Disunnahkan memanjangkan dua rakaat pertama dalam shalat yang empat rakaat.

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Disunnahkan memanjangkan dua rakaat pertama dalam shalat yang empat rakaat.

Hadits 227: Dari Abu Qatadah Radhiallahu Anhu, dia berkata “Rasullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam shalat bersama kami, dalam shalat Zhuhur dan Ashar di dua rakaat pertama beliau membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah) dan dua surah.
Andakalanya beliau memperdengarkan kepada kami ayat (yang beliau baca). Beliau memanjangkan rakaat pertama, dan untuk dua rakaat terakhir beliau membaca Fatihatul Kitab (HR. Muttafaq ‘Alaih – 32)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  1. Disunnahkan membaca sesuatu dari Al-Quran setelah bacaan Al-Fatihah pada dua rakaat pertama shalat Zhuhur dan Ashar, juga dalam sholat Magrib, Isya’ dan Shubuh.
  2. Disunnahkan memanjangkan rakaat pertama sehingga lebih panjang daripada rakaat keduanya dalam shalat Zhuhur dan Ashar
  3. Disunnahkan membaca Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir dalam shalat Zhuhur, Ashar & Isha serta pada rakaat ketiga shalat Magrib.
  4. Bacaan setelah Al-Fathah tidak wajib. Bacaan setelah Al-Fatihah dipraktekan baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah.
  5. Para sahabat menduga bahwa Nabi ﷺ memanjangkan rakaat pertama dengan maksud agar orang-orang (para jama’ah) bisa mendapatkan rakaat pertama (HR Ibnu Khuzaimah & Ibnu Hibban)

Wallahu Ta’ala A’lam

Bacaan pengganti untuk orang yang tidak hafal Al Fatihaah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Bacaan pengganti untuk orang yang tidak hafal Al Fatihaah

Hadist 226: Dari Abdullah bin Abu Aufa radhiallahu anhu, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Aku tidak dapat menghafal sedikit pun dari Al Qur’an, karena itu, ajarilah aku sesuatu yang mencukupiku.” Maka beliau pun bersabda, ” Ucapkanlah, Subhanallah (Maha Suci Allah), Alhamdulillaah (segala Puji Baginya), Laa Ilaaha Illallaah (tiada tuhan selain Allah), Allaahu Akbar (Allah Maha Besar), Laa Haula (dan Tidak ada daya), Wa Laa Quwwata (dan upaya), Illa Billahi ‘Aliyil Adzim (kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).” (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i) dinilai shahih oleh lbnu Hibban, Ad-Daruquthni dan Al Hakim.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Telah dibahas di muka bahwa membaca Al Faatihah pada setiap rakaat sebagai rukun, tanpa itu shalat tidak sah.
  • Hanya saja kaidah syar’iyah menyatakan “Bahwa kewajiban gugur karena ketidakmampuan memenuhinya, sehingga bisa dilakukan dengan pengganti.
  • Firman Allah Ta’ala “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghaabun: 16).
  • Sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam “Apabila aku memerintahakan sesuatu kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian” (Bukhari 6858).
  • Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak hafal Al Faatihah atau sebagiannya, maka ia membaca dzikir yang disebutkan dalam hadits tersebut, dan itu sudah cukup. Hal ini sebagai kemudahan bagi para hamba.
  • Disebutkan dalam Syarh Al lqna, ‘Jika tidak mampu mempelajari (menghafal) Al Faatihah, atau karena sempitnya waktu, maka gugurlah (kewajiban membacanya), dan wajib baginya untuk membaca yang lainnya dari Al Qur’an, misalnya sudah hafal satu ayat dari Al Faatihah atau dari surah lainnya, maka hendaknya mengulang-ulanginya sekadarnya. Jika sama sekali tidak ada yang dihafalnya dari Al Qur’ an, maka lazim baginnya untuk mengucapkan sesuai dengan hadist diatas.
  • Keutamaan dzikir yang mulia ini. Dzikir ini bisa menggantikan posisi Al Faatihah (bagi yang tidak mampu), padahal Al Faatihah adalah surah yang paling agung di dalam Al Qur’an, sehingga dzikir ini lebih didahulukan dari pada dzikir-dzikir lainnya untuk menempati posisi yang agung itu.
  • Simple dan tolerannya syariah, sehingga seorang muslim tidak dibebani dengan beban yang di luar batas kemampuannya, bila ia tidak mampu memenuhi satu pintu kebaikan, Allah membukakan baginya pintu lainnya untuk menyempurnakan ganjarannya dan mencapai kedudukan yang telah ditetapkan Allah baginya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Mengucapkan Aamiin

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Mengucapkan Aamiin

Hadist 224: Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dia berkata: Apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membaca Ummul Qur’an, beliau mengeraskan suaranya dan mengucapkan ‘Aamiin’.” (HR. Ad-Daruquthni) ia menilainya hasan, sementara Al Hakim menilainya shahih.

Hadist 225: Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Abu Daud dan At Tirmidzi dari hadits Wail bin Hujr.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Kedua hadits tadi menunjukkan disyariatkannya pengucapan aamiin bagi imam setelah selesai membaca Al Fatihah dengan memanjangkan pengucapannya.
  • Telah disebutkan di dalam riwayat Al Hakim (1/3571) dan Al Baihaqi (2/46) yang bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengucapkan, ‘aamiin’ sehingga terdengar oleh orang-orang yang berada di shaf pertama, maka seisi masjid pun bergemuruh.
  • Telah disebutkan dalam Shahih Bukhari (780) dan Muslim (410) dari Hadist Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda “Apabila imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin oleh kalian, karena sesungguhnya barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan aminnya malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”.
  • Para ulama sepakat bahwa pengucapan aamiin adalah untuk imam, makmun dan orang yang shalat sendirian. Mayoritas mereka menyatakannya sebagai sunnah, bukan wajib.
  • Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat, “Sunnahnya pengucapan aamiin secara pelan, bahkan sekalipun dalam shalat jahr (shalat yang bacaannya keras).”
  • Madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, “Bahwa pengucapan aamiin itu dengan suara keras (dalam shalat jahr) dan dengan suara pelan dalam shalat sirr (shalat yang bacaannya tidak keras) serta sunnahnya pengucapan aamiin makmum menyertai imam berdasarkan hadits, “Apabila imam mengucapkan,’waladh dhaalliin’ maka ucapkanlah, ‘aamiin’.’ Sehingga pengucapan aamiin yang dilakukan oleh makmum bersamaan dengan pengucapan aamiinnya imam.
  • Sabda beliau dalam hadits Abu Hurairah , ” Apabila imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin oleh kalian.” Maksudnya adalah, bila imam mulai mengucapkan aamiin maka ucapkanlah aamiin sehingga aminnya imam bersamaan dengan aminnya makmum.

Wallahu Ta’ala A’lam

Mengeraskan bacaan Basmalah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Mengeraskan bacaan Basmalah

Hadist 222: Dari Nu’aim Al Mujmir, dia berkata: Aku shalat di belakang Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, lalu ia membaca “Bismillaahirrahmaanirrahiim” kemudian membaca Ummul Qur’an hingga ketika sampai pada “Waladh-dhaalliin’ ia mengucapkan ‘Aamiin.” Setiap kali ia sujud dan bangun dari duduk ia mengucapkan “Allaahu Akbar.” Kemudian setelah salam dia berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.” (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Disunnahkan mengeraskan bacaan basmalah di awal bacaan shalat.
  • Disebutkan dalam Syarh Al Mughni: hadits ini yang paling shahih dalam temanya, An-Nasa’i memberi judul dalam kitab sunannya dengan, “Mengeraskan bacaan bismillahirramnaanirrahiim.”
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai hadits ini, ia mengatakan, “Ahli hadits telah sepakat bahwa tidak ada hadits shahih yang memastikan dikeraskannya (bacaan basmallah) dengan Al Faatihah, sedangkan yang jelas-jelas menyatakan demikian terdapat dalam hadits-hadits palsu.”
  • Karena itu, hadits-hadits tersebut tidak bisa mematahkan hukum ini dan tidak bisa menganulir hadits-hadits shahih, baik yang telah disebutkan maupun yang tidak disebutkan.
  • Disunnahkan mengucapkan ‘Aamiin’ bagi imam dengan suara yang panjang.
  • Hadist ini menunjukan disyariatkannya takbir intiqal (takbir untuk menandakan perpindahan) dari satu ruku ke rukun lainnya.

Hadist 223: Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Apabila kalian hendak membaca Al Faatihah, maka ucapkanlah bismillaahirraahmaanirrahiim, karena itu adalah salah satu ayatnya (HR. Ad-Daruquthni) dan membenarkan sebagai hadist mauquf. –

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bacaan basmallah di dalam shalat, yaitu ketika hendak membaca surah Al Faatihah. Karena basmalah merupakan salah satu ayat surat Al Faatihah
  • Hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih sehingga tidak mungkin menerima hadits ini bersamaan dengan hadits-hadits shahih dimaksud. Para imam ahli hadits telah membenarkan mauquf-nya hadist ini. Namun pintu ijtihad dalam hal ini tetap terbuka. Bila benar, maka ini dari perkataan dan ijtihadnya Abu Hurairah Radhiallahu Anhu. Telah disebutkan perdapat Syaikhul Islam mengenai hal ini, menurutnya, “Ahli hadist telah sepakat bahwa tidak ada hadits shahih yang memastikan dikeraskannya bacaan basmalah dengan Al Faatihah, sedangkan yang jelas-jelas menyatakan demikian terdapat dalam hadits-hadils palsu”. Sementara itu, Ath-Thahawi mengatakan, “Meninggalkan bacaanbasmalah dengan keras di dalam shalat adalah mutawatir yang bersumber dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan para khalifahnya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Tidak mengeraskan bacaan Basmalah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Tidak mengeraskan bacaan Basmalah

Hadist 221: Dari Anas Radhiallahu Anhu, Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Abu Bakar dan Umar membuka shalatnya dengan “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin” (Al Faatihah).” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Muslim menambahkan: “Mereka tidak menyebutkan bismillaahirahmanirrahiim pada awal bacaan maupun di akhirnya”.

Dalam riwayat Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah disebutkan: “Mereka tidak mengeraskan bacaan bismilllahirrahmaanirrahiim”.

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah yang lain disebutkan: “Mereka membaca dengan suara pelan”.

Tentang arti ini (yakni membaca basmalah dengan suara pelan) dimaknai nafi (tidak membaca basmallah) dalam riwayat Muslim. Hal ini berbeda dengan orang yang menyatakan bahwa hadist tersebut ma’lul.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Sifat bacaan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan Khulafa’ Rasyidun, bahwa mereka membuka bacaan shalat dengan “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin”.
  • Tambahan Imam Muslim menegaskan bahwa mereka tidak menyebutkan basmalah, baik di awal bacaan maupun di akhimya.
  • Hadist ini menunjukan bahwa basmalah tidak termasuk surah Al-Faatihah, sehingga membacanya tidak diharuskan bersama bacaannya, namun membacanya itu sunnah sebagai pemisah antar surah. Dalam hal ini juga ada perbedaan pendapat.

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

  • Imam fikih yang tiga berpendapat disyariatkan membaca basmalah di dalam shalat, sedangkan Imam Malik memandang tidak disyariatkan membacanya di dalam shalat fardhu, baik dengan suara keras maupun pelan.
  • Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa adalah sunnah membaca basalamah dalam shalat, tidak wajib. Sedangkan Asy-Syafi’i berpendapat wajib.
  • Pendapat yang dianut oleh Asy-Syafi’i merupakan pendapat segolongan dari kalangan sahabat dan tabi’in. Dalil mereka adalah apa yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan lainnya yang bersumber dari Abu Hurairah, yaitu, bahwa ia shalat dan mengeraskan bacaan basmalah dan ketika selesai shalat dia berkata, “Aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam .”
  • Tidak dikeraskannya bacaan basmalah merupakan pendapat jumhur ulama, ini diriwayatkan dari Khulafa’ Rasyidun, beberapa golongan dari salaf dan khalaf, dan ini merupakan pendapat yang kuat di antara pendapat-pendapat lainnya dalam masalah ini.
  • Syaikhul Islam mengatakan, “Melanggengkan bacaan basmalah dengan keras adalah bid’ah, menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam , karena hadits-hadits yang menyatakan kerasnya bacaan itu semuanya palsu (dibuat-buat).”
  • Ibul Qayyim mengatakan, “Bahwa mengeraskan bacaan basmalah diriwayatkan hanya oleh Nu’aim Al Mujmir di antara para sahabat Abu Humirah, padahal mereka itu ada delapan orang yang terdiri dari sahabat dan tabi’in.”
  • Diantara dalil yang paling kuat tentang tidak disyariatkannya mengeraskan bacaan basmalah adalah apa yang disebutkan di dalam Shahih Muslim (395) yaitu hadist mengenai bahwa Allah membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Bila hamba mengucapkan “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin”, maka Allah berfirman “Hamba-Ku memuji-Ku” ….. hingga akhir hadist.
  • Ini adalah dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk Al Faatihah, karena itulah tidak disebutkan (di dalam hadits ini). Inilah pendapat yang kuat dan benar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Wajibnya membaca Al-Fatihah dalam shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Wajibnya membaca Al-Fatihah dalam shalat

Hadist 220:

Dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda “Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah),” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Ummul Qur’an dan Faatihatul Kibab termasuk nama-nama surah ‘alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin’ . lni adalah induknya Al-Qur’an karena makna-makna Al Qur’an seluruhnya merujuk kepada apa yang dikandungnya. Dan ini adalah pembukaan AlQur’an, karenaAl Qur’an dibuka dengannya dan para sahabat pun telah mengawali penulisan mushaf induk dengan surah ini.
  • Hadits ini menunjukkan wajibnya membaca Al Faatihah ketika shalat, dan bacaan ini adalah sebagai salah satu rukun sehingga shalat tidak sah tanpanya. Dan yang benar juga adalah bahwa Al Faatihah wajib dibaca pada setiap rakaat berdasarkan hadits yang menyebutkan tentang orang yang buruk shalatnya,”Kemudian, lalukanlah semua itu dalam semua shalatmu” (HR. Bukhari 724 dan Muslim 297).

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

  • Imam fikih yang empat beserta para pengikutnya sepakat akan wajibnya bacaan Al Faatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Kecuali madzhab Hambali yang berbeda pendapat tentang cukupnya shalat sebagaimana yang telah disebutkan di penjelasan sebelumnya.
  • Mereka berbeda pendapat tentang wajibnya bacaan Al Faatihah bagi makmum: Imam Syafi’i dan ahli hadits berpendapat, “Bahwa bacaan itu wajib bagi makmum baik dalam shalat sirr (shalat yang bacaan imamnya tidak keras) maupun shalat jahr (shalat yang bacaan imamnya keras) bila memungkinkan, namun wajibnya bacaan ini dikecualikan bagi makmum yang masbuq yang mendapati imam sedang ruku, maka ia bertakbir lalu ruku dan bangkit dari ruku bersama imam, yang demikian dianggap telah mendapat rakaat tersebut sehingga dengan begitu gugurlah kewajiban membaca Al Faatihah darinya. Begitu juga bila ia mendapati imam pada waktu yang tidak cukup baginya untuk menyempurnakan bacaan Al Faatihah, maka ia langsung ruku bersama imam dan gugurlah kewajiban membaca Al Faatihah darinya karena kondisi tersebut.”
  • Adapun dalil yang digunakan para ulama yang melarang makmum membaca di belakang imam adalah bahwa Nabi Shalallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Apabila ia (imam) membaca (surat Al Faatihah) maka diamlah kalian” (Shahih Muslim 404).
  • Kemudian dalam Musnad Al Imam Ahmad (14233), Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka bacaan imam adalah bacaannya”.
  • Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hadist “Apabila imam membaca (surah) maka diamlah kalian” Ini bersifat umum yang mencakup bacaan apa saja. Sedangkan hafist Ubadah adalah khusus tentang Al-Faatihah, sedangkan dalil yang bersifat khusus mengalahkan dalil yang bersifat umum.
  • Imam Malik memandang wajibnya membaca Al Faatihah dalam shalat sirr dan tidak disyariatkan dalam shalat jahr.

Wallahu Ta’ala A’lam

Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat shalat

Hadist 219: Dari Wail bin Hujr Radhiallahu Anhu, Aku pernah Shalat bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya di atas dada beliau (HR. Ibnu Khuzaimah)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Hadist ini menunjukkan disyari’atkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada ketika shalat pada waktu berdiri untuk membaca bacaan.
  • Ini termasuk sunnah shalat dan keutamaannya, hukumnya tidak wajib.
  • Meletakkan tangan yang satu di atas yang lainnya dan menghimpunnya di atas dada adalah bentuk ketundukan, kekhusyuan, kerendahan hati dan kehinaan diri di hadapan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
  • Hadits yang disebutkan dalam masalah ini peringkatnya shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dinilai shahih oleh An-Nawawi dan Ibnul Qayyim. Disebutkan dalam riwayat Ahmad (22342) dan Bukhari (707) dari Sahal bin Sa’ad Radhiallahu Anhu, dia berkata “Orang-orang diperintahkan untuk meletakkan telapak tangan kanannya di atas sikut kirinya ketika shalat.”
  • Ini bertentangan dengan yang diriwayatkan oleh Ahmad (877) dan Abu Daud (756) dari Ali, ia mengatakan. “Termasuk sunnah adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan lainnya di bawah pusar.” Namun tentang Atsar ini ulama mengatakan, “Bahwa itu hadits dha’if, karena rotasi sanad-sanadnya bertumpu pada Abdurahman Al Wasithi”. Kendatipun hadits tersebut dha’if, namun menurut madzhab Hanafi dan Hambali boleh diamalkan. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, An-Nawawi mengatakan, “Diposisikan di bawah dada diatas pusar. Ini madzhab yang masyur. Demikian pula yang dinyatakan oleh jumhur ulama”.
  • Menurut penulis: Tapi yang benar dari segi dalil adalah menepatkan tangan di atas dada karena keshahihan hadits-haditsnya, dan itu boleh diamalkan menurut para ahli hadits.

Perbedaan pendapat mengenai tangan sedekap setelah bangkit dari ruku.

  • Sebagian ulama berpendapat “sunnahnya sedekap dan menempatkannya di atas dada seperti posisi ketika berdiri sebelum ruku.”
  • Sementara jumhur ulama diantaranya adalah empat imam madzhab dan para pengikutnya berpendapat, ‘Untuk meluruskan tangan di sisi tubuh, dan bahwa bersedekap di atas dada atau di bawah pusar (setelah ruku) bukanlah sunnah. Sedekap itu khusus sebelum ruku.
  • Tidak pernah diketahui seorang pun dari kalangan salaf yang bersedekap (setelah ruku), dan tidak ada seorang imam pun yang pernah melakukannya.
  • Imam Ahmad berpendapat, untuk memberikan pilihan antara melakukannya dan meninggalkannya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Mengangkat Kedua Tangan Dalam Shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Mengangkat Kedua Tangan dalam Shalat

Hadist 218: Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengangkat kedua tangannya lurus sejajar dengan kedua pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Disunnahkannya mengangkat kedua tangan sehingga sejajar dengan kedua pundak ketika membuka shalat dengan takbiratul ihram, begitu juga ketika takbir ruku dan ketika mengangkat kepala dari ruku. Pada ketiga posisi ini disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak.
  • Riwayat lainnya menyebutkan: ‘Mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan ujung-ujung kedua telinganya.” Yang lebih baik adalah memadukan kedua riwayat sehingga perkaranya menjadi lebih luas dan kondisinya beragam, karena keduaya sama-sama sunnah.
  • Mengangkat tangan pada posisi-posisi itu semuanya termasuk sunnah-sunnah shalat.
  • Ada posisi keempat yang disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan, yaitu ketika berdiri setelah tasyahhud awal di dalam shalat yang memiliki dua tasyahhud. Disebutkan di dalam Shahih Bukhari (736) yang bersumber dari ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, dia berkata, ‘Apabila Rasulullah ﷺ berdiri setelah dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan bahunya sebagaimana yang beliau lakukan ketika memulai shalat.”

Wallahu Ta’ala A’lam

Tata Cara Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Tata Cara Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Hadist 217: Dari Aisyah Radhiallahu Anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memulai shalatnya dengan takbir dan bacaan, “Alhamdu lillahi rabbil ‘aalamiin” (maksudnya surah Al-Faatihah). Bila ruku beliau tidak menengadahkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya, tapi antara keduanya, bila bangun dari ruku beliau tidak sujud sebelum benar-benar berdiri tegak. Bila bangun dari sujud, beliau tidak sujud lagi sebelum benar-benar duduk tegak. Beliau membaca tahiyat pada tiap-tiap dua rakaat. Beliau duduk di atas telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki yang kanan. Beliau melarang uqbah as-syaithan (duduk di atas dua tumit) dan melarang meletakkan kedua lengan di tanah seperti binatang buas. Beliau mengakhiri shalat dengan mengucapkan salam.” (HR. Muslim).

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Shalat dimulai dengan takbiratul ihram, maka tidak sah shalat tanpa takbiratul ihram.
  • Bacaan shalat dibuka dengan “Alhamdu lillahi rabbil ‘aalamiin“, hal ini menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk surah Al Faatihah, dan ini merupakan pendapat tiga imam, yaitu; Abu Hanifah, Malik dan Ahmad serta yang lainnya. Argumen mereka adalah hadits ini.
  • Apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ruku, beliau tidak menengadahkan kepalanya, yaitu beliau tidak mengangkat kepalanya sehingga lebih tinggi dari garis punggungnya.
  • Dan tidak pula menundukkannya sehingga lebih rendah dari garis punggungnya, akan tetapi antara keduanya.
  • Apabila bangkit dari ruku, beliau tidak langsung sujud sebelum benar-berar berdiri tegak.
  • Apabila beliau bangkit dari sujud, beliau tidak langsung sujud lagi sebelum benar-benar duduk dengan tegak.
  • Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam duduk setiap selesai dua rakaat, dan dalam duduknya itu beliau membaca tahiyat, yaitu tasyahhud yang bacaannya telah diriwayatkan.
  • Duduknya beliau di antara dua sujud dan pada tasyahhud awal dalam shalat yang memiliki dua tasyahhud adalah dengan menduduki telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya serta mengarahkan ujung jari-jarinya ke arah kiblat.
  • Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang uqbah as-syaithan (duduk di atas dua tumit), yaitu memancangkan kedua betis dan paha lalu menempatkan pantat antara keduanya di atas lantai. Ini adalah cara duduknya anjing yang dianjurkan syetan agar ditiru untuk menghilangkan wibawa shalat dan gayanya yang indah.
  • Beliau juga melarang menghamparkan lengan, yaitu meletakkannya (menempelkan telapak dan lengan bawah hingga sikut) di lantai, karena hal ini menyerupai binatang buas saat membentangkan kedua kakinya (yang depan), baik itu ketika sedang makan maupun ketika sedang mengintai mangsa yang lengah.
  • Beliau menutup shalatnya dengan taslim, yaitu mengucapkan kepada orang-orang yang shalat kala itu dan para malaikat , “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah” satu kali sambil menoleh ke kanan, dan sekali lagi sambil menoleh ke kiri. Hal ini agar doa mulia itu bisa mencakup semua yang hadir.
  • Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu Anha telah meriwayatkan sifat shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini secara lengkap untuk mengajari umatnya agar bisa shalat seperti itu sebagai manifestasi sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Bukhari).

Wallahu Ta’ala A’lam

Doa Istiftah, pembuka shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Doa Istiftah

Berikut ini adalah beberapa hadist yang berkaitan dengan doa istiftah:

Hadist 214: Dari AIi bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: Bahwasanya apabila beliau telah berdiri untuk melaksanakan shalat, beliau membaca, “Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi …hingga… dan aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri. Ya Allah Engkauhlah Raja, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah Tuhanku dan aku hamba-Mu …. sampai akhir. (HR. Muslim).

Hadist 215: Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bila telah takbir untuk melaksanakan shalat, beliau diam sejenak sebelum membaca. Lalu aku bertanya kepada beliau, beliau pun menjawab, ‘Aku membaca, ‘Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan ku, sebagaimana baju putih yang dibersihkan dari kotoroan. Ya Allah, basuhlah aku dari kesalahan-kesalahan dengan air, es dan embun (HR. Mutaffaq ‘Alaih)

Hadist 216: Dari Umar Radhiallahu Anhu, bahwasanya dia pemah membaca, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji pada-Mu Maha berkah nama-Mu, Maha Tinggi kebesaran-Mu, tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. (HR. Muslim) dengan sanad munqathi’ dan diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni secara maushul dan mauquf.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Pembukaan shalat, baik itu dianggap wajib maupun sunnah, dan baik itu berupa dzikir maupun doa, hal itu dibaca setelah takbiratul ihram, sebelum ta’awwudz dan bacaan Al Faatihah. Pembukaan ini hanya pada rakaat pertama dan tidak ada pada rakaat lainnya.
  • Hukumnya sunnah dan bukan wajib berdasarkan hadits terdahulu yang menyebutkan tentang orang yang buruk shalatnya.
  • Banyak lafadz pembukaan shalat yang telah diriwayatkan dan yang lebih utama adalah membaca salah satunya setiap kali shalat (secara bergantian) sehingga bisa mengamalkan semua lafazh yang ada. Namun bila sebagian saja, maka itu pun boleh.
  • Syaikhul Islam mengatakan, “Disunnahkan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang ada tuntunannya menurut berbagai cara (yang tuntunannya itu ada) pada setiap ibadah tersebut. Maka tidak boleh memadukannya (dalam satu pelaksanaan) dan tidak pula melanggengkan hanya pada salah satu cara saja.”
  • Bacaan istiftah secara pelan, kecuali bila diperlukan untuk dibaca nyaring, misalnya untuk mengajarkan kepada orang yang shalat di belakangnya (makmumnya), sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Radhiallahu Anhu.
  • Diamnya imam ketika shalat sebagaimana yang dituturkan As-Sunnah ada dua kondisi: setelah takbir pembukaan dan diam sejenak setelah bacaan (sekadar untuk memberi jarak bacaan).
  • Dalam Hadist 216 diatas, Ibnu Qayyim mengatakan “Adalah benar bahwa Umar Radhiallahu ‘Anhu ber-istiftah dengan doa itu dan ia mengeraskan bacaannya untuk mengajarkan kepada orang lain (para makmumnya).
  • Mengenai Hadist 216 diatas, Imam Ahmad mengatakan, “Aku berpendapat dengan doa isftiftah ini. Seandainya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pemah membacanya di dalam shalat fardhu, tentu Umar tidak akan melakukannya dan tidak akan diakui oleh kaum muslimin.”
  • Memohon perlindungan kepada Allah di dalam shalat adalah sunnah dan dianjurkan menurut jumhur ulama.
  • Lafazh yang dipilih untuk ta’awwudz adalah A’udzu billaahiminasysyaithaannir-rajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk), ada juga A’udzu billaahissamii’il’aliim minasysyaithaanir-rajiim (aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan syetan yang terkutuk).

Wallahu Ta’ala A’lam