Larangan membaca ayat Al-Qur’an saat ruku dan sujud

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Larangan membaca ayat Al-Qur’an saat ruku dan sujud

Hadits 233: Dari Ibnu Abbas Rhadiallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Ingatlah bahwa sesungguhnya aku dilarang membaca Al-Qur’an ketika ruku ataupun sujud. Adapun ketika ruku maka agungkanlah Tuhan, sedangkan ketika sujud, maka berdoalah dengan sungguh-sungguh, karena (saat itu) layak untuk dikabulkan doa kalian” (HR. Muslim)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Larangan membaca Al-Qur’an ketika ruku dan sujud baik dalam shalat fardu maupun shalat sunnah.
  • Hadist ini mengindikasikan haramnya apa yang dilarang itu, maka membaca Al-Qur’an ketika ruku dan sujud hukumnya haram. Namun mayoritas ulama mengindikasikan larangan itu sebatas makruh saja.
  • Wajib mengagungkan Rabb Jalla wa ‘Alla dalam posisi ruku dengan ungkapan redaksi yang ada tuntunannya.
  • Telah disebutkan dalam Musnad Ahmad (16961) dan Sunan Abu Daud (869) dari hadist Uqban bin Amir, dia berkata, “Ketika turunnya ayat, “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar’ (QS Al-Waqi’ah: 96), Nabi bersabda, “Berlakukanlah itu dalam ruku kalian”.
  • Wajib menyucikan Rabb Jalla wa ‘Alaa dalam posisi sujud dengan ungkapan yang ada tuntunannya.
  • Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan dari Uqban bin Amir, bahwa dia berkata, “Ketika turunnya ayat, ‘sucikanlah nama Rabbmu Yang Paling Tinggi’ (Qs. Al Alaa: 1) Nabi bersabda, ‘Berlakukanlah itu dalam sujud kalian’.
  • Bacaan tasbih ruku dan sujud yang waiib adalah satu kali, yaitu ” Subhaana rabbiyal ‘azhiimi’ (Maha Suci Tuhanku lagi Maha Agung) ketika ruku dan ” Subhaana rabbiyal a’laaa’ (Maha Suci Tuhanku lagi Maha Tinggi) ketika sujud, namun minimum yang sempuma adalah tiga kali, dan maksimum sepuluh kali bagi imam.
  • “Subhaana rabbiyal ‘azhiim” wajib dibaca ketika ruku dan ” Subhaana robbiyal a’la” wajib dibaca ketika sujud. Namun kewajiban ini bisa gugur karena lupa dan diganti dengan sujud sahwi. Insya Allah akan dibahas kemudian.

Wallahu Ta’ala A’lam

Sikap Rasulullah saat membaca ayat tentang rahmat dan adzab Allah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Sikap Rasulullah saat membaca ayat tentang rahmat dan adzab Allah

Hadits 232: Dari Hudzaifah Radhiallahu Anhu, Aku pemah shalat bersama Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, maka tidak ada ayat tentang rahmat yang dilewati beliau kecuali beliau berhenti pada ayat tersebut untuk memohon, dan tidak pula ayat tentang adzab kecuali beliau memohon perlindungan dari itu. (HR. Lima Imam hadits) dan dinilai hasan oleh At-Tirmidzi.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Disunnahkan menghayati Al Qur’an dan mengkaji makna-maknanya, baik ketika membaca maupun ketika mendengarkan, karena itu adalah bacaan yang sangat bermanfaat, Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Qs. Shaad [38]:29) baik itu di dalam shalat ataupun selainnya.
  • Disunnahkan memohon perlindungan kepada Allah ketika melalui ayat tentang adzab, ancaman dan yang serupanya, serta memohon rahmat ketika melalui ayat tentang rahmat, karena itu adalah doa yang sesuai dengan temanya.
  • Dalam riwayat Ahmad (18576) dan Ibnu Majah (1352) dari Muhammad bin Abdurahman bin Abu Laila dari ayahnya, dia berkata “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam membaca di dalam suatu shalat yang bukan fardhu, lalu ketika melalui ayat (yang menyebutkan tentang) surga dan neraka beliau mengucapkan “Aku berlindung kepada Allah dari neraka dan celakanya penghuni neraka”.
  • Dalam riwayat Ahmad (24088) Dari Aisyah Rhadiallahu Anha, dia berkata “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam pada malam Ramadhan. Beliau membaca surah Al Baqarah, An-Nisaa’ dan Aali ‘Imraan, dan tidaklah beliau melalui ayat yang mengandung berita gembira kecuali berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dan memohonkannya.”
  • Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam Al Fawa’id mengatakan, “Jika Anda ingin memperoleh manfaat dari Al Qur’an, maka konsentrasikanlah hati Anda ketika membaca dan mendengarnya, pusatkan pendengaran Anda dan bayangkan kehadiran yang menerima firman Allah itu, karena itu adalah perkataan dari-Nya untuk Anda melalui lisan Rasul-Nya, Allah Ta’ala berfirman,”Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peingatan bagi orang-orang yang mempunyai hati” ini adalah tempat untuk menerima. Maksudnya adalah hati yang hidup yang ingat akan Allah. “atau yang menggunakan pendengarannya” yakni memusatkan dan menajamkan pendengarannya “Sedang dia menyaksikannya.” (Qs. Qaaf [50]: 37) Yakni menyaksikan dengan mata hatinya, tidak lengah dan tidak lupa. Jika pemberi pengaruh (yakni Al Qur’ an) telah ada (yakni dengan membaca atau mendengarnya), tempat penerimaannya dalam kondisi hidup (yakni hati), dan syaratnya ada, yakni konsentrasi serta tidak ada penghambat, maka akan tercapailah manfaatnya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Rasulullah membaca surat As-Sajdah dan Al Insan pada shalat Subuh Jum’at

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Rasulullah membaca surat As-Sajdah dan Al Insan pada shalat Subuh Jum’at

Hadits 231: Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dia berkata, Dalam shalat Fajar (subuh) pada hari Jum’at, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam membaca alif laam miim tanziil (surah As-sajdah) dan Hal ataa ‘alal insaan (surah Al Insaan).” (HR. Muttafaq ‘Alaih) Dalam riwayat Ath-Thabrani dari hadits Ibnu Mas’ud disebutkan, “Beliau mendawamkan hal itu.”

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Disunnahkan membaca surat As-Sajdah di rakaat pertama shalat Subuh pada hari Jum’at dan surat Al-lnsaan di rakaat kedua.
  • Perkataan perawi “Kaana” dan dalam riwayat Ath-Thabrani, “Yudiimu dzaalik” menunjukkan bahwa itu terjadi terus menerus, yaitu bacaan dengan kedua surah tersebut dalam shalat Subuh pada hari Jum’at dan beliau tidak meninggalkan kebiasaannya itu.
  • Dalam Zad Al Ma’ad, Ibnul Qayyi, “Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam membaca surah As-Sajdah dan Al Insaan dalam shalat Subuh. Dan aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ‘Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam membaca kedua surah ini dalam shalat Subuh pada hari Jum’at adalah karena keduanya mengandung apa yang telah dan yang akan terjadi pada hari Jum’at.
  • Kedua surah itu menyebutkan tentang penciptaan Adam Alaihi Sallam, menyebutkan tentang hari kebangkitan dan pengumpulan para hamba, itu terjadi pada hari Jum’at.
  • Jadi seolah-olah, dibacakannya itu pada hari Jum’at peringatan bagi umat tentang apa yang telah dan yang akan terjadi agar mereka bisa mengambil pelajaran dari yang telah terjadi dan bersiap-siap untuk yang akan terjadi.

Wallahu Ta’ala A’lam

Membaca surah Ath-Thuur dalam shalat Magrib

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Membaca surah Ath-Thuur dalam shalat Magrib

Hadits 230: Dari Jubair bin Muth’im radhiallahu anhu: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membaca surat Ath-Thuur dalam shalat Magrib (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Biasanya bacaan dalam shalat Maghrib adalah dengan Al Mufashshal yang pendek karena singkatnya waktu Maghrib, namun adakalanya pula dengan yang panjang sehingga tidak mengkhususkan dengan yang pandek. Nabi shalallahu alaihi wasallam pun (dalam shalat Maghrib) pemah membaca surah Ath-Thuur, ini termasuk Al Mukshshal yang panjang.
  • Diriwayatkan bahwa dalam shalat Maghrib Nabi shallahu alaihi wasallam membaca surah Al A’raaf, surah Ash-Shaffaat, surah Ad-Dukhaan, surah Al Mursalaat, surah At-Tiin, dua surah Al Mu’aurwidzat (Al Falaq dan An-Naas). Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits shahih.
  • Para ulama mengatakan, “Penulisan Mushaf harus mengikuti susunan seperti yang sekarang ada ini, yaitu dalam urutan surah-surahnya, karena hal ini merupakan kesepakatan para sahabat, dan kesepakatan mereka itu adalah hujiah.”
  • Adapun mengenai bacaan, Imam An-Nawawi mengatakan, “Yang menjadi pilihan adalah membaca sesuai urutan mushaf, baik itu untuk dibaca di dalam shalat maupun lainnya. Bila membaca suatu surah, maka selanjutnya adalah surah yang berikutnya. Demikian ini karena urutan surah-surah itu ditetapkan untuk suatu hikmah, maka hendaknya dijaga.
  • Kecuali dalam hal yang dikecualikan oleh syariat, misalnya dalam shalat subuh pada hari Jum’at, pada rakaat pertama membaca surah As-Sajdah dan pada rakaat kedua membaca surah Al Insaan. Juga dalam shalat sunah Subuh, pada rakaat pertama membaca surah A lKaafiruun dan pada rakaat kedua membaca surah Al Ikhlaash. Ini boleh dilakukan walaupun tidak sesuai dengan urutan, karena Rasulullah shalallahi alaihi wasallam pun pernah membaca Al Baqarah, lalu surah An-Nisaa, kemudian surah Ali ‘Imraan.

Wallahu Ta’ala A’lam

Memanjangkan Shalat Subuh

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Memanjangkan Shalat Subuh

Hadits 229: Dari Sulaiman bin Yasar Radhiallahu Anhu, dia berkata, “Ada seseorang yang selalu memperpanjang shalat pada dua rakaat pertama shalat Zhuhur dan memendekkannya pada shalat Ashar. Dalam shalat Maghrib ia membaaca (surah-surah) Al Mufashshal yang pendek, dalam shalat Isya’ (membaca surah-surah Al Mufashshal) yang sedang (pertengahan) dan dalam shalat Subuh (membaca surah-surah Al Mufashshal) yang panjang. Abu Hurairah Radhiallahu Anhu mengatakan mengatalkan, ‘Aku tidak pernah shalat di belakang seseorang yang shalatnya lebih mirip dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasalaam daripada orang ini’. (HR An-Nasa’i) dengan sanad shahih.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Tuntunan Nabi shalallahu alaihi wasallam adalah tidak taratas hanya dengan membaca surah-surah Al Mufashshal yang pendek dalam shalat Maghrib, karena melanggengkannya berarti menyelisihi sunnah. Yang benar, bacaan dalam shalat Maghrib dengan Al Mufashshal yang panjang dan yang pendekserta surah-surah lainnya adalah sunnah.
  • Menurut pendapat yang kuat, Al Mufashshal dimulai dari surat Al Hujurat hingga akhir Al-Qur’an.
  • Al Mufashshal yang panjang dari Al-Hujurat hingga An-Naba
  • Al Mufashshal yang sedang dari An-Naba hingga Adh-Dhuhaa
  • Al Mufashshal yang pendek dari Adh-Dhuhaa hingga akhir Al Qur’an
  • Hikmah dipanjangkannya bacaan dalam shalat Subuh: Bahwa malaikat malam dan malaikat siang ikut menghadirinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala “Dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh Malaikat) (QS. Al Israa: 78)
  • Selain itu agar orang-orang sempat mengikuti shalat Subuh.

Wallahu Ta’ala A’lam

Lama berdirinya Rasulullah dalam shalat Zhuhur dan Ashar

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Lama berdirinya Rasulullah dalam shalat Zhuhur dan Ashar

Hadits 228: Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu Anhu, dia berkata: Kami pernah mengukur lamanya berdiri Rasullah shalallahu alaihi wasallam ketika shalat Zhuhur dan Ashar, maka kami mengukur lamaya berdiri beliau pada dua rakaat pertama shalat Zhuhur sekitar (lamanya membaca surah As-Sajdah), dan pada dua rakaat berikutnya sekitar setengah dari itu. Sementara pada dua rakaat pertama shalat Ashar seperti dua rakaat terakhir shalat Zhuhur, sedangkan dua rakaat terakhir setengahnya dari itu. (HR Muslim – 33)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  1. Disunnahkan memanjangkan rakaat pertama daripada rakaat kedua, dan disunnahkan memanjangkan dua rakaat pertama daripada rakaat keduanya.
  2. Sebagaimana pula sunnah menjadi shalat Zhuhur lebih panjang daripada shalat Ashar, baik dari bacaan maupun Gerakan. Karena ada faktor waktu, karena waktu Zhuhur lebih panjang sedangkan waktu shalat Ashar adalah setelahnya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Disunnahkan memanjangkan dua rakaat pertama dalam shalat yang empat rakaat.

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Disunnahkan memanjangkan dua rakaat pertama dalam shalat yang empat rakaat.

Hadits 227: Dari Abu Qatadah Radhiallahu Anhu, dia berkata “Rasullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam shalat bersama kami, dalam shalat Zhuhur dan Ashar di dua rakaat pertama beliau membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah) dan dua surah.
Andakalanya beliau memperdengarkan kepada kami ayat (yang beliau baca). Beliau memanjangkan rakaat pertama, dan untuk dua rakaat terakhir beliau membaca Fatihatul Kitab (HR. Muttafaq ‘Alaih – 32)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  1. Disunnahkan membaca sesuatu dari Al-Quran setelah bacaan Al-Fatihah pada dua rakaat pertama shalat Zhuhur dan Ashar, juga dalam sholat Magrib, Isya’ dan Shubuh.
  2. Disunnahkan memanjangkan rakaat pertama sehingga lebih panjang daripada rakaat keduanya dalam shalat Zhuhur dan Ashar
  3. Disunnahkan membaca Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir dalam shalat Zhuhur, Ashar & Isha serta pada rakaat ketiga shalat Magrib.
  4. Bacaan setelah Al-Fathah tidak wajib. Bacaan setelah Al-Fatihah dipraktekan baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah.
  5. Para sahabat menduga bahwa Nabi ﷺ memanjangkan rakaat pertama dengan maksud agar orang-orang (para jama’ah) bisa mendapatkan rakaat pertama (HR Ibnu Khuzaimah & Ibnu Hibban)

Wallahu Ta’ala A’lam

Bacaan pengganti untuk orang yang tidak hafal Al Fatihaah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Bacaan pengganti untuk orang yang tidak hafal Al Fatihaah

Hadist 226: Dari Abdullah bin Abu Aufa radhiallahu anhu, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Aku tidak dapat menghafal sedikit pun dari Al Qur’an, karena itu, ajarilah aku sesuatu yang mencukupiku.” Maka beliau pun bersabda, ” Ucapkanlah, Subhanallah (Maha Suci Allah), Alhamdulillaah (segala Puji Baginya), Laa Ilaaha Illallaah (tiada tuhan selain Allah), Allaahu Akbar (Allah Maha Besar), Laa Haula (dan Tidak ada daya), Wa Laa Quwwata (dan upaya), Illa Billahi ‘Aliyil Adzim (kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).” (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i) dinilai shahih oleh lbnu Hibban, Ad-Daruquthni dan Al Hakim.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Telah dibahas di muka bahwa membaca Al Faatihah pada setiap rakaat sebagai rukun, tanpa itu shalat tidak sah.
  • Hanya saja kaidah syar’iyah menyatakan “Bahwa kewajiban gugur karena ketidakmampuan memenuhinya, sehingga bisa dilakukan dengan pengganti.
  • Firman Allah Ta’ala “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghaabun: 16).
  • Sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam “Apabila aku memerintahakan sesuatu kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian” (Bukhari 6858).
  • Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak hafal Al Faatihah atau sebagiannya, maka ia membaca dzikir yang disebutkan dalam hadits tersebut, dan itu sudah cukup. Hal ini sebagai kemudahan bagi para hamba.
  • Disebutkan dalam Syarh Al lqna, ‘Jika tidak mampu mempelajari (menghafal) Al Faatihah, atau karena sempitnya waktu, maka gugurlah (kewajiban membacanya), dan wajib baginya untuk membaca yang lainnya dari Al Qur’an, misalnya sudah hafal satu ayat dari Al Faatihah atau dari surah lainnya, maka hendaknya mengulang-ulanginya sekadarnya. Jika sama sekali tidak ada yang dihafalnya dari Al Qur’ an, maka lazim baginnya untuk mengucapkan sesuai dengan hadist diatas.
  • Keutamaan dzikir yang mulia ini. Dzikir ini bisa menggantikan posisi Al Faatihah (bagi yang tidak mampu), padahal Al Faatihah adalah surah yang paling agung di dalam Al Qur’an, sehingga dzikir ini lebih didahulukan dari pada dzikir-dzikir lainnya untuk menempati posisi yang agung itu.
  • Simple dan tolerannya syariah, sehingga seorang muslim tidak dibebani dengan beban yang di luar batas kemampuannya, bila ia tidak mampu memenuhi satu pintu kebaikan, Allah membukakan baginya pintu lainnya untuk menyempurnakan ganjarannya dan mencapai kedudukan yang telah ditetapkan Allah baginya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Mengucapkan Aamiin

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Mengucapkan Aamiin

Hadist 224: Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dia berkata: Apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membaca Ummul Qur’an, beliau mengeraskan suaranya dan mengucapkan ‘Aamiin’.” (HR. Ad-Daruquthni) ia menilainya hasan, sementara Al Hakim menilainya shahih.

Hadist 225: Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Abu Daud dan At Tirmidzi dari hadits Wail bin Hujr.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Kedua hadits tadi menunjukkan disyariatkannya pengucapan aamiin bagi imam setelah selesai membaca Al Fatihah dengan memanjangkan pengucapannya.
  • Telah disebutkan di dalam riwayat Al Hakim (1/3571) dan Al Baihaqi (2/46) yang bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengucapkan, ‘aamiin’ sehingga terdengar oleh orang-orang yang berada di shaf pertama, maka seisi masjid pun bergemuruh.
  • Telah disebutkan dalam Shahih Bukhari (780) dan Muslim (410) dari Hadist Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda “Apabila imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin oleh kalian, karena sesungguhnya barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan aminnya malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”.
  • Para ulama sepakat bahwa pengucapan aamiin adalah untuk imam, makmun dan orang yang shalat sendirian. Mayoritas mereka menyatakannya sebagai sunnah, bukan wajib.
  • Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat, “Sunnahnya pengucapan aamiin secara pelan, bahkan sekalipun dalam shalat jahr (shalat yang bacaannya keras).”
  • Madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, “Bahwa pengucapan aamiin itu dengan suara keras (dalam shalat jahr) dan dengan suara pelan dalam shalat sirr (shalat yang bacaannya tidak keras) serta sunnahnya pengucapan aamiin makmum menyertai imam berdasarkan hadits, “Apabila imam mengucapkan,’waladh dhaalliin’ maka ucapkanlah, ‘aamiin’.’ Sehingga pengucapan aamiin yang dilakukan oleh makmum bersamaan dengan pengucapan aamiinnya imam.
  • Sabda beliau dalam hadits Abu Hurairah , ” Apabila imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin oleh kalian.” Maksudnya adalah, bila imam mulai mengucapkan aamiin maka ucapkanlah aamiin sehingga aminnya imam bersamaan dengan aminnya makmum.

Wallahu Ta’ala A’lam

Mengeraskan bacaan Basmalah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Mengeraskan bacaan Basmalah

Hadist 222: Dari Nu’aim Al Mujmir, dia berkata: Aku shalat di belakang Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, lalu ia membaca “Bismillaahirrahmaanirrahiim” kemudian membaca Ummul Qur’an hingga ketika sampai pada “Waladh-dhaalliin’ ia mengucapkan ‘Aamiin.” Setiap kali ia sujud dan bangun dari duduk ia mengucapkan “Allaahu Akbar.” Kemudian setelah salam dia berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.” (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Disunnahkan mengeraskan bacaan basmalah di awal bacaan shalat.
  • Disebutkan dalam Syarh Al Mughni: hadits ini yang paling shahih dalam temanya, An-Nasa’i memberi judul dalam kitab sunannya dengan, “Mengeraskan bacaan bismillahirramnaanirrahiim.”
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai hadits ini, ia mengatakan, “Ahli hadits telah sepakat bahwa tidak ada hadits shahih yang memastikan dikeraskannya (bacaan basmallah) dengan Al Faatihah, sedangkan yang jelas-jelas menyatakan demikian terdapat dalam hadits-hadits palsu.”
  • Karena itu, hadits-hadits tersebut tidak bisa mematahkan hukum ini dan tidak bisa menganulir hadits-hadits shahih, baik yang telah disebutkan maupun yang tidak disebutkan.
  • Disunnahkan mengucapkan ‘Aamiin’ bagi imam dengan suara yang panjang.
  • Hadist ini menunjukan disyariatkannya takbir intiqal (takbir untuk menandakan perpindahan) dari satu ruku ke rukun lainnya.

Hadist 223: Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Apabila kalian hendak membaca Al Faatihah, maka ucapkanlah bismillaahirraahmaanirrahiim, karena itu adalah salah satu ayatnya (HR. Ad-Daruquthni) dan membenarkan sebagai hadist mauquf. –

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bacaan basmallah di dalam shalat, yaitu ketika hendak membaca surah Al Faatihah. Karena basmalah merupakan salah satu ayat surat Al Faatihah
  • Hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih sehingga tidak mungkin menerima hadits ini bersamaan dengan hadits-hadits shahih dimaksud. Para imam ahli hadits telah membenarkan mauquf-nya hadist ini. Namun pintu ijtihad dalam hal ini tetap terbuka. Bila benar, maka ini dari perkataan dan ijtihadnya Abu Hurairah Radhiallahu Anhu. Telah disebutkan perdapat Syaikhul Islam mengenai hal ini, menurutnya, “Ahli hadist telah sepakat bahwa tidak ada hadits shahih yang memastikan dikeraskannya bacaan basmalah dengan Al Faatihah, sedangkan yang jelas-jelas menyatakan demikian terdapat dalam hadits-hadils palsu”. Sementara itu, Ath-Thahawi mengatakan, “Meninggalkan bacaanbasmalah dengan keras di dalam shalat adalah mutawatir yang bersumber dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan para khalifahnya.

Wallahu Ta’ala A’lam