Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah (Enam Pelajaran Aqidah dari Sirah Nabi ﷺ)
- Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
- Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian 5. Pelajaran Ketiga: Kisah Pembacaan Surah An-Najm – Sittah Mawadhi’ Minas Sirah.
Pelajaran Ketiga: Kisah Pembacaan Surat An-Najm
الۡمَوۡضِعُ الثَّالِثُ : قِصَّةُ قِرَاءَتِهِ ﷺ سُورَةَ النَّجۡمِ بِحَضۡرَتِهِمۡ، فَلَمَّا بَلَغَ ﴿أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّـٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ﴾ [النجم: ١٩] أَلۡقَى الشَّيۡطَانُ فِي تِلَاوَتِهِ: (تِلۡكَ الۡغَرَانِيقُ الۡعُلَا، وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرۡتَجَى) فَظَنُّوا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَهَا، فَفَرِحُوا بِذٰلِكَ وَقَالُوا كَلَامًا مَعۡنَاهُ: هَٰذَا الَّذِي نُرِيدُ، وَنَحۡنُ نَعۡرِفُ أَنَّ اللهَ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَلَكِنۡ هَٰؤُلَاءِ يَشۡفَعُونَ لَنَا عِنۡدَهُ.
Peristiwa ketiga: Kisah pembacaan surah An-Najm oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah kehadiran mereka. Ketika beliau sampai ayat yang artinya, “Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-‘Uzza,” setan menyisipkan dalam bacaan beliau, “Itu adalah gharaniq (nama berhala/malaikat) yang mulia dan sesungguhnya syafaat mereka diharapkan.” Sehingga mereka menyangka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengucapkannya. Maka, mereka pun gembira dengan perkataan itu dan mereka berkata dengan ucapan yang maknanya, “Inilah yang kami inginkan. Kami mengetahui bahwa Allah sajalah yang memberi manfaat dan mudarat, tidak ada sekutu bagi-Nya, namun mereka ini (berhala-berhala) dapat memberi syafaat untuk kami di sisi-Nya.”
فَلَمَّا بَلَغَ السَّجۡدَةَ سَجَدَ وَسَجَدُوا مَعَهُ، فَشَاعَ الۡخَبَرُ أَنَّهُمۡ صَافَوۡهُ، وَسَمِعَ بِذٰلِكَ مَنۡ بِالۡحَبَشَةِ فَرَجَعُوا، فَلَمَّا أَنۡكَرَ ذٰلِكَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَادُوا إِلَى شَرٍّ مِمَّا كَانُوا عَلَيۡهِ.
Ketika Rasulullah membaca sampai ayat sajdah, beliau pun sujud dan mereka ikut sujud beserta beliau. Sehingga tersebarlah berita bahwa orang-orang musyrik mengikuti beliau dan berita itu terdengar oleh kaum muslimin yang sedang hijrah di Habasyah sehingga mereka kembali. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari bacaan itu, orang-orang musyrik itu kembali kepada keburukan mereka dahulu.
وَلَمَّا قَالُوا لَهُ: إِنَّكَ قُلۡتَ ذٰلِكَ. خَافَ مِنَ اللهِ خَوۡفًا عَظِيمًا، حَتَّى أَنۡزَلَ اللهُ عَلَيۡهِ: ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ﴾… [الحج: ٥٢].
Ketika orang-orang musyrik itu berkata kepada beliau, “Sesungguhnya engkau telah mengucapkannya,” maka Rasulullah sangat takut kepada Allah sampai Allah menurunkan ayat kepada beliau yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia membaca, setan menyisipi bacaan itu…” (QS. Al-Hajj: 52).
فَمَنۡ فَهِمَ هَٰذِهِ الۡقِصَّةَ، ثُمَّ شَكَّ بَعۡدَهَا فِي دِينِ النَّبِيِّ ﷺ، وَلَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَهُ وَبَيۡنَ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ، فَأَبۡعَدَهُ اللهُ، خُصُوصًا إِنۡ عَرَفَ أَنَّ قَوۡلَهُمۡ: (تِلۡكَ الۡغَرَانِيقُ) يُرَادُ بِهَا الۡمَلَائِكَةُ.
Jadi, siapa saja yang memahami kisah ini, lalu setelah itu masih ragu tentang agama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bisa membedakan antara agama Nabi dengan agama orang-orang musyrik, maka berarti Allah telah menjauhkannya. Terkhusus apabila dia mengerti bahwa ucapan mereka, “Itu adalah gharaniq,” yang mereka maksudkan adalah malaikat.
Pembahasan 1: Kisah Nabi ﷺ membaca surat An-Najm yang dihadiri oleh kaum musyrikin.
Ayat ini bantahan terhadap kaum musyrikin yang menjadikan para malaikat sebagai anak perempuan Allah Ta’ala. Dan bantahan terhadap Ilhat yang mereka lakukan.
Ketika sampai pada firman Allah “Maka, apakah kalian , patut menganggap Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang paling ketiga?“, Maka syaitan menyusupkan kepada bacaan Nabi ﷺ, yaitu “Al-Gharaniq yang tinggi, sesungguhnya syafaat-syafaat mereka diharapkan”. Maksudnya Nabi tidak membaca apa yang dikatakan oleh syaitan akan tetapi syaithon bersuara dengan memasukan kalimat tadi. Sehingga terdengar oleh orang-orang, yang menyangka perkataan syaithon itu termasuk bacaan Nabi ﷺ.
Kaum musyrikin menyangka Nabi mengucapkan kalimat itu dan mereka bergembira akan hal itu. Mereka berucap yang maknanya, “Itulah yang kami inginkan, kami mengetahui hanya Allah yang memberi madharat dan manfaat, tapi sembahan kami memberi syafaat untuk kami disisi Allah Ta’ala.”
Al-Gharaniq adalah jamak dari Ghanuq yang artinya burung putih (jantan) yang panjang lehernya (burung bangauw). Kaum musyrikin menamakan berhala-berhala mereka dengan Al-Gharaniq.
Ketika mencapai ayat sajadah pada ayat terakhir surat An-Najm, maka Nabi bersujud dan kaum musyrikin ikut bersujud bersama beliau. Maka tersebar berita bahwa Nabi ﷺ telah berdamai dengan kaum musyrikin. Berita ini terdengar oleh para sahabat yang berada di Hasaba. Sehingga para sahabat kembali ke Mekah.
Akan tetapi begitu Rasulullah ﷺ mengingkari perdamaian ini, maka kaum musryikin kembali memusuhinya dan lebih jelek dari pada keadaan sebelumnya. Mereka berkata, “Engkau yang mengucapkan hal tersebut, kenapa diingkari?”. Maka Nabi sangat takut kepada Allah Ta’ala, sehingga Allah menurunkan firmannya:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ﴾… [الحج: ٥٢].
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia membaca, setan menyisipi bacaan itu…” (QS. Al-Hajj: 52)
Siapa yang memahami kisah ini, kemudian setelah itu ragu kepada Agama Nabi ﷺ. Dan tidak membedakan antara agama Nabi dan agama kaum musyrikin, semoga Allah menjauhkannya. Apalagi kalau mereka mengetahui ucapan Al-Gharaniq maksudnya adalah para malaikat.
Kisah pembacaan surat An-Najm ini disebut juga Kisah Gharaniq. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa periwayatan pada kisah ini, sanad nya lemah. Sebagian ulama lain seperti Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadits ini memiliki beberapa jalur riwayat yang sebagiannya menguatkan sebagian lainnya. Secara umum yang mengatakan riwayat ini tidak sah adalah lebih dekat, hanya saja firman Allah dari surat Al-Hajj sudah cukup sebagai dalil bahwa syaithon menyisipi bacaan para Rasul.
Pembahasan 2: Hakikat permusuhan antara Nabi ﷺ dan kaum musyrikin
Hakikat permusuhan antara Nabi dan Kaum musyrikin adalah pada permasalahan Tauhid dan hakikat kesyirikan. Bahwa apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin berupa peribadatan kepada berhala dengan alasan mendekatkan mereka kepada Allah dan mencari syafaat adalah kesyirikan. Sehingga kaum musyrikin memusuhi Nabi ﷺ dan para sahabat.
Mereka menganggap Nabi ﷺ dan para sahabat mencela agama mereka. Dari sisi Nabi ﷺ dan para shabat bahwa ini adalah sikap al-bara, bahwa tidak cukup seorang bertauhid dan meninggalkan kesyirikan akan tetapi harus memusuhi kaum musyrikin dan membenci agama mereka.
Pada awalnya kaum Musyrikin percaya kepada Nabi ﷺ dan menggelarinya Al-Amin. Akan tetapi tiba-tiba menjadi orang yang sangat mereka musuhi karena hal tersebut diatas.
Pembahasan 3: Perbedaan antara agama kaum muslimin dengan agama kaum musyrikin
Harus dibedakan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Disebutkan dalam Kitab Qawaidul Arba’, pada kaidah yang kedua: Alasan kaum musyrikin melakukan kesyirikan ada dua yaitu:
- Mencari Kedekatan
- Mencari Syafaat.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Sumber:
Matan dan Terjemahan Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah:
Ismail bin Issa. (2020, April 16). Sittatu Mawadhi’ Minas Sirah. Sittatu Mawadhi’ minas Sirah – إسماعيل بن عيسى. https://ismail.web.id/2020/04/16/sittatu-mawadhi-minas-sirah/