Tidak mengeraskan bacaan Basmalah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Tidak mengeraskan bacaan Basmalah

Hadist 221: Dari Anas Radhiallahu Anhu, Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Abu Bakar dan Umar membuka shalatnya dengan “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin” (Al Faatihah).” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Muslim menambahkan: “Mereka tidak menyebutkan bismillaahirahmanirrahiim pada awal bacaan maupun di akhirnya”.

Dalam riwayat Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah disebutkan: “Mereka tidak mengeraskan bacaan bismilllahirrahmaanirrahiim”.

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah yang lain disebutkan: “Mereka membaca dengan suara pelan”.

Tentang arti ini (yakni membaca basmalah dengan suara pelan) dimaknai nafi (tidak membaca basmallah) dalam riwayat Muslim. Hal ini berbeda dengan orang yang menyatakan bahwa hadist tersebut ma’lul.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Sifat bacaan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan Khulafa’ Rasyidun, bahwa mereka membuka bacaan shalat dengan “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin”.
  • Tambahan Imam Muslim menegaskan bahwa mereka tidak menyebutkan basmalah, baik di awal bacaan maupun di akhimya.
  • Hadist ini menunjukan bahwa basmalah tidak termasuk surah Al-Faatihah, sehingga membacanya tidak diharuskan bersama bacaannya, namun membacanya itu sunnah sebagai pemisah antar surah. Dalam hal ini juga ada perbedaan pendapat.

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

  • Imam fikih yang tiga berpendapat disyariatkan membaca basmalah di dalam shalat, sedangkan Imam Malik memandang tidak disyariatkan membacanya di dalam shalat fardhu, baik dengan suara keras maupun pelan.
  • Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa adalah sunnah membaca basalamah dalam shalat, tidak wajib. Sedangkan Asy-Syafi’i berpendapat wajib.
  • Pendapat yang dianut oleh Asy-Syafi’i merupakan pendapat segolongan dari kalangan sahabat dan tabi’in. Dalil mereka adalah apa yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan lainnya yang bersumber dari Abu Hurairah, yaitu, bahwa ia shalat dan mengeraskan bacaan basmalah dan ketika selesai shalat dia berkata, “Aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam .”
  • Tidak dikeraskannya bacaan basmalah merupakan pendapat jumhur ulama, ini diriwayatkan dari Khulafa’ Rasyidun, beberapa golongan dari salaf dan khalaf, dan ini merupakan pendapat yang kuat di antara pendapat-pendapat lainnya dalam masalah ini.
  • Syaikhul Islam mengatakan, “Melanggengkan bacaan basmalah dengan keras adalah bid’ah, menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam , karena hadits-hadits yang menyatakan kerasnya bacaan itu semuanya palsu (dibuat-buat).”
  • Ibul Qayyim mengatakan, “Bahwa mengeraskan bacaan basmalah diriwayatkan hanya oleh Nu’aim Al Mujmir di antara para sahabat Abu Humirah, padahal mereka itu ada delapan orang yang terdiri dari sahabat dan tabi’in.”
  • Diantara dalil yang paling kuat tentang tidak disyariatkannya mengeraskan bacaan basmalah adalah apa yang disebutkan di dalam Shahih Muslim (395) yaitu hadist mengenai bahwa Allah membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Bila hamba mengucapkan “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin”, maka Allah berfirman “Hamba-Ku memuji-Ku” ….. hingga akhir hadist.
  • Ini adalah dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk Al Faatihah, karena itulah tidak disebutkan (di dalam hadits ini). Inilah pendapat yang kuat dan benar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Wajibnya membaca Al-Fatihah dalam shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Wajibnya membaca Al-Fatihah dalam shalat

Hadist 220:

Dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda “Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah),” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Ummul Qur’an dan Faatihatul Kibab termasuk nama-nama surah ‘alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin’ . lni adalah induknya Al-Qur’an karena makna-makna Al Qur’an seluruhnya merujuk kepada apa yang dikandungnya. Dan ini adalah pembukaan AlQur’an, karenaAl Qur’an dibuka dengannya dan para sahabat pun telah mengawali penulisan mushaf induk dengan surah ini.
  • Hadits ini menunjukkan wajibnya membaca Al Faatihah ketika shalat, dan bacaan ini adalah sebagai salah satu rukun sehingga shalat tidak sah tanpanya. Dan yang benar juga adalah bahwa Al Faatihah wajib dibaca pada setiap rakaat berdasarkan hadits yang menyebutkan tentang orang yang buruk shalatnya,”Kemudian, lalukanlah semua itu dalam semua shalatmu” (HR. Bukhari 724 dan Muslim 297).

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

  • Imam fikih yang empat beserta para pengikutnya sepakat akan wajibnya bacaan Al Faatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Kecuali madzhab Hambali yang berbeda pendapat tentang cukupnya shalat sebagaimana yang telah disebutkan di penjelasan sebelumnya.
  • Mereka berbeda pendapat tentang wajibnya bacaan Al Faatihah bagi makmum: Imam Syafi’i dan ahli hadits berpendapat, “Bahwa bacaan itu wajib bagi makmum baik dalam shalat sirr (shalat yang bacaan imamnya tidak keras) maupun shalat jahr (shalat yang bacaan imamnya keras) bila memungkinkan, namun wajibnya bacaan ini dikecualikan bagi makmum yang masbuq yang mendapati imam sedang ruku, maka ia bertakbir lalu ruku dan bangkit dari ruku bersama imam, yang demikian dianggap telah mendapat rakaat tersebut sehingga dengan begitu gugurlah kewajiban membaca Al Faatihah darinya. Begitu juga bila ia mendapati imam pada waktu yang tidak cukup baginya untuk menyempurnakan bacaan Al Faatihah, maka ia langsung ruku bersama imam dan gugurlah kewajiban membaca Al Faatihah darinya karena kondisi tersebut.”
  • Adapun dalil yang digunakan para ulama yang melarang makmum membaca di belakang imam adalah bahwa Nabi Shalallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Apabila ia (imam) membaca (surat Al Faatihah) maka diamlah kalian” (Shahih Muslim 404).
  • Kemudian dalam Musnad Al Imam Ahmad (14233), Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka bacaan imam adalah bacaannya”.
  • Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hadist “Apabila imam membaca (surah) maka diamlah kalian” Ini bersifat umum yang mencakup bacaan apa saja. Sedangkan hafist Ubadah adalah khusus tentang Al-Faatihah, sedangkan dalil yang bersifat khusus mengalahkan dalil yang bersifat umum.
  • Imam Malik memandang wajibnya membaca Al Faatihah dalam shalat sirr dan tidak disyariatkan dalam shalat jahr.

Wallahu Ta’ala A’lam

Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat shalat

Hadist 219: Dari Wail bin Hujr Radhiallahu Anhu, Aku pernah Shalat bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya di atas dada beliau (HR. Ibnu Khuzaimah)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Hadist ini menunjukkan disyari’atkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada ketika shalat pada waktu berdiri untuk membaca bacaan.
  • Ini termasuk sunnah shalat dan keutamaannya, hukumnya tidak wajib.
  • Meletakkan tangan yang satu di atas yang lainnya dan menghimpunnya di atas dada adalah bentuk ketundukan, kekhusyuan, kerendahan hati dan kehinaan diri di hadapan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
  • Hadits yang disebutkan dalam masalah ini peringkatnya shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dinilai shahih oleh An-Nawawi dan Ibnul Qayyim. Disebutkan dalam riwayat Ahmad (22342) dan Bukhari (707) dari Sahal bin Sa’ad Radhiallahu Anhu, dia berkata “Orang-orang diperintahkan untuk meletakkan telapak tangan kanannya di atas sikut kirinya ketika shalat.”
  • Ini bertentangan dengan yang diriwayatkan oleh Ahmad (877) dan Abu Daud (756) dari Ali, ia mengatakan. “Termasuk sunnah adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan lainnya di bawah pusar.” Namun tentang Atsar ini ulama mengatakan, “Bahwa itu hadits dha’if, karena rotasi sanad-sanadnya bertumpu pada Abdurahman Al Wasithi”. Kendatipun hadits tersebut dha’if, namun menurut madzhab Hanafi dan Hambali boleh diamalkan. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, An-Nawawi mengatakan, “Diposisikan di bawah dada diatas pusar. Ini madzhab yang masyur. Demikian pula yang dinyatakan oleh jumhur ulama”.
  • Menurut penulis: Tapi yang benar dari segi dalil adalah menepatkan tangan di atas dada karena keshahihan hadits-haditsnya, dan itu boleh diamalkan menurut para ahli hadits.

Perbedaan pendapat mengenai tangan sedekap setelah bangkit dari ruku.

  • Sebagian ulama berpendapat “sunnahnya sedekap dan menempatkannya di atas dada seperti posisi ketika berdiri sebelum ruku.”
  • Sementara jumhur ulama diantaranya adalah empat imam madzhab dan para pengikutnya berpendapat, ‘Untuk meluruskan tangan di sisi tubuh, dan bahwa bersedekap di atas dada atau di bawah pusar (setelah ruku) bukanlah sunnah. Sedekap itu khusus sebelum ruku.
  • Tidak pernah diketahui seorang pun dari kalangan salaf yang bersedekap (setelah ruku), dan tidak ada seorang imam pun yang pernah melakukannya.
  • Imam Ahmad berpendapat, untuk memberikan pilihan antara melakukannya dan meninggalkannya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Mengangkat Kedua Tangan Dalam Shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Mengangkat Kedua Tangan dalam Shalat

Hadist 218: Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengangkat kedua tangannya lurus sejajar dengan kedua pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Disunnahkannya mengangkat kedua tangan sehingga sejajar dengan kedua pundak ketika membuka shalat dengan takbiratul ihram, begitu juga ketika takbir ruku dan ketika mengangkat kepala dari ruku. Pada ketiga posisi ini disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak.
  • Riwayat lainnya menyebutkan: ‘Mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan ujung-ujung kedua telinganya.” Yang lebih baik adalah memadukan kedua riwayat sehingga perkaranya menjadi lebih luas dan kondisinya beragam, karena keduaya sama-sama sunnah.
  • Mengangkat tangan pada posisi-posisi itu semuanya termasuk sunnah-sunnah shalat.
  • Ada posisi keempat yang disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan, yaitu ketika berdiri setelah tasyahhud awal di dalam shalat yang memiliki dua tasyahhud. Disebutkan di dalam Shahih Bukhari (736) yang bersumber dari ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, dia berkata, ‘Apabila Rasulullah ﷺ berdiri setelah dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan bahunya sebagaimana yang beliau lakukan ketika memulai shalat.”

Wallahu Ta’ala A’lam

Tata Cara Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Tata Cara Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Hadist 217: Dari Aisyah Radhiallahu Anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memulai shalatnya dengan takbir dan bacaan, “Alhamdu lillahi rabbil ‘aalamiin” (maksudnya surah Al-Faatihah). Bila ruku beliau tidak menengadahkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya, tapi antara keduanya, bila bangun dari ruku beliau tidak sujud sebelum benar-benar berdiri tegak. Bila bangun dari sujud, beliau tidak sujud lagi sebelum benar-benar duduk tegak. Beliau membaca tahiyat pada tiap-tiap dua rakaat. Beliau duduk di atas telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki yang kanan. Beliau melarang uqbah as-syaithan (duduk di atas dua tumit) dan melarang meletakkan kedua lengan di tanah seperti binatang buas. Beliau mengakhiri shalat dengan mengucapkan salam.” (HR. Muslim).

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Shalat dimulai dengan takbiratul ihram, maka tidak sah shalat tanpa takbiratul ihram.
  • Bacaan shalat dibuka dengan “Alhamdu lillahi rabbil ‘aalamiin“, hal ini menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk surah Al Faatihah, dan ini merupakan pendapat tiga imam, yaitu; Abu Hanifah, Malik dan Ahmad serta yang lainnya. Argumen mereka adalah hadits ini.
  • Apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ruku, beliau tidak menengadahkan kepalanya, yaitu beliau tidak mengangkat kepalanya sehingga lebih tinggi dari garis punggungnya.
  • Dan tidak pula menundukkannya sehingga lebih rendah dari garis punggungnya, akan tetapi antara keduanya.
  • Apabila bangkit dari ruku, beliau tidak langsung sujud sebelum benar-berar berdiri tegak.
  • Apabila beliau bangkit dari sujud, beliau tidak langsung sujud lagi sebelum benar-benar duduk dengan tegak.
  • Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam duduk setiap selesai dua rakaat, dan dalam duduknya itu beliau membaca tahiyat, yaitu tasyahhud yang bacaannya telah diriwayatkan.
  • Duduknya beliau di antara dua sujud dan pada tasyahhud awal dalam shalat yang memiliki dua tasyahhud adalah dengan menduduki telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya serta mengarahkan ujung jari-jarinya ke arah kiblat.
  • Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang uqbah as-syaithan (duduk di atas dua tumit), yaitu memancangkan kedua betis dan paha lalu menempatkan pantat antara keduanya di atas lantai. Ini adalah cara duduknya anjing yang dianjurkan syetan agar ditiru untuk menghilangkan wibawa shalat dan gayanya yang indah.
  • Beliau juga melarang menghamparkan lengan, yaitu meletakkannya (menempelkan telapak dan lengan bawah hingga sikut) di lantai, karena hal ini menyerupai binatang buas saat membentangkan kedua kakinya (yang depan), baik itu ketika sedang makan maupun ketika sedang mengintai mangsa yang lengah.
  • Beliau menutup shalatnya dengan taslim, yaitu mengucapkan kepada orang-orang yang shalat kala itu dan para malaikat , “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah” satu kali sambil menoleh ke kanan, dan sekali lagi sambil menoleh ke kiri. Hal ini agar doa mulia itu bisa mencakup semua yang hadir.
  • Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu Anha telah meriwayatkan sifat shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini secara lengkap untuk mengajari umatnya agar bisa shalat seperti itu sebagai manifestasi sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Bukhari).

Wallahu Ta’ala A’lam

Doa Istiftah, pembuka shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Doa Istiftah

Berikut ini adalah beberapa hadist yang berkaitan dengan doa istiftah:

Hadist 214: Dari AIi bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: Bahwasanya apabila beliau telah berdiri untuk melaksanakan shalat, beliau membaca, “Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi …hingga… dan aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri. Ya Allah Engkauhlah Raja, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah Tuhanku dan aku hamba-Mu …. sampai akhir. (HR. Muslim).

Hadist 215: Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bila telah takbir untuk melaksanakan shalat, beliau diam sejenak sebelum membaca. Lalu aku bertanya kepada beliau, beliau pun menjawab, ‘Aku membaca, ‘Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan ku, sebagaimana baju putih yang dibersihkan dari kotoroan. Ya Allah, basuhlah aku dari kesalahan-kesalahan dengan air, es dan embun (HR. Mutaffaq ‘Alaih)

Hadist 216: Dari Umar Radhiallahu Anhu, bahwasanya dia pemah membaca, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji pada-Mu Maha berkah nama-Mu, Maha Tinggi kebesaran-Mu, tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. (HR. Muslim) dengan sanad munqathi’ dan diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni secara maushul dan mauquf.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Pembukaan shalat, baik itu dianggap wajib maupun sunnah, dan baik itu berupa dzikir maupun doa, hal itu dibaca setelah takbiratul ihram, sebelum ta’awwudz dan bacaan Al Faatihah. Pembukaan ini hanya pada rakaat pertama dan tidak ada pada rakaat lainnya.
  • Hukumnya sunnah dan bukan wajib berdasarkan hadits terdahulu yang menyebutkan tentang orang yang buruk shalatnya.
  • Banyak lafadz pembukaan shalat yang telah diriwayatkan dan yang lebih utama adalah membaca salah satunya setiap kali shalat (secara bergantian) sehingga bisa mengamalkan semua lafazh yang ada. Namun bila sebagian saja, maka itu pun boleh.
  • Syaikhul Islam mengatakan, “Disunnahkan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang ada tuntunannya menurut berbagai cara (yang tuntunannya itu ada) pada setiap ibadah tersebut. Maka tidak boleh memadukannya (dalam satu pelaksanaan) dan tidak pula melanggengkan hanya pada salah satu cara saja.”
  • Bacaan istiftah secara pelan, kecuali bila diperlukan untuk dibaca nyaring, misalnya untuk mengajarkan kepada orang yang shalat di belakangnya (makmumnya), sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Radhiallahu Anhu.
  • Diamnya imam ketika shalat sebagaimana yang dituturkan As-Sunnah ada dua kondisi: setelah takbir pembukaan dan diam sejenak setelah bacaan (sekadar untuk memberi jarak bacaan).
  • Dalam Hadist 216 diatas, Ibnu Qayyim mengatakan “Adalah benar bahwa Umar Radhiallahu ‘Anhu ber-istiftah dengan doa itu dan ia mengeraskan bacaannya untuk mengajarkan kepada orang lain (para makmumnya).
  • Mengenai Hadist 216 diatas, Imam Ahmad mengatakan, “Aku berpendapat dengan doa isftiftah ini. Seandainya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pemah membacanya di dalam shalat fardhu, tentu Umar tidak akan melakukannya dan tidak akan diakui oleh kaum muslimin.”
  • Memohon perlindungan kepada Allah di dalam shalat adalah sunnah dan dianjurkan menurut jumhur ulama.
  • Lafazh yang dipilih untuk ta’awwudz adalah A’udzu billaahiminasysyaithaannir-rajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk), ada juga A’udzu billaahissamii’il’aliim minasysyaithaanir-rajiim (aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan syetan yang terkutuk).

Wallahu Ta’ala A’lam

Sifat Shalat Nabi shallalahu alaihi wasallam

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Sifat Shalat Nabi shallalahu alaihi wasallam

Hadist 213: Dari Abu Humaid As-Sa’idi radhiallahu anhu; dia berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasllam apabila bertakbir beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya, bila ruku beliau memegang kedua lututnya dengan kedua tangannya, kemudian meluruskan punggungnya. Bila mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku) beliau berdiri tegak sehingga tiap-tiap tulang kembali ke poisi semula. Bila sujud, beliau menaruh kedua tangannya tanpa menempelkan kedua lengannya ke tanah dan tidak pula mengempitnya, sementara jari-jari kedua kaki beliau menghadap ke kiblat. Bila duduk dalam dua rakaat (pertama) beliau duduk di atas telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya. Bila duduk dalam rakaat terakhir, beliau majukan kakinya yang kiri dan menegakkan telapak kaki yang lainnya (yang kanan), dan beliau duduk dengan pantatnya. (HR. Bukhari)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Wajibnya takbiratul ihram dengan ucapan “Allahu akbar”, dan tidaklah sah shalat tanpa ucapan ini.
  • Disunnahkan mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak ketika takbiratul ihram.
  • Disunnahkan untuk menempelkan kedua telapak tangan pada kedua lutut ketika ruku dengan merenggangkan jari-jari tangan. Hadits-hadits yang menyebutkan tentang sifat meletakkan telapak tangan pada lutut ketika ruku merupakan hadits-hadits mutawatir.
  • Disunnahkan untuk meluruskan punggung ketika ruku hingga sejajar dengan kepala, sehingga posisi kepala rata dengan punggung, maka ketika ruku hendaknya tidak menengadahkannya dan tidak pula menundukkannya.
  • Kemudian mengangkat kepala dan kedua tangan hingga sejajar dengan bahu. Imam dan orang yang shalat sendirian hendaknya mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah”, sedangkan makmum mengucapkan “Rabbanaa walakal hamd”. Lalu tetap berdiri tegak hingga thuma’ninah sampai tulang punggung kembali ke posisi semula.
  • Kemudian sujud dengan menempatkan kedua tangan di atas lantai tanpa menempelkan lengannya (ke lantai), sementara jari-jari tangan mengarah ke kiblat dan tidak mengepalkannya.
  • Menempatkan kedua kaki di atas tanah dengan mengarahkan ujung jari-jarinya ke kiblat.
  • Ketika duduk untuk tasyahhud awwal, maka telapak kaki kiri diduduki, sementara telapak kaki kanan ditegakkan dengan mengarahkan jari-jarinya ke kiblat.
  • Ketika duduk untuk tasyahhud akhir (dalam shalat yang memiliki dua tasyahhud) maka duduk dengan pantat sambil menyilangkan kaki kiri hingga keluar dari bawah kaki kanan, sementara telapak kaki kanan ditegakkan dan pantat duduk di lantai.
  • Para ahli fikih mengatakan, Perempuan juga melakukan seperti yang dilakukan oleh laki-laki dalam semua gerakan yang lalu, termasuk mengangkat kedua tangan, hanya saja dengan mengempitkan pada dirinya ketika ruku, sujud dan lainnya, sehingga tidak merenggang dandengan merapatkan kedua kakinya pada sisi kanan ketika duduk.

Wallahu ta’ala a’lam

Bab Sifat Shalat – Thuma’ninah dalam shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat – Pendahuluan

Sifat shalat ialah sikap (bentuk) yang terjadi di dalam shalat yang memiliki rukun-rukun, kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah. Sikap ini bisa melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban bila seorang hamba telah melaksanakannya dengan memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya saja.

Shalat adalah ibadah yang paling agung sebagai sarana untuk menggapai keridhaan Allah Ta’ala dan memperoleh pahala-Nya bila pelaksanaan kewajiban-kewajibannya disertai dengan kekhusyu’an, ketundukan, thuma’ninah dan konsentrasi kepada Allah Ta’ala, yaitu melaksanakannya dengan merasa selalu diawasi oleh Allah Ta’ala, memikirkan dan menghayati bacaan, dzikir dan doa yang diucapkannya, termasuk ketika berdiri, ruku, sujud dan duduk.

Thuma’ninah dalam shalat

Hadist 212. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallalahu alaihi wasallam bersabda, “Jika engkau hendak melaksanakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu bertakbirlah, kemudian bacalah ayat Al-Qur’an yang terasa mudah bagimu, selanjutnya rukulah sehingga thuma’ninah dalam ruku, kemudian bangkitlah hingga engkau berdiri tegak, lalu sujudlah sehingga engkau thuma’ninah dalam sujud, kemudian bangkitlah sehingga thuma’ninah dalam duduk, lalu sujud lagi sehingga thuma’ninah dalam sujud. Kemudian, lakukanlah semua itu di dalam semua shalatmu.” (HR. Tujuh Imam hadits). Lafazh ini milik Bukhari

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Kisah hadist yang dimaksud adalah, bahwa seorang sahabat yang bernama Khalad bin Rafi’ masuk kedalam masjid lalu melaksanakan shalat yang tidak cukup, sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam memperhatikannya dan berkata “Kembalilah, lalu shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat” hingga tiga kali. Yang selanjutnya Nabi bersabda dalam hadist diatas.
  • Hal-hal yang disebutkan dalam hadist ini adalah hal-hal yang wajib dalam shalat, adapun yang tidak disebutkan berarti menunjukan tidak wajib selama tidak dipastikan oleh dalil lain.
  • Hadist ini menunjukan wajibnya melakukan perbuatan-perbuatan yang disebutkan didalamnya, yaitu: takbiratur ihram, membaca surat Al-Fatihah, kemudian ruku, I’tidal, sujud, bangkit dari sujud dan thuma’ninah pada perbuata itu, bahkan setelah bagkit dari ruku dan sujud.
  • Menurut para ahli fikih, Thuma’ninah ialah rukun shalat yang kesembilan, yaitu yang ada didalam ruku, bangkit dari ruku, sujud, dan duduk diantara dua sujud.
  • Ada dua pendapat mengenai kadar thuma’ninah: diam walaupun sebentar dan setara dengan kadar lamanya membaca dzikir wajib.
  • Wajibnya wudhu dan menyempurnakannya untuk melaksanakan shalat, dan bahwa ini merupakan syarat.
  • Wajibnya menghadap ke arah kiblat ketika shalat, dan ini merupakan syarat shalat.
  • Wajibnya berurutan dalam melaksanakan rukun-rukunnya.
  • Bahwa rukun-rukun tersebut tidak gugur karena alasan tidak tahu ataupun lupa.
  • Bahwa istiftah, ta’awudz, basmalah, mengangkat kedua tangan dan menempatkan di atas dada, cara ruku, cara sujud, cara duduk dan sebagainya, semua itu adalah sunnah.

Perbedaan pendapat di kalangan Ulama

  • Madzhab Hanafi berpendapat, shalat tetap sah dengan membaca ayat apa saja dari Al-Qur’an, sekalipun ia mampu membaca dan memahami Al-Faatihah.
  • Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, tidak sah shalat tanpa membaca Al-Fatihah bagi orang yang telah hafal.
  • Sebagian ulama berpendapat mengenai, wajibnya membaca Al-Fatihah pada dua rakaat pertama dan tidak wajib untuk yang lainnya.
  • Jumhur ulama berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah adalah disetiap rakaat.
  • Madzhab hanafi berpendapat, tidak wajib thuma’ninah ketika bangkit dari ruku dan tidak pula ketika dudu diantara dua sujud.
  • Jumhur ulama berpendapat, Wajib thuma’ninah ketika i’tidal setelah ruku dan ketika duduk setelah sujud, sebagaimana pada rukun-rukun lainnya yang disepakati keharusan thuma’ninah.

Wallahu ta’ala a’lam