Shaf terbaik bagi laki-laki dan wanita

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Shaf terbaik bagi laki-laki dan wanita

Hadits 335: Dari Abu Hurairah Radhilallahu Anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda,”Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama, dan yang paling buruk adalah yang paling belakang. Sementara sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling buruk adalah yang pertama” (HR. Muslim).

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Hadits ini menunjukkan lebih disukainya shaf pertama, dan shaf pertama itu merupakan posisi yang paling utama, sedangkan yang paling buruk adalah shaf-shaf yang belakang, karena jauhnya makmum dari mendengarkan bacaan imam dan dari tempat imam, disamping hal ini menunjukkan kecilnya ambisi orang yang datang belakangan dalam meraih kebaikan dan pahala.
  • Selain itu, bahwa yang lebih utama adalah mendahulukan cendekia berada di belakang imam, sehingga bisa menjadi panutan orang-orang yang di belakang mereka dalam hal ucapan dan perbuatan.
  • Adapun bagi wanita, yang dianjurkan adalah bertabir dan jauh dari pandangan laki-laki. Maka shaf-shaf yang belakang lebih utama dan lebih tertutup. Sedangkan shaf-shaf depan adalah yang paling buruk, karena lebih dekat kepada fitnah, atau bisa menimbulkan fitnah. Demikian ini bila mereka shalat dengan kaum laki-laki. Namun apabila shalat dengan sesama kaum wanita, maka hukum shaf mereka seperti shafnya laki-laki.
  • Yang paling berhak terhadap shaf pertama dan lebih dekat kepada imam adalah para ulama cendekia; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rasulullah bersabda, “Hendaknya yang dibelakangku dari kalian adalah para ulama cendekia”.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Merapatkan Shaf Shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Merapatkan Shaf Shalat

Hadits 334: Dari Anas Radhilallahu Anhu: Bahwa Nabi bersabda,”Rapatkanlah shaf-shaf kalian, saling berdekat diantara shaf dan sejajarkanlah leher kalian” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i). Dinilah shahih oleh Ibnu Hibban.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Hadits ini menunjukkan disunnahkannya merapatkan dan meluruskan shaf serta saling berdekatannya antar orang yang shalat; yaitu jangan sampai meninggalkan celah di dalam shaf (barisan shalat).
  • Nabi bersabda, “Tidaklah kalian berbaris sebagaimana berbarisnya malaikat di hadapan Rabbnya?” Mereka berkata, “Bagaimana berbarisnya malaikat di hadapan Rabbnya?” Beliau bersabda, “Mereka menyempurnakan barisan demi barisan dan saling merapat dalam barisan.” Tidak ada perbedaan pendapat bahwa melurskan shaf hukumnya sunnah mu’akadah.
  • Saling menempelkan mata kaki hukumnya sunnah mu’akadah, sebagaimana dalam hadits An-Nu’man bin Basyir, Rasulullah bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian!” – beliau ucapkan tiga kali – Ia (Nu’man bin Basyir) mengatakan, “Lalu aku melihat orang menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya.”

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Orang yang Berhak Menjadi Imam – Bagian 2

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Orang yang Berhak Menjadi Imam

Hadits 332: Dari Abu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda,”Hendaknya yang menjadi imam suatu kaum adalah orang yang paling pandai di antara mereka dalam membaca Al-Qur’an. Jika kepandaian mereka dalam membaca (Al-Qur’an) sama, maka yang paling mengerti tentang As-Sunnah. Jika pengertian mereka tentang As-Sunnah sama, maka yang paling dahulu berhijrah. JIka waktu hijrah mereka sama, maka yang paling dahulu memeluk islam –Dalam riwayat lain: Yang paling tua -. Dan janganlah seorang laki-laki mengimami laki-laki di wilayah kekuasaannya, dan jangan pula duduk di tempat kehormatannya yang ada di dalam rumahnya kecuali atas seizinnya” (HR. Muslim).

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Dianjurkan otoritas menjadi imam diserahkan kepada yang paling utama kemudian yang utama. Keutamaan ini diukur dengan ilmu syar’i dan pengalamannya.
  • Semestinya hal ini menjadi pelajaran bagi kaum muslim dan semua otoritas (kewenangan), sehingga tidak membebankan kepemimpinan atau mengangkat imam (pemimpin) kecuali yang berkompeten dan memenuhi dua syarat utamanya, yaitu: amanah dan kuat (mampu menjalankan).
  • Firman Allah Ta’ala: “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (Al-Qashash: 26).
  • Kaum muslim tidak akan terhina dan kehilangan kemuliaan serta dilanda kerusakan, kecuali karena meninggalkan dan menyia-nyiakan amanah ini.
  • Rasulullah bersabda: “Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah datangnya Kiamat“. Seorang Badui bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana amanah disia-siakan?” Beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya“. (HR Al-Bukhariy)
  • Imamah menjadi hak orang yang paling banyak hafal Al-Qur’an; karena Al-Qur’an merupakan dasar semua ilmu yang bermanfaat. Jadi standarnya adalah lebih mengetahui Al-Qur’an dan memahaminya serta memahami shalat.
  • Jika hafalan Al-Qur’an mereka sama, maka yang lebih diutamakan adalah yang paling mengerti tentang sunnah Nabi .
  • Jika pengetahuan dan hafalan Al-Qur’an dan As-Sunnah sama, maka yang lebih diutamakan adalah yang lebih dulu berhijrah dari negeri kufur ke negeri Islam. Jika tidak ada hijrah, maka yang lebih dahulu taubat dan meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah, dan lebih mencerminkan perealisasian perintah-perintah Allah Ta’ala.
  • Dalam suatu riwayat disebutkan, “Maka yang paling tua“; demikian ini karena yang lebih tua adalah lebih dahulu memeluk Islam sehingga lebih banyak amal shalihnya.
  • Urutan ini selayaknya diperhatikan ketika datangnya jam’ah untuk melakukan shalat, atau ketika hendak mengangkat imam suatu mesjid. Tapi bila suatu mesjid sudah ada imam tetapnya, maka dialah yang lebih didahulukan, walaupun datang orang yang lebih utama darinya; berdasarkan sabda Nabi Dan janganlah seorang laki-laki mengimami laki-laki lain di wilayah kekuasannya.“.
  • Orang-orang yang paling berhak menjadi imam daripada yang lainnya:

a. Pemimpin kaum muslim, dan yang menangani urusan mereka, lebih berhak di wilayah kekuasannya daripada yang lain.

b. Pemilik rumah, atau pemilik gedung atau komplek lebih berhak menjadi imam daripada pengunjung (tamu).

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Orang yang Berhak Menjadi Imam – Bagian 1

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Orang yang Berhak Menjadi Imam

Hadits 331: Dari Amru bin Salamah Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: Ayaku mengatakan “Aku datang kepada kalian dari Nabi dengan suatu kebenaran, beliau bersabda, ‘Apabila datang waktu shalat, hendaklah seseorang di antara kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang megimami kalian adalah yang paling banyak hafalan Al-QU’rannya diantara kalian'”. Amru melanjutkan, “Lalu mereka berpikir, dan ternyata tidak ada orang yang lebih banyak hafalan Al-Qur’annya daripada aku. Maka mereka pun mendahulukan aku. Sementara saat itu aku masih berusia berusia enam atau tujuh tahun.” (HR. Al-Bukhariy, Abu Daud, dan An-Nasa’i)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Hadits ini menunjukan bahwa adzan hukumnya fadhu kifayah
  • Yang lebih berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya
  • Bolehnya anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan hal yang baik dan hal yang buruk) menjadi imam shalat.
  • Al-Qur’an menjadi sebab ditinggikannya derajat dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat.
  • Yang menjadi imam lebih utama daripada adzan; karena imam disandang oleh orang berilmu, sedangkan adzan bisa dipenuhi oleh setiap orang.

Perbedaan pendapat:

  • Madzhab Hanafi berpendapat, “Tidak sahnya imamah anak kecil yang belum baligh, baik untuk shalat fadhu maupun shalat sunnah”.
  • Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat,”Tidah sahnya imamah anak kecil untuk shalat fardhu, tapi sah untuk shalat sunnah”.
  • Mazhab Syafi’i berpendapat, “Sahnya imamah anak kecil, baik untuk shalat fadhu maupun shalat sunnah”.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Memperingan Shalat Jama’ah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Memperingan Shalat Jama’ah

Hadits 330: Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Bahwa Nabi ﷺ besabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankan (shalatnya). Karena sesungguhnya di antara mereka terdapa anak kecil, orang tua (lanjut usia), orang yang lemah, dan yang mempunyai hajat. Namun bila ia shalat sendirian, maka ia boleh shalat sekehendaknya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Dianjurkan untuk meringankan shalat ketika mengimami manusia dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah, karena diantara makmum ada anak kecil, orang yang lanjut usia dan orang lemah yang tidak tahan dengan panjangnya shalat.
  • Begitu pula orang yang punya hajat (keperluan) yang pikirannya sedang tertuju kepada hajatnya dan khawatir terlewatkan atau rusak dan sebagainya.
  • Dari hadits ini dapat disimpulkan, bahwa bila jumlah makmumnya terbatas, dan mereka sudah terbiasa dengan panjangnya shalat, maka itu boleh (yakni, imam boleh memanjangkan shalatnya); karena mereka berhak untuk mendapatkan itu, bahkan terkadang keigninaan itu berasal dari mereka sendiri, maka tidak apa-apa memanjangkan shalat.
  • Adapun bila shalat sendirian, maka boleh shalat sesukanya; karena hal ini kembali kepada kehendak dan semangatnya.
  • Hadits ini mengandung anjuran untuk memperhatikan kaum yang lemah dalam semua urusan yang disertai oleh orang-orang yang kuat, baik itu dalam urusan agama maupun sosial.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Kisah Shalatnya Rasulullah ﷺ Saat Sakit

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Kisah Shalatnya Rasulullah ﷺ Saat Sakit

Hadits 329: Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, tentang kisah shalatnya Rasulullah ﷺ yang sedang sakit, bersama orang-orang. Ia mengatakan, “Beliau datang lalu duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Beliau mengimami orang-orang sambil duduk, sementara Abu Bakar berdiri mengikuti shalat Nabi ﷺ, sementara orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Ketika Nabi ﷺ sedang sakit, beliau bersabda, “Suruhlah Abu Bakar agar mengimami shalat“. Maka Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu pun mengimami orang-orang. Lalu Nabi ﷺ merasa agak baikan, beliau pun datang sementara orang-orang sedang shalat. Beliau duduk di sebelak kiri Abu Bakar, sehinnga Nabi ﷺ menjadi imam, beliau mengimami orang-orang sambil duduk, sementara Abu Bakar shalat sambil berdiri. Abu Bakar mengiktui shalatnya Nabi ﷺ, sementara orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar.
  • Bolehnya orang yang tidak mampu berdiri mengimami orang yang mampu berdiri.
  • Dibolehkan adanya mubaligh imam (orang yang menirukan takbir imam), bila hal ini diperlukan karena luasnya tempat dan banyaknya para makmum.
  • Posisi makmum disebelah kanan imam; Sementara Nabi ﷺ (dalam hadits ini) posisinya disebelah kiri Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu. Ini menunjukkan bahwa beliaulah imamnya.
  • Boleh meniatkan untuk menjadi imam shalat, walaupun shalat sudah berlangsung, dan boleh juga merubah niat dari imam menjadi makmum. dipertengahan shalat, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Larangan Memperpanjang Shalat Jama’ah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Larangan Memperpanjang Shalat Jama’ah

Hadits 328: Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhuma, ia berkata: Mu’adz penah mengimami shalat Isya para sahabatnya yang dirasa panjang oleh mereka. Maka Nabi bersabda, “Apakah engkau ingin menjadi pemicu fitnah wahai Mu’adz? Apabila engkau mengimami orang-orang, maka bacalah wasyamsyi wa dhuhaaha (surah Asy-Syams), sabbihisma rabbikal a’laa (surah Al Al’laa), iqra’ bismi rabbika (surah Al ‘Alaq), dan wallaili idza yaghsyaa (surah Al-Lail)” (HR. Muttafaq ‘Alaih) lafazh ini adalah lafazh Muslim.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Tidak selayaknya imam membebani para makmum dengan memanjangkan shalat, karena di antara mereka terdapat orang yang tidak tahan dengan panjangnya shalat, yaitu mereka yang sudah lanjut usia, yang lemah, dan yang punya hajat.
  • Al Hafizh mengatakan, “Orang yang menempuh cara Nabi ﷺ dalam penyempurnaan shalat jama’ah tidak akan ada keluhan panjang. Sifat shalat Nabi sudah cukup diketahui. Karena itu, meringankan shalat yang diperintahkan itu adalah perkara yang relatif, namun harus merujuk kepada apa yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, yang beliau dawamkan dan beliau perintahkan, bukan berdasarkan kecenderungan para makmum. Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari Anas, ia berkata “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang imam yang shalatnya lebih ringan dan lebih sempurna daripada Nabi.”
  • Disebutkan didalam Al Mubdi’, “Para sahabat pernah mengukur shalat Nabi ﷺ, ternyata lamanya sujud beliau sekitar ucapan ‘subhaana rabbiyal a’laa‘ sepuluh kali, dan ruku juga seperti itu. Sementara beliau telah bersabda, ‘Shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihat aku shalat‘ (HR. Bukhari). Maka selayaknya yang dilakukan adalah yang sering dilakukan oleh Nabi ﷺ, bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan kemaslahatan, sebagaimana Nabi ﷺ kadang menambah dan kadang mengurangi untuk suatu kemaslahatan.”
  • Ibnu Adil Barr mengatakan, “Meringankan shalat merupakan kesepakatan para imam (ulama), tidak ada perbedaan pendapat mengenai sunnahnya hal ini. Lain lagi tentang mensyaratkannya dalam imamah (menjadi imam shalat)”
  • Dianjurkan untuk membaca surah-surah yang disebutkan di dalam hadits dan yang kadarnya setara dengan itu di dalam shalat (ketika mengimami makmum), dan disyariatkan pula agar ruku dan sujudnya sesuai dengan panjangan pendeknya bacaan.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Shalat Sunnah Afdhalnya dikerjakan di Rumah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Shalat Sunnah Afdhalnya dikerjakan di Rumah

Hadits 327: Dari Zaid bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah membatasi kamar dengan tikar lalu beliau shalat di dalamnya. Hal itu diketahui oleh orang-orang lalu mereka pun mengiktui shalat beliau …” Al Hadits. Didalam riawayat ini ada keterangan sabda beliau: “Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat fadhu” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Bolehnya bermakmum dengan imam yang berada di dalam sekat kamar yang tidak terlihat oleh makmum, atau alah satunya berada di atas sementara yang lainnya di bawah; karena kemungkinan untuk mengikuti bisa dilakukan bila imam dan makmum sama-sama berada di satu masjid. Bolehnya hal ini merupakan kesepakatan para imam (ulama).
  • Bolehnya membuat sekat (kamar atau ruangan ) di dalam masjid dan mengkhususkannya untuk ibadah dan istriahat bila hal itu diperlukan dan tidak menganggu (menyebabkan kesempatan) bagi orang-orang yang shalat.
  • Shalat sunnah di rumah adalah lebih utama; untuk menyinari rumah dengan shalat dan menjauhkan diri dari riya’ dan sum’ah. Adapun shalat-shalat fardhu, pelaksanannya wajib di masjid, kecuali bila ada udzur. Demikian hukumnya bagi kaum laki-laki yang mukallaf.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Kewajiban Mengikuti Imam dalam Shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Kewajiban Mengikuti Imam dalam Shalat

Hadits 325: Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dijadikannya imam itu untuk diikuti. Karena itu, apabila ia bertakbir, bertakbirlah kalian, dan janganlah kalian bertakbir sampai imam bertakbir. Apabila ia ruku, maka rukulah kalian, dan janganlah kalian ruku sampai imam ruku. Apabila ia mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah,’ (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) maka ucapkanlah, ‘Allahumma rabbanaa lakal hamd.’ (ya Allah Tuhan kami, segala puji bagi-Mu). Apabila ia sujud maka sujudlah kalian, dan janganlah kalian sujud sampai ia sujud, dan bila ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk.” (HR. Abu Daud) dan ini adalah lafaznya. Asalnya terdapat di dalam Ash-Shaihain.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Wajibnya mengikuti imam. karena imam adalah panutan dalam semua gerakan perpindahan shalat serta semua perbuatan dan bacaan shalat. Jadi, tidak boleh menyelisihi imam.
  • Yang afdhal, gerakan makmum dilakukan setelah gerakan imam, sehingga makmum mengikuti imam.
  • Yang disyariatkan bagi imam dan orang yang shalat sendirian adalah mengucapakan “Sami’allaahu liman hamidah” ketika bangkit dari ruku. Namun ucapan ini tidak disyariatkan bagi makmum.

Hadits 326: Dari Abu Sai’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu: Bahwa Rasulullah pernah melihat para sahabatnya di belakang (yakni agak jauh dari beliau), lalu beliau bersabda, “Majulah kalian dan ikutilah aku, hendaknya orang-orang yang setelah kalian (yakni di belakang kalian) mengikuti kalian.” (HR. Muslim)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  1. Disunnahkan mendekati imam; karena itu, barisan-barisan depan kaum laki-laki lebih utama daripada yang belakang-belakangnya.
  2. Imam adalah panutan dalam shalat untuk semua perbuatan dan ucapan shalat, maka tidak selayaknya menyelishi imam dalam shalat.
  3. Di dalam shalat terkandung disiplin dan tata tertib Islami; untuk membiasakan kaum muslim agar teratur baik, tertata rapih serta taat dan patuh pada kebaikan.
  4. Makmum yang tidak dapat melihat atau mendengar imam secara langsung, hendaknya mengikuti makmum yang ada didepannya.
  5. Syaikhul Islam mengatakan, “Shalat berjama’ah disebut shalatul jama’ah; karena berkumpulnya orang-orang shalat dalam melaksanakannya, baik waktu maupun tempatnya.
  6. Imam Nawawi mengatakan, “Syarat sahnya mengiktu (yakni: bermakmum) adalah makmum mengetahi gerakan (perpindahan rukun) imam; baik shalat itu dilakukan di mesjid atau lainnya yang dilakukan secara berjama’ah. Mengetahui hal itu bisa dengan mendengar imam atau orang yang dibelakannya, atau boleh berpatokan pada salah satunya. Dan hendaknya jarak itu tidak terlalu jauh, bila itu dilakukan di selain masjid.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Kewajiban Shalat Berjamaah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Kewajiban Shalat Berjamaah

Hadits 323: Dari Abu Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi bersabda, “Barangsiapa mendengar seruan (shalat) lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al Hakim).

Hadits 324: Dari Yazid bin Al Aswad Radhiallahu ‘Anhu: Bahwa ia pernah melakukan shalat Subuh bersama Rasulullah , ketika Rasulullah selesai shalat, tiba-tiba beliau mendapati dua laki-laki yang belum shalat, lalu beliau minta dipanggilkan keduanya, maka kedua orang itu pun didatangkan sementara tubuh keduanya gemeter. Beliau berkata kepada mereka berdua, “Apa yang menghalangi kalian berdua untuk ukut shalat bersama kami? Mereka menjawab, “Kami sudah shalat di rumah kami.” Beliau berkata lagi, “Jangan kalian lakukan itu. Jika kalian sudah shalat di rumah kalian, lalu kalian dapati imam belum shalat, maka shalatlah bersamanya, karena shalat tersebut sebagai sunnah bagi kalian.” (HR. Ahmad) Lafadz ini adalah lafazh Ahmad. Diriwayatkan juga oleh tiga imam hadits. Dinilai shahih oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban.

Wallahu Ta’ala ‘Alam