بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga dan sahabatnya.
Kitab: Amdatul Ahkam – Bab Puasa
- Syarah dari Syeikh Muhammad bin Ustaimin Rahimahullah.
- Materi kajian oleh Abu Omar Zaydan Hafizahullah, di Markaz Abu Bakar, Melbourne, Australia. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses pada link berikut: Pertemuan 1, Pertemuan 2, Pertemuan 3.
Kajian disampaikan dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan intisarinya dalam bahasa Indonesia
Kitab Puasa
Pendahuluan
Puasa adalah salah satu dari rukun Islam yang lima sebagaimana tercantum di dalam hadits Jibril.
Secara bahasa puasa artinya menahan diri. Adapun secara istilah puasa artinya menahan diri dari makanan dan minuman serta semua yang dapat membatalkan puasa dari terbit matahari sampai terbenam matahari.
Puasa hukumnya wajib bagi setiap umat termasuk umat dahulu sebelum umat Nabi Muhammad ﷺ. Apabila ada yang berkata puasa tidak wajib, maka dia kufur menurut kesepakatan para ulama (ijma).
Puasa diwajibkan pada tahun 2 Hijriyah secara bertahap. Pada tahap awal diberikan dua pilihan yaitu puasa atau memberi makan orang miskin. Akan tetapi, Allah lebih mengutamakan orang yang berpuasa. Pada tahap akhirnya, Allah mewajibkan puasa bagi Umat Islam. Terdapat keringan dalam kewajiban puasa diantaranya: orang yang berpergian dan sakit.
Hadits 1: Larangan puasa di akhir bulan Sya’ban.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan shaum sehari atau 2 hari, selain seseorang yang sudah biasa melakukan puasa (di hari itu), maka silakan dia berpuasa padanya.”
Larangan puasa 1 atau 2 hari menjelang akhir bulan sya’ban dikecualikan apabila melakukan puasa yang sudah terbiasa. Larangan ini dimaksudkan agar tidak ragu-ragu akan datangnya awal Ramadhan. Sebagian orang berpuasa di akhir bulan Sya’ban dikarenakan mereka tidak ingin tertinggal puasa Ramadhan. Akan tetapi keraguan tersebut bisa dihilangkan apabila diyakinkan dengan penetapan awal Ramadhan yaitu dengan melihat Hilal. Sehingga apabila niat puasa pada akhir Sya’ban bukan karena keraguan awal Ramadhan, maka diperbolehkan.
Hadits 2: Penentuan Awal Ramadhan dengan melihat Hilal
Dari ‘Abdullah Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kamu melihatnya (hilal), maka berpuasalah, ● dan jika kamu melihatnya lagi, maka berbukalah. ● Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya“.
Penentuan Awal Ramadhan dengan melihat Hilal yaitu jika hilal terlihat maka puasa, jika tidak melihat hilal maka tidak puasa, dan jika hilal tidak jelas terlihat maka diperkirakan.
Dari hadits ini kita bisa menentukan awal Ramadhan dengan jelas yaitu dengan melihat hilal. Untuk melihat hilal tidak susah dan semua orang bisa melakukannya. Melihat hilal bisa dengan mata tanpa memerlukan peralatan. Satu orang muslim saja bisa dijadikan saksi dalam melihat hilal. Akan tetapi kesaksiannya harus diputuskan di pengadilan dan hasilnya dimumkan oleh ulil amr (penguasa negeri).
Penglihatan hilal Ramadhan dilakukan pada malam 30 sya’ban. Apabila hilal terlihat maka telah masuk 1 Ramadhan dan besoknya awal puasa. Apabila tidak terlihat maka, malam itu masih tanggal 30 sya’ban sehingga besoknya bukan awal puasa. Akan tetapi apabila penglihatan tidak jelas disebabkan oleh cuaca, maka diprediksi, yaitu bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari sehingga besoknya bukan awal puasa. Jumlah hari dalam satu bulan dalam calendar Islam ada yang 29 hari atau 30 hari.
Terdapat larangan dalam memprediksi awal Ramadhan dengan perhitungan karena perintahnya adalah dengan melihat hilal. Penentuan awal Ramadhan dengan perhitungan bisa benar dan bisa salah. Kemudian tidak semua orang bisa menghitung dalam menentukan awal Ramadhan. Islam adalah agama yang memudahkan bagi pengikutnya.
Jika alasannya adalah untuk menyatukan umat dalam bersama-sama memulai awal Ramadhan, maka dalam waktu shalat pun disetiap negeri waktunya berbeda-beda. Sehingga tidak mungkin kita menyatukan semua waktu shalat untuk setiap negeri, begitu pula dengan menyatukan awal Ramadhan.
Hadits 3: Ada barakah dalam makan sahur.
Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersahurlah kalian, karena di dalam sahur terdapat barakah“.
Dalam makan sahur terdapat barakah, yaitu makanan yang dimakan ketika sahur. Sehingga disunnahkan untuk menunda makan sahur sampai bagian akhir mendekati adzan subuh.
Hadits 4: Waktu antara makan sahur dan adzan subuh adalah sekitar 50 ayat.
Dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anhu, dia bercerita, Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ● kemudian beliau bangkit melaksanakan shalat (shubuh).” ● Anas berkata, Aku bertanya kepada Zaid, “Berapa rentang waktu antara adzan dengan (selesainya) makan sahur?” ● Anas bin Malik menjawab, “Kira-kira waktu seseorang membaca lima puluh ayat.”
Waktu antara makan sahur dan adzan subuh adalah sekitar 50 ayat. Ayat yang dimaksud di sini adalah ayat pertengahan, tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek.
Penentuan waktu Imsak, yaitu batas waktu berhentinya makan sahur, tidak disunnahkan. Hal ini dikarenakan batas berhentinya makan sahur adalah adzan subuh.
Hadits 5: Rasulullah ﷺ dalam keadaan junub ketika adzan subuh, kemudian mandi junub dan berpuasa.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radliallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapatkan waktu fajar saat Beliau sedang junub karena keluarga Beliau. ● Kemudian Beliau mandi dan shaum.
Hadits ini diriwayatkan oleh Aisha dan Ummu Salamah Radhiyallhu ‘anhuma, yaitu ketika salah seorang shahabi menanyakan kepada mereka mengenai apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ ketika junub pada Bulan Ramadhan.
Biografi Ummu Salamah
Ketika suami Ummu Salamah meninggal, maka Ummu Salamah berdoa agar kuat dalam menjalani musibah dan diberikan sesuatu yang lebih baik. Dalam hatinya dia berkata tidak ada yang lebih baik dari suaminya. Allah mengabulkan do’anya karena setelah itu Rasulullahﷺ menikahinya.
Faedah Hadits:
- Diperbolehkan dalam keadaan junub setelah adzan subuh dan berpuasa.
- Tidak harus mandi besar terlebih dahulu.
- Terdapat pelajaran agar menanyakan kepada ulama apabila mempunyai pertanyaan.
- Diperbolehkan mengatakan sesuatu yang tidak biasa apabila di perlukan.
- Sesuatu yang dilakukan Nabi menjadi dalil dibolehkannya.
Hadits 6: Siapa yang lupa makan dan minum ketika berpuasa, maka puasanya diteruskan. Allah memberi makanan kepada yang berpuasa tersebut.
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seseorang lupa lalu dia makan dan minum (ketika sedang berpuasa) maka hendaklah dia meneruskan puasanya, ● karena hal itu berarti Allah telah memberinya makan dan minum“
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
Apabila lupa makan dan minum ketika menjalankan ibadah puasa, maka tidak apap dan boleh meneruskan puasanya. Hal ini dikarenakan tidak ada niat orang tersebut untuk membatalkan puasanya.
Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah” (Al-Baqarah: 286)
Faedah Hadits:
- Puasa tidak batal dikarenakan lupa makan atau minum. Hal ini juga diqiyaskan kepada pembatal puasa yang lainnya.
- Puasa tidak berkurang nilainya setelah lupa makan dan minum ketika berpuasa.
- Sesuatu yang lupa tidak dihitung.
- Rahmat Allah Ta’ala kepada hambanya.
Hadits 7: Kafarah orang yang melakukan hubungan suami istri ketika berpuasa
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata: “Ketika kami sedang duduk bermajelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu berkata: “Wahai Rasulullah, binasalah aku”. ● Beliau bertanya: “Ada apa denganmu?”. ● Orang itu menjawab: “Aku telah berhubungan dengan isteriku sedangkan aku sedang berpuasa”. ● Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?”. Orang itu menjawab: “Tidak”. ● Lalu Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”. Orang itu menjawab: “Tidak”. ● Lalu Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?”. Orang itu menjawab: “Tidak”. ● Sejenak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam. Ketika kami masih dalam keadaan tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan satu keranjang berisi kurma, lalu Beliau bertanya: “Mana orang yang bertanya tadi?”. Orang itu menjawab: “Aku”. ● Maka Beliau berkata: “Ambillah kurma ini lalu bershadaqahlah dengannya“. ● Orang itu berkata: “Apakah ada orang yang lebih faqir dariku, wahai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal diantara dua perbatasan, yang dia maksud adalah dua gurun pasir, yang lebih faqir daripada keluargaku”. ● Mendengar itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersenyum hingga tampak gigi seri Beliau. ● Kemudian Beliau berkata: “Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma ini“.
Ketika Rasulullah ﷺ duduk bersama para shahabat, datang seseorang dan berkata “Saya telah hancur, telah berbuat dosa dan menyesal”. Kemudian Rasulullah ﷺ berkata “Apa yang telah kamu lakukan”. Orang itu menjawab, “Saya telah berhubungan intim dengan istri saya ketika berpuasa”.
Kemudian Rasulullah ﷺ menjelaskan kafarahnya, “Apakah kamu bisa membebaskan budak?”. Orang itu menjawab, “Tidak bisa wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah ﷺ bertanya, “Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?”. Orang itu menjawab, “Saya tidak sanggup wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?” Orang itu menjawab, “Saya tidak bisa, wahai Rasulullah.”
Kemudian ada seseorang datang dengan membawa kurma 15 sha (sekitar 45 kg). Rasulullah berkata kepada orang yang melakukan hubungan suami istri itu, “Ambilah kurma ini dan bagikanlah kepada orang miskin disekitar mu”. Orang itu menjawab, “Tidak ada rumah di Madinah yang lebih miskin dari rumah saya”. Kemudian Rasulullah ﷺ tersenyum dan berkata, “Ambilah kurma ini dan berikan kepada keluargamu.”.
Faedah hadits:
- Berhubungan badan ketika berpuasa adalah dosa besar. Dibolehkan berhubungan badan ketika Ramadhan pada waktu malam hari sampai waktu subuh. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌۭ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌۭ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٔـٰنَ بَـٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, (Al-Baqarah: 187)
- Kewajiban besar dalam hal 3 kafarat yang disebutkan.
- Bolehnya seseorang menolong orang yang tidak mampu untuk membayar kafarat.
- Membayar kafarat adalah kewajiban apabila bisa.
- Jika seseorang butuh, maka penuhi kebutuhan sendiri dulu.
- Islam adalah agama yang mudah bagi yang tidak mampu melaksanakannya.
- Orang yang telah melakukan dosa besar kemudian menyesal akan dosanya tersebut. Maka tidak boleh dilecehkan dan harus di perlakukan dengan baik.
- Bolehnya bersumpah kepada Allah Ta’ala walaupun tidak ada yang memintanya untuk bersumpah.
- Bolehnya menjelaskan keadaan kita pada orang lain.
- Dalam hadits disebutkan para shahabat duduk di majelis Rasulullah untuk mendapatkan ilmu ﷺ.
Bab Puasa dalam berpergian dan lainnya
Dalam bab ini akan dijelaskan hukum berpuasa ketika dalam perjalanan. Apakah boleh melanjutkan puasa? Atau boleh membatalkan puasa?. Dan apa yang paling afdhal dalam berpuasa ketika berpergian.
Pengertian berpergian disini adalah meninggalkan tempat tinggal untuk berpergian kesebuah tempat. Dimana penduduk setempat telah terbiasa mengatakan berpergian atau safar apabila kita kesebuah tempat tersebut. Tidak disebutkan berapa jarak dan lamanya waktu berpergian. Terdapat sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah ﷺ melakukan perjalanan berjarak 3 mil, kemudian memperpendek shalat nya.
Hadits 1: Ketika safar apabila mau meneruskan puasa tidak mengapa dan apabila mau membatalkan puasa maka tidak mengapa juga.
Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa Hamzah bin ‘Amru Al Aslamiy berkata, kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah aku boleh berpuasa saat bepergian? ● Dan dia ini adalah orang yang banyak berpuasa. ● Maka Beliau menawab: “Jika kamu mau berpuasalah, dan jika kamu mau berbukalah“.
Hadits ini diriwayatkan oleh Aisha Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dibolehkan untuk berpuasa atau membatalkan puasa ketika berpergian (safar).
Faidah Hadits:
- Para Sahabat bertanya kepada Rasulullah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
- Ketika berpergian maka diperbolehkan untuk memilih tetap berpuasa atau membatalkan puasanya.
- Hadits ini menunjukkan kemudahan menjalankan syariat Islam.
- Hadits ini membantah golongan Jabbariyah yang menyimpang dalam memahami Qadar. Mereka mengatakan tidak ada pilihan bagi hamba. Akan tetapi dalam hadits ini Rasulullah ﷺ memberikan pilihan.
Hadits 2: Larangan untuk mencela kepada orang yang berpuasa dan orang yang membatalkan puasanya ketika berpergian.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata; “Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ● Maka orang yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, dan yang berbuka juga tidak mencela yang berpuasa”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik.
Faedah Hadits:
- Dibolehkan untuk berbuka puasa ketika berpergian.
- Kesepakatan dari para shahabat bisa dijadikan hujjah atau dalil.
Hadits 3: Berpergian ketika berpuasa dan cuaca panas, hanya Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah yang berpuasa.
Dari Abu Ad-Darda’ radliallahu ‘anhu berkata; Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada cuaca yang sangat panas di bulan Ramadhan, ● sehingga ada seseorang yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena amat panasnya, ● dan tidak ada diantara kami yang berpuasa kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ‘Abdullah Ibnu Rawahah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Darda Radhiyallahu ‘Anhu. Saat itu para sahabat dan Nabi ﷺ melakukan safar ketika Ramadhan. Cuaca pada saat itu panas di mana kebanyakan para sahabat menutup wajah mereka dengan tangan. Pada saat itu hanya Nabi ﷺ dan Abdullah bin Rawahah yang berpuasa.
Faedah Hadits:
- Diperbolehkan untuk tidak berpuasa ketika berpergian.
- Membatalkan puasa lebih utama jika dalam perjalanan tersebut memberatkan.
- Memilih untuk membatalkan puasa tidak berarti mengurangi ketawakalan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hadits 4: Diperbolehkan membatalkan puasa dalam perjalanan apabila memberatkan.
Dari Jabir bin ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dalam suatu perjalanan melihat kerumunan orang, yang di antaranya ada seseorang yang sedang dipayungi. Beliau bertanya: “Ada apa ini?” Mereka menjawab: “Orang ini sedang berpuasa”. Maka Beliau bersabda: “Tidak termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan“.
Lafal Muslim: “Ambillah keringanan dari Alloh, yang telah Dia berikan kepada kalian.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu ‘Anhu. Ketika Rasulullah ﷺ safar melihat sekelompok orang di mana terdapat satu orang yang dipayungi tergeletak di tanah. Rasulullah ﷺ bertanya kepada mereka, “Ada apa ini?”. Mereka menjawab, “Dia sedang berpuasa. Kemudian Rasulullah ﷺ berkata, “Bukan sesuatu yang kebajikan berpuasa ketika berpergian”. Dalam riwayat lain, “Allah memperbolehkan untuk membatalkan puasa”.
Jika perjalanannya memberatkan, maka boleh membatalkan puasa. Akan tetapi apabila perjalanannya tidak memberatkan, maka boleh meneruskan berpuasa.
Faedah Hadits:
- Rasulullah ﷺ sangat peduli pada umatnya.
- Bukan sesuatu kebajikan berpuasa ketika berpergian.
- Dibolehkan melakukan ijtihad untuk berpuasa atau membatalkan puasa ketika berpergian.
- Dibolehkan melihat sesuatu yang aneh yang terjadi pada suatu perkumpulan.
Hadits 5:
Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka di antara kami ada yang berpuasa, dan di antara kami ada juga yang buka. ● Dia berkata, “Lalu kami singgah di suatu tempat singgahan, pada suatu hari yang panas. ● Orang yang paling banyak naungannya adalah yang memiliki selendang, dan di antara kami ada yang bernaung dari terik matahari dengan telapak tangannya. ● Dia berkata, “Lalu orang-orang yang tetap berpuasa roboh (tidak melakukan apa-apa), sementara mereka yang berbuka bangkit, lalu mereka memasang kemah-kemah dan memberi minum tunggangan-tunggangan. ● Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang berbuka pada hari ini telah bepergian dengan mendapatkan pahala“.
Faedah hadits:
- Diperbolehkan bagi yang berpergian untuk tetap berpuasa atau berbuka puasa pada Bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan Nabi ﷺ menyetujui keduanya.
- Lebih baik untuk berbuka puasa apabila ada manfaatnya pada saat perjalanan.
- Keutamaan membantu teman perjalanan pada saat berpergian
- Apabila mengambil kemudahan untuk berbuka puasa ketika dalam perjalanan maka hal ini tidak mengurangi ketawakalannya.
- Pahala berdasarkan orang yang melakukan amalan. Dalam hadits disebutkan bahwa mereka yang berbuka puasa ketika dalam perjalanan mendapat pahala: membantu teman perjalannya, membangunkan tenda, memberi makan dan minum tungangan dan pahala dalam berbuka puasa pada hari itu.
- Diperbolehkan untuk membiarkan orang lain untuk melakukan suatu amal shaleh walaupun kita tidak melakukannya.
Hadits 6:
Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata: “Aku berhutang puasa Ramadhan, ● maka aku tidak bisa mengqadha’nya kecuali pada bulan Sya’ban”.
Hadits ini berkaitan dengan perempuan yang tidak bisa berpuasa Ramadhan dikarenakan menstruasi atau nifas. Aisha radhiyallahu anha mengatakan bahwa dia tidak bisa mengqadha’ puasa nya kecuali pada bulan sya’ban, yaitu bulan sebelum ramadhan.
Ahlus sunnah wal jammah secara ijma mengharuskan perempuan yang berhalangan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan kewajiban membayar puasa setelah Ramadhan. Akan tetapi tidak ada kewajiban bagi mereka untuk membayar shalatnya. Bertolak belakang dengan kalangan khawarij yang mengharuskan membayar shalatnya bagi perempuan yang berhalangan (menstruasi).
Faedah hadits:
- Diperbolehkan untuk membayar puasa Ramadhan pada hingga pada bulan Sya’ban.
- Diutamakan untuk membayar puasa Ramadhan sesegera mungkin, tidak menunggu sampai bulan Sya’ban. Hal ini dikarenakan Aisha menyesal tidak bisa membayar puasanya sebelum bulan sya’ban. Bulan Sya’ban adalah bulan terakhir untuk membayar puasa pada tahun itu.
- Tidak diperbolehkan untuk membayar puasa setelah Ramadhan berikutnya datang. Hal ini dikarenakan di hadist disebutkan bulan Sya’ban adalah bulan terakhir untuk membayar puasa.
- Aisha memintah maaf (menyesal) karena tidak bisa membayar puasa sebelum sya’ban
Hadits 7:
Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki hutang puasa, maka walinya (boleh) berpuasa untuknya“. ● Abu Dawud juga mentakhrijnya dan berkata, “Ini (berlaku) pada (shaum) nadzar, dan itulah pendapat Ahmad bin Hanbal.”
Fadilah Hadits:
- Kewajiban bagi orang yang terdekat (ahli waris) untuk membayar hutang puasa keluarga yang meninggal dunia.
- Jika tidak ada yang bisa membayar puasa orang yang meninggal tersebut, maka memberi makan orang miskin sejumlah hari hutang puasanya dari uang yang ditinggalkannya. Jika yang meninggal tidak meninggalkan uang yang cukup, maka seseorang bisa bershadaqah untuk membayarkannya. Apabila tidak ada orang yang mau bersedekah untuk membayar puasa orang yang meninggal tersebut, maka urusannya diserahkan pada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini bukan kewajiban untuk membayarkan hutang puasa, tapi merupakan amal shaleh.
- Tidak ada bedanya dengan membayar hutang puasa wajib pada ramadhan atau nadzar.
- Diperbolehkan membayar hutang puasa orang meninggal dalam satu hari dilakukan oleh beberapa ahli waris. Sehingga jumlah harinya bisa dihitung oleh para ahli waris yang membayar puasanya.
- Apabila orang tersebut mempunyai kewajiban puasa akan tetapi tidak dapat melakukannya misalnya dikarenakan sakit, maka bukan kewajiban ahli waris untuk membayarnya. Hal ini dikarenakan orang yang meninggal tersebut memang tidak bisa membayarnya pada saat sebelum meninggal. Akan tetapi apabila orang yang meninngal tersebut mampu membayarnya tapi tidak sempat misalkan dikarena menunda atau malas, maka ahli waris mempunyai kewajiban untuk membayarnya.
Hadits 8:
Dari ‘Abdullah Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, ia berkata; Seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, padahal ia memiliki hutang puasa selama satu bulan. Apakah saya harus membayarkan untuknya?” ● Beliau menjawab: “Sekiranya ibumu memiliki hutang uang, apakah kamu harus membayarnya?” Dia menjawab, “Ya, tentu.” ● Beliau bersabda: “Kalau begitu, maka hutang kepada Allah adalah lebih berhak untuk dilunasi.“
Dalam sebuah riwayat, “Seorang wanita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ibuku telah meninggal, sedangkan beliau masih memiliki hutang puasa Nadzar, (bolehkah) aku membayarnya?” ● Beliau menjawab: “Bagaimana menurutmu, jika ibumu memiliki hutang, lalu kamu membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi hutangnya?” wanita itu menjawab, “Ya.” ● Beliau bersabda: “Kalau begitu, berpuasalah untuknya.“
Faedah hadits:
- Keinginan para sahabat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka bisa mengamalkannya dengan dasar ilmu yang jelas.
- Diperbolehkan untuk membayar puasa bagi orang yang telah meninggal.
- Tata cara yang baik yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
- Rasulullah ﷺ dalam memberikan pelajaran dengan cara memberikan permisalan. Ketika sahabat menanyakan, “Apakah saya harus membayar hutang puasa ibu saya?”, maka Rasulullah ﷺ balik bertanya, “Apakah apabila ibumu punya hutang, apakah kamu mau membayarnya?”. Dengan demikian para sahabat akan memahaminya dengan lebih baik.
- Qiyas pada agama adalah dalil yang syar’i.
- Diperbolehkan membayar hutang orang yang telah meninggal. Terlebih hutang kepada Allah Ta’ala lebih wajib untuk melunasinya.
Hadits 9:
Dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka“.
Maksudnya sunnah untuk menyegerakan berbuka puasa pada waktunya (matahari tenggelam). Dari hadist sebelumnya diutamakan untuk memperlambat waktu makan sahur dan menyegerakan berbuka puasa. Ini adalah rahmat dari Allah Ta’ala untuk hamba-Nya.
Faedah Hadits:
- Amalan yang terbaik adalah amalan yang sesuai dengan syariat dan tidak berlebihan melampaui syariat.
- Berbuka puasa pada saat matahari tenggelam.
- Menyegerakan berbuka puasa menjadikan kebaikan bagi orang yang melaksanakannya.
- Apabila menunda berbuka puasa, maka ini menjadi tidak baik bagi orang yang melaksanannya.
- Kecintaan Allah pada hamba-Nya untuk mempermudah dalam ibadah puasa.
Wallahu Ta’ala A’lam