Ali ‘Imran Ayat 7: Allah ﷻ menurunkan Al-Qur’an yang mencakup ayat yang Muhkamat dan Mutasyabihat

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Firman Allah:

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ مِنْهُ ءَايَـٰتٌۭ مُّحْكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌۭ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌۭ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّۭ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ

Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Al-Qur`ān) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat1, itulah pokok-pokok isi Al-Qur`ān dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat2. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 7)

Allah ﷻ memberitakan tentang keagunganNya dan kesempurnaan pengaturanNya, yakni bahwa Dia-lah yang Esa yang menurunkan kitab yang agung ini, yang tidak ditemukan dan tidak akan ditemukan tandingannya dan semisalnya dalam petunjuk, keindahan bahasa, kemukjizatan, dan kebaikannya bagi makhluk. Dan bahwasanya kitab ini mencakup yang muhkam, yakni yang jelas sekali artinya, yang terang, yang tidak samar tentangnya, dan juga mencakup ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung beberapa arti yang tidak ada satu pun dari arti-arti itu yang lebih kuat kalau hanya berpegang dengan ayat tersebut hingga disatukan kepada ayat yang muhkam. Orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, penyimpangan dan penyelewengan karena niat mereka yang buruk justru mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih tersebut. Mereka mengambilnya sebagai dalil demi memperkuat tulisan-tulisan mereka yang batil dan pemikiran-pemikiran mereka yang palsu, hanya untuk mengobarkan fitnah dan penyimpangan terhadap kitabullah, serta menjadikannya sebagai tafsiran untuknya sesuai dengan jalan dan madzhab mereka yang akhirnya mereka itu tersesat dan menyesatkan orang lain.

Adapun orang-orang yang berilmu lagi mendalam ilmunya yang ilmu dan keyakinan telah mencapai hati mereka, lalu membuahkan bagi mereka perbuatan dan pengetahuan, maka mereka ini mengetahui bahwa al-Quran itu semuanya dari sisi Allah, dan bahwa semua yang ada di dalamnya adalah haq, baik yang mutasyabih maupun yang muhkam, dan bahwasanya yang haq itu tidak akan saling bertentangan dan tidak saling berbeda. Dan karena mereka mengetahui dengan jelas bahwa ayat-ayat yang muhkam mengandung makna yang tegas dan jelas, maka mereka mengem-balikan ayat-ayat mustasyabih yang sering menimbulkan kebingungan bagi orang-orang yang kurang ilmu dan pengetahuan, kepada yang muhkam. Mereka mengembalikan ayat-ayat yang mutasyabih kepada ayat-ayat yang muhkam hingga akhirnya seluruhnya menjadi muhkam dan mereka berkata, اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”

وَمَا يَذَّكَّرُ “Dan tidak dapat mengambil pelajaran, (dari padanya),” yakni perkara-perkara yang bermanfaat dan ilmu pengetahuan yang mendalam, اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ “melainkan orang-orang yang berakal,” yakni orang-orang yang memiliki akal yang cerdas.

Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sikap ini adalah tanda orang-orang yang berakal, dan bahwa mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih adalah sifat orang-orang yang pemikiran-nya sakit, akalnya rendah, dan tujuan-tujuannya yang buruk.

Dan FirmanNya, وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ “Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah,” apabila yang dimaksud dari takwil itu adalah pengetahuan tentang akibat dari suatu perkara, hasilnya, serta mengarah kepadanya, maka wajiblah berpatokan dengan, اِلَّا اللّٰهُ “melainkan Allah;” di mana hanya Allah saja yang melakukan takwil dengan makna tersebut. Namun apabila takwil tersebut dimaksudkan dengan makna tafsir dan ilmu tentang arti dari perkataan tersebut, maka yang lebih baik adalah menyam-bung dengan kalimat sebelumnya, hingga hal ini menjadi sebuah pujian terhadap orang-orang yang ilmunya mendalam, yaitu bah-wasanya mereka mengetahui bagaimana menempatkan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, baik yang muhkamnya maupun yang mutasyabihnya.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Al-Baqarah 276: Allah ﷻ Memusnahkan Riba dan Menyuburkan Sedekah

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah tafsir Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 276, dalam Tafsir As-Sa’di, oleh Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Allah ﷻ Memusnahkan Riba dan Menyuburkan Sedekah

يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 276)

Kemudian Allah ﷻ mengabarkan bahwasanya Dia akan memusnahkan hasil usaha orang-orang yang berpraktik riba dan menyuburkan sedekah orang-orang yang berinfak.

Ini berlawanan dengan apa yang terbersit pada pikiran sebagian besar orang bahwa berinfak itu akan mengurangi harta dan bahwa riba itu akan menambahnya.

Karena materi rizki dan mendapatkan buah hasilnya adalah dari Allah ﷻ, dan apa yang ada di sisi Allah ﷻ tidaklah bisa didapatkan kecuali dengan ketaatan kepadaNya dan melaksanakan perintahNya.

Maka orang yang lancang melakukan praktik riba, Allah ﷻ akan menghukumnya dengan apa yang berlawanan dengan tujuannya. Ini telah terbukti dan dapat dilihat dalam praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah ﷻ? وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ “Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa,” yaitu orang yang kafir terhadap nikmat Allah ﷻ, mengingkari karunia Rabbnya dan berbuat dosa dengan selalu melakukan kemaksiatan.


Pemahaman ayat ini adalah bahwa Allah ﷻ sangat menyukai orang yang gemar bersyukur terhadap nikmat-nikmat, bertaubat dari segala dosa dan kesalahan.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

At-Tagabun 11: Semua Musibah terjadi dengan Izin Allah

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah tafsir Al-Quran Surat At-Tagabun Ayat 11, dalam Tafsir As-Sa’di, oleh Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Semua Musibah terjadi dengan izin Allah

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Tagabun: 11)

Allah ﷻ berfirman, مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah.” Ini berlaku secara umum untuk berbagai musibah yang menimpa diri, harta, anak, orang-orang tercinta, dan lainnya.

Semua yang menimpa manusia berdasarkan Qadha` dan Qadar Allah ﷻ. Allah ﷻ telah mengetahui hal itu sebelumnya, penaNya telah menulis semua takdir dan ketentuan. Dengan pena itu, kehendak dan hikmahNya berlaku.

Namun yang amat penting adalah apakah manusia menunaikan tugasnya dalam hal Qadha` dan Qadar ataukah tidak? Jika ia menunaikannya, maka ia akan mendapatkan pahala yang besar dan indah, baik di dunia maupun di akhirat. Jika percaya bahwa semua yang menimpanya berasal dari sisi Allah ﷻ, merelakannya, dan menyerahkan masalahnya, maka Allah ﷻ akan menunjukkan hatinya sehingga ia akan merasa tenang dan tidak gentar ketika tertimpa berbagai musibah, tidak seperti yang terjadi pada orang yang hatinya tidak diberi petunjuk oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ memberikan keteguhan pada orang yang hatinya diberi petun-juk ketika musibah datang serta bersikap sabar. Dengan demikian, ia mendapatkan pahala besar di samping pahala besar yang disimpan Allah ﷻ pada Hari Pembalasan kelak. Ini sejalan dengan Firman Allah ﷻ,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).

Dari sini dapat diketahui, bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah ﷻ pada saat tertimpa musibah karena tidak memahami takdir dan ketentuan Allah ﷻ namun hanya terbatas pada sebab-sebabnya saja, maka ia telah dihinakan, dan Allahpun menyerahkan urusannya itu pada dirinya sendiri. Apabila seorang hamba telah diserahkan pada dirinya sendiri padahal jiwa manusia itu hanya bisa berkeluh kesah dan bersedih, maka hal itu merupakan siksaan yang disegerakan bagi seorang hamba sebelum siksaan akhirat nanti karena tidak menunaikan kewajiban bersabar.

Inilah yang berkaitan dengan Firman Allah ﷻ, وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya,” yakni ketika tertimpa musibah. Adapun yang berkaitan dengan keumuman tekstual ayat, Allah ﷻ memberitahukan bahwa setiap orang yang beriman (maksudnya, dengan keimanan sesuai yang diperintahkan yaitu beriman kepada Allah ﷻ, malaikat, kitab, rasul, Hari Akhir, dan takdir, baik dan buruknya) dan membuktikan kebenaran imannya dengan menunaikan tuntutan-tuntutan serta kewajiban-kewajiban iman, faktor yang dilakukan oleh seorang hamba seperti ini merupakan faktor terbesar hidayah Allah ﷻ dalam perkataan, perbuatan, dan di segala halnya, dan juga dalam ilmu dan amalnya. Ini adalah balasan terbaik yang diberikan Allah bagi orang-orang yang beriman. Sebagaimana yang disebutkan dalam Firman Allah ﷻ ketika memberitahukan bahwa Dia meneguhkan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Asal mula keteguhan adalah keteguhan hati, kesabaran, dan keyakinannya ketika tertimpa berbagai musibah. Firman Allah ﷻ yang dimaksud adalah,


يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27).


Orang yang beriman adalah orang yang hatinya mendapatkan hidayah dan paling kuat ketika tertimpa berbagai musibah yang merisaukan. Hal itu dikarenakan keimanan yang tertanam pada diri mereka. Tafsir As-Sa’di

(At-Tagabun:11)

Wallahu A’lam

Al-Baqarah 264-266: Tiga Perumpamaan Orang dalam Beramal

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah tafsir Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 264-266, dalam Tafsir As-Sa’di, oleh Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Perumpamaan Orang dalam Beramal

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَـٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ ۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌۭ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٌۭ فَتَرَكَهُۥ صَلْدًۭا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَىْءٍۢ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَـٰفِرِينَ ٢٦٤ وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمُ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ وَتَثْبِيتًۭا مِّنْ أَنفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍۭ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌۭ فَـَٔاتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِن لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌۭ فَطَلٌّۭ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ٢٦٥ أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَن تَكُونَ لَهُۥ جَنَّةٌۭ مِّن نَّخِيلٍۢ وَأَعْنَابٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ لَهُۥ فِيهَا مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ وَأَصَابَهُ ٱلْكِبَرُ وَلَهُۥ ذُرِّيَّةٌۭ ضُعَفَآءُ فَأَصَابَهَآ إِعْصَارٌۭ فِيهِ نَارٌۭ فَٱحْتَرَقَتْ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْـَٔايَـٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ ٢٦٦

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai? Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu, sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.

Allah ﷻ membuat tiga perumpamaan dalam ayat-ayat ini, yaitu:

Pertama, untuk orang yang berinfak karena semata mengharap keridhaan Allah ﷻ dan tidak mengiringi nafkahnya itu dengan mengungkit-ungkit dan menyakiti orang yang menerima.

Kedua, untuk orang yang mengiringi infaknya dengan mengungkit-ungkit dan menyakiti (si penerima) dan

Ketiga, untuk orang yang riya.

Perumpamaan pertama, adalah tatkala infaknya diterima dan dilipat gandakan pahalanya karena terlahir dari keimanan dan keikhlasan yang total, ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ وَتَثْبِيْتًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ “karena mencari keridhaan Allah ﷻ dan untuk keteguhan jiwa mereka,” artinya, mereka menafkahkan harta di mana mereka teguh hati (dalam memberi nafkah) dan lapang dada serta penuh kejujuran. Maka perumpama-an perbuatan ini, adalah كَمَثَلِ جَنَّةٍۢ بِرَبْوَةٍ “seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi,” yaitu, tempat yang tinggi yang sangat baik diterpa angin dan matahari, dan air akan sangat cukup padanya. Karena apabila hujan yang deras tidak menimpanya, paling tidak ia akan disirami hujan rintik yang mencukupinya karena areanya yang baik dan tanahnya yang gembur, serta adanya sebab-sebab yang memenuhi perkembangan, keturunan, dan pembuahannya. Karena itu, فَاٰتَتْ اُكُلَهَا ضِعْفَيْنِۚ”maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat,” artinya, berlipat ganda. Taman (kebun) yang seperti itu adalah yang paling diinginkan oleh manusia, dan perbuatan yang mulia ini pun merupakan tingkatan yang paling tinggi.

Perumpamaan kedua, yaitu orang yang menafkahkan harta-nya karena Allah ﷻ kemudian ia mengiringi nafkahnya itu dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti penerimanya, atau ia melakukan suatu perbuatan yang dapat membatalkannya, maka yang seperti ini adalah sama dengan pemilik taman tadi, akan tetapi ia ditimpa oleh فَاَصَابَهَآ اِعْصَارٌ “angin keras,” yaitu, angin yang sangat kencang, فِيْهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ “yang mengandung api, lalu terbakarlah.” Padahal ia memiliki anak keturunan yang masih kecil-kecil lagi lemah, dan dia sendiri lemah yang telah tua renta.

Kondisi seperti ini adalah kondisi yang paling sulit, karena itu Allah ﷻ membuat perumpamaan ini dengan FirmanNya, اَيَوَدُّ اَحَدُكُمْ….” “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin…” hingga akhir ayat, dengan menggunakan rangkaian kalimat pertanyaan yang kengeriannya dapat dipahami secara benar oleh orang-orang yang menjadi sasaran pesan (ayat ini). Karena musnahnya dalam sekali waktu sekaligus setelah keindahan pepohonannya dan ranumnya buah-buahnya, maka itu menjadi musibah yang sangat besar. Kemudian terjadinya musibah yang tiba-tiba ini, sedangkan pemiliknya telah tua dan tidak mampu lagi bekerja, dan dia memiliki keturunan yang masih kecil-kecil yang tidak mampu membantunya dan meringankan bebannya adalah masalah lain.

Maka subyek dari perumpamaan ini yang telah beramal karena Allah ﷻ kemudian dia membatalkan amalannya itu dengan sikap yang menafikannya, menyerupai kondisi pemilik taman tadi yang terjadi padanya apa yang telah terjadi ketika kebutuhan-nya sangat mendesak kepadanya.

Perumpamaan ketiga, adalah orang yang ingin dilihat oleh orang lain, tidak disirami iman kepada Allah ﷻ dan tidak karena mengharap pahala di sisiNya, di mana Allah ﷻ mengumpamakan hatinya seperti batu licin yang di atasnya ada tanah. Orang yang riya itu mengira bahwa akan tumbuh tanaman darinya bila ditimpa hujan sebagaimana tanaman tumbuh di tanah yang subur. Akan tetapi itu adalah batu yang bila ditimpa hujan deras, maka lenyaplah apa yang ada di atas batu tersebut.
Hal ini adalah perumpamaan yang pas bagi hati orang yang riya yang tidak ada keimanan padanya, bahkan hati yang keras yang tidak akan lembut dan tidak khusyu’. Inilah amal perbuatannya dan infak-infaknya, tidaklah ada asasnya sama sekali yang mendasarinya dan juga tidak memiliki tujuan yang digapai, bahkan apa yang dilakukannya adalah batil karena tidak ada syaratnya.

Yang sebelumnya batal setelah adanya syarat, namun juga ada penghalangnya, sedang yang pertama diterima dan dilipat gandakan karena terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu keimanan dan keikhlasan niat, keteguhan (hati) dan terbebasnya dari penghalang-penghalang yang merusaknya.

Tiga perumpamaan ini sesuai untuk seluruh orang-orang yang beramal. Maka seorang hamba hendaklah menimbang diri-nya atau selainnya dengan timbangan-timbangan yang adil dan perumpamaan-perumpamaan yang sesuai tersebut.

وَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِۚ وَمَا يَعْقِلُهَآ اِلَّا الْعَالِمُوْنَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-Ankabut: 43).

Wallahu A’lam

Kisah Bani Nadhir (kelompok Yahudi) dalam Surat Al-Hasyr

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah tafsir Al-Quran Surat Al-Hasyr, dalam Tafsir As-Sa’di, oleh Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Surat ini dinamakan juga Surat Bani Nadhir. Mereka adalah sekelompok besar dari Yahudi yang bermukim di pinggiran kota Madinah pada saat Nabi ﷺ diutus. Ketika Nabi ﷺ diutus dan berhijrah ke Madinah, mereka kafir terhadap beliau seperti kufurnya sebagian besar kalangan Yahudi. Tujuh bulan seusai perang Badar, Rasulullah ﷺ mendatangi dan berbicara dengan mereka supaya mereka mau membantu menanggung denda pembunuhan orang-orang Kilabi yang dibunuh oleh Amr bin Umaiyah adh-Dhamri, mereka berkata, “Kami akan melakukannya wahai Abu Qasim! Silahkan duduk di sini, biar kami bisa memenuhi keperluanmu.” Kemudian mereka menepi satu sama lain (saling berbisik-bisik) dan setan pun membisikkan kesengsaraan yang telah ditakdirkan atas mereka. Mereka berencana membunuh Rasulullah ﷺ. Mereka berkata, “Siapa yang mau mengambil alat penggiling gandum ini dan dibawa naik ke atas lalu ditimpakan di atas kepala Muhammad hingga pecah?” Amr bin Jahhasy, orang yang paling celaka di antara mereka, berkata, “Aku.” Sallan bin Misykam berkata padanya, “Jangan kau lakukan, demi Allah, niat kalian ini akan diberitahukan padanya dan hal ini bisa membatalkan perjanjian antara kita dengannya.”

Wahyu langsung datang kepada Rasulullah ﷺ dari Rabbnya memberitahukan niat jahat yang akan dilakukan pada beliau, kemudian Rasulullah ﷺ langsung pergi menuju Madinah dan bertemu dengan para sahabat. Para sahabat berkata, “Anda pergi tapi kami tidak mengetahui kepergian Anda.” Rasulullah ﷺ kemudian memberitahukan niat buruk kaum Yahudi yang akan dilakukan pada beliau. Rasulullah ﷺ kemudian mengirim para sahabat untuk mengusir kaum Yahudi dari Madinah seraya bersabda, “Jangan biarkan mereka menempati Madinah bersamaku, mereka telah kuberi tempo selama sepuluh bulan, siapa pun yang aku temui setelah (pengusiran) ini, akan aku tebas lehernya.” Para sahabat pun melakukan persiapan penyerangan selama berhari-hari. Si munafik Abdullah bin Ubai bin Salul mengirim utusan untuk menemui orang-orang Yahudi seraya menyampaikan, “Jangan tinggalkan Madinah, karena aku memiliki pasukan sejumlah dua ribu orang yang akan membela kalian dan rela mati demi kalian. Bani Quraidhah dan sekutu kalian dari kalangan Ghathafan akan menolong kalian.” Pemimpin mereka, Huyay bin Akhtab amat menginginkan pesan yang disampaikan padanya, selanjutnya mendatangi Rasulullah ﷺ seraya berkata, “Sesungguhnya kami tidak akan keluar dari tempat kami, silahkan kamu berbuat apa saja semau kamu.” Rasulullah ﷺ pun bertakbir yang kemudian diikuti oleh para sahabat. Mereka pun pergi mendatangi kaum Yahudi, Ali bin Abi Thalib yang membawa bendera. Mereka berdiri di dekat benteng mereka dengan melempari tombak dan batu. Bani Quraidhah pun meninggalkan kaum Yahudi dan Abdullah bin Ubai serta sekutunya dari kalangan Ghathafan juga berkhianat. Rasulullah ﷺ lalu mengepung mereka dan menebang serta membakar pohon-pohon kurma mereka. Kaum Yahudi kemudian mengirim utusan menyampaikan pesan, “Kami akan keluar meninggalkan Madinah.” Maka beliau memutuskan agar mereka keluar darinya dengan hanya membawa diri mereka, anak-anak mereka, dan apa yang mampu dibawa oleh unta-unta mereka, kecuali senjata. Dan Rasulullah ﷺ menahan harta dan senjata mereka yang tersisa.

Harta fai` dari Bani Nadhir murni untuk Rasulullah ﷺ, para petugas yang beliau tetapkan, dan kepentingan-kepentingan kaum Muslimin. Rasulullah ﷺ tidak membagikan harta rampasan Bani Nadhir, karena Allah ﷻ telah memberikan harta rampasan perang Bani Nadhir kepada Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin tanpa menyerang Bani Nadhir dengan kuda maupun tunggangan lain. Mereka diusir ke Khaibar dan di kalangan mereka terdapat Huyay bin Akhtab pemimpin mereka. Beliau kemudian menguasai tanah dan kawasan mereka. Rasulullah ﷺ menahan persenjataan mereka. Jumlah senjata yang didapatkan sejumlah lima puluh baju besi, lima puluh topi besi dan tiga ratus empat puluh pedang. Inilah ringkasan kisahnya sebagaimana yang disebutkan oleh ahli sejarah.

Wallahu A’lam

Adh-Dhaariyat Ayat 24-37, Hikmah Kisah Tamu Ibrahim, Malaikat yang dimuliakan.

Tasir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir As-Sa’di

هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ ٢٤ إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَـٰمًۭا ۖ قَالَ سَلَـٰمٌۭ قَوْمٌۭ مُّنكَرُونَ ٢٥ فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍۢ سَمِينٍۢ ٢٦ فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ ٢٧ فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةًۭ ۖ قَالُوا۟ لَا تَخَفْ ۖ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَـٰمٍ عَلِيمٍۢ ٢٨ فَأَقْبَلَتِ ٱمْرَأَتُهُۥ فِى صَرَّةٍۢ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌۭ ٢٩ قَالُوا۟ كَذَٰلِكِ قَالَ رَبُّكِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْحَكِيمُ ٱلْعَلِيمُ ٣٠۞ قَالَ فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا ٱلْمُرْسَلُونَ ٣١ قَالُوٓا۟ إِنَّآ أُرْسِلْنَآ إِلَىٰ قَوْمٍۢ مُّجْرِمِينَ ٣٢ لِنُرْسِلَ عَلَيْهِمْ حِجَارَةًۭ مِّن طِينٍۢ ٣٣ مُّسَوَّمَةً عِندَ رَبِّكَ لِلْمُسْرِفِينَ ٣٤ فَأَخْرَجْنَا مَن كَانَ فِيهَا مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٣٥ فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍۢ مِّنَ ٱلْمُسْلِمِينَ ٣٦ وَتَرَكْنَا فِيهَآ ءَايَةًۭ لِّلَّذِينَ يَخَافُونَ ٱلْعَذَابَ ٱلْأَلِيمَ ٣٧

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrāhīm (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, “Salāman”. Ibrāhīm menjawab, “Salāmun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal”. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrāhīm lalu berkata, “Silakan kamu makan”. (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrāhīm merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Isḥāq). Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata, “(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul”. Mereka berkata, “Demikianlah Tuhan-mu memfirmankan. ” Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Ibrāhīm bertanya, “Apakah urusanmu, hai para utusan?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Lūṭ), agar kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah (yang keras), yang ditandai di sisi Tuhan-mu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas”1. Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Lūṭ itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang berserah diri1. Dan Kami tinggalkan pada negeri itu suatu tanda1 bagi orang-orang yang takut kepada siksa yang pedih. (QS. Adh-Dhaariyyat 24-37)

Didalam kisah ini terdapat beberapa hikmah dan hukum;

Pertama, di antara hikmah kisah yang dituturkan Allah subhanawataalla kepada hambaNya tentang orang-orang baik dan orang-orang keji adalah agar para hamba bisa mengambil pelajaran dari mereka dan sampai manakah kondisi mereka.

Kedua, keutamaan Nabi Ibrahim Alaihi Salam, kekasih Allah, dimana Allah memulai kisah kaum Nabi Luth dengan kisah nabi ibrahim yang menunjukan perhatian Allah terhadap kondisinya.

Ketiga, anjuran menjamu tamu. Menjamu tamu termasuk salah satu sunnah Nabi Ibrahim, di mana Allah memerintahkan Nabi Muhammad dan umatnya untuk mengikuti Agama Ibrahim. Kisah yang disebutkan Allah dalam topik ini adalah sebagai pujian dan sanjungan untuk Nabi Ibrahim

Keempat, tamu harus dihormati dengan berbagai macam penghormatan, baik dengan perkataan maupun perbuatan, sebab Allah menggambarkan tamu-tamu Ibrahim sebagai orang yang dimulaikan. Artinya mereka dimuliakan oleh Ibrahim. Allah menggambarkan bagaimana jamuan yang dilakukan Nabi Ibrahim, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dan para tamu Nabi Ibrahim juga dimuliakan disisi Allah.

Kelima, rumah Nabi Ibrahim menjadi tempat persinggahan tamu yang datang dimalam hari, sebab para tamu Ibrahim itu langsung masuk tanpa izin, namun menempuh cara beradab dengan memulai salam, kemudian Nabi Ibrahim membalas salam mereka secara lengkap dan sempurna. Balasan salam yang disebutkan Ibrahim berbentuk jumlah ismiyyah yang menunjukkan keteguhan dan ketetapan.

Keenam, anjuran untuk mengenal orang yang datang atau ketika terjadi semacam interaksi dengan seseorang, karena hal itu memilki banyak manfaat.

Ketujuh, sopan santun Nabi Ibrahim dan kelembutannya ketika berbicara karena beliau berkata “Kaum yang tidak dikenal” tidak berkata “Aku tidak mengeal kalian”, terdapat perbedaan jelas antara kedua kata tersebut.

Kedelapan, bersegera dalam menjamu tamu, sebab kebaikan yang paling utama adalah yang segera. Karena itulah Ibrahim segera menghidangkan jamuan makanan untuk para tamunya.

Kesembilan, hewan sembelihan yang sudah ada yang telah disiapkan untuk selain tamu sebelum tamu datang lalu disuguhkan untuk tamu bukan suatu penghinaan sama sekali, namun hal itu sebagai salah satu bentuk memuliakan tamu sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Allah sendiri memberitahukan bahwa para tamunya adalah terhormat.

Kesepuluh, Ibrahim adalah orang yang menjamu tamunya meski dia adalah kekasih Allah yang Maha Pengasih dan pemimpin pada orang yang menjamu tamu

Kesebelas, Ibrahim menyuguhkan makanan di tempat yang dekat dengan para tamu, tidak diletakan di tempat yang agak jauh dengan mengatakan “Silahkan” atau “Datangilah” karena hal itu lebih mudah dan lebih baik.

Kedua belas, melayani tamu dengan perkataan yang lembut khususnya ketika menghidangkan makanan, seperti yang dilakukan Ibrahim yang menyuguhkan dengan tutur kata lembut, “Apakah kalian tidak makan?” Bukan dngan tutur kata “Makanlah”, dan tutur kata lain yang lebih baik lagi, boleh menggunakan etika menawarkan makanan makanan untuk tamu dengan kata “Apakah kalian tidak makan?” “Apakah kaliam tidak mempersilahkan diri kalian?” Kami mendapatkan kemuliaan dan kalian berbuat baik terhadap kami …” atau kata-kata lain.

Ketiga belas, orang yang merasa takut pada seseorang karena adanya suatu sebab, maka yang ditakuti itu harus menghilangkan perasaan takutnya dengan menyebutkan sesuatu yang bia memberinya rasa aman dari rasa takut dan menentramkan kegelisahannya, sebagaiaman yang dikatakan oleh malaikat itu kepada Nabi Ibrahim ketika Nabi Ibrahim takut terhadap mereka, “Jangan takut”, kemudian mereka memberitahukan kabar gembira yang menyenangkan setelah sebelumnya Nabi Ibrahim ketakutan.

Keempat belas, Sarah istri Nabi Ibrahim, begitu gembira sehingga terjadilah apa yang terjadi, dengan memukul-mukul mukanya serta tingkah lakunya yang tidak seperti biasa.

Kelima belas, kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim dan isteri beliau berupa berita gembira akan lahirnya seorang putra yang alim.

Meninggalkan yang bermanfaat, diuji dengan kemudharatan.

Tafsir Al-Qur’an, oleh: Syaikh Abudurrahman bin Nashir as-Sa’di

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 101 dan 102, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan apabila kita meninggalkan sesuatu yang bermanfaat, Allah akan menguji kita dengan sesuatu yang menimbulkan kemadharatan. Contohnya: apabila kita meninggalkan kebenaran maka ujiannya adalah sesuatu yang menimbulkan kebathilan.

Begitulah kaum Yahudi, ketika kepada mereka diturunkan kitab (Taurat), mereka benci kepadanya. Sehingga mereka diuji dengan mengikuti apa yang dibaca oleh setan yang mengeluarkan sihir pada manusia.

Al-Baqarah Ayat 101: Kaum Yahudi benci kepada kitab mereka

Maksudnya, ketika Rasul yang mulia ini, Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, telah datang kepada mereka membawa kita yang agung dengan kebenaran yang sesuai dengan apa yang ada pada mereka, sedang mereka mengaku bahwa mereka berpegang teguh kepada kitab mereka tersebut, lalu ketika mereka mengingkari Rasul tersebut dan apa yang beliau bawa, maka “orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah” yang diturunkan kepada mereka, maksudnya mereka melemparnya karena benci terhadapnya, “ke belakang (pungung)nya”. Ini adalah sikap parah dalam pengingkaran, seolah-olah mereka, dengan tindakan itu, adalah orang-orang yang tidak tahu, padahal merekan mengetahui kebenarannya dan hakikat kitab yang dibawanya. Maka jelaslah dengan hal ini bahwa kelompok ini berasal dari ahli kitab yang mana kitab tersebut tidak akan tetap berada ditangan mereka selama mereka tidak beriman kepada Rasul tersebut, maka kekufuran mereka kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah sebuah pengingkaran terhadap kitab mereka sendiri, tanpa mereka sadari.

Ketika hukum takdir dan hikmah Tuhan bahwa barangsiapa yang meninggalkan suatu hal yang bermanfaat baginya dan sangat mungkin dia mengambil manfaat darinya, namun tidak dia manfaatkan, niscaya dia akan dijuji dengan disibukkan oleh suatu hal yang justru memudaratkannya, maka barangsiapa yang meninggalkan penyembahan kepada Dzat yang Maha Pengasih, niscaya dia diuji dengan menyembah berhala, dan barangsiapa yang meninggalkan cinta kepada Allah, taku dan berharap kepadaNya, niscyaa akan diuji dengan cinta kepada selain Allah, takut dan mengharapkannya, barangsiapa yang tidak mengeluarkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan mengeluarkannya dalam ketaatan kepada setan, barangsiapa yang meninggalkan kepasrahan hanya kepada Rabbnya, niscaya ia akan diuji dengan kepasrahan pada hamba-hambaNya, dan barangsiapa yang meninggalkan kebenaran, niscaya dia akan diuji dengan kebatilan.

Al-Baqarah Ayat 102: Kaum Yahudi diuji dengan mengikuti apa yang di baca setan (sihir).

Seperti itu juga, orang-orang Yahudi ketika mereka melemparkan Kitabullah, mereka akhirnya mengikuti apa yang dibaca oleh setan dan diciptakan sebuah sihir pada masa kerejaan Sulaiman, dimana setan-setan mengeluarkan sihir kepada manusia hingga mereka menyangka bahwasannya Sulaiman memakai sihir dan menggunakannya untuk mendapatkan kerajaan yang besar. Mereka adalah pendusta dalam hal itu karena Sulaiman tidak memakainnya, karena Allah telah menyucikannya dalam FirmanNya “Padahal Sulaiman tidaklah kafir”, yakni mempelajari sihir karena dia tidak mempelajarinya, “akan tetapi setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)” dalam hal itu, “mereka mengerjakan sihir kepada manusia” karena usaha penyesatan mereka dan semangat mereka untuk menggoda anak Adam, kaum Yahudi juga mengikuti sihir yang diturunkan oleh dua malaikat yang berada di Babil, negeri Irak di mana sihir diturunkan kepada mereka sebagai ujian dan cobaan dari Allah untuk hamba-hambaNya, lalu mereka berdua mengajarkan sihir kepada orang-orang, “sedang keduanya tidak mengajarkan kepada siapa pun hinga” mereka bedua menasihatinya, dan “berkata ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir’.” Maksudnya, janganlah kamu mempelajari sihir, karena sihir itu adalah kekufuran, mereka berdua melarangnya mempelajari sihir seraya mengabarkan tentang tingkatannya. Pengajaran setan akan sihir dalam bentuk pengaburan dan penyesatan lalu menisbatkan dan melariskannya kepada seorang yang telah disucikan oleh Allah dari sihir, yaitu Nabi Sulaiman alaihi salam.

to be continue…

Pembagian Waris

Tafsir Al-Qur’an, oleh: Syaikh Abudurrahman bin Nashir as-Sa’di

Ada 3 ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang aturan pembagian warisan. Ketiga ayat tersebut ada dalam Surat An-Nisa ayat 11, ayat 12, dan ayat 176:

Pertama: Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 11

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua1, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Kedua: Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 12

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris) (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Ketiga: Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 176

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah) Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah (yaitu), jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan”. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat-ayat ini dan ayat pada akhir surat ini adalah ayat-ayat tentang warisan yang mengandung penjelasannya, ditambah hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu anhu yang termaktub dalam Shahih al-Bukhari:

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat dengan mayit.” (HR. Bukhari, no. 6746 dan Muslim, no. 1615)

Semua dalil di atas mengandung sbeagaian besar hukum-hukum warisan, bahkan seluruhnya sebagaimana yang akan anda liat nantinya, kecuali warisan untuk nenek, (ibunya ibu atau ibunya bapak), karena tidak disebutkan dalam dalil diatas. Akan tetapi terdapat riwayat shahih dalam as-Sunan dari al-Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah bahwasannya Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam memberikan kepada nenek seperenam ditambang dengan adanya ijma’ para ulama atas hal tersebut.

Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 11

Firman Allah “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu“. Maksudnya, anak-anak kalian wahai para kedua orang tua, di mana mereka itu adalah amanah bagi kalian dan sesungguhnya Allah telah mewasiatkan mereka kepada kalian agar kalian mengurus kemaslahatan mereka, baik agama maupun dunia mereka, maka kalian harus mengajar mereka, mendidik mereka, dan menghalangi mereka dari kerusakan, memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan konsisten dalam ketakwaan secara terus menerus sebagaimana Allah berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, dan yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Sebenarnya anak-anak telah diwasiatkan kepada orang tua mereka, bila para orang tua menunaikan wasit tersebut, maka mereka mendapat balasan yang belimpah, dan apabila mereka melalaikannya, maka mereka berhak menerima ancaman dan siksaan. Ini diantara yang menunjukan bahwa Allah subhanahu wata’ala lebih penyayang terhadap hamba-hambaNya dibandingkan dari pada kedua orang tua, dimana Allah telah mewasiatkan kepada kedua orang tua padahal mereka telah memiliki kasih sayang yang begitu besar terhadap anak-anak mereka.

Kemudian Allah menyebutkan tentang cara pewarisan mereka. Allah berfirman, “Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” yaitu, anak-anak atau anak dari anak laki-laki (cucu), bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan bila tidak ada seorang ahli waris yang memiliki hak tertentu, demikian juga apa yang tersisa dari pembagian hak-hak tertentu. Para ulama telah berijma’ atas hal tersebut. Dan bahwasannya dengan adanya anak-anak, maka harta warisan adalah milik mereka dan tidak ada bagian sama sekali bagi anak-anak dari anak laki-laki (cucu), dimana anak-anak tersebut adalah laki-laki dan perempuan. Ini dengan bersatunya laki-laki dan perempuan.

Dalam hal ini ada dua kondisi: hanya laki-laki saja, dan akan datang ketentuannya dan hanya perempuan saja. Allah telah menyebutkan hal itu dalam firmanNya, “Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua” yaitu, anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) tiga orang atau lebih, “maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja,” yaitu, seroang anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, (cucu perempuan), “maka ia memperoleh separuh harta.” ini merupaka ijma’

Penting ditanyakan, dari mana diambil dasar hukum bagi dua orang anak perempuan mendapatkan duapertiga setelah adanya ijma’ akan hal tersebut? Maka jawabannya adalah, bahwasannya itu diambil dari firman Allah “Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta“. Itu artinya, jika lebih dari satu maka hak tertentu itu beralih dari setengah dan urutan persentase setelah (setengah) tersebut adalah dua pertiga. Demikian juga firman Allah, “Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan“, apabila seseorang meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka anak laki-laki itu mendapatkan dua pertiga. Dan Allah subhanahu wata’ala telah mengabarkan bahwa bagian anak laki-laki itu seperti bagian dua anak perempuan, dengan demikian itu menunjukan bahwa dua anak perempuan mendapatkan dua pertiga. Begitu juga seorang anak perempuan apabila mendaptkan bagian sepertiga bersama saudara laki-lakinya padahal ia lebih besar kemudharatannya dari pada saudara lainnya yang perempuan, maka bagian sepertiga itu bersama saudara lain yang perempuan adalah lebih utama dan lebih patut. Demikian juga Firman Allah subhanahu wata’ala tentang dua saudara perempuan,

Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal (An-Nisa :176)

Itu adalah sebuah nash yang jelas tentang dua saudara perempuan. Maka apabila dua orang saudara perempuan itu dengan jauhnya jarak mereka mendapatkan dua pertiga, maka dua anak perempuan dengan dekatnya jarak adalah lebih utama dan lebih patut. Nabi shallallahu alaihi wasallam telah memberikan kedua orang anak perempuan Sa’d dua pertiga, sebagaimana termaktub dalam kitab ash-Shahih.

to be continue

Kaum Yahudi menganggap akhirat milik mereka, tetapi mereka takut kematian dan terlalu cinta kehidupan dunia.

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah tafsir Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 94-96, oleh Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di. Dalam ayat ini dijelaskan mengenai kaum Yahudi yang beranggapan bahwa akhirat (surga) adalah milik mereka. Akan tetapi mereka takut akan kematian dikarenakan mereka mengetahui telah berbuat kekufuran dan kemaksiatan. Selanjutnya dijelaskan mengenai sifat kaum Yahudi yaitu kecintaaan yang begitu besar terhadap kehidupan di dunia. Sehingga mereka menginginkan suatu hal yang paling mustahil, yaitu ingin diberi umur seribu tahun.

Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 94-96

Tafsir Al-Qur’an, oleh: Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di

Katakanlah, “Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilahkematian(mu), jika kamu memang benar.
Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya.
Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Ayat 94: Kaum Yahudi menganggap akhirat itu untuk mereka, tapi ketika ditantang kematian, mereka menolaknya.

“Katakanlah” kepada mereka dalam bentuk membenarkan pengakuan mereka “Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat itu.” maksudnya surga, “khusus untukmu di sisi Allah bukan untuk orang lain”, sebagaimana yang kalian klaim bahwasannya tidaklah akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani, dan bahwasannya neraka tidaklah akan menyentuh mereka kecuali hanya dalam waktu yang dapat dihitung saja, maka bila kalian benar dalam pengakuan ini, “maka inginilah kematian(mu)”.

Ini adalah suatu bentuk mubahalah (saling mendoakan agar orang yang dusta dilaknat Allah) antara mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada lagi setelah pemaksaan dan tekanan bagi mereka setelah kedurhakaan mereka kecuali salah satu dari dua perkara, pertama mereka beriman kepada Allah dan RasulNya, atau kedua, bermubahalahlah dengan sesuatu yang mereka jadikan sebagai pedoman untuk dipertaruhkan dengan perkara yang ringan yaitu keinginan untuk mati yang akan menyampaikan mereka kepada negeri yang khusus bagi mereka tersebut.

Namun mereka tolak hal tersebut, sehingga setiap orang dapat mengetahui bahwa mereka itu hakikatnya benar-benar dalam kondisi durhaka dan menentang Allah dan RasulNya padahal mereka mengetahui hal tersebut. Oleh karena itu Allah berfirman,

Ayat 95: Kaum Yahudi takut akan kematian karena kekufuran dan kemaksiatan mereka

“Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingkan kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri)” disebabkan kekufuran dan kemaksiatan, karena mereka sangat mengetahui bahwa hal itu adalah jalan bagi mereka kepada pembalasan atas perbuatan-perubatan mereka yang buruk, maka kematian itu adalah suatu perkara yang paling mereka benci, dan mereka adalah orang yang paling rakus terhadap kehidupan dibanding setiap manusia hingga dari kaum musyrikin yang tidak beriman kepada salah seorang Rosul oun dari para Rasul dan kitab-kitab. Kemudian Allah menyebutkan tentang sifat cinta mereka yang begitu besar terhadap kehidupan dunia seraya berfirman,

Ayat 96: Kaum Yahudi ingin hidup seribu tahun dikarenakan kecintaan yang begitu besar terhadap kehidupan dunia.

“Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun”. Hal ini, adalah lebih dalam makna-nya dari sekedar ketamakan, di mana mereka berkhayal tentang suatu hal yang paling mustahil di antara hal-hal yang mustahil, walaupun faktanya bila mereka diberikan kehidupan sebanyak yang disebutkan dalam ayat ini, tetap saja tidak ada gunanya sama sekali bagi mereka, dan tidak juga menyelamatkan mereka dari azab. “Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”. Ini adalah sebuah ancaman bagi mereka dengan adanya pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan mereka.

Wallahu A’lam