Allah, dia mengharapkan pahala dari Allah.
  2. Seorang yang berbuat dosa kemudian bertobat dari dosanya, dia mengharapkan pengampunan dan maaf dari Allah.

Adapun raja’ yang tidak terpuji adalah seorang yang terus menerus dalam kelalaian dan dosa, dia mengharap rahmat Allah tanpa beramal. Ini namanya tertipu atau berangan-angan.

Tiga pokok ibadah hati: khauf, raja’, dan mahabah. Ulama mengatakan ketiga ini sebagai yang menggerakan hati kepada Allah. Rasa cintanya membuat seseroang mempunyai arah. Rasa berharapnya yang membahwa seseorang berjalan kedepan. Adapun rasa takutnya adalah yang menghardik seseorang dari belakang.

Sebab munculnya raja’ pada seorang hamba:

  1. Banyak berdizkir mengingat Allah yang dicintai.
  2. Banyak memperhatikan nikmat dan karunia dari Allah.
  3. Pengetahuan tentang nama-nama dan sifat Allah.

Ibnu qoyim berkata, “Kekuatan raja’ itu sesuai dengan kadar pengetahuan dia terhadap Allah, terhadap nama-nama dan sifat-Nya.”

Ketiga: Tafsir ayat yang menunjukkan bahwa raja’ adalah ibadah

Dalil raja’ adalah firman Allah Ta’ala: “Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah berbuat kesyirikan dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-Nya” (Al-Kahf: 110).

Barangsiapa yang mengharap, ini adalah raja’.

Pendalilan raja’ adalah ibadah adalah karena Allah Ta’ala memuji orang yang raja’. Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan akan syarat raja’ yang benar. Sehingga raja’ ini dicintai Allah Ta’ala.

Orang beriman memiliki Raja’, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Adapun orang kafir, tidak memilki raja’, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

Semua orang bisa mempunyai harapan, tidak boleh berputus asa.

Pengertian Liqo Ar Rabbihi ada dua penafsiran:

  1. Bermakna melihat Allah Ta’ala. Ini adalah suatu nikmat yang paling besar di hari kiamat.
  2. Bermakna berjumpa menghadap Allah Ta’ala. Ini juga bermakna bergembira.

Apabila ingin dapat keutamaan berjumpa dengan Allah Ta’ala, maka ada dua syaratnya:

  1. Beramal shalih.
  2. Tidak berbuat kesyirikan.

Syarat suatu amalan dikatakan shalih:

  1. Amalannya Ikhlas karena Allah
  2. Amalannya sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu Alaihi Wasalaam.
  3. Amalannya bersih dari kesyirikan.

Akibat dari amalan yang tidak shalih, Allah ta’ala berfirman:

janganlah berbuat kesyirikan dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-Nya”.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Sumber:

  • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
  • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

Khauf (Rasa Takut)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Tsalastatul Ushul

  • Penulis: Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah Ta’alla
  • Penjelasan: Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi Hafizahullah.
  • Rekaman video kajian: Landasan Pertama: Mengenal Allah

Landasan Pertama: Mengenal Allah

Ibadah dan Bentuk-Bentuknya: Khauf

Terjemahan Kitab

Dalil khauf adalah firman (Allah) Ta’ala,

فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman” (Ali ‘Imran: 175)

Pembahasan

Khauf artinya rasa takut merupakan ibadah hati. Khauf merupakan salah satu dari inti ibadah.

Pertama: Definisi Khauf

Khauf adalah kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak disenangi dan dikhawatirkan terjadi di masa yang akan datang. Misalnya seseorang takut kehabisan makanan dalam satu bulan kedepan.

Perbedaan antara Al-Wajan dan Al-Khauf:

  1. Al-Wajan, kekhwatiran dimasa yang sekarang. Misalnya seseorang melihat binatang buas sehingga takut pada saat itu (masa sekarang).
  2. Al-Khauf, kekhawatiran dimasa yang akan datang.

Kedua: Tafsir Ayat yang Menunjukkan Bahwa Khauf Adalah Ibadah

Dalil bahwa khauf adalah ibadah “Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman” (Ali ‘Imran: 175). Maksudnya janganlah takut kepada kaum Musyrikin, tapi takut lah kepada Ku. Pembahasan ini terkait dengan peristiwa perang Ahzab, yang dijelaskan dalam surat Ali ‘Imran.

Sehingga Khauf adalah ibadah yang dirinci dalam 3 sisi:

  1. Dilarang untuk takut kepada kaum Musyrikin karena takut hanyalah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
  2. Diperintah takut kepada Allah. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu Allah cintai. Maka rasa takut dicintai oleh Allah. Sehingga rasa takut adalah ibadah.
  3. Rasa takut diakhir ayat dijadikan syarat keimanan. Sehingga ini juga menunjukan bahwa khauf adalah ibadah.

Khauf adalah ibadah yang sangat besar yang menjadi sebab kebaikan hati. Pokok penghambaan yang harus selalu ada dihati hamba ada 3 yaitu: rasa takut, berharap dan rasa cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Didalam Al-Qur’an disebutkan para Nabi takut kepada Allah, sebagaimana Allah berfirman,

Dikatakan kepada Nabi Nuh:

Dikatakan kepada Nabi Muhammad:

Tidak boleh rasa takut hilang dari seorang hamba karena akan merusak hati tersebut. Sulaiman Ad-Darani Rahimahullah berkata, “Tidaklah hati itu berpisah dari rasa takut, kecuali dihatinya akan menjadi rusak”.

Ayat-ayat yang berkaitan dengan khauf:

Penafsiran takut pada kedudukan Rabb:

  1. Bermakna keagunagan dan kebesaran Allah. Hal ini apabila kita mengetahui keagungan dan kebesaran Allah Subhahanhu Wa Ta’ala
  2. Bermakna takut ketiga berdiri didepan Allah ketika mempertanggungjawabkan amalannya. Sehingga selalu mempersiapkan amalan dan memperbaiki ketaatannya.

Rasa takut ini tidak berdiri sendiri, tapi harus disertai dengan rasa harapan dan rasa cintai. Ketiganya tidak boleh dipisahkan. Sebagaian ulama mengibaratkan ketiga hal ini bagaikan burung dimana rasa cinta adalah badan burung. Adapun rasa takut dan rasa harapan adalah dua sayap burung. Ketiganya harus lengkap, apabila kekurangan salah satu maka tidak akan seimbang dan akan menjadi tersesat.

Sebagian as-salaf berkata, “Siapa yang beribadah kepada Allah hanya sekedar cinta saja, maka dia adalah zindiq. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa takut saja, maka dia adalah khawarij. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa harapan saja, maka di adalah murji’ah”.

Sehingga ketiga rasa ini harus dikumpulkan sekaligus, sebagaimana Allah berfirman:

Mereka ini adalah orang yang beribadah dengan cara mencari segala wasilah yang paling dekat, yaitu rasa cinta. Mereka punya harapan terhadap rahmat Allah dan mereka takut kepada adzab-Nya.

Rasa takut yang benar adalah rasa takut yang menyebabkan adanya harapan. Sehingga bukan rasa takut yang menyebabkan putus asa menjadi sulit beribadah. Demikian pula, rasa harapan yang benar adalah harapan yang menyebabkan rasa takut.

Ketiga: Bentuk Khauf

Ada empat jenis rasa takut:

  1. Rasa takut ibadah. Ini adalah pembahasan dalam bab ini. Dengan rasa takut kepada Allah, maka beribadah. Apabila rasa takut ibadah ini dipalingkan kepada selain Allah, maka termasuk syirik akbar.
  2. Khauf Sirr, rasa takut kepada sesuatu yang rahasia. Misalnya takut apabila tidak berjiarah ke kuburan wali, maka akan tidak berhasil usahanya atau tertimpa musibah. Ini termasuk syirik akbar.
  3. Khauf yang meninggalkan kewajiban karena takut pada sebagian manusia. Ini hukumnya adalah haram, syirik kecil. Bentuk kesyirikan yang menghilangkan kesempurnaan tauhid.
  4. Kaufu Thabi’i, rasa takut yang merupakan tabiat manusia. Misalnya takut memasukan tangan kedalam api, karena takut terbakar api, takut melihat binatang buas. Hal ini tidak ada masalah.

Nabi Musa Alaihi Salam dalam keadaan takut ketika keluar dari Mesir, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Sumber:

  • Diktat, Silsilah yang menyelamatkan dari Api Neraka 2, Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat di Alam Kubur, Dzulqarnain M. Sunusi, Pustaka As-Sunnah, 2017
  • Seri Buku-Buku Aqidah, Agar Mudah Menjawab Tiga Pertanyaan Malaikat, Terjemah Kitab Tsalatsatul Ushul, Bambang Abu Ubaidillah, Madrosah Sunnah

Hadits dari Abu Hurairah tentang Rasulullah tidak bisa membela kerabatnya yang tidak beriman dan beramal shalih

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)

Dalil Ke-4

Juga dalam (Ash-Shahih) dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Ketika (ayat), ‘Dan berilah peringatan kepada keluargmu yang terdekat.’ (Asy-Syu’ara: 214) diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, beliau berdiri seraya bersabda,

Wahai segenap kaum Quraisy -atau ucapan yang semisalnya- tebuslah diri kalian (dari siksa Allah). Sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi kalian sedikitpun di hadapan Allah. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muthalib, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi/membela dirimu sedikitpun di hadapan Allah. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah ﷺ, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi/membela dirimu sedikitpun di hadapan Allah, Wahai Fathimah, putri Muhammad, mintalah harta kepadaku sebagaimana keinginanmu. Sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi/membela dirimu sedikitpun di hadapan Allah“.

Biografi

Abu Hurairah, disebutkan bahwa nama beliau yang benar adalah Abdurahman bin Shakr, dari suku Daus, termasuk orang-orang yang mulia, yang banyak hafalan lagi ulama dari kalangan sahabat. Beliau meriwayatkan lebih dari lima ribu hadits. Beliau meninggal pada 57, 58, atau 59 H.

Makna Hadits SecaraGlobal

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu mengabarkan tentang apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ ketika Allah memerintahkan dalam kitab-Nya yang mulia untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya, bahwa beliau betul-betul melaksanakan perintah tersebut. Beliau menyeru/memanggil orang-orang Quraisy secara keseluruhan, juga beliau seru pamannya, bibinya, serta anak perempuannya. Beliaupun memperingatkan mereka secara khusus dan memerintahkan mereka untuk menyelamatkan diri masing-masing dari adzab Allah dengan cara menauhidkan dan menaati-Nya. Beliau menyampaikan bahwa beliau tidak dapat melindungi mereka dari adzab Allah sedikitpun apabila mereka tidak beriman.

Maka semata-mata kedekatan hubungan kekerabatan mereka dengan Rasul, tidaklah bermanfaat bagi mereka tanpa keimanan.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh meminta kepada Rasul, apalagi kepada selain Rasul, kecuali apa-apa yang disanggupi dalam perkara dunia. Adapun dalam perkara-perkara yang tidak disanggupi kecuali oleh Allah, maka tidaklah boleh memintanya kecuali kepada Allah. Pada hadits ini, terdapat bantahan terhadap para penyembah kubur yang mereka beristighasah akan kesulitan-kesulitan dan dalam pemenuhan keperluan-keperluannya kepada orang-orang yang telah meninggal.

Faedah Hadits

  1. Bantahan terhadap orang-orang yang menyembah para nabi dan orang-orang shalih, yang mereka itu menggantungkan diri kepada makhluk dalam pemenuhan keperluan-keperluan mereka yang tidak disanggupi (pemenuhannya) kecuali hanya oleh Allah.
  2. Bahwasannya tidak boleh memintah kepada hamba kecuali apa-apa yang disanggupinya.
  3. Bersegeranya Nabi ﷺ dalam melaksanakan perintah Allah serta menyampaikan risalah.
  4. Bahwasannya tidak ada yang bisa menyelamatkan dari adzab Allah kecuali iman dan amal shalih, bukan hanya dengan bersandar kepada nasab keturunan seseorang.
  5. Bahwa orang yang pantas menjadi paling dekat dengan Rasul ﷺ adalah orang-orang yang taat dan mengikuti beliau, baik dari kalangan kerabat-kerabat beliau maupun selainnya.
  6. Bahwa semata-mata memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasul ﷺ tidak ada manfaatnya kalau tidak memiliki iman dan amal shalih serta aqidah yang benar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Referensi:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

Perhatikanlah Apa yang Telah Dilakukan oleh orang-orang Kafir Terdahulu dan Bagaimana Keadaan Mereka

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah

Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 9 Memikirkan Kekuasaan Allah, Fananya Dunia, Kesulitan-Kesulitan di Akhirat, Pengendalian dan Pendidikan Jiwa, Serta Membimbingnya untuk Istiqamah.

Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Tafakkur

Firman Allah Ta’ala,

۞ أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَـٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ دَمَّرَ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۖ وَلِلْكَـٰفِرِينَ أَمْثَـٰلُهَا

Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (QS. Muhammad: 10)

Penjelasan:

Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan perjalanan dengan telapak kaki dan perjalanan dengan hati.

  1. Perjalanan dengan telapak kaki adalah seseorang berjalanan di muka bumi dengan kedua kakinya atau dengan kendaraan sehingga dia dapat melihat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir dan bagaimana keadaan mereka.
  2. Perjalanan dengan hati yaitu merenungi cerita-cerita yang telah dinukil dari berita-berita mereka.

Kitab yang paling shahih yang menceritakan kabar-kabar orang terdahulu adalah kitab Allah Azza wa Jalla, sebagaimana Allah berfirman: “Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.

Al-Qur’an dipenuhi dengan cerita-cerita orang-orang terdahulu yang mendustakan para rasul dan para pendukung rasul, dan Allah menjelaskan akibat perbuatan masing-masing.

Begitu juga dalam As-Sunnah terdapat cerita-cerita orang-orang yang terdahulu. Terdapat banyak sekali hadist-hadist yang bermanfaat yang jika itu shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam maka ia termasuk kabar yang paling benar yang dinukilkan. Adapun yang diceritakan oleh para pakar sejarah, maka perlu hati-hati karena kebiasan kitab-kitab sejarah, ini tidak memiliki dasar dan sanad tetapi hanya berupa cerita-cerita yang beredar di antara manusia.

Wallahu Ta’ala A’lam

Hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma mengenai Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam mendoakan kejelekan bagi kaum musyrikin

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)

Dalil Ke-3

Juga dalam (Ash-Shahih) dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, (beliau berkata) bahwa beliau mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berdoa (setelah kepala beliau terluka dan gigi taring beliau patah) ketika mengangkat kepala dari ruku’ pada rakaat terakhir dalam shalat Subuh, “Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan,” yaitu seletah mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah, Rabbana lakal hamdu“. Oleh karena itu, Allah menurunkan firman-Nya.

لَيْسَ لَكَ مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ

Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128)

Di dalam riwayat lain (disebutkan), “Beliau mendoakan kejelekan bagi Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan Al-Harits bin Hisyam maka turnlah ayat,

Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128)

Biografi

Ibnu Umar adalah Abdullah bin Umar bin Al-Khathtab Radhiyallahu Anhuma, seorang shahabat yang mulia, termasuk ahli ibadah dan ulama dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada 73 H.

Makna Hadits SecaraGlobal

Abdullah bin Umar Radyiallahu Anhu mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mendoakan kejelekan daam shalat terhadap beberapa orang dari kalangan tokoh-tokoh orang kafir yang telah menyakitinya pada perang Uhud, maka Allah menegurnya dengan firman-Nya “Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128).

Lalu Allah memberikan taubat kepada mereka, sehingga mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Di dalam hadits terdapat penjelasan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mampu membela dirinya dari gangguan kaum musyrikin, tidak pula membela para shahabatnya bahkan beliau meminta perlindungan kepada Allah Yang Maha Mampu dan Maha Berkuasa. Hal ini menunjukkan batilnya apa yang diyakini oleh para penyembah kubur terhadap para nabi dan orang-orang shalih.

Faedah Hadits

  1. Batilnya bergantung kepada para wali dan orang shalih dalam meminta pemenuhan keperluan dan pelepasan diri dari kesulitan.
  2. Bolehnya mendoakan kejelekan terhadap kaum musyrikin dalam shalat.
  3. Sebagai dalil (petunjuk) bahwa menyebutkan nama orang yang didoakan kebaikan atau kejelekan untuknya tidak membatalkan shalat.
  4. Adanya penegasan bahwa imam menggabungkan bacaan tasmi’ (Sami’allahu liman hamidah) dan tahmid (Rabbana wa lakal hamdu)

Wallahu Ta’ala A’lam

Referensi:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

Hadits dari Anas Radhiyallahu Anhu mengenai Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam terluka di Perang Uhud

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizahullah

Bab 14: Firman Allah Ta’ala, “Patutkan mereka berbuat syirik (dengan menyembah selain Allah) yang tidak dapat menciptakan apa-apa, bahkan mereka itu diciptakan? Padahal, (sembahan-sembahan selain Allah) itu tidak mampu menolong (orang-orang musyrik) juga tidak sanggup menolong diri sendiri” (Al-A’raf: 191-192)

Dalil Ke-2

Di dalam Ash-Shahih dari Anas Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Pada perang Uhud, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam terluka pada kepala, dan gigi taring beliau patah. Beliau pun bersabda, “Bagaimana akan beruntung, suatu kaum yang melukai Nabi mereka?’ Maka turunlah (ayat),

لَيْسَ لَكَ مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ

Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128)

Makna Hadits SecaraGlobal

Anas Radhiyallahu Anhu mengabarkan apa yang terjadi pada diri Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dalam peperangan Uhud berupa berbagai gangguan dan cobaan dari tangan musuh-musuhnya berupa luka-luka di dua tempat di tubuh beliau yang mulia. Maka seakan-akan beliau Shallallahu Alaihi Wasallam merasa putus asa bahwa orang-orang kafir Quraisy akan mendapatkan keburuntungan. Maka dengan sebab itualh dikatakan kepada beliau, “Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka” (Ali ‘Imran: 128).

Artinya akibat akhir dari suatu perkara dan hukum terhadap seseorang adalah di tangan Allah, maka berjalanlah kamu dengan keadaanmu dan teruslah berdakwah.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Pada hadits ini terdapat dalil akan batilnya kesyirikan kepada wali dan orang shalih, sebab apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mampu menolak musibah yang menimpanya, dan beliau juga tidak mampunyai hak sedikitpun untuk turut campur dalam menentukan suatu perkara, maka lebih-lebih selain Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam.

Faedah Hadits

  1. Menunjukkan batilnya kesyirikan kepada para wali dan orang shalih, karena apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja tidak mampu menolak bahaya dari diri beliau sendiri dan tidak berkuasa terhadap suatu perkara apapun, terlebih lagi selain beliau.
  2. Terjadinya sakit dan ujian pada diri nabi ‘alaihimus shalatuwas salam.
  3. Kewaijiban ikhlas dalam beribadah kepada Allah, karena hanya Dia semata yang menguasai segala urusan.
  4. Disyrariatkan untuk bersabar dan menanggung gangguan dan kesulitan di jalan dakwah kepada Allah
  5. Dilarang berputus asa dari rahmat Allah, meskipun manusia berbuat berbagai macam kemaksiatan selain kesyirikan.

Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah: Bab 14 Firman Allah Ta’ala – Al-A’raf: 191-192

Pada pertempuran Uhud, Nabi mengalami luka di kulit kepala tanpa menyentuh tulangnya. Beberapa gigi taringnya patah akibat serangan Ukbah bin Abi Wakos. Nabi pernah mendoakan agar Ukbah meninggal dalam tidak lebih dari setahun, dan doa tersebut dikabulkan. Ukbah meninggal dalam keadaan kafir sebelum setahun berlalu.

Maka Nabi mengatakan bahwa bagaimana mungkin suatu kaum bisa meraih kebahagiaan dengan melakukan kekerasan terhadap nabi mereka. Mereka melukai kepala nabinya dan mematahkan giginya.

Maka turunlah ayat “Tiada hak sedikitpun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka“. Ini berarti bahwa Nabi Muhammad tidak memiliki hak untuk campur tangan dalam hukum para hamba Allah. Semuanya ditangan Allah Subhanahu Wata’ala.

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah. Apabila beliau meminta apapun, Allah akan memberikannya. Akan tetapi, ayat ini adalah penegasan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tidak memiliki kekuasaan apapun dalam hal seperti ini. Beliau hanyalah hamba dan rasul Allah Subhanahu Wata’ala. Yang menentukan hukuman terhadap makhluk hanyalah Allah Subahanahu Wata’ala.

Wallahu Ta’ala A’lam

Referensi:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.

Perhatikanlah, bagaimana unta diciptakan, langit ditingikan, gunung ditegakkan dan bumi dihamparkan.

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin Karya Abu Zakaria An-Nawawi Rahimahullah

Pensyarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 9 Memikirkan Kekuasaan Allah, Fananya Dunia, Kesulitan-Kesulitan di Akhirat, Pengendalian dan Pendidikan Jiwa, Serta Membimbingnya untuk Istiqamah.

Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Tafakkur

Firman Allah Ta’ala,

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ١٧ وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ ١٨ وَإِلَى ٱلْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ١٩ وَإِلَى ٱلْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ٢٠

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan? (Al-Ghasyiyah: 17-20)

Penjelasan:

Apakah mereka tidak memperhatikan”, ini termasuk bab motivasi untuk meneliti pada empat perkara ini, tentang unta coba renungkanlah bagaimana Allah menciptakannya dengan bentuk besar ini sehingga mampu membawa barang yang berat. Unta yang besar dan kuat ini telah Allah tundukan kepada hamba-Nya (An-Nahl: 16).

dan kepada langit bagaimana ia diangkat”, langit yang besar diangkat oleh Allah Ta’ala dengan sangat tinggi tidak ada makhluk yang bisa menjangkaunya. Langit diangkat tanpa penyangga, maka renungkanlah (Ar-ra’ad: 2).

dan lihatlah gunung bagaimana ia ditegakkan,” jikalau seluruh makhluk berkumpul dengan segala kekuatan yang mereka miliki, tentu tidak akan dapat membuat yang semisal dengannya. Diantara hikmah Allah Ta’ala tegakkah gunung yang begitu besar adalah sebagai pasak yang menetapkan bumi dan menjaganya dari goncangan (Luqman: 10).

dan bumi bagaimana ia dihamparkan,” Allah Ta’ala menjadikan bumi terhampar, dan ditundukkan kepada hamba-Nya, dapat diberdayakan oleh makhluk-Nya, tanahnya dapat ditanami sehingga manusia dapat mengambil manfaat.

Wallahu Ta’ala A’lam