Al-Quran Adalah Kalamullah, Bukan Makhluk

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Al-Quran Adalah Kalamullah, Bukan Makhluk

Imam Ahmad berkata, Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah:

والقرآن كَلم ا ِلله وليس ِبمخلوق ولا يضعف أن يقول:ليس ِبمخلوق،قال:فإن كَلم ا ِلله ِمنه وليْس ببائِن ِمنْه،وليْس ِمنْه شَء مُْلوق،وإيَّاك ومناظرة م ْن أ ْحدث ِفيْ ِه وم ْن قال باللَّ ْف ِظ وغ ْي ِه، ومْنوقف ِفيِهفقال:لاأْدِريمُْلوقأْوليْس ِبم ْخلوقوإَّنماهوكَلما ِللهفهذاصا ِحب ِبْدعة ِمثْلمْنقال:هومُْلوقوِإَّنماهوكَلما ِللهوليْسِبمْخلْوق.

Al-Quran adalah kalamullah bukan makhluk, janganlah dia merasa risih untuk mengatakan: “Dia bukan makhluk”. Sesungguhnya kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah, dan sesuatu yang berasal dari dzat-Nya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan dengan orang lafdziyah (Ahlul-bid’ah yang mengatakan lafadzku ketika membaca Al-Quran adalah makhluk) dan lainnya atau dengan orang yang tawaquf (abstain) dalam masalah ini yang berkata: ”Aku tidak tahu Al-Quran itu makhluk atau bukan makhluk tetapi yang jelas Al-Quran adalah kalamullah”, orang ini (yang tawaquf) adalah ahlul-bid’ah seperti orang yang mengatakan Al- Quran adalah makhluk. Ketahuilah (keyakinan ahlus-sunnah adalah) Al-Quran adalah kalamullah bukan makhluk.

Penjelasan:

Al-Qur’an adalah Kalamullah. Allah disifatkan dengan sifat kalam, yaitu Allah berfirman, Allah berbicara.

Sifat Allah terbagi menjadi dua sifat fi’liyah dan dzati’yah. Sifat dzati’iya: yaitu sifat yang terus menerus bersama Allah, tidak pernah terpisah darinya. Seperti: Allah Maha mendengar, Maha melihat, mempunyai ilmu, mempunya hikmah, kekuatan.

Adapun sifat fi’liyah, yaitu sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah. Allah melakukan sesuatu sesuau dengan kehendak dan keinginannya. Seperti sifat Allah murka, Allah datang, Ridho, Cinta.

Sifat Kallam adalah sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat kallam adalah dztiyah tapi bentuknya fi’liyah.

Al-Qur’an bukan makhluk.

Firman Allah:

وَإِنْ أَحَدٌۭ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ٱسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَـٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُۥ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌۭ لَّا يَعْلَمُونَ

Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (At-Tawbah: 6)

Nabi bersabda ketika kaumnya melarang. “Mereka melarang untuk menyampaikan Kallam Rabbi (Al-Qur’an)“.

Sifat Kallam Allah:

Allah berfirman ketika memanggil Nabi Musa:

وَنَـٰدَيْنَـٰهُ مِن جَانِبِ ٱلطُّورِ ٱلْأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَـٰهُ نَجِيًّۭا

Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan Gunung Ṭūr dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami)“. (Maryam: 52)

Kalau dikatakan firman Allah adalah makhluk, maka sifat Allah itu makhluk. Sehingga ada bagian dari Allah yang dicipta (makhluk). Hal ini akan menyebabkan kafir kepada Allah. Sehingga kelompok Jahmiyah yang mengatakan Al-Qur’an makhluk dikafirkan oleh 500 orang ulama masa dahulu.

Demikian juga Rasulullah mengajarkan dizkir pagi dan sore atau bisa dibaca ketika turun disuatu tempat:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan apa yang diciptakan-Nya” (HR Muslim 2708)

Andaikata Kallam Allah adalah makhluk, artinya nabi telah mengajarkan kesyirikan yaitu berlindung kepada makhluk.

Sifat Allah berbicara. Keyakinan ahlus sunnah, Allah berbicara dengan suara dan huruf. Telah disebutkan Allah berbicara dalam surat Maryam ayat 52. hadits dari Ibnu Mas’ud “Siapa yang membaca Al-Qur’an, satu hurufnya 10 pahala. Saya tidak berkata alif lam mim satu huru, tapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.

Al-Qur’an datang dari Allah, dan kepada Allah kembalinya.

Al-Qur’an yang ada dalam mushaf adalah firman Allah. Walaupun yang menulis, tinta adalah makhluk, tapi yang tertulis adalah firman Allah. Juga yang menghafal Al-Quran adalah menghafal firman Allah. Walaupun yang berusaha menghadalkannya adalah makhluk, tapi yang terhafalkannya adalah firman Allah.

Asal kata “bukan makhluk” sebetulnya tidak ada, akan tetapi ketika Ahlul Bid’ah membikin keyakinan dalam masalah ini, maka ditambahkan “bukan makhluk”. Sebab firman Allah tidak berpisah dari-Nya.

Jangan mendebat orang yang mengatakan Al-Qur;an adalah makhluk dan jangan duduk bersamanya.

Kelompok yang menyimpang:

Kelompok Al-Lafdhiyah, yang mengatakan Lafdh Al-Qur’an adalah makluk. Siapa yang mengatakan Lafdh Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia pengikut Jahmiyyah. Kata Lafdh bisa jadi kata kerja atau objek. Bisa diartikan sebagai yang melafadhkan atau yang dilafadhkan. Akan tetapi mereka menggunakannya untuk bersembunyi yaitu dengan menggunakan kalimat yang mengandung beberapa kemungkinan.

Imam AL-Bukhariy pernah terfitnah sebagai kelompk Al-Lafdiyah sehingga diasingkan. Akan tetapi ini adalah kedustaan kepada orang-orang yang tidak senang kepadanya. Untuk itu Imam Al-Bukhariy menulis satu kitab khusus, dengan judul: “Makhluknya perbuatan hamba”.

Kelompok Al-Waqifah, yaitu tidak punya pendirian mengenai Al-Qur’an itu makluk atau kalamullah. Mereka berkata tidak tahu apakah makhluk atau kalamullah. Imam Ahamad berkata orang yang tidak punya pendirian (tawaquf) lebih jelek dari Jahmiyyah. Hal ini dikarenakan mereka tidak punya pendirian pada masalah yang sangat jelas. Kelompok ini hakikatnya sama dengan mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Iman Kepada Qadha dan Qadar

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Iman Kepada Qadha dan Qadar

Imam Ahmad berkata, Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah:

Dan termasuk sunnah yang harus diyakini barangsiapa meninggalkan salah satu darinya – tidak menerima dan tidak beriman padanya – maka dia tidak termasuk golongan Ahlus-sunnah, adalah iman kepada takdir yang baik dan uruk, membenarkan hadits-hadits tentang masalah ini, beriman kepadanya, tidak mengatakan “mengapa?”, dan tidak pula mengatakan: “bagaimana?”, akan tetapi hanya membenarkan dan beriman dengannya.

Barangsiapa yang tidak mengetahui penafsiran satu hadits, dan tidak dapat dicapai oleh akalnya sesungguhnya hal tersebut telah cukup dan sempurna atasnya (tidak perlu bedalam-dalam lagi). Maka wajib baginya beriman, tunduk dan patuh dalam menerimanya, seperti hadits: “Ash shadiqul masduq” dan hadits-hadits yang seperti ini dalam masalah takdir, demikian juga semisal hadits-hadits ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah di surga), walaupun terasa asing pada pendengaran dan berat bagi yang mendengar, akan tetapi wajib menginainya dan tidak boleh menolak satu huruf pun, dan juga hadits lannya yang ma’tsur (diriwayatkan) dari orang-orang terpercaya, jangan bedebat dengan seorangpun, tidak boleh pula mempelajari ilmu jidal, karena berbicara tanpa ilmu dalam masalah takdir, ru’yah dan Al-Quran dan masalah lainnya yang terdapat dalam Sunnah adalah perbuatan yang dibenci dan dilarang, pelakunya tidak termasuk ahlus-sunnah walaupun perkataannya mencocoki Sunnah sampai dia meninggalkan perdebatan dan mengimani atsar.

Pendahuluan

  • Takdir adalah awal penyimpangan umat dimasa lalu. Sebagian berkata bahwa penyimpangan yang paling awal adalah kaum Rafidhah, yaitu ketika masa Utsman bin Affan, yang mengkultuskan Ali bin Abi Thalib.
  • Kejadian peyimpangan takdir terdapat pada hadits yang pertama di shahih Muslim. Terdapat fitnah bid’ah Qodariah di Basrah, maka ulama tabi’in melakukan perjalanan ke Mekkah untuk menanyakan peyimpangan kaum qodariyah. Mereka berjumpa dengan Abdullah bin Umar dan menjelaskan bahwa terdapat peyimpangan takdir dinegeri kami (Basrah) dimana suatu perkara baru terjadi maka Allah baru tahu. Sebelum terjadinya Allah tidak tahu. Ibnu Umar berkata “Apabila kamu jumpai mereka katakan bahwa aku Abdullah bin Umar berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dari aku”. Kemudian Ibnu Umar berkata “Apabila salah satu dari mereka beinfak sebesar gunung emas, maka Allah tidak akan terima pada mereka hingga mereka beiman kepada takdir”. Lalu Ibnu Umar mengisahkan kisah Jibril yang darang kepada Nabi tentang Islam, Iman dan Ihsan.

Keimaman Kepada Takdir yang Baik dan yang Buruk

Pembahasan1 : Takdir adalah rahasia Allah ditengah makhluknya

Imam Abu Jaffar berkata “Asal takdir itu adalah rahasia Allah ditengah makhluknya. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut tidak Malaikat yang dideikatkan ditdak pula Nabi yang diutus. Terlalu mendalam dalam hal ini dan terlalu sibuk memandangnya, maka ini adalh pengantar kepada hialngnya taufik. Dan tanda mengantar dia kepada diharamkannya mendapat kebaikan”.

Ibnu Abas berkata “Takdir adalah urutannya Tauhid”, wajib mengimaninya.

Pembahasan 2: Kewajiban Iman pada takdir ditunjukan oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits rasulullah, ijma (kesepakatan) para ulama.

Firman Allah : “Dan allah menciptakan segala sesuatu dengan sebenarnya

Firman Allah :

إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَـٰهُ بِقَدَرٍۢ

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49)

Dalam Hadist Jibril: Iman adalah engkau beriman kepada Allah, , Malaikat, Kitab-Kitab, Para Rasul dan hari Akhirat. Dan engkau beriman kepada takdir dan buruk.

Pembahasan 3: Keimanan diatas takdir dibangun diatas 7 kaidah pokok.

Kaidah pokok dalam mengimani takdir dari Ibnu Taimiyah

Kaidah Pokok 1: Mengimani akan keumumanan Ilmu Allah bahwa Allah mengetahui segala yang ditakdirkan

Yaitu Allah mengetahui segala sesuatu. Allah Maha tahu apa yang telah terjadi, sedang terjadi, yang akan terjadi bahkan Allah maha tahu apa yang tidak akan terjadi. Dan yang akan terjadinya, andaikata tidak akan terjhadi, bagaimana terjadinya, juga Allah maha mengetahuinya.

Firman Allah : “Allah maha mengetahui segala sesuatu

Firman Aklah : “Sesungguhnya rahmat kami menliputi segala sesuatu

Firman allah: “Supaya kalian tahu bahwa allah maha mapu atas segala sesuatu dan ilmu allah telah meliputi segala sesuatu“.

Bahkan Allah mengetahui yang tidak akan terjadi , andaikata terjadi, dan bagaimana terjadinya, Allah pun mengetahuinya. Sebagaimana firman Allah tentang penduduk neraka. “Andaikata engkau melihat orang-orang kafir itu berdiri di jurang neraka mereka berkata wahai rabb kami andaik ata kami dkkemabilakn, pasti kami tidak akan mendustakan ayat-ayat engkau. Kelnjuatan ayat “Bahkan mereka hanya menyembunyikan hal yang dulunya mereka sembunyikan di dunia. Pasti mereka akan ulangi lagi perbuatannya. (Surah Al-An’am)

Dalam Surat Al-‘Anfal: Sesunguhnya sejelek-jelek mahluk disisi Allah adalah tuli, bisu dan buta, tidak berpikir. Mereka ini tidak mungkin mendengar ayat-ayat Allah. Andaikanta Allah memperdengarkan ayat-ayat , mereka akan berpaling dalam keadaan membelakangi.

Juga dalam surat At-Taubah tentang kaum munafikin.

Kaidah Pokok 2: Mengimani bahwa segala yang ditakdirkan semuanya telah tercatat di Al-Lauh Al-Mahfudz

Firman Allah : “Semua yang ada dilangit dan dibumi semuanya terlah tercatat. bagi allah semuanya mudah.”

Kaidah Pokok 3: Mengimani bahwa Allah menghendaki segala yang ditakdirkan-Nya.

Tidak ada sesuatupun yang terjadi: kecil atau besar, tampak atau tidak tampak, kecuali atas kehendak Allah.

Firman Allah :

وَيَفْعَلُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ

…dan Allah memperbuat apa yang Dia kehendaki” (Ibrahim: 27)

Kaidah Pokok 4: Mengimani bahwa apa yang ditakdirkan oleh Allah, adalah Allah yang menciptakan dan mengadakannya.

Firman Allah :

قُلِ ٱللَّهُ خَـٰلِقُ كُلِّ شَىْءٍۢ وَهُوَ ٱلْوَٰحِدُ ٱلْقَهَّـٰرُ

Katakanlah, “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa” (Ar-Ra’ad: 16)

وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍۢ فَقَدَّرَهُۥ تَقْدِيرًۭا

“dan Allah telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Al-Furqan: 2)

وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“. (As-Saffat: 96)

Kaidah Pokok 5: Mengimani bahwa hamba mempunyai kehendak, tapi kehendak hamba tunduk dibawah kehendak Allah .

Tidak akan terjadi suatu apapun kecuali Allah menghendakinya, dan hamba tidak akan terjadi suatu kehendak, kecuali Allah menghendakinya.

Firman Allah:

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)

Tidak mungkin sesuatu yang ada dilangit dan dibumi, apabila Allah tidak mengetahui dan menghendakinya.

Kaidah Pokok 6: Mengimani akan keumuman hikmah Allah, bahwa setiap yang Allah takdirkan, Allah memiliki hikmah dibelakangnya.

Firman Allah :

قُلْ فَلِلَّهِ ٱلْحُجَّةُ ٱلْبَـٰلِغَةُ ۖ فَلَوْ شَآءَ لَهَدَىٰكُمْ أَجْمَعِينَ

Katakanlah, “Allah mempunyai hujah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya“. (Al-An’am: 159)

Rasulullah bersabda “bahwa kejelekan itu tidak kembali kepada engkau ya Allah“.

Setiap yang Allah takdirkan tidak ada kejelekan didalamnya, semuanya dengan hikmah Allah. Misalnya: kekafiran, kemaksiatan, hewan berbahaya dan yang lainnya. Hal ini adalah kejelekan. Allah menakdirkannya, adalah kebaikan disisi Allah.

Harus dibedakan antara yang ditakdirkan dan perbuatan Allah menakdirkan. Perbuatan Allah menakdirkan, semuanya baik tidak ada yang jelek. Adapun yang ditakdirkan ada yang baik dan ada yang jelek.

Kaidah Pokok 7: Tidak boleh mempertentangkan antara syarait dan takdir.

Misalnya seseorang terjatuh dalam kemasiatan dan tidak boleh berkata bahwa ini sudah ditakdirkan terhadapnya. Takdir Allah tidak ada yang mengetahuinya. Sehingga kita tidak tahu takdirnya sebelum terjadinya maksiat tersebut.

Dari tujuh dasar pokok ini apabila diyakini dengan baik, maka akan selamat dari seluruh penyimpangan dalam masalah takdir.

Pembahasan 4: Kelompok yang menyimpang dalam masalah takdir

Ada dua kelompok yang menyimpang didalam masalah takdir:

Pertama: Kelompok Al-Qodariah

Kelompok Qodariah terbai menjadi dua sekte;

  • Qodariyah Ekstrem, yaitu kelompk Al-Juhani dan kawan-kawannya. Mereka mengingkari Ilmu Allah, yaitu setelah perkara terjadi, Allah baru mengetahuinya. Sebelumnya Allah tidak mengetahuinya. Mereka juga mengingari bahwa segala sesuatu tertulis di Lauhil Mahfudz. Hal ini menyelesihi dasar pokok ke-1 dan ke-2. Kelompok ini dikafirkan oleh para ulama. Karena mereka tidak mengakui Ilmu Allah.
  • Qodariyah Sedang-sedang (Mutawasithoh), yaitu kelompk Mu’tazilah dan yang mengikutinya. Mereka mengingkari dua hal: (1) bahwa perbuatan hamba adalah kehendak kehendak hamba sendiri, bukan kehenndak Allah dan (2) Perbuatan hamba adalah ciptaan hamba sendiri, bukan ciptaan Allah. Mereka tidak dikafirkan hanya disebut ahlul bid’ah yang sesat. Mereka menyelisihi dasar pokok yang ke-3 dan ke-4.

Kedua: Kelompok Al-Jabriyah

Kelompok Jabriyah terbagi dua:

  • Jabriyah Ekstrem, ini adalah kelompk Jahmiyah. Mereka mengatakan bahwa hamba adalah Majbur. Hanya tunduk patuh menjalankan sesuatu, tidak ada kehendak secara dhohir dan bathin. Sehingga apabila hamba berbuat, itu bukan perbuatan hamba tapi itu perbuatan Allah.
  • Jabriyah Sedang-sedang, ini adalah kelompk As’ariyah. Mereka mengatakan bahwa hamba majbur secara bathin. Adapun secara dhohir tidak majbur. Sehingga ketika hamba berbuat adalah perbuatan hamba akan tetapi bathinnya yang membuat dia bekerja adalah Allah. Hal menyelisihi dasar pokok ke-5 dan ke-6.

membenarkan hadits-hadits tentang masalah ini, beriman kepadanya, tidak mengatakan “mengapa?”, dan tidak pula mengatakan: “bagaimana?”, akan tetapi hanya membenarkan dan beriman dengannya.

Membenarkan dan Beriman pada hadits-hadits Masalah Takdir.

Imam Ahmad berkata: membenarkan hadits-hadits tentang masalah ini, beriman kepadanya, tidak mengatakan “mengapa?”, dan tidak pula mengatakan: “bagaimana?”, akan tetapi hanya membenarkan dan beriman dengannya.

Hal ini adalah kaidah dalam memahami masalah agama bukan hanya masalah takdir saja tapi termasuk dalam asma wa sifat (nama dan sifat) Allah.

Banyak sifat-sifat Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits, seperti Maha mendengar, Maha melihat, mempunyai tangan, mempunyai mata dan yang lainnya. Maka hal ini harus diimani dan dibenarkan serta tidak boleh bertanya kenapa dan bagaimana?

Sebagaimana Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat” (Ash-Shuraa: 11)

Ayat “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” adalah bantahan terhadap kelompok: Al-Musyatabiha, yaitu kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluknya. Contohnya Allah maha mendengar, kelompok ini mengatakan pendengaran Allah sama dengan pendengaran manusia.

Ayat “Allah Maha mendengar dan melihat” adalah bantahan terhadap kelompok Al-Mu’atillah, yaitu kelompok yang meniadakan nama-nama dan sifat Allah baik seluruhnya atau sebagiannya. Kelompok ini terbagi menjadi beberapa cabang: (1) Jahmiyyah menapikan seluruh sifat dan nama Allah, (2) Mu’tajilah menetapkan nama-nama dan menapikan sifat-sifat, (3) Al-Asya’irah menetapkan 7 sifat saja, (4) Maturidiyah menetapkan 8 sifat.

Prinsip Ahli Sunnah berada ditengah-tengah diantara dua kelompok tersebut yaitu menetapkan nama dan sifat Allah, yang Allah namakan dan sifatkan untuk-Nya.Tidak boleh dipertanyakan mengapa dan bagaimana, serta tidak boleh ditakwil.

Sebagai contoh Allah mempunyai tangan. Semua orang telah tahu apa itu tangan. Tapi kita tidak tahu dan tidak menanyakan bagaimana tangan Allah. Yang jelas kita yakini hal tersebut dan tidak dipertanyakan mengapa dan bagaimana.

Imam Ahamad berkata Barangsiapa yang tidak mengetahui penafsiran satu hadits, dan tidak dapat dicapai oleh akalnya sesungguhnya hal tersebut telah cukup dan sempurna atasnya (tidak perlu bedalam-dalam lagi). Maka wajib baginya beriman, tunduk dan patuh dalam menerimanya, seperti hadits: “Ash shadiqul masduq” dan hadits-hadits yang seperti ini dalam masalah takdir.

Maksudnya apabila sudah tahu secara akal makna suatu hadits walaupun tidak tahu penafsirannya maka sudah cukup baginya. Tidak usah menyalakan lebih mendalam lagi. Hanya beriman, tunduk dan patuh menerimanya.

Hadits Ash shadiqul masduq adalah hadits mengenai penetapan takdir di dalam kandungan ibu.

Beberpa macam penulisan takdir

  1. Penulisan takdir di Lauhil Mahfudz
  2. Penulisan ketika manusia dikeluarkan dari tulang punggung Nabi Adam, yaitu ada yang beruntung beruntung atau merugi. Ditetapkan masuk surga ataumasuk neraka.
  3. Penulisan didalam perut Ibu, yang ditulis 4 perkara: rizki, ajal (umur), amalan, beruntung ataut merugi.
  4. Penulisan setiap tahun padadmalam laitul qodar
  5. Penulisan takdir harian.

Hal ini tidak bertentangan dengan hadits bahwa kita diperintahkan untuk berdoa, yang bersilaturahmi akan dipanjangkan umur dan dilapangankan rizkinya. Bahwa yangdialapngkan dan dipanangkan umurnya yang berubah di catatan malaikat. Adapun dilahul mahfudz semuanya sudah tercatat, Malaikat mencatat kemudian berubah dan perubahannya sudah tercatat juga di lauhil mahfudz.

Tidak boleh berhujjah dengan takdir untuk berbuat maksiat. Tidak ada yang tahu takdirnya.

Para sahabat bertanya apakah Allah sudah tuliskan siapa yang beruntung dan siapa yang merugi?, Untuk apa kita beramal. Nabi menjawab “beramalah sesungguhnya setiap dari kalian akan dimudahkan dengan ap-apa yang ia diciptakan denganya”. Andaikata tidak perlu beramal, maka untuk apa diutus para nabi dan rasul, kitab-kitab.

Imam Ahmad berkata , demikian juga semisal hadits-hadits ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah di surga), walaupun terasa asing pada pendengaran dan berat bagi yang mendengar, akan tetapi wajib menginainya dan tidak boleh menolak satu huruf pun, dan juga hadits lannya yang ma’tsur (diriwayatkan) dari orang-orang terpercaya, jangan bedebat dengan seorangpun, tidak boleh pula mempelajari ilmu jidal, karena berbicara tanpa ilmu dalam masalah takdir, ru’yah dan Al-Quran dan masalah lainnya yang terdapat dalam Sunnah adalah perbuatan yang dibenci dan dilarang, pelakunya tidak termasuk ahlus-sunnah walaupun perkataannya mencocoki Sunnah sampai dia meninggalkan perdebatan dan mengimani atsar.

Dan begitupula hadits selain takdir seperti ru’yah (kaum mukminin akan melihat Allah di surga) harus diimani, dan tidak meolak walaupun satu huruf. Dan hadits lainnya dari rawi yang terpercaya. Penjelasan mengenai ru’ya akan dijelaskan pada sesi yang akan datang.

Larangan mempelajari Ilmu Filsafat.

Jidal adalah ilmu filsafat yang tidak boleh dipelajari. Imam syafe’i berkata andaikata seorang hamba terkena ujian dengan melanggar perintah Allah selain kesyirikan, lebih baik dari pada mempelajari ilmu filsafat. Hukum bagi yang mempelajari ilmu filsafat adalah dipukul dengan sendal kayu, kemudian ditaikan keatas keledai sambil dipukuli menuju pasar dan mengatakan saya adalah orang yang berpaling dari al kitab dan sunnah serta mempelajari ilmu filsafat.

Kisah Fachrudin Ar-Razi (tokoh filsafat jaman dahulu) yang diikuti banyak pengikut dikarenakan dia mempunyai seribu dalil tentang Allah itu ada. Akan tetapi seorang perepmpuan tua yang masih diatas fitrah berkata “Betapa celakanya orang ini, apakah pada Allah ada keraguan? sehingga harus dicarikan seribu dalil”. Ibarat matahari tampak disiang hari dengan cahaya terik, lalu ada yang berkata berikan dalil bahwa matahari telah terbit.

Karena bahayanya ilmu filsafat maka diperingatkan untuk tidak mempelajarinya. Tidak terhitung sebagai ahli sunnah sampai meninggalkan Jidal dan beriman kepada atsar (hadits).

Apabila datang hadits-hadits mengenai asma wasifat, ru’yah, Al-Qur’an, dan takdir maka harus diimani dan membenarkannya tidak boleh ada pertanyaan kenapa dan bagaimana serta tidak boleh menolaknya walaupun satu huruf.

Wallahu Ta’ala ‘Alam