Pelajaran Kelima: Kisah Tentang Hijrah

Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah (Enam Pelajaran Aqidah dari Sirah Nabi )

Pelajaran Kelima: Kisah Tentang Hijrah

الۡمَوۡضِعُ الۡخَامِسُ: قِصَّةُ الۡهِجۡرَةِ، وَفِيهَا مِنَ الۡفَوَائِدِ وَالۡعِبَرِ مَا لَا يَعۡرِفُهُ أَكۡثَرُ مَنۡ قَرَأَهَا.

Peristiwa kelima: Kisah hijrah. Dalam kisah ini ada faedah-faedah dan pelajaran-pelajaran yang tidak diketahui oleh sebagian besar orang yang membacanya.

وَلَكِنۡ مُرَادُنَا الۡآنَ مَسۡأَلَةٌ مِنۡ مَسَائِلِهَا، وَهِيَ أَنَّ مِنۡ أَصۡحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ مَنۡ لَمۡ يُهَاجِرۡ مِنۡ غَيۡرِ شَكٍّ فِي الدِّينِ وَتَزۡيِينِ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ، وَلَكِنۡ مَحَبَّةً لِلۡأَهۡلِ وَالۡمَالِ وَالۡوَطَنِ، فَلَمَّا خَرَجُوا إِلَى بَدۡرٍ خَرَجُوا مَعَ الۡمُشۡرِكِينَ كَارِهِينَ، فَقُتِلَ بَعۡضُهُمۡ بِالرَّمۡيِ، وَالرَّامِي لَا يَعۡرِفُهُ.

Akan tetapi yang kita inginkan sekarang adalah sebuah permasalahan di antara berbagai permasalahan dalam kejadian tersebut. Yaitu bahwa sebagian sahabat Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—ada yang tidak berhijrah. Alasannya bukan karena ragu dengan agama Islam dan bukan untuk mendukung agama orang-orang musyrik. Akan tetapi alasannya adalah kecintaan terhadap keluarga, harta, dan tanah air. Ketika mereka keluar menuju medan perang Badr, mereka keluar bersama barisan kaum musyrikin dalam keadaan tidak suka. Sebagian mereka terbunuh karena lemparan senjata, sementara si pelempar tidak mengenalinya.

فَلَمَّا سَمِعَ الصَّحَابَةُ أَنَّ مِنَ الۡقَتۡلَى فُلَانًا وَفُلَانًا شَقَّ عَلَيۡهِمۡ وَقَالُوا: قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا. فَأَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَـٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمۡ﴾ … إِلَى قَوۡلِهِ: ﴿وَكَانَ ٱللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا﴾ [النساء: ٩٧-١٠٠].

Ketika para sahabat mendengar bahwa di antara korban perang ada si Polan dan si Polan, mereka merasa berat dan berkata, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita.” Lalu Allah taala menurunkan ayat yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menzalimi diri-diri mereka…” hingga firman-Nya, “Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa`: 97-100).

فَمَنۡ تَأَمَّلَ قِصَّتَهُمۡ وَتَأَمَّلَ قَوۡلَ الصَّحَابَةِ: قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا، عَلِمَ أَنَّهُ لَوۡ بَلَغَهُمۡ عَنۡهُمۡ كَلَامٌ فِي الدِّينِ أَوۡ كَلَامٌ فِي تَزۡيِينِ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ لَمۡ يَقُولُوا: قَتَلۡنَا إِخۡوَانَنَا.

Maka, siapa saja yang merenungkan kisah mereka dan merenungkan perkataan sahabat, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita,” maka dia mengetahui bahwa andai sampai ucapan (keraguan) terhadap agama Islam atau ucapan yang mendukung agama kaum musyrikin dari sebagian sahabat yang tidak ikut hijrah kepada para sahabat, niscaya para sahabat tidak akan berkata, “Kita telah membunuh saudara-saudara kita.”

فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدۡ بَيَّنَ لَهُمۡ وَهُمۡ بِمَكَّةَ قَبۡلَ الۡهِجۡرَةِ أَنَّ ذٰلِكَ كُفۡرٌ بَعۡدَ الۡإِيمَانِ بِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿مَن كَفَرَ بِٱللَّـهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَـٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنٌّۢ بِٱلۡإِيمَـٰنِ﴾ [النحل: ١٠٦]. وَأَبۡلَغُ مِنۡ هَٰذَا مَا تَقَدَّمَ مِنۡ كَلَامِ اللهِ تَعَالَى فِيهِمۡ، فَإِنَّ الۡمَلَائِكَةَ تَقُولُ: ﴿فِيمَ كُنتُمۡ﴾ وَلَمۡ يَقُولُوا: كَيۡفَ تَصۡدِيقُكُمۡ؟ ﴿قَالُوا۟ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ۚ﴾ [النساء: ٩٧].

Karena sungguh Allah taala telah menjelaskan kepada mereka ketika mereka berada di Makkah sebelum hijrah bahwa ucapan-ucapan itu adalah kekufuran sesudah keimanan dengan dasar firman-Nya taala yang artinya, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (QS. An-Nahl: 106).

Yang lebih gamblang daripada ayat ini adalah firman Allah taala yang telah disebutkan tentang mereka. Yaitu, bahwa malaikat bertanya, “Bagaimana keadaan kalian ketika itu?”

Para malaikat tidak menanyakan, “Bagaimana pembenaran kalian?”

Mereka menjawab, “Dahulu kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).” (QS. An-Nisa`: 97).

وَلَمۡ يَقُولُوا: كَذَبۡتُمۡ. مِثۡلَ مَا يَقُولُ اللهُ وَالۡمَلَائِكَةُ لِلۡمُجَاهِدِ الَّذِي يَقُولُ: جَاهَدۡتُ فِي سَبِيلِكَ حَتَّى قُتِلۡتُ، فَيَقُولُ اللهُ: كَذَبۡتَ، وَتَقُولُ الۡمَلَائِكَةُ: كَذَبۡتَ، بَلۡ قَاتَلۡتَ لِيُقَالَ: جَرِيءٌ، وَكَذٰلِكَ يَقُولُونَ لِلۡعَالِمِ وَالۡمُتَصَدِّقِ: كَذَبۡتَ، بَلۡ تَعَلَّمۡتَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَتَصَدَّقۡتَ لِيُقَالَ: جَوَّادٌ.

Para malaikat tidak berkata, “Kalian telah berdusta.”

Seperti yang dikatakan oleh Allah dan malaikat kepada mujahid yang berkata, “Aku berjihad di jalan-Mu sampai aku terbunuh.”

Lalu Allah berkata, “Engkau dusta.”

Malaikat juga berkata, “Engkau dusta. Engkau berperang hanya agar engkau disebut sebagai pemberani.”

Demikian pula yang mereka katakan kepada orang yang alim dan orang yang bersedekah, “Engkau dusta. Engkau belajar agar engkau disebut sebagai orang yang alim dan engkau bersedekah agar disebut sebagai orang yang dermawan.”

وَأَمَّا هَٰؤُلَاءِ فَلَمۡ يُكۡذِبُوهُمۡ بَلۡ أَجَابُوهُمۡ بِقَوۡلِهِمۡ: ﴿قَالُوٓا۟ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةً فَتُهَاجِرُوا۟ فِيهَا ۚ﴾ وَيَزِيدُ ذٰلِكَ إِيضَاحًا لِلۡعَارِفِ وَالۡجَاهِلِ الۡآيَةُ الَّتِي بَعۡدَهَا، وَهِيَ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلًا﴾ [النساء: ٩٨].

Adapun mereka yang tidak ikut hijrah ini, maka malaikat tidak menyatakan bahwa mereka berdusta, bahkan menanggapi mereka dengan ucapan mereka. “Para malaikat berkata: Bukankah bumi Allah luas sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?”

Ayat setelahnya akan menambah jelas hal itu, baik bagi orang yang pandai maupun yang jahil. Yaitu firman Allah taala yang artinya, “Kecuali orang-orang yang tertindas dari kalangan pria, wanita, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (QS. An-Nisa`: 98).

فَهَٰذَا أَوۡضَحُ جِدًّا أَنَّ هَٰؤُلَاءِ خَرَجُوا مِنَ الۡوَعِيدِ، فَلَمۡ يَبۡقَ شُبۡهَةً، لَكِنۡ لِمَنۡ طَلَبَ الۡعِلۡمَ، بِخِلَافِ مَنۡ لَمۡ يَطۡلُبۡهُ، بَلۡ قَالَ اللهُ فِيهِمۡ: ﴿صُمٌّۢ بُكۡمٌ عُمۡىٌ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ﴾ [البقرة: ١٨].

Ini sangat jelas bahwa mereka (yang tidak hijrah karena uzur) tidak termasuk ke dalam ancaman (yang disebutkan di akhir surah An-Nisa` ayat 97). Maka, sudah tidak tersisa syubhat lagi. Namun, hilangnya syubhat ini hanya bisa dicapai oleh orang yang menuntut ilmu. Beda halnya dengan orang yang tidak mau menuntut ilmu. Bahkan Allah berfirman tentang mereka yang artinya, “Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak bisa kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Baqarah: 18).

وَمَنۡ فَهِمَ هَٰذَا الۡمَوۡضِعَ وَالَّذِي قَبۡلَهُ فَهِمَ كَلَامَ الۡحَسَنِ الۡبَصۡرِيِّ، قَالَ: لَيۡسَ الۡإِيمَانُ بِالتَّحَلِّي وَلَا بِالتَّمَنِّي وَلَٰكِنۡ مَا وَقَرَ فِي الۡقُلُوبِ وَصَدَقَتۡهُ الۡأَعۡمَالُ.

Barang siapa yang memahami peristiwa ini dan sebelumnya, maka dia akan paham ucapan Al-Hasan Al-Bashri. Beliau menuturkan, “Keimanan bukan sekadar dengan hiasan lahiriah dan angan-angan, akan tetapi keimanan adalah keyakinan yang kukuh di dalam kalbu dan dibuktikan oleh amalan-amalan.”

وَذٰلِكَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ: ﴿إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّـٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥ ۚ﴾ [فاطر: ١٠].

Tentang itu pula Allah taala berfirman yang artinya, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10).


Pembahasan 1: Banyaknya faidah dan pelajaran dari kisah hijrah

Banyak faedah dari kisah hijrah. Penulis di sini ingin mengangkat satu permasalahan yang ingin dijelaskan, yaitu bahwa ada sebagian sahabat yang tidak berhijrah. Mereka bukan karena ragu pada agama Islam dan tidak pula menganggap agama kaum musyrikin bagus. Akan tetapi mereka lebih cinta kepada keluarga, harta, dan tanah kelahiran. Mereka mau hijrah tapi tidak mau meninggalkan keluarganya. Mereka mau hijrah tapi takut meninggalkan hartanya yang perlu dirawat dan takut hartanya diambil oleh kaum musyrikin. Mereka mau hijrah tapi tidak kuat meninggalkan tanah kelahirannya karena sudah terbiasa hidup di negerinya. Bahkan Nabi dan para sahabat ketika sudah hijrah ke Madinah masih mengingat tanah kelahirannya di Mekkah.

Hukum hijrah adalah apabila seseorang telah berhijrah maka tidak boleh kembali lagi pada tanah yang sudah ditinggalkan untuk bermukim. Akan tetapi kalau untuk tidak bermukim maka tidak mengapa. Sebagaimana Nabi dan para sahabat ketika sudah hijrah ke Madinah dan Mekah ditaklukan menjadi negeri Islam, tapi mereka tidak kembali tinggal di Mekkah. Padahal Mekah adalah tanah yang paling dicintai oleh Allah, Mekah lebih afdhal dari pada Madinah.

Dalam menilai sebuah negeri apakah negeri Islam atau negeri kafir adalah dilihat dari mayoritas penduduknya dan syiar-syiar yang berkembang di negeri itu.

Ketika terjadi perang Badr, para sahabat yang tidak berhijrah ikut perang Badr di barisan kaum musyrikin dalam keadaan terpaksa. Sebagian dari mereka ada yang terbunuh, terkena bidikan tombak atau panah. Sahabat yang membidik tidak mengenal siapa yang dibidik karena mereka tahu bahwa semua lawannya adalah kaum musyrikin.

Para sahabat mendengar bahwa yang telah terbunuh adalah nama-nama yang mereka kenal yaitu sebagian sahabat yang tidak berhijrah. Maka hal tersebut membuat para sahabat menjadi sangat berat. Mereka berkata, “Kami sudah membunuh saudara-saudara kami”. Maka Allah ﷻ menurunkan firmannya dalam surat An-Nisa ayat 97-100.

إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِهِمْ قَالُوا۟ فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا۟ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ قَالُوٓا۟ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةًۭ فَتُهَاجِرُوا۟ فِيهَا ۚ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ٩٧ إِلَّا ٱلْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلْوِلْدَٰنِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةًۭ وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًۭا ٩٨ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًۭا ٩٩ ۞ وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًۭا كَثِيرًۭا وَسَعَةًۭ ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ ٱلْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا ١٠٠

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 97-100)

Faidah dari kisah hijrah:

Siapa yang memperhatikan kisah sahabat yang tidak berhijrah ini. Para sahabat mengatakan “Kami telah membunuh saudara-saudara kami”. Sebagian sahabat yang tidak berhijrah masih dikatakan saudara-saudara kami. Mengapa masih dikatakan saudara kami? Karena tidak ucapan jelek apapun dari para sahabat yang tidak berhijrah yang terdengar oleh para sahabat yang berhijrah ke Madinah. Ucapan jelek termasuk menjelekkan agama Islam dan menganggap agama kaum musyrikin bagus. Andaikata ada ucapan jelek sampai terdengar oleh para sahabat di Madinah, pasti mereka tidak akan berkata “Kami telah membunuh saudara-saudara kita”.

Allah ﷻ telah menjelaskan kepada para sahabat sebelum para sahabat berhijrah ke Madinah, bahwa hal tersebut adalah kekafiran setelah keimanan. Sebagaimana firman Allah yang artinya “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (QS. An-Nahl: 106). Ayat ini terkait dengan kejadian yang menimpa Ammar bin Yasir. Apabila seseorang ridha dengan kekafiran, menanggap agama kaum musyrikin bagus maka dianggap kekafiran. Kecuali apabila dipaksa seperti yang dialami Ammar, dimana ayah dan ibunya sudah mati dibunuh. Apabila dia tidak berucap mengenai kekafiran maka dia akan dibunuh juga. Maka dia mengucapkan dengan terpaksa sehingga turun ayat ini. Ammar terpaksa mengucapkan kekufuran tapi terpaksa dan hatinya tetap pada keimanannya.

Para sahabat menganggap sahabat yang tidak berhijrah masih sebagai Muslim. Sehingga ucapan mereka telah benar. Juga tidak ada yang mengingkari ucapan sahabat tersebut. Dan lebih mendalam lagi disebutkan dalam ayat yang di atas (An-Nisa), yaitu para malaikat berkata, “Dalam keadaan bagaimana kalian?”. Malaikat tidak menanyakan “Bagaimana keyakinan kalian?”. Sehingga keyakinan mereka tidak diragukan. Tapi yang ditanyakan adalah dalam keadaan apa?. Maka mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang terdhalimi di atas muka bumi (Mekkah)”. Apabila jawaban ini tidak benar maka Malaikat akan mengatakan, “Kalian telah berdusta”. Tapi Malaikat tidak mengatakannya.

Hal ini seperti dikatakan kepada seorang Mujahid dalam hadits Muslim,”Saya berjihad di jalan-Mu, Ya Allah, sampai saya terbunuh”. Maka Allah ﷻ berfirman, “Engkau telah berdusta” dan malaikat mengatakan “Engkau telah berdusta”. Bahkan engkau berperang agar disebut sebagai pemberani. Demikian pula dikatakan kepada orang yang berilmu dan orang yang bersedekah. Orang alim mengatakan “Saya belajar, membaca Al-Qur’an karena engkau, Ya Allah”, Allah ﷻ berfirman, “Engkau berdusta, Engkau belajar supaya dikatakan alim, Engkau membaca Al-Qur’an supaya dikatakan engkau ahli qiro’ah”. Demikian juga juga yang bersedekah Allah ﷻ berfirman “Engkau bersedekah supaya dikatakan orang yang dermawan”.

Andaikata ucapan sahabat yang tidak berhijrah tersebut keliru, maka malaikat akan mengatakan “Engkau telah berdusta”. Akan tetapi para Malaikat mengatakan, “Bukan kah bumi Allah itu luas?, Sehingga kalian dapat berhijrah di atas bumi itu.” Terkadang seseorang enggan berhijrah karena keluarga, harta dan tempat asalnya. Padahal apabila berhijrah akan mendapatkan hal yang lebih baik daripada itu.

Telah diungkap sisi pertama dan kedua adalah mereka tidak ada masalah dalam keislaman dan tidak pula menganggap bagus kaum musyrikin. Sisi yang ketiga, bahwa hal tersebut semakin diperjelas dengan firman Allah taala yang artinya, “Kecuali orang-orang yang tertindas dari kalangan pria, wanita, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (QS. An-Nisa`: 98). Dalam ayat ini dikatakan tidak semua yang berhijrah disalahkan, ada orang-orang yang mempunyai udzur, yaitu: laki-laki yang lemah yang kalau keluar mungkin sudah dibunuh, perempuan, anak, kecil dan yang tidak tahu jalan.

Maka, orang-orang yang mempunyai udhzur tidak ada ancaman, sehingga keluar dari syubhat yang tersisa. Hal ini jelas bagi orang yang menuntut ilmu. Berebeda dengan orang yang tidak menuntut ilmu. Bahkan Allah ﷻ berfirman tentang mereka yang artinya, “Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak bisa kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Baqarah: 18).

Kisah hijrah perlu dibahas dan dikaji, banyak pelajaran yang bisa diambil. Akan tetapi buku-buku tentang sirah perlu disaring sehingga mendapatkan riwayat-riwayat yang shahih dan dikeluarkan riwayat-riwayat yang lemah atau dusta. Banyak kisah hijrah akan tetapi tidak diketemukan sanad yang shahih.

Pembahasan 2: Kisah orang-orang yang meninggalkan hijrah tanpa udzur dan adanya ancaman, padahal mereka berada di atas kesilaman tanpa ragu dalam agama serta tidak menganggap baik agama kaum musyrikin

Orang yang tidak hijrah tanpa udzur mendapatkan ancaman, padahal mereka berada di atas keislaman, tidak ragu akan agama Islam, dan tidak menganggap baik agama kaum musyrikin. Ancamannya sebagaimana firman Allah ﷻ yang artinya “Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” (An-Nisa: 97).

Pembahasan 3: Memahami ucapan Al-Hasan Al-Bashriy untuk tempat ini dan tempat sebelumnya.

Ini adalah pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Hijrah, yaitu memahami ucapan Al-Hasan Al-Bashriy untuk tempat ini dan tempat sebelumnya. Maksudnya ucapan beliau pada pelajaran sebelumnya (Pelajaran Keempat) dan pelajaran ini (Pelajaran Kelima). Pelajaran Keempat adalah tentang kisah Abu Thalib terdapat kemiripan dengan kisah hijrah.

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Iman ini bukanlah dengan berhias, juga bukan dengan berangan-angan. Iman itu sesuatu yang bertetap di dalam hati dan dibenarkan oleh amalan.” Sebagaimana Allah ﷻ berfirman yang artinya “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Dalam kisah Abu Thalib, terdapat amalannya, akan tetapi yang kurang adalah sesuatu di dalam hati, sehingga dia tidak masuk dalam Islam.

Dalam kisah hijrah, Iman tidak seperti kisah para sahabat yang tidak berhijrah tanpa udzur. Mereka beriman, kaum muslimin, akan tetapi tidak beramal dengan melaksanakan hijrah.

Hal ini menunjukkan bahwa Tauhid, tidak sekadar mengenal tauhid dan meninggalkan kesyirikan, akan tetapi harus ada amalan yang menunjukkan hal tersebut seperti permusuhan dengan kaum musyrikin, meninggalkan kaum musyrikin, menolong agama, berdakwah kepada tauhid, melarang dari kesyirikan, amar ma’ruf dan nahi munkar.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Sumber:

Matan dan Terjemahan Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah:

Ismail bin Issa. (2020, April 16). Sittatu Mawadhi’ Minas Sirah. Sittatu Mawadhi’ minas Sirah – إسماعيل بن عيسى. https://ismail.web.id/2020/04/16/sittatu-mawadhi-minas-sirah/