Mengikuti Manhaj Shahabat

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Mengikuti Manhaj Shahabat

Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah: berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam serta bertauladan kepada mereka, meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, serta meninggalkan pertengkaran, meninggalkan duduk-duduk bersama pelaku hawa nafsu, dan meninggalkan perdebatan dan pertengkaran dalam masalah agama.
Sunnah menurut Kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Sunnah itu menafsirkan Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran, tidak ada qiyas dalam masalah agama, tidak boleh dibuat permisalan-permisalan bagi Sunnah, dan tidak boleh pula dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.


Penjelasan

Disisi kami” maksudnya disisi ulama Islam atau disisi Imam Ahmad dari pemahaman As-Salaf. Banyak ulama-ulama as-salaf mengucapkan hal yang sama dengan Imam Ahmad. Sehingga ini merupakan aqidah para imam kaum muslimin.

Terdapat 5 Pembahasan dalam pokok-pokok Sunnah, sebagai berikut:

Pembahasan 1: Kewajiban Berpegang Tegung Kepada Jalan As-Salaf

Pembahasan 2: Mengikuti dan mencontoh As-Salaf

Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah: berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam serta bertauladan kepada mereka

Tiga hal yang perlu dijelaskan

Pertama: Apa jalan para Shahabat (As-Salaf)?

Definisi As-Salaf:

As-Salaf secara bahasa adalah orang-orang yang telah mendahului kita. Terdapat beberapa kata As-Salaf dalam Al-Qur’an diantaranya: “Pada hari itulah diuji ditampakan untuk setiap jiwa, segala amalan yang telah di dahulukan (salaf)“.

Adapun secara istilah, As-Salaf, memiliki dua penggunaan:

  1. Khusus digunakan untuk tiga generasi terbaik: Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
  2. Digunakan untuk tiga generasi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama yang datang setelahnya.

Dalam suatu hadits Nabi membisikan sesuatu kepada Fatimah, yang membuatnya menangis tersedu-sedu. Kemudian Nabi membisikan sesuatu lagi kepada Fatimah, yang membuatnya tersenyum bergembira. Kemudian Aisha bertanya kepada Fatimah, “Apa yang dibisikan oleh Nabi?.” Fatimah berkata, “tidak boleh menyampaikan rahasia Nabi, ketika beliau masih hidup”. Maka setelah Rasulullah meninggal Aisah bertanya lagi kepada Fatimah. Fatimah berkata, bisikan yang pertama adalah “Wahai Fatimah, biasanya Jibril tiap tahun turun membacakan Al-Qur’an satu kali, tapi tahun ini menjadi dua kali. Aku tidak melihat perubahan ini kecuali tanda ajal ku telah dekat“, sehingga membuat Fatimah menangis. Kemudian Nabi berkata “Betakwalah engkau kepada Allah dan besabarlah, sesungguhnya sebaik-baiknya salaf bagimu adalah aku“. Pada bisikan kedua Nabi berkata bahwa, “Fatimah adalah penguhulu perempuan di surga“. Dalam kisah ini Nabi menyebut dirinya sebagai As-Salaf.

Beberapa ulama seperti Syeikh Al-Bani senang mengunakan perkataan as-salaf adapun yang lain menggunakan perkataan as-sunnah. Akan tetapi hakikatnya adalah sama yaitu mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan jalan As-Salaf.

Dalil untuk mengikuti As-Salaf:

Dalilnya terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, dan kesepakatan para ulama. Diantaranya adalah Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat An-Nisa Ayat 115:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu1 dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

Jalan kaum mukminin yang dimaksud adalah jalan para shahabat. Sehingga mengikuti jalan shahabat adalah kewajiban karena ada ancaman yang sangat keras yaitu dibiarkan kesesatannya dan dimasukkan ke dalam Jahanam.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat At-Taubah Ayat 100:

وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًۭا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Disebutkan “orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik“, mereka adalah para shahabat. Mengikuti artinya tidak membuat jalan baru tapi diikuti dengan baik. Ibnul Qoyim berkata ayat ini menerangkan bahwa siapa yang tidak mengikuti jalan shahabat, berarti Allah tidak ridha kepada mereka dan mereka tidak ridha kepada Allah. Juga tidak mendapat surga dan tidak mendapatkan kemenangan besar.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah Ayat 137:

فَإِنْ ءَامَنُوا۟ بِمِثْلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهْتَدَوا۟ ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّمَا هُمْ فِى شِقَاقٍۢ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ ٱللَّهُ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)

Dalam ayat ini keimanan para shahabat dijadikan sebagai barometer keimanan yang benar.

Adapun dari hadits, Rasulullah ﷺ bersabada “Sebaik-baik manusia adalah adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya“. Tiga generasi terbaik disebutkan Rasulullah ﷺ. Ibnu Qoyim berkata tidaklah mereka disebut sebagai generasi terbaik kecuali untuk diikuti.

Kemudian kesepakatan para ulama tentang wajibnya mengikuti jalan As-Salaf, dikemukakan oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Qodamah mengatakan “Telah pasti kewajiban mengikuti jalan as-salaf berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, As-sunnah, dan Ijma kesepakatan para ulama”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata “Tidak ada aib bagi orang yang menampakan madzhab as-salaf. Juga tidak ada aib bagi orang yang bernisbat (merujuk) kepadanya. Bahkan wajib mengikuti jalan as-salaf menurut kesepakatan para ulama karena madzhab as-salaf tiada lain kecuali kebenaran”.

Mengapa kita wajib mengikuti jalan As-Salaf?

Mengikuti jalan as-salaf adalah wajib seperti yang telah dijelaskan. Namun apabila kita ingin mengetahui hikmahnya, maka ada beberapa keutamaan as-salaf sebagai berikut:

  1. Mereka adalah murid-murid Rasulullah ﷺ yang langsung mempelajari agama dari Rasulullah ﷺ.
  2. Mereka tidak hanya menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah ﷺ, tapi juga memahami maknanya. Inilah yang mereka ajarkan kepada umat. Apapun yang ditanyakan kepada para shahabat maka mereka merujuk pada apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi ﷺ.
  3. Mereka lebih berilmu, lebih selamat, dan lebih kuat dan bijaksana.
  4. Mereka tidak memabahas ilmu kalam, mendahulukan hawa nafsu, pendapat pribadi tapi mereka berpegang dengan apa yang datang dari Rasulullah ﷺ.

Ahlul bi’dah tidak bahagia mempelajari agama karena setiap kali ada ayat tentang sifat Allah, maka ditanyakan bagaimana sifatnya, tidak ada ketundukan. Mereka menyikapi dengan akal dan pemahamannya.

Imam Ahmad membawakan pokok pertama dalam ahlul sunnah yaitu mengikuti manhaj as-salaf karena ini yang membedakan dengan ahlul bid’ah. Ibnu Taimiyah mengatakan simbol dari ahlul bid’ah adalah meninggalkan jalan as-salaf. Sedangkan simbol ahli sunnah adalah mengikuti jalan as-salaf.

Mengikuti jalan as-salaf adalah jalan para ulama. Adapun mengikuti para shahabat maka tidak ada perbedaan, yaitu wajib untuk diikuti.

Pembahasan 3: Meninggalkan Bid’ah dan Berwaspada dari Bid’ah

meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat,

Definsi bid’ah

Bid’ah secara bahasa digunakan untuk sesuatu yang diada-adakan tidak ada contoh sebelumnya. Dalam Al-Qu’ran ada beberapa kata bid’ah secara bahasa, yang artinya “Aku bukan bid’ah pertama dari para Rasul” Maksudnya Nabi Muhammad bukan Rasul yang pertama, sudah ada Rasul-Rasul sebelum ku. Demikian pula firman Allah yang artinya “Dia lah yang mebid’ah langit dan bumi” Maksudnya mengadakan langit dan bumi tidak ada contoh sebelumnya.

Bid’ah secara bahasa bisa masuk kedalam hal yang baik dan hal yang tidak baik. Terdapat hal-hal yang baik dari perkara dunia dan ini tidak termasuk kedalam bid’ah dari sisi istilah syar’i. Seperti mobil, motor, HP dan selainnya yang tidak ada contoh sebelumnya.

Ada pun pengertian bid’ah secara istilah para ulama mendefinisikan sebagai jalan baru dari agama yang diada-adakan, bertentangan dengan syariat. Orang yang melaksanakan dimaksudkan untuk berlebihan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dalil yang melarang bid’ah

Bid’ah adalah hal yang dicela dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan disepakati oleh para ulama. Dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًۭا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153)

Ayat ini dibaca oleh Nabi ﷺ ketika membuat gari lurus, beliau bersabada kepada para shahabat, “Ini adalah jalan Allah yang lurus“, setelah itu Nabi ﷺ membuat garis-garis ke kanan dan ke kiri, kemudian beliau bersabda, “Ini adalah jalan-jalan, tidak ada satu pun dari jalan-kalan (samping kanan dan kiri) kecualinya diatasnya ada syaithon menyeru kepadanya“. Kemudian Nabi ﷺ membaca surat Al-An’am ayat 153 diatas. Jalan-jalan ke kiri dan kekanan (As-Subul) ditafsirkan sebagai bid’ah-bid’ah.

Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman:

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ مِنْهُ ءَايَـٰتٌۭ مُّحْكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌۭ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌۭ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ ۗ

Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Al-Qur`ān) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat1, itulah pokok-pokok isi Al-Qur`ān dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat2. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, …“(Al-Imran: 7)

Nabi ﷺ ketika membaca ayat ini bersabda dalam riwayat A’isha Radhiyallahu ‘Anha dalam riwayat Al-Bukhariy dan Muslim, “Kalau engkau melihat orang-orang yang mengikuti mutasyabih (yang tidak jelas), mereka adalah orang-orang yang disebut oleh Allah, hati-hati kalian dari mereka.” Ini adalah jalan dari ahlul bid’ah yaitu mengikuti mutasyabih, yang tidak jelas, dan meninggalkan yang muhkamat. Apabila bertentangan antara yang muhkam dan mutasyabih, maka yang mereka dahulukan adalah yang mutasyabih.

Adapun ahlul sunnah beriman kepada ayat-ayat muhkam dan beriman kepada ayat-ayat mutasyabih. Ayat-ayat mutasyabih diarahkan kepada ayat-ayat yang muhkam. Sebenarnya ayat-ayat yang mutasyabih pengertiannya jelas dikalangan ahlul ‘ilmi.

Kemudian Allah berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَـٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Kemudian, Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jasiyah: 18)

Disebutkan dua hal: mengikuti syariat atau mengikuti hawa nafsu. Sehingga siapa yang keluar dari tuntunan agama (syari’at) maka dia mengikuti hawa nafsu.

Kemudian dari hadits Rasulullah ﷺ, “Siapa yang mengada-adakan dari perkara kami ini yang bukan darinya, maka itu adalah perkara yang tertolak“.

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Siapa yang beramal dengan sebuah amalan tidak dibangun diatas tuntuanan kami, maka amalant tersebu tertolak“.

Pada khutbah hajah Nabi ﷺ sering mengulangi bacaan berikut:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (as-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Dan banyak dalil-dalil lagi dalam larangan perbuatan bid’ah.

Beberapa bahaya bid’ah

Bid’ah adalah perkara yang besar karena ada bid’ah yang bisa mengeluarkan dari keislaman. Terbagi menjadi dua: bid’ah yang mengeluarkan dari keislaman dan yang tidak mengeluarkan dari keislaman.

Berikut ini beberapa dari bahaya Bid’ah:

Pertama: Pelakunya diancam kehinaan dan siksaan yang pedih di dunia, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ ٱلْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌۭ مِّن رَّبِّهِمْ وَذِلَّةٌۭ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُفْتَرِينَ

Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan. (Al-Araf: 152)

Kaitan yang menjadikan anak sapi sebagai sesembahan dengan bid’ah ada diakhir ayat yaitu: “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.” Dikatakan membuat-buat kebohongan. Bid’ah termasuk berdusta atas nama Allah, yaitu ingin mengkoreksi syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Agama Islam sudah lengkap sehingga tidak dikenal bid’ah. Semua kebaikan dan kejelekan telah diterangkan. Telah sempurna agama Islam sebagaimana tertera dalam surat Al-Maidah ayat 3:

وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ

Pada hari ini, telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3)

Imam Malik Rahimahullah ketika membaca ayat ini, beliau mengatakan, “Siapa yang menyangka ada bid’ah baik di dalam agama, maka artinya Nabi Muhammad berkhianat menyampaikan agama”. Hal ini disebabkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyatakan agama telah sempurna yang berarti Nabi Muhammad ﷺ telah menyampaikan seluruhnya.

Kedua: Bedusta Atas Nama Allah.

Umat Islam tidak perlu pada bid’ah karena tuntunan sudah cukup, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلْـَٔايَـٰتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ ٱلْمُجْرِمِينَ

Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur`ān, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An’am: 55)

Dan Nabi ﷺ bersabda dalam riwayat Muslim yang artinya “Tidak ada seorang Nabi pun sebelumku, kecuali nabi ini wajib untuk menjelaskan segala kebaikan yang dia ketahui bagi umatnya. Dan Nabi ini wajib menjelaskan segala kejelekan yang bisa membahayakan umatnya“. Sehingga apabila perkara agama, maka Nabi akan menerangkan kebaikannya.

Ketiga: Orang yang melakukan atau yang melindungi bid’ah terancam dengan laknat.

Dalam hadits Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhariy dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya “Barang siapa yang melindungi pelaku muhdisan (bid’ah / kerusakan) atau yang melakukan muhdasan (bid’ah / kerusakan), maka akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia“.

Lisan terbagi dua lisan ucapan dan lisan keadaan. Adapun ketika seluruh manusia melaknat adalah dengan lisan keadaan.

Keempat: Bid’ah yang kecil bisa berubah menjadi besar

Satu bid’ah bisa diiringi dengan bid’ah yang lainnya. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌۭ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًۭا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌۢ بِمَا كَانُوا۟ يَكْذِبُونَ

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. (Al-Baqarah: 10)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:

وَنُقَلِّبُ أَفْـِٔدَتَهُمْ وَأَبْصَـٰرَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٍۢ وَنَذَرُهُمْ فِى طُغْيَـٰنِهِمْ يَعْمَهُونَ

Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur`ān) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An’am: 110)

Kemudian Allah Ta’ala berfirman:

فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهْدِيَهُۥ يَشْرَحْ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَـٰمِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُۥ يَجْعَلْ صَدْرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًۭا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى ٱلسَّمَآءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجْسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (Al-An’am: 125)

Firman Allah Ta’ala:

فَلَمَّا زَاغُوٓا۟ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka (As-Saf: 5)

Imam Al-Barbahari Rahimahullah berkata, “Hati-hatilah kalian dari bid’ah yang kecil, sebab bid’ah yang kecil bisa berubah menjadi besar”.

Bid’ah amaliah yang pertama yang terjadi dalam sejarah Islam adalah dzikir berjamaah yang terjadi di Kuffa pada masa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu. Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan tersebut dan berkata kepada mereka, “Wahai kaum, perbuatan kalian ini, apakah kalian berada diatas agama yang lebih baik daripada agama Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam atau kalian sedang membuka kesesatan?”. Kemudian beliau berkata, “Kalian telah membuat bid’ah dalam agama”. Mereka menjawab, “Wahai Abu Abdi Rahman, Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang meminta kebaikan, tapi tidak bisa mendapatkannya”. Ibnu Mas’ud mempunyai firasat dan mengatakan, “Saya melihat, kalian ini kebanyakannya adalah orang-orang yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam”. Kemudian membawakan hadits mengenai celaan nabi kepada kaum khawarij. Periwayat hadist ini menyebutkan mereka kebanyakan orang yang dimajelis itu mereka ikut bersama kaum khawarij memerangi kami di Nahrawan. Awal bid’ah nya kecil yaitu dzikir berjamaah akan tetapi menjadi besar yaitu khawarij.

Kelima: Bid’ah lebih berbahaya dari maksiat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Bidah lebih berbahaya dari pada maksiat yang memperturutkan syahwat berdasarkan dalil dari hadits dan menurut kesepakatan ulama”. Beliau membawahkan contohnya, terhadap pemerintah yang dzholim, maka Nabi menyuruh kita untuk bersabar. Akan tetapi terhadap kaum khawarij, Nabi memerintahkan untuk memerangi mereka. Khawarij adalah bangkai yang terjelek dibawah golong bumi. Orang yang mati syahid terbaik adalah yang terbunuh oleh khawarij. Pemerintah yang dzholim adalah maksiat sedangkan khwarij adalah bid’ah.

Keenam: Orang yang berbuaat bid’ah sulit untuk bertaubat.

Hal ini dikarenakan taubat itu ada penyeselan, mengakui kesalahannya. Akan tetapi pelaku bid’ah tidak merasa berbuat kesalahan. Sehingga sulit untuk betaubat.

Ketujuh: Orang yang diusir dari telaga Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang mengadakan perkara baru dalam agama.

Pembahasan 4: Meninggalkan Pertikaian (Perdebatan)

Meninggalkan pertikaian adalah salah satu pokok sunnah. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِىٓ ءَايَـٰتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيْطَـٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ ٱلذِّكْرَىٰ مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّـٰلِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)

Apabila hal yang sudah jelas dalam agama diperdebatkan, maka diperintah untuk meninggalkannya.

Dari Abu Umamah dalam riwayat Imam At-Tirmidzy, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah satu kaum itu menyimpang setelah dulunya dia berada dalam petunjuk kecuali orang yang senang berdebat.” Sehingga apabila sudah mendapat petunjuk mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah, maka apabila berdebat menjadikan keraguan akan jalan tersebut. Kemudian Nabi membaca firman Allah Ta’ala:

وَقَالُوٓا۟ ءَأَـٰلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ ۚ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًۢا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

Dan mereka berkata, “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (`Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu, melainkan dengan maksud membantah saja; sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (Al-Zukhruf: 58)

Sebagian As-Salaf berkata “Perdebatan-perdebatan dalam agama bisa menghancurkan amalan”. Hal ini dikarenakan bisa menjatuhkan pada perkara-perkara yang membuatnya berdosa, sehingga bisa mengugurkan amalannya.

Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata “Siapa yang menjadikan agamanya sebagai tempat untuk perdebatan, maka akan banyak berpindah.” Hal ini diperjelas dari sebuat atsar dari Imam Malik Rahimahullah yaitu ketika datang seseorang yang mengajak berdebat kepada Imam Malik. Imam Malik bertanya, “Apabila saya kalah berdebat bagaimana?. Orang itu mengatakan bahwa engkau harus mengikuti saya. Kemudian Imam Malik bertanya lagi, “Apabila ada orang ketiga yang mengajak berdebat kita berdua, kemudian kita kalah, lalu bagimana?”. Orang itu menjawab, “Maka kita ikut sama dia”. Imam Malik berkata, “Kalau begitu pergilah kamu. Kamu adalah orang yang ragu dalam agamamu. Adapun saya yakin agama saja, sudah jelas.”

Perdebatan apabila ada manfaatnya, yaitu menjelaskan kebenaran, maka terkadang dianjurkan bahkan bisa menjadi wajib. Akan tetapi yang melakukannya harus orang yang berilmu, sanggup mendebat, dan ada maslahatnya.

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu mendebat kaum khwarij dengan membaca 3 ayat dan 1 hadits. Maka 4 ribu (2 ribu) orang dari kaum khwarij rujuk. Imam Ahmad mendebat kaum jahmiyah dalam masalh Al-Qur’an. Imam Syafi’i mendebat kaum qadariah.

Beberapa kerusakan dari perdebatan:

  • Perdebatan akan menyebabkan keraguan seseorang akan agamanya.
  • Perdebatan dapat menyebabkan seseorang berucap atas nama Allah tanpa ilmu.
  • Perdebatan bisa menimbulkan fitnah dan syubhat pada seseorang.

Pembahasan 5: Meninggalkan Duduk dengan Ashabul Ahwa

Imam Ahmad Rahimahullah berkata “meninggalkan duduk-duduk bersama pelaku hawa nafsu“.

Ahwa kebanyakan digunakan untuk makna yang tidak bagus, termasuk sering digunakan untuk setiap perkara yang menyelisihi sunnah Rasulullah ﷺ. Terkadang disebut ahlul ahwa atau ahlul bid’ah.

Menghindari duduk dengan ahul ahwa disyariatkan untuk menjaga seorang muslim dari bahaya yang mengancam agamanya. Keselamatan dari penyimpangan agama adalah nikmat yang sangat besar. Sebagian ulama berkata “Keselamatan itu tidak bisa dinilai dengan suatu apapun”.

Para ulama mengharamkan duduk bersama ahlul bid’ah dengan dalil dari Al-Quran dan hadits Rasulullah ﷺ. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِىٓ ءَايَـٰتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيْطَـٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ ٱلذِّكْرَىٰ مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّـٰلِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلْكِتَـٰبِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَـٰتِ ٱللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا۟ مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِۦٓ ۚ إِنَّكُمْ إِذًۭا مِّثْلُهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلْمُنَـٰفِقِينَ وَٱلْكَـٰفِرِينَ فِى جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur`ān bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam, (An-Nisa: 140)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَرْكَنُوٓا۟ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim  yang menyebabkan kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (Hud: 113)

Nabi ﷺ diperintah untuk berlepas diri dari orang-orang yang memecah belah agama. Firman Allah Ta’ala:

إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًۭا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِى شَىْءٍ ۚ إِنَّمَآ أَمْرُهُمْ إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Al-An’am: 159)

Firman Allah Ta’ala:

مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًۭا ۖ كُلُّ حِزْبٍۭ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka  dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Ar-Rum: 32)

Dari hadits Rasulullah ﷺ, dari Abdullahi bin Mughafal Radhiyallahu Anhu dalam As-Shahihain, Ketika Al-Mughafal melihat seseorang melempar dengan batu kecil untuk memburu. Maka beliau menyampaikan hadits Nabi ﷺ mengenai larangan melempar dengan batu kecil sebab batu kecil bukan lah alat untuk memburu, dan tidak bisa membuhuh musuh. Akan tetapi orang ini masih saja melakukannya. Maka Al-Mughafal berkata, “Kalau begitu saya tidak akan berbicara dengan engkau sama sekali”. Ini adalah sikap sahabat terhadap orang yang tidak mengikuti sunnah Nabi ﷺ.

Kisah Abdul Thalib yang diakhir hayat tidak mau berucap La Ilaha Illallah dikarenakan berkawan dengan kawan-kawan yang jelek (Abu Jahal dan lainnya.) Sehingga meninggal dalam keadaan kafir.

Dalam kesempatan lain Imam Ahmad berkata “Ahlul bid’ah tidak pantas untuk seseorang duduk dengan mereka, bergaul dengan mereka dan tenang terhadap mereka”.

Disebutkan oleh Salam bin Abi Muti’ Rahimahullah bahwa seorang lelaki ahlul bid’ah berkata kepada Ayub As-Sihtiani, “Wahai Abu Bakr, saya bertanya kepadamu tentang satu kalimat”. Maka Ayub memberi isyarat dengan tangannya dan berkata “Jangan kan satu kalimat, setengah kalimat saja tidak boleh”.

Disebutkan oleh Ibnu Muflih dalam Al-Adab As-Syar’iyah, dari risalah Imam Ahmad kepada Musaddadd bin Musarhat, “Jangan engkau bermusyarawah dengan pelaku bid;ah dalam agamamu dan jangan kamu bergaul dengan mereka dalam safarmu.”

Ada permasalahan yang bisa dilihat sisi benar dan salahnya yaitu sebagian berkata bahwa Ahlul bid’ah kalau ditinggalkan tidak memberi manfaat, Maka tidak ada gunanya didalam meninggalkannya. Banyak maksud syariat untuk meninggalkan ahlul bid’ah diantaranya: maslahat dalam agama, termasuk ibadah kepada Allah, berkaitan dengan al-wala wal bara, amal ma’ruf nahi mungkar.

Contoh lainnya sebagian berkata apabila ahlul bid’ah bisa dinasehati maka tidak apa untuk menasehatinya. Akan tetapi ini terkait pada orang-orang yang mampu untuk menasehati bukan untuk orang yang baru belajar agama.


Sunnah menurut Kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Sunnah itu menafsirkan Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran, tidak ada qiyas dalam masalah agama, tidak boleh dibuat permisalan-permisalan bagi Sunnah, dan tidak boleh pula dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.

Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Terdapat Lima Pembahasan:

Pertama: Makna Sunnah

Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Penggunaan kata atsar di kalangan ahli hadits digunakan untuk hadits-hadits dari rasulullah secara umum dan juga yang datang selain dari Rasulullah maksudnya yang disandarkan kepada para shahabat. Dalam perkataan Imam Ahmad yang dimakud atsar adalah semua hadits dari Rasulullah dan bukan hanya teks hadits saja tapi juga semua apa yang ditinggalkan Rasulullah yang tersimpul dalam hadits.

Sunnah adalah atsar dari Rasulullah termasuk Al-Quran dan hadits.

Kedua: Kedudukan sunnah

Sunnah itu menafsirkan Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran,

Kedudukan sunnah adalah menafsirkan dan menguatkannya Al-Quran. Terkadang sunnah membawa hukum tersendiri yang tidak ada didalam Al-Quran. Sunnah juga terkadang menambah hukum yang ada di Al-Quran.

Ketiga: Tidak ada qiyas dalam sunnah.

tidak ada qiyas dalam masalah agama,

Tidak ada qiyas dalam sunnah. Maksudnya adalah qiyas dengan makna yang bathil. Sebagian ulama menilai bahwa Imam Ahmad berpendapat tidak ada qiyas sama sekali. Qiyas yang bathil yaitu yang mempersamakan Allah dengan makhluk. Adapun qiyas yang benar adalah dengan pendalinan yang benar.

Apabila sudah mendalami agama dengan benar, maka tidak perlu qiyas dikarenakan contoh-contohnya sudah ada. Dalam pembahasan aqidah, qiyas hanya dibahas yang telah apa dikatakan oleh para as-salaf.

Keempat: Larangan membuat permumpamaan-perumpamaan dalam sunnah.

tidak boleh dibuat permisalan-permisalan bagi Sunnah

Seorang muslim dituntut untuk berserah diri, “Kami Mendengar dan Kami Taat“. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًۭا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًۭا

Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa: 65)

Kewajiban Rasul adalah menyampaikan sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya. Rasul tidak ada andil kecuali menyampaikan dan kita tidak ada tugas kecuali menerimanya. Risalah agama semuanya datang dari Allah Ta’ala.

Kelima: Sunnah tidak dapat dijangkau dengan akal dan hawa nafsu, tapi sunnah itu untuk diikuti.

dan tidak boleh pula dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.

Akal adalah nikmat dari Allah Ta’ala sehingga harus dipakai untuk memahami, mempelajari dan mengambil ibrah dari Al-Qur’an dan Hadits. Bukan dipakai untuk menghakimi Al-Qur’an and Hadits. Dalam Al-Qur’an sering disebutkan ayat “Tidak kah mereka berakal?

Adapun ahlul ahwa mendahulukan akal dari pada nash. Ada juga yang berpemahaman apabila nash bertentangan dengan akal, maka nash nya harus ditakwil. Sehingga mereka malah mempermasalahkan nash nya, bukan mempermasalahkan akalnya.

Sebenarnya apabila akal nya sehat, sesuai fitrah, maka tidak akan bertentangan dengan nash.

Sebagai contoh: ada seseorang bernama Muhammad Nasyd Ridho, yang menolak hadits yang terdapat dalam riwayat Al-Bukhariy dan Muslim. Yakni hadits kisah sujudnya matahari dibawah singgasana Allah Ta’ala, sampai Allah perintah untuk terbit dari arah timur. Begitu terus tiap hari sampai Allah perintah untuk terbit dari arah barat, yaitu mendekati hari kiamat. Menurut dia hadits ini tidak masuk akal karena bagaimana mungkin matahari terbenam di negeri Mesir, di negeri lain matahari masih terbit. Sehingga matahari sujudnya kemana?. Ini adalah pemikiran orang yang akal nya tidak sehat. Apabila dia punya akal sehat, maka “bukan kan Allah mampu atas segala sesuatu?”.

Imam Ahmad mengingatkan bahwa terhadap sunnah kewajiban kita adalah mengikuti saja dan meninggalkan hawa nafsu.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Manusia Terbaik Setelah Nabi ﷺ

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Manusia Terbaik Setelah Nabi

Imam Ahmad berkata,

Sebaik-baik umat setelah Nabi-Nya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, kita mengutamakan tiga shahabat ini sebagaimana Rasulullah mengutamakan mereka, para shahabat tidak berselisih dalam masalah ini, kemudian setelah tiga orang ini orang yang paling utama adalah ashabusy-syura (Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad dan [Thalhah]*) seluruhnya berhak untuk menjadi khalifah dan imam. Dalam hal ini kita berpegang dengan hadits Ibnu Umar:

“Kami menganggap ketika Rasulullah masih hidup dan para sahabatnya masih banyak yang hidup, bahwa sahabat yang terbaik adalah: Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian kita diam (tidak menentukan orang keempat)”

Kemudian setelah ashabusy-syura orang yang paling utama adalah orang yang ikut perang Badar dari kalangan Muhajirin kemudian dari kalangan Anshar sesuai dengan urutan hijrah mereka, yang lebih dulu hijrah lebih utama dari yang belakangan, kemudian manusia yang paling utama setelah para shahabat adalah generasi yang beliau diutus kepada mereka. Dan semua orang pernah bersahabat dengan beliau selama satu tahun, satu bulan, satu hari atau satu jam, siapa yang pernah melihat Rasulullah maka dia termasuk shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dia mempunyai keutamaan sesuai dengan lamanya dia bersahabat dengan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, dia lebih dulu masuk Islam bersama Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, mendengar dan melihatnya (merupakan satu keutamaan baginya – pent). Orang yang paling rendah persahabatannya dengan Rasulullah tetap lebih utama dari pada generasi yang tidak pernah melihatnya, walaupun mereka bertemu dengan Allah dengan membawa seluruh amalannya. Mereka yang telah bersahabat dengan Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat dan mendengar beliau lebih utama –karena persahabatan mereka – dari kalangan Tabi’in walaupun mereka (Tabi’in) telah beramal dengan semua amal kebaikan.


Penjelasan:

Pembahasan mengenai sikap ahli sunnah kepada sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.

Sebaik-baiknya ummat setelah Nabi-Nya adalah:

  1. Abu Bakar,
  2. Umar bin Khatab dan
  3. Utsman bin Affan.

Para sahabat tidak berselisih tentang urutan ini. Ketiga sahabat ini diangkat menjadi khalifah menurut kesepakatan para sahabat.

Kemudian urutan berikutnya adalah ashabusy-syura yang lima orang, yaitu:

  1. Ali bin Abi Thalib,
  2. Zubair bin Awwam,
  3. Tolha Bin Ubaidillah,
  4. Abdurahman Bin Auf dan
  5. Saad bin Abi Waqas.

Sebetulnya ashabusy-syura ada enam yaitu ditambah Utsman bin Affan. Semuanya pantas menjadi khalifah dan imam.

Urutan pertama dan kedua adalah Abu Bakar dan Ummar bin Khatab, tidak ada perselisihan tentang urutan ini, para sahabat memakluminya. Hal ini dipertegas dengan yang menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah adalah mereka berdua. Dimaklumi bahwa yang menjadi khalifah adalah orang yang terbaik ditengah umat.

Ketika Rasulullah meninggal dunia, para sahabat bersepakat untuk membaiat Abu Bakar Asy-Syidiq. Kemudian Abu Bakar melimpahkan kekuasaannya kepada Umar bin Khatab dan seluruh sahabat bersepakat membaiat Umar bin Khatab.

Urutan yang ketiga dan yang keempat dari sisi khilafah tidak ada perselisihan pendapat dikalangan para sahabat. Hal ini dikarenakan khalifah selanjutnya adalah Utsman bin Affan dan kemudian Ali bin Abi Thalib. Diantara yang membaiat Ustman Ketika menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib.

Kisah menjadi khalifahnya Utsman bin Affan. Ketika Umar bin Khatab ditikam oleh Abu Lu’ Lu’ Al-Majusi, maka Umar menetapkan enam orang sebagai ashabusy-syura yang akan menjadi khalifah, yaitu: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Tolha Bin Ubaidillah, Abdurahman Bin Auf dan Saad bin Abi Waqas. Kemudian tiga sahabat mundur menyerahkan haknya untuk kawannya masing-masing. Sehingga Abdurahman, Ali dan Ustman memiliki dua hak. Setelah itu Abdurahman bin Auf merasa dirinya tidak layak dalam hal ini. Maka keputusan ada pada Abdurhaman untuk menyerahkan haknya kepada Ustman atau Ali. Akhirnya Abudrahman bin Auf memberikan keputusannya kepada Utsman bin Affan. Kemudian Ustman dibaiat oleh seluruh sahabat termasuk Ali bin Abi Thalib.

Sehingga Ustman ada di urutan ketiga dan kemudian Ali bin Abi Thalib di urutan ke empat. Apabila ada yang berkata bahwa Ali seharusnya diurutan ke tiga maka ini dapat dikatakan sebagai ahlul bid’ah dikarenakan menyelisihi kesepatakan para sahabat.

Adapun dari sisi keutaman antara Ustman dan Ali. Maka memang terdapat sedikit silang pendapat tapi akhirnya bersepakat bahwa Ustman memiliki lebih keutamaan.

Hal ini berpegang teguh pada perkataan Ibnu ‘Umar bahwa kami telah membatasi sedangkan Rasulullah masih hidup dan para sahabat masih banyak, yaitu urutanmya Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Setelah itu kami diam. Maksudnya urutan tersebut adalah hal yang dimaklumi oleh Rasulullah dan para sahabat.

Sampai disini sudah ada 8 urutan manusia terbaik setelah Nabi. Kemudian Nabi mengabarkan 10 orang masuk surga dalam satu hadits. Mereka termaasuk 8 sahabat yang telah disebutkan dan ditambah dua orang yaitu: Abu Ubaidah (Amin Ibni Jarah) dan Said bin Zaid bin Nufel.

Kemudiam urutan selanjutnya adalah Ahli Badr dari kalangan Muhajirin. Di mulai dari Muhajirin karena secara umum kaum Muhajirin lebih afdhal daripada kaum Anshar. Dalam Al-Quran disebutkan Al Muhajirin Wa Al Anshar.

Kemudian urutan selanjutnya adalah Ahli Badr dari kalangan Anshar. Kemudian sesuai dengan urutan hijrah dan kedahuluannya dalam memeluk Islam.

Diutamakan Ahli Badr karena Allah befirman kepada ahli badr, “Berbuatlah sekehendak kalian, Aku telah mengampuni kalian“. Jumlah yang hadir diperang badr adalah 300 orang lebih.

Kemudian keutamaan selanjutnya adalah seluruh sahabat secara umum.

Sebagian ulama merinci keutamaan berikutnya seperti ahlul baiat Ar-Ridwan, para sahabat yang berbaiat kepada Rasulullah dibawah pohon. Rasulullah bersabda “Tidaklah masuk dalam neraka seorang yang membaiat di bawah pohon“.

Imam Ahmad mengurutkan manusia terbaik setelah Nabi sebagai berikit:

  1. 3 Orang Sahabat
  2. Ahlu Syura
  3. Ahlu Badr

Sebagian ulama merinci urutan manusia terbaik setelah Nabi sebagai berikut:

  1. Khulafaur Rasidin
  2. Sepuluh orang yang dijamin masuk surga
  3. Yang hadir di baiatul Aqobah
  4. Yang hadir di perang badr
  5. Yang hadir di Baiatul Ridwan
  6. Seluruh Sahabat.

Kemudian manusia terbaik setelahnya adalah para sahabat Rasulullah yaitu generasi beliau yang di utus kepada mereka (100 tahun).

Seorang mukmin tidak masuk pada urusan (pertikaian) para sahabat. Hendaknya lisan kita tidak boleh ikut campur dalam membicarakan masalah para sahabat. Hendaknya dicarikan alasan yang paling baik untuk mereka.

Dari Sunnah adalah menyebutkan kebaikan dari para sahabat selurunya. Dan menahan seluruh perkara yang terjadi ditengah mereka. Siapa yang mencela salah satu dari mereka, maka mereka adalah ahlul bida’ yang bermadzhab rafidha. Cinta kepada sahabat adalah sunnah. Yang mencintai para sahabat maka yang paling layak dikumpulkan di surga bersama para sahabat. Sebagaimana para sahabat mencintai Rasulullah. Sehingga para sahabat adalah yang paling berhak mendampingi Rasulullah di surga.

Sebelum sahabat datang, mereka sudah disebut keutamaannya di Taurat dan Injil, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

مُّحَمَّدٌۭ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًۭا سُجَّدًۭا يَبْتَغُونَ فَضْلًۭا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًۭا ۖ سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ ٱلسُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِى ٱلْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْـَٔهُۥ فَـَٔازَرَهُۥ فَٱسْتَغْلَظَ فَٱسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعْجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةًۭ وَأَجْرًا عَظِيمًۢا

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud1. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)

Pengorbanan para sahabat disebutk dalam surat Al-Hasyr.

لِلْفُقَرَآءِ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخْرِجُوا۟ مِن دِيَـٰرِهِمْ وَأَمْوَٰلِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًۭا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًۭا وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّـٰدِقُونَ٨وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَـٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةًۭ مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌۭ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ٩وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّۭا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ ١٠

(Juga) bagi para fukara yang berhijrah1 yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-Nya dan mereka menolong Allah dan rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan ini). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.” (Al-Hasyr: 8-10)

Kaidah bagi seorang mukmin adalah hati dan lisan bersih terhadap para sahabat.

Rasulullah bersabda “Jangan kalian mencela sabahbat-sahabatku. Andaikata kalian berinfak emas sebanyak satu gunung. Maka tidak akan mencapai satu mut (dua telapak tangan) dari keimanan para sahabat dan tidak pula setengahnya.

Sebagaian As-Salaf pernah ditanya, yang mana lebih afdal antara Umar bin Abdul Aziz dan Muawiyah Radhiallahu Anhu. Beliau menjawab, debu yang berterbangan dari kuda Muawaiyah tidak bisa dinilai oleh hari-hari yang dilalui Umar bin Abdul Aziz.

Rasulullah bersabda, “Bintang-bintang adalah para pengaman langit. Apabila bintang sudah pergi, akan datang hal yang diancamkan terhadap langit. Demikian pula aku adalah pengaman ditengah para sahabatku. Apabila Aku telah pergi akan datang ancaman pada para sahabatku. Dan para sahabatku adalah pengaman ditengah umatku. Apabila para sahabatku telah pergi maka akan datang ditengah umat.

Ukuran seseorang dikatakan sahabat

Siapa saja yang bersahabat dengan Nabi selama satu tahun, satu bulan, satu hari bahkan satu saat saja atau hanya sekedar melihat Nabi, maka dia telah termasuk seorang sahabat.

Ibnu Hajar mendefinisikan sahabat adalah siapa yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan beriman dengan Nabi dan mati diatas keislaman. Di definisikan sebagai yang berjumpa buka melihat karena ada sahabat yang tidak bisa melihat. Disyaratkan beriman ketika berjumpa dengan Nabi. Dan Mati diatas keislaman.

Para sahabat yang paling rendah kedudukannya lebih afdal dari generasi yang datang setelahnya dan tidak melihat Nabi. Walaupun seluruh orang pada generasi tersebut telah menghadap kepada Allah dengan seluruh amalan shalih. Misalnya seorang tabiin melalukan seluruh amalan shalih, maka tetap para sahabat lebih afdhal.

Kelompok yang sesat dalam menyikapi sahabat

  1. Siyah Radidhah, mencela dan mengkafirkan para sahabat
  2. Kelompok Nawasit, mengkafirkan dan memusuhi ahlul bayt.
  3. Kelompok Khawarij, mengkafirkan para sahabat.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Tidak ada amalan yang kalau ditinggalkan orang menjadi kafir kecuali shalat

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Tidak ada amalan yang kalau ditinggalkan orang menjadi kafir kecuali shalat

Imam Ahmad berkata,

Tidak ada amalan yang kalau ditinggalkan orang menjadi kafir kecuali shalat. Maka barangsiapa meninggalkan shalat ia menjadi kafir dan Allah telah menghalalkan membunuhnya.

Penjelasan:

Hal ini adalah penegasan Imam Ahamad mengenai pokok Sunnah.

Hukum orang yang meninggalkan shalat terdapat silang pendapat diantara para ulama. Diantaranya ada yang mengatakan apabila meninggalkan karena shalat karena malas, maka kafir. Dan ada yang mengatakan tidak kafir.

Dari Imam empat tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas. Hanya saja Imam Ahmad mengkafirkannya.

Abdullah bin Syakik Rahimahullah Taala berkata “Sesungguhnya mereka (para Shahabat dan Tabi’in) tidak melihat ada amalan-amalan yang apabila ditinggalkan dapat mengafirkan kecuali shalat”.

Ini adalah pendapat yang kuat berdasarkan dalil berikut:

Firman Allah Ta’ala:

مَا سَلَكَكُمْ فِى سَقَرَ ٤٢قَالُوا۟ لَمْ نَكُ مِنَ ٱلْمُصَلِّينَ ٤٣

Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat” (Al-Mudhaththir: 42-43)

Yang pertama disebutkan oleh penduduk neraka, kenapa mereka didalam neraka adalah karena mereka tidak mengerjakan shalat.

فَإِذَا ٱنسَلَخَ ٱلْأَشْهُرُ ٱلْحُرُمُ فَٱقْتُلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَٱحْصُرُوهُمْ وَٱقْعُدُوا۟ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۢ ۚ فَإِن تَابُوا۟ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ فَخَلُّوا۟ سَبِيلَهُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu1, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertobat, dan mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan2. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (At-Taubah: 5)

Dikatakan jika mereka bertobat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka dibiarkan jalannya. Sehingga apabila tidak maka diperangi.

فَإِن تَابُوا۟ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ فَإِخْوَٰنُكُمْ فِى ٱلدِّينِ ۗ وَنُفَصِّلُ ٱلْـَٔايَـٰتِ لِقَوْمٍۢ يَعْلَمُونَ ١١

“Jika mereka bertobat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (At-Taubah: 11)

Disebutkan apabila mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka saudaramu seagama. Sehingga apabila tidak mengerjakan shalat maka bukan saudaramu seagama.

Hadits Riwayat Muslim, Rasulullah bersabda “Yang membedakan antara kami dan mereka adalah shalat” Sebagian Riwayat lain, “Yang membedakan antara seorang hamba dan kesyirikan, adalah shalat”. Dalam hadits Buraida dikatakan “Siapa yang meninggalkannya, maka telah kafir”.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 82]

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian yang mengikat antara kita dan mereka adalah shalat, maka siapa saja yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah kafir.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadirs ini hasan shahih.) [HR. Tirmidzi, no. 2621 dan An-Nasa’i, no. 464. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.]

Diantara ulama yang sependapat dengan masalah ini adalah Syeikh Bin Baz, Syeikh  Ibnu Utsaimin, Syeikh Sholeh Al-Fauzan,  Syeikh Muqbil, Syeikh Ahmad An-Najmi, dan lainnya.

Adapun yang tidak mengkafirkannya diantaranya: Syeikh Albani, Syeikh Rabbi’, Syeikh Ubaid Al-Jamiry.

Pendapat Imam Ahmad ini adalah pendapat yang kuat. Kenapa pendapat ini dimasukan kedalam Ushulus Sunnah? Hal ini dikarenakan pendapat beliau dan beberapa ulama lainnya.

Akan tetapi tidak berarti yang berbeda pendapat dengan hal ini dikeluarkan dari Ahli Sunnah, dikarenakan ada bentuk Ijtihad didalamnya.

Adapun apabila meninggalkan shalat karena mengingkari kewajiban shalat, maka tidak ada silang pendapat dikalangan ulama tentang kafir nya.  

Wallahu Ta’la ‘alam

Iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang

Imam Ahmad berkata,

Iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, sebagaimana telah diberitakan dalam hadits: “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik ahklaqnya,”

Penjelasan:

Pembahasan Pertama: Definisi Iman

Iman memiliki dua penggunaan:

  • Makna umum, Iman adalah sama dengan Islam.
  • Makna khusus, Iman digunakan untuk hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan hati namun disertai dengan amalan dhohir yang membenarkan apa yang ada didalam hatinya

Dalam hadits Jibril, Islam adalah  engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul Allah, Dan engkau menegakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di Bulan Ramadhan serta ber haji apabila engkau mampu. Hal ini adalah amalan-amalan dhohir.

Adapun Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab nya, para rasul, dan hari akhirat. Serta engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Hal ini adalah perkara bathin.

Amalan bathin saja tidak cukup, sehingga Iman dalam makna khusus adalah keyakinan diddalam hati disertai dengan amalan dhohir yang membenarkan apa yang didalam hatinya.

Demikian pula Islam yang merupakan perkara dhohir tapi harus disertai dengan keyakinan didalam hati yang membernarkan dhohirnya.

Penggunaan Islam dan Iman apabila digunakan tersendiri maka maknanya sama, yaitu dalam makna umum.

Nabi bersabda: “Iman itu ada 70 cabang lebih, yang paling tingginya adalah ucapan La Ilaha Illallah. Yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu bagian dari Iman”.

Ucapan La Ilaha Illallah termasuk di rukun Islam yang merupakan cabang dari Iman.

Iman secara bahasa adalah pembenaran. Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan secara Bahasa Iman itu adalah pembenaran disertai dengan penerimaan.

Dalam Al-Quran penggunaan Iman secara Bahasa pada surat Yusuf Ketika saudara-saudara Nabi Yusuf sudah melemparkan nya ke sumur. Mereka datang pada Ayah mereka dengan membawa baju yang dilumuri darah palsu dalam keadaan menangis. Mereka berkata “Engkau Ayah kami tidak beriman kepada kami, walaupun kami jujur”. Ini adalah penggunaan Iman secara Bahasa maksudnya adalah engkau tidak beriman (membenarkan) kami. Tidak mempercai kami walaupun kami jujur.

Pembahasan Kedua: Iman adalah ucapan dan amalan

Secara Istilah, Imam Ahmad mendefisinikan Imam dalam empat kalimat ringkas diatas. Iman adalah ucapan dan amalan, berkurang dan bertambah.

Ucapan Sebagian as salaf juga mengucapkan bahwa iman itu ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati dan amalan dengan anggota tubuh.

Hal ini tidak bertentangan dengan ucapan Iman Ahmad karena ada ucapan hati dan ucapan lisan, begitu juga ada amalan hati dan amalan anggota tubuh.

Dalil yang menunjukan tentang hal ini:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ٢ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ ٣أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ حَقًّۭا ۚ لَّهُمْ دَرَجَـٰتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌۭ وَرِزْقٌۭ كَرِيمٌۭ ٤

Sesungguhnya orang-orang yang beriman1 itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah2 gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhan-nya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (Al-Anfal: 2-4)

Ciri orang yang beriman dengan yang sebenar-benarnya dalam ayat tesebut adalah sebagai berikut

  • apabila disebut nama Allah2 gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, ini adalah amalan hati
  • apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka” ini adalah amalan hati
  • hanya kepada Tuhan-lah mereka bertawakal” ini dasarnya amalan hati
  • orang-orang yang mendirikan salat” ini adalah amaln hati, lisan dan anggota tubuh
  • dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” ini adalah amalan badan yang disertai keihklasan

قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ ١ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَـٰشِعُونَ ٢وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ ٣وَٱلَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَوٰةِ فَـٰعِلُونَ ٤وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ ٥إِلَّا عَلَىٰٓ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ٦

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya,dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki 1, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mu’minun: 1-6)

Pembahasan Ketiga: Iman Bertambah dan Berkurang

Beberapa dalil mengenai bertambahnya Iman:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman1 itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah2 gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhan-lah mereka bertawakal,” (Al-Anfal:2)

وَإِذَا مَآ أُنزِلَتْ سُورَةٌۭ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَـٰذِهِۦٓ إِيمَـٰنًۭا ۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فَزَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

Dan apabila diturunkan suatu surah, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 124)

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوٓا۟ إِيمَـٰنًۭا مَّعَ إِيمَـٰنِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًۭا

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (Al-Fath: 4)

Ayat yang lain dalam kisah sahabat diperang khandak: “Mereka bertambah keimanan”

Bagaimana dengan penjelasan tentang berkurangnya iman. Maka apabila sesuatu bisa bertambah maka bisa berkurang.

Hadits mengenai berkurangnya iman dari Said Al-Khudri Riwayat Muslim “Siapa diantara kalian yang melihat suatu kemungkaran hendaknya rubah dengan tangannya, apabila tidak mampu dengan lisannya, apabila tidak mampu maka rubah dengan hatinya dan itu adlaah selemah-lemahnya iman.

Hadits syafaat: Akan keluar dari neraka orang yang berucap la ilaha illallah yang didalam hatinya ada sebesar dzarah keimanan. Dharah adalah sebesar telur semut.

Dalam hadist tersebut terlihat keimanan semakin kecil dan kecil yang menunjukan keimanan bisa berkurang.

Pembahasan Keempat: Kelompok yang Menyimpang dalam hal Iman

Sebagaian ulama salah satunya Al-Bahbari Rahimahullah dalam Syahrus Sunnah, beliau menyebutkan apabila meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan dan amalan, bertambah dan berkurang, maka dia telah keluar dari seluruh peyimpangan dalam masalah Iman.

Kelompok yang menyimpang dalam masalah Iman:

Pertama: Kelompok Murji’ah

Mereka mengeluarkan amalan dari iman. Sehingga Iman hanya ucapan dan keyakinan saja.

Beberapa kaum murji’ah:

Kesatu,Murji’ah yang paling esktreem, yaitu kaum Jahmiyah.

Kelompok ini mengatakan bahwa iman hanya pembenaraan dalam hati saja walaupun hanya ucapan sudah masuk iman. Bahwa dengan mengucapkan sudah cukup sebagai mukmin. Ini adalah bathil. Apabila hanya keyakinan didalam hati maka Fir’aun sudah mukmin. Sebab Fir’aun sudah membenarkan dalam hatinya, Ketika Fir’aun dan bala tentaranya mengejar Nabi Musa. Sebelum firaun ditenggelamkan, Fir’aun mengakui dan tahu kebenaran Nabi Musa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Mereka mengingkari hal tersebut, padahal jiwa-jiwa mereka meyakininya, tapi tidak memberi manfaat.”

Adapun bila berucap iman adalah ucapan saja maka kaum munafikin adalah kaum yang beriman. Ini bathil karena Allaf berfirman dalam Al-Quran:

إِنَّ ٱلْمُنَـٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرْكِ ٱلْأَسْفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)

Kedua, Murji’ah yang paling sedikit kesesatannya adalah kaum Murji’atul Fukoha

Mereka menganggap iman adalah ucapan dan keyakinan saja. Amalan tidak masuk dalam iman. Pemikiran in dicetuskan oleh Hammad Abu Sulaiman Al-Kuufi. Kemudian diambil oleh Abu Hanifah pemahaman murji’atul fukoha. Kemudian diwariskan kepada murid-muridnya yang para ahli fikih, sehingga disebut murjiahnya kaum fukoha.

Dalil bahwa amalan termasuk Iman adalah Firman Allah Ta’ala:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَـٰكُمْ أُمَّةًۭ وَسَطًۭا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًۭا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَـٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌۭ رَّحِيمٌۭ

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan1 agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)

Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” ditafsirkan sebagai shalat. Sehingga menunjukan bahwa amalan adalah bagian dari keimanan.

Kedua: Kelompok Al-Waidiyyah

Kelompok ini termasuk kelompok Khawarij dan Mu’tajilah. Mereka mengatakan Iman adalah satu kesatuan. Apabila pergi Sebagian maka pergi seluruhnya. Sehingga mereka berpemahaman pelaku dosa besar adalah kafir keluar dari Islam. Mereka menganggap pelaku dosa besar menghilangkan seluruh keimanannya.

Berbeda dengan kelompok  Murji’ah yang mengatakan bahwa Iman adalah satu kesatuan. Apabila sisa sebagiannya maka sisa selurunya. Kebalikan dari Mu’tajillah. Sehingga pelaku dosa besar tidak membahayakan imannya. Sehingga mereka berpendapat Iman seluruh manusia adalah sama. Iman pelaku ibadah dan pelaku maksiat menjadi sama. Karena mereka menganggap amalan tidak menjadi tolak ukur keimanan.

Kedua kelompok ini (Murji’ah dan Al-Waidiyyah) menyimpang karena mengatakan iman adalah satu kesatuan. Murjiah mengatakan apabila sisa Sebagian sisa seluruhnya. Al-Waidiyyah mengatakan pergi Sebagian pergi seluruhnya.

Ahli Sunnah mengatakan Iman bertambah dan berkurang. Sehingga pelaku maksiat adalah mukmin yang kurang imannya. Tidak dikafirkan keluar dari Islam dan tidak pula dikatakan mukmin yang kuat imannya.


Pembahasan Kelima: Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik ahklaqnya

Hadits pertambahan Iman, Riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzy. Syeikh Al-Bani mengatakan Hasan dan Sohih. ”Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya”.

Perkataan kaum mukminin paling sempurna artinya ada derajat yang lebih rendah dari paling sempurna atau yang tidak sempurna keimanannya.

Agar bertambah keimanan dan tidak berkurang keimanan mengetahui dua Ilmu berikut:

  1. Ilmu yang menjadikan sebab-sebab bertambah keimanannya, diantaranya menuntut ilmu syar’I, mempelajari asmaul husna dan sifat-sifat Allah, banyak membaca Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah, menunaikan kewajiban dan meninggalkan larangan, mengingat akhirat, mengingat kematian dan lain sebagainya.
  2. Ilmu yang menjadikan sebab-sebab yang mengurangi keimanannya, diantaranya adalah kebalikan dari sebab-sebab yang menambah keimanan.

Wallahu Ta’la ‘alam

Nabi ‘Isa dan Dajjal

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Nabi ‘Isa dan Dajjal

Imam Ahmad berkata, Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah:

Beriman bahwa Al-Masih Ad-Dajjal akan keluar, tertulis diantara kedua matanya Kafir (dalam bahasa Arab) dan beriman dengan hadits-hadits yang datang tentang masalah ini beriman bahwa ini akan terjadi. Beriman bahwa ‘Isa bin Maryam akan turun dan membunuh dajjal di pintu Ludh.

Penjelasan:

Pembahasan Pertama: Keimanan Akan keluarnya Dajjal

Al-Masih dikarenakan diberi kemampuan bisa menghidupkan dan mematikan. Hadits mengenai Ad-Dajjal Mutawatir terdapat dalam Riwayat Bukhari dan Muslim.

Dalam akhir shalat diperintahkan berlindung dari empat perkara:

  1. Siksa neraka Jahanam
  2. Adab kubur
  3. Fitnah kehidupan dan kematian
  4. Fitnah Al-Masih Ad-Dajjal

Dajjal adalah sosok yang hakiki bukan sesuatu yang dimaknai pendusta.

Sifatnya disebutkan dalam Hadist Tamim Ad-Daus Ad-Dhari mengenai kisah keislamannya yang sebelumnya nashrani, terdampar disebuah pulau. Dia menemui Dajjal, terbelenggu tangannya dengan rantai dikepala, picok satu matanya. Dia bertanya mengenai Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian Tamim Ad-Daus Ad-Dhari menceritakan kepada Nabi, dan menceritakannya kepada para sahabat.

Diantara dua matanya terdapat tulisan Ka Fa Ra atau Kafir

Dajjal akan keluar selama 40 hari saja, dengan lamanya hari sebagai berikut:

  • Hari pertama lamanya seperti satu tahun
  • Hari kedua lamanya seperti satu bulan
  • Hari ketiga lamanya seperti satu pekan
  • Hari keempat dan seterusnya lamanya seperti satu hari biasa.

Sahabat bertanya bagaimana shalatnya, Nabi mengatakan “Kira-kiralah sesuai dengan kadarnya”. Hal ini menjadikan dalil yang apabila pada suatu tempat tidak pernah ada matahari.

Seluruh tempat bisa dimasuki Dajjal, kecuali Mekah dan Madinah dikarenakan dijaga oleh para Malaikat dengan pedang terhunus. Dajjal hanya berada pinggiran kota Mekah dan Madinah. Kemudian Dajjal mengehentakan kakinya, maka keluarlah kaum Munafikin dari Mekah dan Madinah.

Dajjal diikuti oleh manusia. Paling banyak adalah orang Yahudi dari Asbahan.

Dajjal membuat fitnah ditengah manusia:

  • Mampu menghidupkan dan mematikan.

Dikisahkan dalam hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Sa’id  tentang Seorang mukmin yang diajak oleh Dajjal mengikutinya. Mukmin berkata “engkaulah Dajjal yang Nabi ceritakan kepada kami tentang engkau”. Maka Dajjal pun membunuh, membelahnya menjadi dua. Kemudian Dajjal bejalan diantara dua belahan badan orang mukmin ini. Kemudian Dajjal berkata “hidup lah”, maka orang mukmin tersebut hidup kembali. Dajjal berakata, “tidakkah kamu beriman kepadaku? Aku telah menghidupkan mu dan mematikan mu. Mukmin berkata “Aku lebih yakin lagi bahwa engkau adalah Dajjal yang dikabarkan Rasulullah.” Kemudian Dajjal hendak membunuhnya, akan tetapi tidak mampu lagi. Setiap mukimin bisa membaca “Kafir” pada diantara dua mata Dajjal”.

  • Mempunyai Surga dan Neraka.

Apabila seseorang tidak mau beriman kepadanya, maka dimasukan kedalam nerakanya. Apabila beriman maka dimasukan kedalam surganya. Akan tetapi nabi mengabarkan bahwa Nerakanya sebenarnya adalah surga kesejukan didalamnya. Sedangkan Surganya adalah neraka.

Kita diperintah untuk berdoa dari kejelekan Dajjal dan barangsiapa yang membaca dan menghafal 10 ayat pertama dari Surat Al-Kahfi maka dia akan terjaga dari fitnah Ad-Dajjal.

Pembahasan Kedua: Nabi Isya Akan Turun dan membunuh Dajjal di pintu Ludh

Hal ini berurutan dimana yang pertama terjadi keluarnya Dajjal dan pada hari ke-40 nabi Isya membunuh Dajjal di pintu Al-Ludh.

Dalam sahih Muslim, Nabi Isya turun dalam keadaan berpegang pada dua Pundak malaikat. Turun di Menara Timur di Kota Dimasq. Beliau mengarah kepada kaum Muslimin dan membunuh Dajjal.

Ketika Nabi Isya turun, maka sebagai umat Nabi Muhammad, bukan sebagai Nabi. Ada teka-teki dikalangan ulama “Ada dari umat Islam lebih afdhal dari Abu Bakar dan Umar?” Jawabanya adalah Nabi Isya.

Nabi Isya shalat dibelakang Imam Mahdi. Imam Mahdi keturunan dari Nabi, nama beliau dan ayahnya sama dengan nabi yaitu: Muhammad bin Abdillah.

Wallahu Ta’la ‘alam

Beriman kepada Syafa’at Nabi

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Beriman kepada Syafa’at Nabi dan Kaum yang akan keluar dari Neraka.

Imam Ahmad berkata, Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah:

Beriman kepada syafa`at Nabi Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam dan kepada suatu kaum yang akan keluar dari neraka setelah mereka terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka akan diperintahkan menuju sungai di depan pintu syurga (sebagaimana diberitakan dalam atsar) sebagaimana dan seperti apa yang Dia kehendaki, kita wajib beriman dan membenarkan hal ini.

Penjelasan:

Kaum yang keluar dari neraka disebut “Jahanamiyun“. Dimasukan “jahanmiyun” kedalam pemabahsan syafa’at karena keluarnya kaum ini dari neraka dikarenakan mendapat syafaat.

Pembahasan Pertama: Syafaat tidak hanya khusus untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Imam Ahmad menegaskan bahwa adanya syafa’at Nabi. Akan tetapi hakikatnya syafaat tidak hanya dari Nabi Muhammad saja. Ada syafaat yang lainnya yaitu dari: para Nabi dan Rasul, Malaikat, orang yang mati syahid, para syidiqin, orang shaleh, anak kepada orang tuanya, sebagian amal shaleh, Al-Qur’an.

Pembahasan Kedua: Pengertian Syafaat

Syafa’at secara bahasa bermakna genap atau lawan dari ganjil. Dikatakan syafaat karena seorang ini tadinya sendiri kemudian mendapatkan pertolongan dari orang lain yang memohon kepada Allah supaya diampuni. Maka keberadaan orang lain ini mengenapkan atau menguatkannya. Sehingga disebut syafa’at.

Syafa’at secara istilah adalah menjadi perantara bagi orang lain untuk mendapatkan sebuah manfaat atau menolak sebuah bahaya.

Pembahasan Ketiga: Tiga sudut syafa’at

  1. Pemilik syafa’at yaitu Allah
  2. Pemohon syafa’at yaitu yang menjadi perantara yang meminta kepada Allah untuk orang yang disyafa’ati.
  3. Orang yang disyafa’ati.

Hadits Syafa’atul Uzma

Hal ini dapat dililhat pada hadits mengenai syafaatul uzma, yang terbesar, yaitu Nabi memohon kepada Allah untuk makhluk agar hisab disegerakan. Manusia menanti dengan sangat lama di padang mahsyar. Dengan kondisi sangat mengerikan, sangat lama, matahari didekatkan, manusia berkeringat sesuai dengan amalannya masing (ada yang sampai mata kaki, betis, lutut, pinggang, dada dan menengelamkannya). Disamping itu ada sebagian manusia yang diteduhi dibawah teduhan Arsy Allah .

Manusia dari awal sampai akhir dikumpulkan semua dipadang mahsyar. Dalam keadaan tidak berpakaian, belum di khitan, dan tidak beralas kaki. Sebagian sahabat bertanya “Ya Rasulullah, mereka saling melihat?”, Rasulullah berkata “perkara pada saat itu lebih dahsyat dari hal tersebut”. Tidak ada kesempatan saling melihat, anak tidak ingat pada ibunya, ayahnya dan saudaranya, tidak ingat kawannya, suami tidak ingat istrinya. Semuanya memikirkan diri sendiri.

Dikarenakan lamanya penantian, maka manusia mendatangi para Nabi. Pertama mendatangi Nabi Adam sebagai Ayah manusia, maka Nabi Adam menyebutkan bahwa Allah telah murka pada hari kemurkaan Allah tidak pernah murka semurka itu pada hari sebelumnya dan setelahnya. Nabi Adam menyebutkan dosanya yang padahal sudah diampuni. Akan tetapi Nabi Adam masih khwatir dan berkata “nafsi-nafsi (diriku-diriku), pergilah kepada Nabi Nuh”. Kemudian manusia mendatangi Nabi Nuh, beliau menjawab dengan hal yang sama. Setelah itu mendatangi nabi yang lain: Musa, Ibrahim, Isya.

Sampai akhirnya mendatangi Nabi Muhammad . Maka Nabi berkata “Akulah memang yang diberi syafa’aat tersebut, Akulah memang yang diberi syafa’aat tersebut“. Maka Nabi berdiri dan bersujud dibawah Arsy Allah. Kemudian memuji Allah dengan pujian yang agung yang sebelumnya belum diketahui. Hingga Allah berfirman “Angkatlah kepalamu, berucaplah, akan didengar ucapanmu, mintalah syafaat maka engkau akan diberi syafaat”. Maka Nabi memohon agar hisab disegerakan. Setelah itu terjadilah kejadian selanjutnya yaitu dimulainya hisab sebagaimana firman Allah:

وَجَآءَ رَبُّكَ وَٱلْمَلَكُ صَفًّۭا صَفًّۭا٢٢وَجِا۟ىٓءَ يَوْمَئِذٍۭ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍۢ يَتَذَكَّرُ ٱلْإِنسَـٰنُ وَأَنَّىٰ لَهُ ٱلذِّكْرَىٰ ٢٣

dan datanglah Tuhan-mu; sedang malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.” (Al-Fajr : 22-23)

Dalam kisah ini yang disyafaati adalah seluruh makhluk, yang memohon syafaat adalah Nabi Muhammad . Pemilik syafaat adalah Allah .

Pembahasan Keempat: Macam-Macam Syafa’at

Delapan bentuk syafaat Nabi . Terdapat syafaat yang khusus bagi Nabi Muhammad dan syafaat yang berserikat antara Nabi Muhammad dan para Nabi, para malaikat dan lainnya..

  1. Syafa’at khusus Nabi, Syafa’atul Uzma
  2. Syafa’at khusus Nabi, Syafa’at penduduk surga untuk masuk kedalam surga. Pintu surga tidak akan dibuka hingga, Nabi memohon agar pintu surga dibukakan. Manusia sudah menunggu di pintu surga, menunggu Nabi untuk mengetuk pintu surga. Ketika ditanyakan siapa engkau, maka Nabi menjawab dengan namanya. Kemudian Malaikat penjaga pintu surga berkata “Terhadap engkaulah aku diperintah untuk membukanya”. Maka pintu surga sibuka.
  3. Syafa’at khusus Nabi, Syafa’at untuk pamannya Abu Thalib. Abu Thalib seharusnya dilapisan neraka yang paling bawah. Akan tetapi dengan syafaat Nabi, dia menjadi makluk yang paling ringan siksanya di neraka walaupun tetap kekal di neraka. Siksaannya yaitu berupa dua terompah yang dipanaskan, belum kaki masuk menginjak terompah, maka kepalanya sudah mendidih.
  4. Syafa’at khusus Nabi (tetapi silang pendapat, sebagian mengatakan tidak khusus bagi Nabi), syafa’at untuk sekelompok dari umat masuk tanpa hisab dan tanpa adzab. Hal ini terdapat dalam hadits mengenai 70 ribu orang umat Nabi, masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Diceritakan Ukkasayah meminta untuk didoakan kepada Allah, agar aku diikutkan dari mereka. Maka Nabi bersabda “Engkau dari mereka”. Hal ini merupakan bentuk syafaat dari Nabi untuk Ukkasyah. Kemudian ada yang meminta lagi kemudian Nabi berkata “Ukkasyah telah mendahului engkau”.
  5. Syafaat untuk penduduk surga sehingga derajatnya ditinggikan. Dari hadist Bukari dan Muslim mengenai kisah Abu Salamah ketika meninggal Nabi mendoakan “Ya Allah ampunilah Abu Salamah, tingikan derajatnya di almadiyin (surga), ya Allah ampunilah kami dan Abu Salamah, wahai Rabbul ‘Alamin, Ya Allah lapangkanlah dia dalam kuburnya, berilah cahaya didalam kuburnya”.
  6. Satu kaum yang seimbang antara kejelekan. dan kebaikannya yaitu menjadi Ahabul A’raf yang berada di ‘Araf antara surga dan neraka. Maka dengan syafa’at Allah memasukannya ke surga.
  7. Syafa’at untuk pelaku dosa besar yang dosanya lebih besar daripada kebaikannya. Harusnya arahnya keneraka, akan tetapi dengan syafa’at diampuni dan dimasukan kedalam surga.
  8. Syafa’at untuk pelaku dosa besar yang sudah masuk kedalam neraka. Maka dengan syafaat dikeluarkan dari neraka dan dimasukan kedalam surga.

Nomor 7 dan 8 diingkari oleh Ahli Bid’ah kalangan Khawarij dan Mu’tajilah. Dikarenakan kaidah mereka adalah pelaku dosa besar kekal didalam neraka. Hal ini adalah ucapan yang bathil karena Rasulullah bersabda “Syafaatku aku berikan kepada pelaku dosa besar dari umatku“.

Pembahasan Kelima: Sya’faat yang dinafikan dan ditetapkan dalam Al-Qur’an

Didalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menafikan syafaat seperti “Tidak ada syafaat baginya“, atau “tidak ada syafaat orang yang memberi syafaat” dan selainnya. Ayat ini adalah bagi kaum Musyrikin yang tidak bertahuid.

Adapun untuk orang yang bertahuid terdapat syafaat yang diterangkan dalam al-qur’an. “Tidak ada yang memerbi syafaat disisinya kecuali dengan ijin Allah“. Dan juga ayat “Betapa banyak dari para malikat dilangit, syafaat mereka tidak bermafaat, kecuali setelah Allah memberi ijin kepada siapa yang Allah kehendaki” dan ayat lainnya. Syafaat ini hanya untuk ahli tauhid.

Abu Hurauirah bertanya kepada Nabi “Wahai Rasulullah siapakah yang paling berbahagia mendapatkan syafaatmu di hari Kiamat?” Maka Nabi berkata “Siapa yang berkata La Illaha Illallah ikhas dari hatinya (dirinya)“.

Syarat mendapatkan syafaat:

  1. Orang yang bertauhid.
  2. Allah ijinkan untuk orang yang memohon syafaat memberi syafaat kepadanya

Pembahasan Keenam: Kaum yang keluar dari neraka dan dimasukan ke surga

Hadits mengenai orang yang terakhir keluar dari neraka

Dalam hadits Bukhari-Muslim diceritakan orang yang terakhir keluar dari api neraka. Dia meminta dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar dikeluarkan dari api neraka, “Ya Allah, keluarkan aku dari api neraka, aku tidak meminta yang lain kecuali ini saja, jauhkan wajah ku dari api neraka”. Maka Allah berfirman kepadanya, “Wahai anak Adam, barangkali engkau akan minta yang lainnya”. Maka si hamba dikeluarkan dari neraka.

Tidak masuk kesurga tapi diantara surga dan neraka. Dia lama berdiri dan melihat surga dari kejauhan, maka dia berdoa lagi. “Ya Allah, dekatkanlah aku ke surga, Aku tidak meminta kecuali itu. Maka Allah berfirman “Betapa penghianatnya kamu wahai anak Adam, bukan kamu telah bersumpah”. Kemudian si hamba terus memohon itu saja. Maka dikabulkan oleh Allah, didekatkan ke surga.

Begitu melihat keindahan surga, dia tidak tahan laginya dan memohon kepada Allah untuk dimasukan ke surga. Akhirnya dimasukan oleh Allah surga. Kemudian disuruh berangan-angan apa yang diinginkan di surga. Allah terus menyuruhnya berangan-angan lagi sampai habis angan-angannya. Maka Allah berfirman “Aku akan berikan untuk mu 10 kali dari yang engkau minta.

Ini menunjukan bahwa ada kaum yang keluar neraka dan masuk surga. Dia adalah seorang pelaku dosa besar. Hal ini diingkari oleh ahlul bid’ah sehingga Imam Ahmad memasukan di pokok-pokok ahlus sunnah.

Wallahu Ta’lla ‘alam

Beriman dengan adanya Adzab Kubur

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Beriman dengan adanya Adzab Kubur.

Imam Ahmad berkata, Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah:

Beriman dengan adanya adzab kubur. Sesungguhnya umat ini akan diuji dan ditanya dalam kuburnya tentang Iman, Islam, siapa Rabbnya dan siapa Nabinya. Munkar dan Nakir akan mendatanginya sebagaimana yang Dia kehendaki dan inginkan. Kita wajib beriman dan membenarkan hal ini.

Penjelasan:

Sunah lazimah yaitu sunnah yang harus diyakini. Apabila tidak menyakini salah satu dari sunnah lazimah maka tidak terhitung sebagai ahli sunnah.

Pembahasan Pertama: Penggunaan kata Adzabul Al-Qabr

Kata Al-Qabr artinya yang dikubur. Secara umum yaitu orang yang di kubur apabila meninggal. Akan tetapi termasuk juga orang yang meninggal di laut atau dimakan binatang buas atau terbakar, juga akan terkena adzab kubur.

Terkadang digunakan istilah al-barzah, yaitu lebih umum akan dialami untuk seluruh makhluk.

Kisah Orang yang tidak mau dikubur karena takut di adzab

Dalam hadits dari Said Al-Kudri dalam riwayat Bukhari Muslim, dikisahkan tentang seorang yang menyadari bahwa azalnya sudah dekat, berpesan kepada anak-anaknya apabila meninggal maka bakar lah jasad saya, kemudian lemparkan sebagian debunya ke laut dan sebagian debunya ke bumi.

Dia melakukan ini agar jangan sampai dibangkitkan oleh Allah. Dia takut apabila bisa dibangkitkan Allah maka akan disiksa. Allah Maha Mampu akan tetapi orang ini jahil akan kemampuan Allah. Ucapan “Andaikata Allah mampu” adalah ucapan kekafiran, akan tetapi diberi udhur karena ke-jahil-annya.

Begitu dia meninggal, ternyata anaknya melaksanakan apa yang diinginkan orang tuanya, yaitu jasadnya dibakar kemudian sebagian debunya di lempar ke laut dan sebagian lainna dilempar kebumi.

Allah berfiman kepada lautan dan bumi, “Kumpulkan apa yang kalian dapat”, tiba-tiba berdiri lagi orang yang meninggal tadi. Allah bertanya “Apa yang menyebabkan kamu melakukan hal ini”. Dia berkata “Aku takut pada siksaan wahai Rabb-ku”. Maka dia diampuni oleh Allah.

Sehingga walaupun yang meninggal tidak dikubur, perhitungan tetep ada.

Pembahasan Kedua: Kenapa hanya disebutkan Azab Kubur? tidak disebutkan Nikmat Kubur?

Imam Ahmad hanya menyebutkan adzab kubur. Muncul pertanyaan apakah dikubur hanya siksaan saja? tidak ada kenikmatan kubur?. Hal ini dikarenakan ahlul bid’ah tidak meningkari adanya nikmat kubur. Tapi mereka mengingkari adzab kubur.

Didalam kubur ada yang di siksa dan ada yang diberi kenikmatan. Ada yang diselamatkan ada yang terkena siksaan.

Pembahasan Ketiga: Dalil mengenai Adzab Kubur

Keimanan terhadap Adzab Kubur adalah suatu keyakinan yang agung dalam Islam. Hal ini ditunjukan oleh dalil dari Al-Qur’an, hadits dan disepekati oleh ulama, sebagai berikut:

Banyak dalil dalam Al-Qur’an, diantaranya:

Firman Allah dalam surat Al-Mu’minun:

حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ ٱلْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ٱرْجِعُونِ ٩٩ لَعَلِّىٓ أَعْمَلُ صَـٰلِحًۭا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّآ ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا ۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ ١٠٠

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu) hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhan-ku kembalikanlah aku (ke dunia); agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (Al-Mu’minun: 99-100)

Dikatakan setelah ruh-ny keluar kemudian ada alam barzah hingga hari kebangkitan. Sehingga alam barzah dan hari akhirat adalah sesuatu yang berbeda. Alam barzah berbeda dengan dunia karena orang ini ruhnya telah dicabut.

Firman Allah dalam surat Ghafir tentang pengikut Firaun.

فَوَقَىٰهُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِ مَا مَكَرُوا۟ ۖ وَحَاقَ بِـَٔالِ فِرْعَوْنَ سُوٓءُ ٱلْعَذَابِ ٤٥ٱلنَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّۭا وَعَشِيًّۭا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدْخِلُوٓا۟ ءَالَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ ٱلْعَذَابِ ٤٦

Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka dan Firʻawn beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), “Masukkanlah Firʻawn dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras“. (Ghafir: 45-46)

Fir’aun dan pengikutinya ditampakan neraka pada pagi dan petang, Dan pada hari kiamat mereka masuk pada azab yang pedih. Sehingga ditampakan neraka tersebut adalah bukan di dunia dan diakhirat, akan tetapi dialam barzah.

Firman Allah dalam surat As-Sajadah:

وَلَنُذِيقَنَّهُم مِّنَ ٱلْعَذَابِ ٱلْأَدْنَىٰ دُونَ ٱلْعَذَابِ ٱلْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Dan Sesungguhnya, Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (As-Sajadah: 21)

Dikatakan “Kami akan membuat mereka merasakan siksaan yang ringan, sebelum merasakan siksaan yang lebih besar“. Kebanyakan ahli tafsir, menafsirkan siksaan yang ringan sebagai kehidupan di alam kubur.

Hadits-hadits mutawatir yang menerangkan kehidupan dialam kubur, diantaranya:

Rasullullah mengatakan dalam riwayat At-Tirmidzy, bahwa kubur adalah taman dari taman surga atau kubur adalah satu lubang dari lubang api neraka.

Hadits Ibnu Abas dalam riwayat Al-Bukhariy dan Muslim, tentang kisah rasulullah melewati dua kuburan, beliau berkata “Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang disiksa. Dan mereka tidak disiksa pada hal yang besar”. Kemudian disebutkan dosa mereka yang besar yaitu dosa namimah dan dosa tidak berbersih ketika buang hajat.

Hadits mengenai keluar ruh seorang Mukmin dan seorang Fajir

Dari Abu Hurairah dan selainnya tentang kisah keluar ruh seorang mukmin dan fajir. Seorang mukmin didatangi malaikat dengan wajah yang berseri-seri, kemudian wangi, ditarik ruhnya dengan mudah, dibawa menghadap Allah, begitu sampai kelangit penjaga ruh bertanya “siapakah ruh yang baik yang kau bawa“. Maka dikatan “fulan bin fulan” dan dibukakan pintu langit, kemudian ditanyakan kepada pintu yang kedua dengan jawaban dan pertanyaan yang sama hingga sampai ke- ilyyin.

Kemudian Allah memerintahkan untuk ruhnya dikembalikan ke jasadnya. Maka ruh masuk ke jasadnya. Kemudian didatangi Munkar dan Nakir yang bertanya dengan tiga pertanyaan dan dijawab dengan sangat mudah. Kemudian dilapangkan kuburannya sejauh mata memandang. Kemudian didatangkan orang yang sangat baik rupanya untuk menemaninya. Ketika ia ditanya siapakah engkau, “Aku adalah amal shalehmu semasa kamu hidup“. Maka tidurlah engkau hingga hari kebangkitan. Lalu dibukakan untuknya celah dari surga.

Adapun orang yang fajir, dalam riwayat lain munafik dan kafir. Didatangi malaikat dengan muka yang jenis dan bau yang tidak enak. Dicabut ruh dengan sangat keras. Lalu dibawa kelangit dan penjaga langit bertanya “Siapakah ruh yang busuk ini?”. Dikatakan “Fulan bin fulan“. kemudian diperintah untuk dilemparkan ruh tersebut kembali ke jasadnya, tidak diterima di langit.

Setelah masuk ke jasadnya, Munkar dan nakir datang dan bertanya 3 pertanyaan. Setiap kali ditanya jawabnya “Ha.ha.ha. saya tidak tahu. Saya hanya mendengar manusia berucap sesuatu, saya juga ikut mengucapkannya”. Sehingga tidak bermanfaat ikut-ikutan dalam beragama. Kemudian setiap kali tidak menjawab maka dipukul dengan mitraqah (palu/gada). Nabi bersabda andai kata mitraqah ini dipukulkan ke gunung uhud, maka akan hancur berkeping-keping. Setiap dipukul maka dia menjerit dan jeritannya didengar oleh seluruh makhluk kecuali jin dan manusia. Andaikata didengar oleh jin dan manusia, maka mereka akan tersungkur mati. Kemudian disempitkan kuburnya sampai menghimpitnya dan menceraikan tulang belulangnya. Kemudian dibukakan untuknya celah neraka. Datang seorang yang buruk rupanya untuk menemaninya. Siapakah engkau, dia menjawab “Saya adalah amalan burukmu didunia”.

Dari kalangan Hitzbut Thahrir yang berpemahaman Mu’tazilah yang mengingkari adzab kubur. Karena mereka menganggap derajat haditsnya ahad dan tidak ada di Al-Qur’an. Padahal terdapat dalil dalam Al-Qur’an dan hadits mutawatir.

Imam Ahmad berkata: Sesungguhnya umat ini akan diuji dan ditanya dalam kuburnya tentang Iman, Islam, siapa Rabbnya dan siapa Nabinya.

Terdapat 2 pembahasan mengenai hal ini

Pembahasan Pertama: Apakah Adzab Kubur hanya untuk Umat Islam saja? Atau berkaitan dengan Umat sebelum Islam?

Hal ini berkaitan juga dengan umat sebelum kita. Yaitu dari hadits Ibnu Abas mengenai Nabi melalui dua kuburan yang sedang disiksa. Kuburan tersebut sebelum umat Islam. Sehingga perkataan Imam Ahmad bahwa “Umat ini akan diuji”. Maksudnya bukan umat Islam saja akan tetapi ini merupakan penegasan untuk umat Islam lebih sadar akan hal ini

Pembahasan Kedua: Tiga Pertanyaan Kubur.

  1. Siapa Rabb mu
  2. Siapa Nabi mu (yang diutus kepadamu)
  3. Apa agama mu.

Setiap umat ditanya tentang nabinya masing-masing. Pertanyaan ini hanya mampu dijawab oleh seorang hamba tergantung pada pemahaman dia terhadap apa yang ditanyakan yaitu sejauh mana mempelajari dan mengamalkannya.

Seperti yang telah dijelaskan dalam hadist, yang hanya mengikuti kebanyakan orang, maka tidak mampu menjawab pertanyaan ini.

Ketiga pertanyaan ini wajib untuk dipelajari hal berikut:

  1. Perlu dipelajari siapa Allah, apa kewajiban kita terhadap Nya, apa makna berislam, apa makna beribadah kepada Allah.
  2. Siapa Nabi kita, apa kewajiban terhadap beliau dan apa konsekuensi mengucapkan dua kalimat syahadat,
  3. Mengenal agama Islam, rukun Islam, berbakti kepada orang tua, silaturahmi.

Apabila tidak dipelajari hal tersebut maka berdosa. Coba ditanyakan diri sendiri ketiga pertanyaan tersebut apakah kita sudah paham dan mampu menjawabnya?.

Apabila telah mempelajarinya, hendaknya untuk selalu mengulangi. Agar jangan sampai terjatuh dari kesalahan.

Hendaknya mendalami Kitab Tsalatsatu Ushul dan Kitab Tauhid karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab.

Imam Ahmad berkata: Munkar dan Nakir akan mendatanginya sebagaimana yang Dia kehendaki dan inginkan.

Hadist dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan datang dua malaikat biru hitam. Sebagian berkata satu malaikat biru dan satu malaikat hitam. Ada yang berkata badannya biru, mukanya hitam.

Dua malaikat Munkar dan Nakir yang bertanya di alam kubur.

Hal tersebut harus kita imani dan membenarkannya.

Wallahu Ta’lla ‘alam

Beriman kepada haudh (telaga) yang dimiliki Rasulullah di hari Kiamat.

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Beriman kepada haudh (telaga) yang dimiliki Rasulullah di hari Kiamat.

Imam Ahmad berkata, Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah:

Beriman kepada haudh (telaga) yang dimiliki oleh Rasulullah pada hari kiamat, yang akan didatangi oleh umatnya, lebarnya sama seperti panjangnya yaitu selama perjalanan satu bulan, bejana-bejananya seperti banyaknya bintang-bintang di langit, hal ini sebagaimana diberitakan dalam khabar-khabar yang benar dari banyak jalan.

Penjelasan:

Pembahasan Pertama: Adanya Telaga pada hari kiamat.

Hal ini ditunjukan dari dalil Al-Qur’an, hadits, dan Ijma para ulama, sebagai berikut:

Surat Al-Kautsar Ayat 1:

إِنَّآ أَعْطَيْنَـٰكَ ٱلْكَوْثَرَ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu sebuah sungai di surga.” (Al-Kawtsar: 1)

Walaupun Al-Kautsar adalah telaga disurga, akan tetapi dari hadits-hadits yang shahih mengatakan bahwa Al-Haudh (telaga Rasulullah) berasal dari surga. Sehingga sebagian ulama menetapkan ayat ini sebagai dalil mengenai telaga Rasulullah.

Hadits mengenai telaga Mutawattir diriwayatkan lebih dari 80 orang sahabat.

Pembahasan Kedua: Kedudukan telaga di hari kiamat

Kedudukan telaga di hari kiamat adalah untuk Nabi dan umatnya mendatanginya. Setiap Nabi memiliki telega masing-masing dan setiap umat mendatangi telaga nabinya masing-masing.

Yang mendatangi telaga Nabi Muhammad hanya umatnya saja. Dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim, ada sekelompok orang mendatangi telaga lalu mereka diusir dari telaga. Nabi berkata. “Umatku, umatku“, pada sebagian riwayat “Sahabatku, sahabatku“. Kalimat “sahabat” digunakan oleh orang Syiah bahwa sebagaian sahabat ada yang kafir. Akan tetapi kata “sahabat” bermakna siapa yang diatas tuntunan Nabi Muhammad. Dikatakan kepada beliau “Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka ada-adakan setelah mu“. Hal ini termasuk orang yang murtad, pelaku bid’ah, dan pelaku dosa besar.

Para ulama berkata mengenai sebab-sebab mendapatkan telaga rasulullah:

  1. Orang yang bertauhid.
  2. Tidak pernah membuat perkara baru dalam agama.
  3. Bersihkan hatinya dari kebencian kepada para sahabat.
  4. Menghindarkan diri dari berucap atas nama Allah tanpa ilmu.
  5. Menjauhkan diri dari dosa-dosa besar
  6. Selalu bertaubat dan beristigfar.

Pembahasan Ketiga: Sifat-Sifat Telaga

  • Lebarnya sama dengan panjangnya (segi empat)
  • Perjalanan satu bulan.

Riwayat lain perjalan dari AIla ke Son’a atau kota lainnya. Nabi Muhammad menjawab sesuai dengan kota yang dikenal oleh orang yang bertanya. Akan tetapi Imam Ahmad memilih ukuran yang bisa dipahami semua orang yaitu satu bulan perjalanan.

Telaga berada diatas bumi yang telah diganti. Ketika kiamat langit dan bumi hancur dan diganti dengan yang semisal dengannya. Berdasarkan firman Allah:

يَوْمَ تُبَدَّلُ ٱلْأَرْضُ غَيْرَ ٱلْأَرْضِ وَٱلسَّمَـٰوَٰتُ ۖ وَبَرَزُوا۟ لِلَّهِ ٱلْوَٰحِدِ ٱلْقَهَّارِ

(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain, dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Ibrahim: 48)

  • Bejana-bejana yang ada di telaga

Bejananya sejumlah bintang dilangit. Memberikan makna sangat banyak, dan indah bercahaya.

  • Warnya lebih putuh dari susu
  • Rasanya lebih manis daripada madu
  • Baunya lebih harum dari kasturi
  • Warnya lebih mengkilat dari perak.
  • Siapa yang minum darinya satu kali tegak, maka tidak akan haus selama-lamanya.

Pembahasan Keempat: Letak Telaga Rasulullah

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai letak telaga: apakah sebelum as-shirat atau setelah as-shirat. Yang benarnya adalah sebelum as-shirat. Yang berpendapat ini juga ada ada dua pendapat apakah sebelum timbangan atau sesudah timbangan. Di tarjih bahwa tempatnya sebelum timbangan bahkan sebelum syafaat dipadang mahsyar.

Wallahu Ta’lla ‘alam

Beriman dengan Mizan dan Allah berbicara kepada hamba pada hari Kiamat.

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Note: tulisan dengan cetakan tebal-miring adalah perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.

Beriman dengan Mizan pada hari Kiamat

Imam Ahmad berkata, Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah:

Beriman dengan mizan (timbangan amal) pada hari kiamat, sebagaimana disebutkan dalam hadits seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, dan beratnya tidaklah seberat satu sayap lalat.

Dan akan ditimbang amalan para hamba sebagaimana disebutkan dalam atsar, maka wajib bagi kita untuk beriman dan membenarkannya, serta berpaling dari orang-orang yang menentangnya serta (kita harus) meninggalkan perdebatan. Sesungguhnya para hamba akan berbicara dengan Allah pada hari kiamat tanpa adanya penerjemah antara mereka dengan Allah dan kita wajib mengimaninya.

Penjelasan:

Hal ini adalah kesepakatan Imam ahli sunnah. Tidak ada yang menigingkari kecuali orang-orang Mu’tazilah. Mereka mentakwil mizan adalah keadilan.

Pembahasan 1: Dalil tentang adanya timbangan pada hari kiamat

Dalam Al-Quran dan dalam Hadits, diantaranya

Allah  berfirman:

وَنَضَعُ ٱلْمَوَٰزِينَ ٱلْقِسْطَ لِيَوْمِ ٱلْقِيَـٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌۭ شَيْـًۭٔا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍۢ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَـٰسِبِينَ

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun, pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (Al-Anbiya: 47)

فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَٰزِينُهُۥ ٦ فَهُوَ فِى عِيشَةٍۢ رَّاضِيَةٍۢ ٧ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَٰزِينُهُۥ ٨ فَأُمُّهُۥ هَاوِيَةٌۭ ٩ وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا هِيَهْ ١٠ نَارٌ حَامِيَةٌۢ ١١

Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hāwiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hāwiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al-Qari’ah: 6-11)

وَٱلْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ ٱلْحَقُّ ۚ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَٰزِينُهُۥ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ٨ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَٰزِينُهُۥ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓا۟ أَنفُسَهُم بِمَا كَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يَظْلِمُونَ ٩

Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 8-9)

Dalam hadits Rasululllah ﷺ :

Hadits Abu Malik Al-Ashari riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ  bersabda: “Suci (Kesucian) sebagaian dari keimanan, kalimat Alhamdulillah pahalanya memenuhi timbangan, Kalimat Subhanallah Walhamdulillah dua kalimat ini pahalanya memenuhi langit dan bumi

Dalam As-Shahihain dari Bukhairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda “Ada dua kalimat, ringan diucapkan oleh lisan, sangat berat ditimbangan, dan dua kalimat ini sangat dicintai oleh Allah, yaitu Subhanallah Wabihamdihi, Subhanallahi Al-Adzim

Pembahasan 2: Apa-Apa saja yang ditimbang di hari Akhir.

Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, “Akan didatangkan seorang lelaki gemuk pada hari kiamat, ternyata timbangannya tidak seberat sayap nyamuk“.

Dan ditimbang amalan hamba“. Sehingga Imam Ahamd menyebutkan dua yang ditimbang yaitu orangnya dan amalannya.

Pendapat yang ketiga adalah bahwa yang ditimbangan adalah catatan-catatan amalan. Yang dikuatkan oleh Syeikh Bin Baz Rahimahullah Ta’alla adalah dalil-dalil mengenai timbangan, menunjukan tiga hal: amalan, catatan amalan, dan pelaku amalan.

Hadits mengenai Ibnu Mas’ud yang betisnya terlihat kecil, Nabi ﷺ bersabda “Tidak kah kalian tahu bahwa betis Ibnu Mas’ud ini, lebih berat ditimbangan Allah Ta’alla dari gunung Uhud

Hadits mengenai catatan alaman dalam Riawayat Imam Ahmad dan selainnya dari Abdulah bin Amr bin Ash Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, “Didatangkan seorang lelaki pada hari kiamat diatas kepala manusia (disaksikan manusia), ditujukan kepadanya amalan-amalannya. Maka dihamparkan untuknya 99 gulungan dosa, setiap gulungan dosa panjangnya sejauh mata memandang, satu persatu ditanyakan kepadanya dia mengingat dan membenarkannya.” Allah berfirman, “apakah malaikat telah mendholimimu?”, dia berkata “tidak”, kemudian Allah bertanya “Apakah kamu punya kebaikan?”. Dia menjawab “tidak”. Kemudian Allah berfirman “Bahkan kamu miliki kebaikan disisi kami“. Maka dikeluarkanlah satu kartu yang tertulis kalimat La Illaha Illallah, Muhammad Rasulullah. Allah berfirman “Saksikanlah timbangan mu“, Maka dia menyaksikan timbanganya. Diletakan 99 gulungan dosa di atas satu daun timbangan dan satu kartu diatas daun timbangan yang lainnya. Ternyata 99 gulungan dosa terhempas keatas. Dan satu kartu tersebut lebih berat.

Hadits mengenai yang ditimbangan amalan-amalan sangat banyak.

Pembahasan 3: Bagaimana Timbangan pada Hari Akhir.

Sejumlah Ulama berkata bahwa Al-Mizan memiliki dua daun timbangan, yang membandingkan kebaikan dan kejelekan. Yang mana yang ebih berat. Sebagian ulama menegaskan bahwa ditenganya memiliki lisan (tiang penyangga). Dalilnya sebagaimana hadits dar Abdulah bin Amr Bin Ash diatas.

Berapakah jumlah timbangan itu? Terdapat dua pendapat: jumlahnya satu dan jumlahnya banyak. Dikebanyakan ayat dalam Al-quran ditulis dengan jamak. Ualama yang mengatakan satu bedalila bahwa timbangannya satu tapi di jamak karena amalan yang ditimbang banyak.

وَٱلْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ ٱلْحَقُّ ۚ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَٰزِينُهُۥ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ٨ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَٰزِينُهُۥ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓا۟ أَنفُسَهُم بِمَا كَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يَظْلِمُونَ ٩

Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 8-9)

Dalam ayat tersebut dikatakan timbanganya banyak. Lafdz timbangan dalam bentuk jamak “Mawajin“. Sehingga pendapat ini lebih kuat.

Allah Berbicara dengan Hamba-Nya di hari kiamat

Imam Ahmad berkata:

Sesungguhnya para hamba akan berbicara dengan Allah pada hari kiamat tanpa adanya penerjemah antara mereka dengan Allah dan kita wajib mengimaninya.

Penerjemah bisa bermakna menerjemah atau menafsirkan.

Hal ini cabang dari pembahasan Allah  mempunyai sifat kallam (berbicara). Allah  berbicara kepada Nabi Musa, Nabi Muhammad (pada Mi’raz), Nabi Adam. Juga berbicara melalui mimpi kepada para Nabi. Allah berbicara melalui perantara Jibril. Allah berbicara pada hamba-hambanya dihari kiamat.

Hadits Adi bin Hathim riwayat Al-Bukhariy dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allah (Ar-Rahman) berbicara langsung kepadanya, tidak ada perantara antara dia dan Allah. Dia melihat kesebelah kananya, Dia tidak melihat kecuali apa yang dikedepankan Amalan Baik. Dia meliaht kesebelah kirinya. Dia tidak melihat kecuali amalan kejelelekan yang telah dialakukan. Dia melihat kedepannya, dia tidak melihat kecuali Neraka Jahanam“. Diakhir hadits “Takutlah kalian akan neraka walaupun berinfak dengan sepotong kurma“.

Allah berbicara kepada hamba di hisab, setelah neraka Jahanam didatangkan.

Urutan Kejadian hari kiamat: Dibangkitkan dipadang mahsyar, Telaga, Syafaat Udma, Hisab disegerakan, Datang Malaikat beshaf-shaf, Kemudian didatangkan neraka Jahanam (dalam surat Al-Fajr).

Dari Ibnu Mas’ud dalam Riwayat Imam Muslim “Didatangkan neraka jahanam diikat dengan 70 ribu tali. Setiap tali ditarik oleh 70 ribu malaikat“.

Suara neraka terdengar sangat besar. Allah  berfirman:

إِذَا رَأَتْهُم مِّن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍۢ سَمِعُوا۟ لَهَا تَغَيُّظًۭا وَزَفِيرًۭا

“Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya.” (Al-Furqan: 12)

Wallahu Ta’lla ‘alam

Melihat Allah ‘Azza Wa Jalla

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Ushulus Sunnah Imam Ahmad

  • Penulis: Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah Ta’alla
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman audio kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Melihat Allah ‘Azza Wa Jalla

Imam Ahmad berkata, Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah:

Beriman dengan ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits-hadits yang shahih.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sungguh telah melihat Rabbnya, hal ini telah ma’tsur dari Rasulullah diriwayatkan oleh Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, diriwayatkan pula oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihram dari Ibnu Abbas, dan kita memahami hadits ini sesuai dengan zhahirnya sebagaimana datangnya dari Rasulullah dan berbicara (tanpa ilmu) dalam hal ini adalah bid’ah, akan tetapi kita wajib beriman dengannya sebagaimana zhahirnya dan kita tidak berdebat dengan seorang pun dalam masalah ini.

Penjelasan:

Pembahasan 1: Melihat Allah pada hari kiamat.

Ahli sunnah menyepakati bahwa bisa melihat Allah pada hari kiamat. Adapun melihat Allah di dunia dalam keadaan tidak tidur adalah sesuatu yang mustahil. Hal ini adalah kesepakatan para ulama. Bahkan sebagian as-salaf berpendapat apabila melihat Allah dalam keadaan terjaga bisa mengeluarkannya dari Islam. Hal ini dikarenakan menyelisihi Al-Qur’an dan hadits Rasulullah.

Sebagaimana Hadits dari Jabir dalam riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda “Ketahuilah bahwa kalian ini tidak akan melihat Rabb kalian sampai kalian mati”.

Apabila dalam keadaan tidur dimungkinkan melihat Allah. Nabi ﷺ pernah melihat Allah didalam mimpinya.

Beberapa dalil mengenai melihat Allah di hari kiamat:

Dalil Ke-1: Al-Qur’an Surat Al-Qiyamah Ayat 22-23:

وُجُوهٌۭ يَوْمَئِذٍۢ نَّاضِرَةٌ ٢٢ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌۭ ٢٣

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nyalah mereka melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23).

Dalil Ke-2: Al-Qur’an Surat Al-Mutaffiffin Ayat 15:

كَلَّآ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍۢ لَّمَحْجُوبُونَ

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang kafir) pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (Al-Mutaffifin: 15)

Apabila orang kafir terhalang melihat Allah, maka orang muslim tidak terhalang melihat Allah.

Dalil Ke-3: Al-Qur’an Surat Yunus Ayat 26:

 لِّلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ ٱلْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌۭ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌۭ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ أَصْحَـٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَـٰلِدُونَ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Yunus: 26)

Kata “tambahannya” ditafsirkan dalam hadits Riwayat Muslim, adalah mereka melihat kepada wajah Allah ﷻ. Dalam Riwayat, ketika penduduk surga telah masuk ke dalam surga, maka Allah ﷻ berfirman kepada mereka, “Ingingkah kalian aku tambah?”, maka mereka berkata kami sudah dimuliakan dengan surga ini. Maka Allah ﷻ menyingkap tirai dan merekapun melihat Allah.

Dalil Ke-4: Al-Qur’an Surat Al-Ahzab Ayat 44:

تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُۥ سَلَـٰمٌۭ ۚ وَأَعَدَّ لَهُمْ أَجْرًۭا كَرِيمًۭا

Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah, “Salām”1 dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.” (Al-Ahzab: 44)

Liqo bisa bermakna menghadap kepada Allah atau melihat Allah. Akan tetapi Liqo pada ayat ini hanya ditafsirkan dengan satu penafsiran yaitu melihat dengan mata kepala kepada Allah.

Dalil Ke-5: Al-Qur’an surat Al-‘Araf ayat 143

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِى وَلَـٰكِنِ ٱنظُرْ إِلَى ٱلْجَبَلِ فَإِنِ ٱسْتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوْفَ تَرَىٰنِى ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّۭا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًۭا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَـٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhan-ku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhan-nya menampakkan diri kepada gunung itu,1 dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Al-’Araf: 143)

Lan tarauni (engkau tidak akan melihatku). Ahli bid’ah berdalil dengan ayat ini bahwa Allah tidak akan dilihat selama-lamanya dikarenakan adakata “Lan” yang mereka artikan selama-lamatnya. Akan tetapi ahli Bahasa berkata bahwa kata “Lan” bisa dua arti yaitu: menunjukan selama-lamanya dan tidak selama-lamanya.

Mata manusia tidak akan sanggup melihat keagungan wajah Allah di dunia. Akan tetapi diakhirat Allah membuat kekuatan untuk dapat melihat-Nya.

Kaidah: Ahlul bid’ah apabila berdalil tentang sesuatu pasti dalam dalil tu akan akan ada bantahan untuk mereka sendiri.

Dalil Ke-6: Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 103

لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَـٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَـٰرَ ۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dia-lah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 103)

Latudrikuhul absor”: Allah itu tidak bisa dilingkup oleh pandangan mata. Dia Allah yang melingkup pandangan mata. Dengan dalil ini mereka ingkari melihat Allah pada hari kiamat. Tapi pendalilan ini lemah. Bahkan dalam ayat ini ada dalil bahwa Allah akan dilihat pada hari kiamat. Hal ini dikarenakan kalimat “idrak” dalam Bahasa arab adalah melihat dari seluruh sudutnya. Apabila hanya melihat sebagian sudut saja maka dikatakan “ru’yah”. Dalam ayat ini disebut idrak yang memang tidak bisa melihat Allah dari seluruh sudutnya. Yang hanya bisa dilhat adalah wajah Allah.

Dalil idrak melihat keseluruhan dan ru’ya melihat Sebagian, yaitu dalam Al-Qur’an surat Ash-Shu’ara tentang kisah nabi musa dikejar firaun dan bala tentaranya.  Ketika Nabi Musa sudah jauh didepan, mereka dikejar firuan. Begitu dua kelompok sudah saling melihat (ru’ya). Maka musa berkata sebentar lagi kita akan “idrak” yaitu dikumpul dari segala penjuru.

Dalil Ke-7 Hadits Rasulullah “Kalian semua akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama. Kalian tidak akan terhalangi dalam melihat-Nya.

Demikian Ketika hari kiamat akan melihat Allah dengan sangat jelas tidak ada yang menutupinya. Tapi tidak kita serupakan Allah dengan Bulan. Hal ini hanya perumpamaan.

Pembahasan 2: Nabi melihat Rabbnya.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu menyebutkan bahwa Nabi ﷺ melihat Rabbnya. “Aku melihat Rabbku di surah yang paling bagus”.

Aisha Radhiallahu ‘Anha berkata “Barang siapa yang berkata bahwa Nabi Muhammad melihat Rabbnya, maka sungguh mereka telah membuat kedustaan yang sangat besar kepada Allah”. Aisha menegaskan bahwa Nabi tidak pernah melihat Rabbnya.

Adapun Ibnu Abbas menerangkan bahwa Nabi ﷺ melihat Rabbnya. Maka penetapan dari Ibnu Abbas bertentangan apa yang disebut oleh Aisha secara dhohirnya. Adapun hakikatnya tidak bertentangan. Hal ini dikarenakan Aisha mengingkari pandangan dengan mata kepala. Adapun Ibnu Abbas ditetapkan bahwa Nabi ﷺ melihat dengan hatinya. Sehingga tidak ada pertentangan diantara dua hal ini.

Akan tetapi Ahlul Bid’ah berkata bahwa Ahlul Sunnah juga berbeda pendapat mengenai masalah aqidah. Jawabannya adalah bahwa ini adalah masalah cabang, Adapun masalah pokoknya adalah Allah akan dilihat pada hari kiamat yang tidak ada silang pendapat.

Melihat Allah pada hari kiamat pada dua tempat: (1) padang mahsyar dan (2) surga. Hanya kaum mukminin saja yang dapat melihat Allah disurga. Di padang mahsyar terdapat perbedaan pendapat apakah kaum musiryikin dan munafikin dapat melihat Allah. Yang benar bahwa orang kafir tidak melihat Allah sama sekali (QS. Al-Mutaffiffin ayat 15). Adapun kaum munafikin dalam hadits dikatakan bahwa mereka melihat Allah akan tetapi mereka melihatnya bukan diatas surah yang Allah perlihatkan pada orang-orang yang beriman. Akan tetapi kaum muanfikin melihat Allah dengan rasa kegelisahan karena akan diungkap kedustaan mereka.

Wallahu Ta’lla ‘alam