4. Jauhi larangan dan laksanakan perintah dalam Al-Qur’an serta mengembalikan ayat mutasabih kepada Allah

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab: Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Setelah menguraikan tentang keutamaan ilmu dan sejumlah pembahasan terkait dengannya. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai keagungan Al-Quran, bagaimana kedudukannya, beberapa ketentuan terkait dengan Al-Qur’an: mengenal hukumnya, beramal, dan mengimani. Juga diterangkan mengenai sejumlah keutamaan dari Al-Quran: keutamaan membaca dan tadabur.

Berikutnya penulis membahas tentang etika terhadap Al-Qur’an.

Bait Syair 92:

Bait Syair 92: Menjauhlah dari larangan-larangannya, wahai teman … Sedangkan perintah yang ada didalamnya maka tetapilah tanpa ragu.

Dan terhadap larangan-larangan yang ada didalam Al-Qur’an, jadilah engkau wahai kawanku berhenti darinya. Dan perintah dari Al-Qur’an itu tanpa keraguan dia berpegang (Dilaksanakan)

Terhadap yang dilarang, dia berhenti dari larangan. Larangan memberi pengaruh kepadanya, dan reaksinya adalah berhenti darinya.

Ini adalah sifat seorang mukmin apabila larangan maka berhenti dan apabila perintah yang jelas maka dilaksanakan.

Dua hal:

  1. Berhenti dari larangan
  2. Dan melaksanakan perintah

Kemudian mengenai ayat-ayat mutasyabih (samar)

Bait Syair 93:

Bait Syair 93: Ayat yang mutasyabihat maka serahkan kepada Allah … dan jang kamu masuk terlalu dalam bisa menyebabkan siksa.

Pembahasan: Mengembalikan kata yang samar kepada Allah

Kata mutasyabih diartikan dalam bahasa arab adalah kemiripan (semisal) antara yang satu dengan yang lain. Dalam pengertian mutasyabih adalah kemiripan, seluruh Al-Quran adalah mutasyabih sebagaimana firman Allah:

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`ān yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan-nya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka pada waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pemberi petunjuk baginya. (QS. Az-Zumar: 23)

Allah yang menurunkan sebaik-bak pembicaraan sebuah kitab yang mutsyabih (sebagian mirip dengan yang lainnya). Misalnya: disatu surat ada ayat tentang surga, disurat yang lainnya juga ada ayat tentang surga, kemudian di satu surat ada ayat tentang neraka disurat lain juga ada tentang neraka yang semisal. Ini adalah mutasyabih, yang secara maknanya terang.

Akan tetapi mutasyabih yang dibahas penulis adalah sebagaimana dalam surat Al Imran ayat 7:

Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Al-Qur`ān) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur`ān dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat1. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Al-Imran: 7)

Dialah Allah yang menurunkan kepada nabi Muhammad Al-Qur’an, dalam kitab ini ada ayat-ayat yang muhkam (pokok isi induk al-quran) dan selainnya adalah mutasyabih.

Makna mutasyabih disini adalah ayat yang samar maknanya untuk sebagian orang. Atau ayat yang maknanya apabila dibawakan dengan ayat yang muhkam, keliatannya samar.

Kaidahnya adalah apabila ada yang mutasabih, disandarkan kepada Allah dan maknanya diarahkan kepada yang muhkam. Misalnya ayat yang terkait dengan sifat Allah, sifat berbicara dimana dalam bahasa arab jelas makna berbicara. Penetapan sifat berbicara itu adalah muhkam sudah tetap. Tapi bagaimana Allah berbicara ini adalah mutasabih, sehingga dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana kelanjutan ayat, orang yang dihatinya ada penyakit, dia mencari yang mutasabih karena mencari fitnah dan menghindari takwilnya. Padahal tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang yang paham ilmu.

Makna Takwil:

Takwil dalam Al-quran dan hadist ada dua makna:

  1. Takwil bermakna hakikat yang sesuatu kembali kepadanya. Misalnya Tentang hari kiamat, mereka tidak menduga hari kiamat kecuali takwilnya hari kiamat (Al-Araf 53). Maksudnya orang kafir tidak percaya pada hari kiamat kecuali hari kiamat telah benar-benar terjadi. Ini dinamakan takqiel yaitu kembali pada hakikatnya.
  2. Takwil bermakna tafsir.

Adapun takwil dengan makna lainnya biasanya dipakai orang-orang yang menyimpang yaitu dari makna yang jelas diarahkan kepada makna yang tidak jelas. Misalkan Allah memiliki wajah, Allah diibaratkan sebagai ridha Allah. ALlah memiliki tangan, tangan diartikan kekuasaan. Dalam bahasa arab wajah dan tangan jelas maknanya. Harusnya mudah saja kita tetapkan wajah dan tangan allah sebagaimana Allah tetapkan untuk dirinya. Wajah dan tangan semua orang paham secara bahasa. Adapun hakikat wajah dan tangan Allah tidak ada yang tau kecuali Allah. Sebagaimana dalam As Syura 11. Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun. Jadi kita yakini kita tidak tahu bagaimana wajah dan tangan allah, tapi kita yakini wajah dan tangan Allah tidak serupa dengan apapun. ALlah maha mendengan dan maha melihat.

Kaidah mutasabih, Apabila yang mutasabh dalam tafsir nya, maka dikembalikan kepada yang muhkam. Akan tetapi yang mutasabih terkait dengan hakikatnya, maka yang mutasanih ini dikembalikan kepada ALlah.

Penulis berkata: apa yang mutasabih darinya, maka serahkan kepada ALlah. Jangan kamu tenggelam dalam membicarakannya. Karena larutnya kamu didalamnya dapat kemurkaan Allah.

Ibnu abas berkata tafsir ada 4:

  1. Tafsir yang tidak semua orang pun diberi udzur memahaminya. Semua orang paham tafsirnya.
  2. Tafsir yang semua orang arab paham makna tafsir itu dari bahasa mereka
  3. Tafsir yang diketahui orang-orang yang kuat dalam ilmu
  4. Tafsir yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah

Wallahu Ta’alla A’lam

3. Tafsirkan Al-Quran dengan penukilan yang jelas dan larangan mendebat Al-Quran

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab: Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Setelah menguraikan tentang keutamaan ilmu dan sejumlah pembahasan terkait dengannya. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai keagungan Al-Quran, bagaimana kedudukannya, beberapa ketentuan terkait dengan Al-Qur’an: mengenal hukumnya, beramal, dan mengimani. Juga diterangkan mengenai sejumlah keutamaan dari Al-Quran: keutamaan membaca dan tadabur.

Bait Syair 89:

Bait Syair 89: Carilah makna-maknanya dengan dalil naqli yang jelas … Jangan masuk menggunakan pendapatmu, dan waspadailah siksa Allah

Bait Syair 90:

Bait Syair 90: Maka jika kamu mengetahui melalui dalil naqli yang jelas maka katakanlah … Dan serahkan kepada Allah makna setiap ayat yang masih samar (mutsyabihat).

Bait Syair 91:

Bait Syair 91: Kemudian perdebatan tentang Al-Qur’an (yang menjurus kepada keragu-raguan dan pendustaan) merupakan kekufuran, maka berhati-hatilah darinya … Jangan sampai suatu kaum menggodamu dengan kesesatan mereka.

Pembahasan 1: Menafsirkan Al-Quran dengan penukilan yang jelas atau tegas.

Bait Syair 89: Carilah makna-maknanya dengan penukilan yang jelas, dan jangan kamu menyelam dengan pendapatmu (dengan akalmu). Dan hati-hati dari balasan Allah yang maha membalas (peringatan).

Setelah dibahas mengenai pentingnya tadabur dan bagaimana mengamalkannya dan berhukum dengannya, maka syair berikutnya yaitu mengenai bagaimana mengambil penjelasan (tafsir) dari Al-Quran.

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shad: 29)

Hasan Al-Basri mengatakan tafsir Surat Shad, ayat 29: Tidak ada tadabur ayat-ayat itu kecuali dengan mengikuti Al-Quran dengan cara mengamalkannya. Demi Allah bukan lah yang diinginakn sekadar menghafalkan huruf-hurunya tanpa mengamalkannya. Ada yang menghafal seluruh huruf Al-Quran, maka Al Hasan mengatakan dia belumlah mengenal Al-Quran apabila tidak mengamalkannya. Ada juga yang mengatakan saya bisa membaca satu surat dalam satu nafas, maka Al Hasan mengatakan mereka bukan yang membaca Al-Quran, bukan ulama, bukan pula ahli hikmah, dan bukan orang yang waro. Al Hasan mengatakan semoga tidak ada yang seperti ini lagi.

Al-Quran bukan untuk dilagukan tetapi untuk ditadaburi ayat-ayatnya. Lagu-lagu Al-Quran bukan ilmu.

Cari makna ayat dengan penukilan yang tegas.

4 metode dalam menfasikan Al-Quran

  1. Al-Quran ditafsirkan dengan Al-Quran juga (ayat ditafsirkan dengan ayat lain)
  2. Al-Quran ditafsirkan dengan hadist
  3. Al-Quran ditafsirkan dengan penafsiran para sahabat dan tabi’in
  4. Al-Quran ditafsirkan dari sisi bahasa arab.

Pembahasan 2: Tidak menafsirkan Al-Quran dengan pemikiran belaka.

Jangan kamu tenggelam menyelam dengan pendapatmu. Tidak boleh berpendapat/berbicara mengenai ayat atas pendapat pribadi. Menafsirkan Al-Quran dengan pendapat sendiri adalah dosa besar.

Berucap atas nama Allah tanpa ilmu adalah dosa yang terbesar, lebih besar dari kesyrikan. Karena syirik adalah bagian berucap atas nama Allah tanpa ilmu. Sebagaimana Allah berfirman:

Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan. (QS. Al-An’am 21)

Berdakwah harus punya ilmu nya, jangan cuman modal semangat karena hal ini berdosa. Sebagaimana Allah berfirman, berdakwah diatas basiroh (Ilmu):

Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108)

Kemudian Allah berfirman dalam QS Al-Isra ayat 36, jangan kalian berhenti diatas sesuatu yang kalian tidak punya ilmu atasnya.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra: 36)

Bait Syair 90. Apa yang kamu tahu (punya ilmu tentangnya), maka ucapkan. Adapun makna yang tidak terang hendaknya kamu sandarkan kepada Allah.

Etika terkait dengan Al-Quran. Cara berbicara, apabila tahu maknanya yang jelas maka ucapkan, apabila tidak jelas maka sandarkan kepada Allah.

Pembahasan 3: Pelarangan berdebat dalam Al-Quran

Bait Syiar 91: Kemudian berdebat dengan Al-Quran adalah kekafiran. Artinya mengingkari atau menolak ayat-ayat dalam Al-Quran. Maka hati-hati jangan sampai ada sekolompok kaum membuat kamu tersesat.

Ada orang berkata kepada Imam Malik, saya inging mendebat mu. Malik berkata kalau kalah apa yang saya lakukan, maka orang itu berkata maka kamu ikuti saya. Kemudian Malik bertanya lagi apabila ada orang lain yang menang berdebat apa yang kita lakukan, maka orang itu berkata kita ikuti dia. Kalo begitu kamu pergi saja, kamu cari agamamu, karena agamamu belum kamu dapat, adapun saya, sudah yakin dengan agama saya.

Penuntut ilmu jangan masuk ke perdebatan. perdebatan diserahkan pada ahlinya.

Wallahu Ta’alla A’lam

2. Al-Qur’an sebagai dasar hukum dan beramal

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab: Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Setelah menguraikan tentang keutamaan ilmu dan sejumlah pembahasan terkait dengannya. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai keagungan Al-Quran, bagaimana kedudukannya, beberapa ketentuan terkait dengan Al-Qur’an: mengenal hukumnya, beramal, dan mengimani. Juga diterangkan mengenai sejumlah keutamaan dari Al-Quran: keutamaan membaca, tadabur.

Al-Qur’an dijadikan hujjah sebagai hukum, beramal dengan muhkamnya dan menegakan batasan-batasannya.



Bait Syair 88: Jadikanlah bukti dan keterangan yang ada dalam Al-Qur’an sebagai hakim dan beramallah dengan ayat-ayat yang jelas … Baik dalam perkara-perkara yang halal maupun haram, dan tegakkan batasan-batasannya.

Pembahasan: Berhukum dengan Al-Qur’an beramal dengan yang muhkam, serta menegakan batasan-batasan Al-Qur’an.

Pembahasan Pertama: Berhukum dengan Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah Burhan sebagaimana Allah berfirman:

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhan-mu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur`ān). (An-Nisa: 174)

Burhan artinya hujjah (bukti) yang sangat terang, biasa dipakai untuk cahaya yang terang benderang. Ini adalah sifat dari Al-Qur’an dimana semua jenis cahaya ada dalam Al-Qur’an.

Sehingga kita berhukum dengan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah “Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah”.

Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Yusuf: 40)

Juga dalam firman Allah “Dan apa yang kalian berselisih didalamnya, dan hukumnya itu kepada Allah”.

Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhan-ku. Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya-lah aku kembali. (Asy-Syura: 10)

“Belajar itu jangan meluputkan sesuatu”

Pembahasan Kedua: Beramal dengan yang Muhkam dari Al-Qur’an

Sebagaimana firman Allah “Dia-lah Allah yang menurunkan Alkitab, yang tedapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan pokok-pokok al-kitab. Dan yang lainnya mutasbih”

Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Al-Qur`ān) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur`ān dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat1. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal. (Al-Imran: 7)

Muhkamat artinya ayat-ayat yang jelas dan pokok dalam Al-Qur’an. Secara umum Al-Quran adalah kitab yang Muhkman, sebagaimana Allah berfirman “inilah suatu kitab yang muhkam ayat-ayat nya”

Alif Lām Rā, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, 1 (Hud: 1)

Beramal dengan ayat yang muhkam, yaitu ayat-ayat yang jelas menerangkan yang halal dan haram. Suatu perkara yang sudah jelas ditegakkan untuk dirinya. Sebagai contoh membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir, kemudian dicari perintah-perintah dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan diri sendiri. Ketika dibuka perintah pertama yaitu beribadah kepada Allah, kemudian perintah membaca Al-Qur’an, perintah tadabur, shalat, zakat, haji dan selainnya. Kemudian cari larangan-larangan dalam Al-Qur’an diantaranya larangan berbuat kesyirikian.

Pembahasan Ketiga: Apa yang sudah ditegaskan dalam Al-Quran hendaknya ditegakkan.

Allah berfirman: “Itulah hukum-hukum Allah, barangsiapa yang melanggar, maka sesungguhnya dia telah melampaui diri sendiri”.

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar)dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhan-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji1 yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru2. (At-Talaq: 1)

Dalam Al-Quran ada yang jelas mana yang halal dan mana yang haram, dan diantara keduanya (halal dan haram) ada yang muntasabih. Sebagaimana hadist berikut:

Wallahu Ta’alla A’lam

1. Bacalah Al-Quran dengan Tadabur dan Tartil

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab: Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Setelah menguraikan tentang keutamaan ilmu dan sejumlah pembahasan terkait dengannya. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai keagungan Al-Quran, bagaimana kedudukannya, beberapa ketentuan terkait dengan Al-Qur’an: mengenal hukumnya, beramal, dan mengimani. Juga diterangkan mengenai sejumlah keutamaan dari Al-Quran: keutamaan membaca, tadabur.

Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah

Bait Syair 87: Bacalah Kitab Allah dengan disertai tadabur dan tartil … Terutama di waktu malam yang gelap gulita.

Dengan tadabur dan tartil hendaknya engkau membaca kitab Allah, apalagi ditengah kegelapan malam.

Pembahasan: Membaca Al-Quran dengan tadabur dan secara tartil.

Yang penting adalah tilawah terhadap Al-Qur’an. Hal ini dipuji dalam Al-Quran dan disebutkan sebagai sifat keimanan (Al-Baqarah: 121), ciri keberuntungan, perniagaan yang tidak merugi (QS. Fathir: 29).

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, (QS. Fathir: 29)

Orang-orang yang telah Kami berikan Alkitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 121)

Keimanan dicirikan dengan orang yang membaca (tilawah) Al-Quran dengan benar.

Tilawah Al-Quran dibagi menjadi tiga:

Pertama Tilawatun Lafdiyah: Tilawah secara Lafd, dibaca dengan lafadz, sesuai kaidah tajwid. Semakin mahir membaca Al-Quran, lisannya terbiasa membaca Al-Qur’an, maka pahalanya lebih besar. Sebagaimana dalam hadist Aisyah dalam riwayat Bukhari dan Muslim:

Yang mahir membaca Al-Quran bersama para malaikat.

Sebagian ulama mengatakan bahwa mempelajari ilmu Tajwid adalah wajib. Hal ini dikarenakan adanya kewajiban seperti membaca surat Al-Fatihah yang merupakan rukun shalat harus sesuai dengan kaidah tajwid. Sebagaimana dari Ubada Ibnu Samid dalam riwayat muslim, Rasulullah bersabda:

Kemudian juga wajib membaca sebuah surah setelah Al-Fatihah.

Kedua Tilawayah Maknawiyah, membaca Al-Quran dengan tadabur terhadap maknanya, dari tafsir dan pelajari makna ayat, dari ucapan-ucapan para ulama ahli tafsir.

Ketiga Tilawah Hukmiyah, membaca dan mengamalkan hukum-hukum dalam Al-Qur’an. Yang paling pokok dalam Al-Qur’an adalah diamalkan hukum-hukumnya. Perintah dilaksanakan dan larangan dihindari.

Yang dikatakan orang yang memabaca dengan sebenar-benar tilawah adalah yang mengumpulkan ketiga jenis tilawah tersebut: membaca dengan benar, memahamai dengan benar dan mengamalkannya.

Penulis dalam bait syair 87 menekankan Tadabur dan Tartil dalam Al-Qur’an.

Tadabur adalah hal yang perintah dalam Al-Qur’an.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`ān? Kalau kiranya Al-Qur`ān itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (An-Nisa: 82)

Apabila mentadaburi Al-Quran, maka akan semakin cinta pada Al-Quran karena tidak ada ketidaksesuaian didalamnya.

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (Sad: 29)

Al-Quran adalah kita yang ber-berkah yang diturunkan kepada engkau Nabi Muhammad. Berberkah artinya banyak kebaikannya. Supaya ditaburi ayat-ayat ini dan supaya yang mempunyai hati mengingat Al-Quran.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`ān ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad: 24)

Tidakkah mereka tadabur terhadap Al-Quran? Atau hati mereka telah terkunci?. Terkunci artinya tertutup hatinya. Dengan tadabur, hati menjadi hidup, bisa mengingat, bisa berakal.

Wa Tartiil, dibaca dengan tartiil yaitu membacanya dengan pelan.

Makna dari Tartiil:

  • Ibnu Abas menafsirkan ayat ini yaitu baca dengan sangat jelas.
  • Hasan Al Basri berkata, baca dengan bacaan yang terang.
  • Mujahid berkata, kamu pelan didalam membacanya.
  • Qotada berkata, betul-betul kuat didalam membacanya.

Dalam ilmu Tajwid membaca Al-Quran ada tiga tingkatan:

  1. At-Tartiil: lurus, fasih, maknanya jelas dan pelan
  2. At-Tadwir, membacanya dengan pertengahan, tidak lambat dan tidak cepat.
  3. Al Hadar, membaca dengan cepat.

Banyak membaca Al-Quran adalah sifat seorang mukmin dan ciri kabaikannya. Dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Kemudian keutamaan-keutamaan membaca Al-Quran sangat banyak.

Ada kadar wajib dalam membaca Al-Quran yaitu membaca yang benar secara tajwid. Supaya tidak tergolong orang yang meninggalkan Al-Quran. Apabila orang yang meninggalkan Al-Quran bisa menjadi musuh Rasulullah, seperti keadaan kaum Quraish. Dimana Nabi mengadukan dalam ayat:

Berkatalah rasul, “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`ān itu sesuatu yang tidak diacuhkan”. (Al-Furqan: 30)

Meninggalkan (Hajr) Al-quran perkara yang berbahaya. Bentuk dari meninggalkan Al-Quran: tidak membacanya, tidak mengamalkan hukumnya, tidak tadabur terhadap ayat-ayatnya, tidak bertahkim (apabila berselisih tidak menjadikan al-quran sebagai hukumnya) terhadap ayat-ayatnya, tidak dijadikan al-quran sebagai penyembuhnya. Sebagaimana ayat:

Dan Kami turunkan dari Al-Qur`ān suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`ān itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra: 82)

Lanjutan syair 87 “Apalagi apabila dibaca ditengah kegelapan malam”. Hal ini akan lebih baik. Dipilih waktu-waktu yang bagus untuk membaca Al-Quran. Semua waktu bagus untuk membaca, tapi yang lebih baiknya adalah dimalam hari. Sebagaimana ayat:

Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). (Al-Muzammil: 6)

Ada perbedaan membaca di siang dan malam hari. Pada malam hari sedikit kegiatan manusia, banyaknya beristirahat, maka akan lebih mudah membaca Al-Quran dengan hatinya.



Bait Syair 88: Jadikanlah bukti dan keterangan yang ada dalam Al-Qur’an sebagai hakim dan beramallah dengan ayat-ayat yang jelas … Baik dalam perkara-perkara yang halal maupun haram, dan tegakkan batasan-batasannya.

n

Wallahu Ta’alla A’lam

13. Beramal dengan ilmu, dakwah di jalan Allah, bersabar dalam berdakwah, mintah hidayah, dan istiqomah di jalan yang lurus

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Ini adalah intisari wasiat penuntut ilmu. Merupakan etika yang dipegang oleh penuntut ilmu. Wasiat untuk penuntut ilmu sangat luas. Tapi disini adalah intisari pokok bagi penuntut ilmu. Terkadang satu wasiat dari orang tua atau guru dalam menuntut ilmu, mencukupi kehidupannya dalam menuntut ilmu.

Bait Syair 83: Ikutilah ilmu dengan amal, lalu serulah kepada … jalan Rabbmu dengan penjelasan dan hikmah
Bait Syair 84: Bersabarlah terhadap fitnah dan gangguan di jalan dakwah … Pada diri para rasul terdapat teladan, maka ikutilah mereka.
Bait Syair 85: Sungguh satu orang yang diberi petunjuk oleh Allah melalui perantraanmu … Ini sungguh lebih baik bagimu daripada Anda mendapatkan unta merah.
Bait Syair 86: Tempuhlah jalan yang lurus … Janganlah menyimpang, ketakanlah, “Rabbku adalah Allah Yang Maha Pengasih,” kemudian istiqamahlah.

Pembahasan Pertama: Beramal dengan Ilmu

Dari bait syair 83, Ilmu diikuti dengan amalan. Ilmu dipelajari bukan untuk disimpan, tapi untuk diamalkan. Apabila seorang penunutut mengamalkan ilmunya, maka akan membawa kebaikan untuk dirinya.

Dalam Al-Quran mengenai baiknya mengamalkan ilmu:

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),
dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,
dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (An-Nisa: 66-68)

Ada empat keutamaan dalam mengemalkan ilmu:

  1. Kalo mereka amalkan, mereka lakukan apa yang mereka diwasiatkan kepadanya, ilmu yang sampai kepada mereka, maka itu yang terbaik untuk mereka.
  2. Hal itu yang paling mengukuhkan kedudukannya.
  3. Maka akan di beri pahala yang besar.
  4. Akan diberikan kepada mereka jalan yang lurus.

Imam Ahmad berkata Kami itu membantu diri kami supaya bisa menghafal dengan cara mengamalkan ilmu yang kami hafal.

Sebagaian As-Salaf berkata: siapa yang beramal dengan ilmu yang dia ketahui, maka Allah akan wariskan untuknya ilmu yang sebelumnya belum dia ketahui

Ali Bin Abi Thalib berkata: Ilmu itu berbicara supaya diamalkan, kalo dijawab iya saya diamalkan. Apabila diamalkan ilmu itu akan tetap dan apabila tidak diamalkan ilmu akan pergi.

Ketika Ibnu Umar mendengar bahwa sebaik-baiknya shalat adalah shalat malam, maka seketika itu juga Ibnu Umar tidak pernah menginggalkan shalat malam.

Ketika Umu Habibah mendengar hadist negeri tentang shalat rawatib 12 rakaat sehari-sehari semalam, maka Umu Habibah semenjak itu tidak pernah meninggalkan shalat rawatib.

Bilal bin Abi Robah selalu menjaga wudhunya, setiap kali berwudhu beliau sholat dua rakat. Ini yang menyebabkan dimasukannya ke surga.

Kaidahnya: Ilmu – di Jaga – di Amalkan.

Sebagian As-Salaf ada yang 40 tahun tidak pernah luput takbiratul ikhram bersama imam.

Ada sebagian As-Salaf, selama 20 tahun mendengar adzan didalam mesjid.

Pembahasan Kedua: Berdakwah ke jalan Allah dengan Ilmu

Dalam bait syair 83, setelah belajar ilmu dan mengamalkannya, maka ada kewajiban mendakwahkannya. Itu merupakan zakat dari ilmu, dikeluarkan zakartnya. Diajarkan kepada manusia sehingga memperoleh kebaikan lagi.

Pembahsan Ketiga: Bersabar dalam berdakwah

Dalam bait syair 84, dan bersabarlah terhadap akan yang menimpa dari fitnah dan gangguan dalam dakwah (ilmu), pada para rasul ada pelajaran, ambilah petunjuk dari para rasul.

Apabila kita baca kisah para nabi dan rasul, terlihat bahwa kesabaran mereka terhadap segala gangguan dalam berdakwah. Sehingga dalam berdakwah kita harus bersabar sebagaimana para nabi dan rasul.

Pembahasan Keempat: Semangat agar supaya manusia mendapat hidayah.

Dalam bait syari 85, satu orang yang Allah beri hidaya kepadanya, disebabkan karena kamu untuk hal tersebut lebih baik di hari kiamat dari pada unta-unta merah.

Orang Arab dahulu apabila membahasakan harta yang paling bagus adalah unta merah.

Dari riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi bersabda:

Pembahasan menempuh jalan yang lurus dan istiqomah.

Penutup dalam topik ini, terdapat dalam bait syair 86, Dan tempuhlah kelurusan jalan yang mustqim, dan jangan kamu berpaling. Katakanlah Rabbku adalah Allah Ar-Rahman, dan istiqomah lah kamu.

Setelah itu adalah berada dijalan yang lurus dan istiqomah diatasnya.

Sofyan bin abi As-Sokofi bertanya pada Nabi sebagaimana dalam riwayat Muslim:

Ini wasiat yang berharga untuk penuntut ilmu supaya di atas jalan yang lurus. Minta kepada Allah akan ditegarkan diatas jalan yang lurus (dalam surat Al-Fatihah). Kemudian meminta agar istiqomah dijalan tersebut.

Sebab-Sebab Istiqomah

Istiqomah ada sebab-sebabnya diantaranya adalah:

  1. mengenal ilmu syari’,
  2. beriman dan bertauhid,
  3. mengamalkan ilmu nya,
  4. duduk dengan orang-orang yang sholeh,
  5. banyak bertaubat dan beristigfar,
  6. selalu berdoa kepada Allah untuk diberikan keteguhan dijalan yang lurus,
  7. selalu menyambung amalan kebaikan dengan amalan kebaikan yang lainnya.

Wallahu Ta’alla A’lam

12. Bahaya dan Akibat menyembunyikan Ilmu.

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Ini adalah intisari wasiat penuntut ilmu. Merupakan etika yang dipegang oleh penuntut ilmu. Wasiat untuk penuntut ilmu sangat luas. Tapi disini adalah intisari pokok bagi penuntut ilmu. Terkadang satu wasiat dari orang tua atau guru dalam menuntut ilmu, mencukupi kehidupannya dalam menuntut ilmu.

Bait Syair 79: Berhati-hatilah dari menyembunyikan ilmu, karena sesungguhnya … Orang yang menyembunyikannya berada dalam laknat Allah dan semua orang.
Bait Syair 80: Salah satu hukumannya di akhirat kelak … AKan dipakaikan kepadanya kekang dari api Neraka yang tidak seperti kekang biasa.
Bait Syair 81: Orang yang menahan ilmu dari orang yang tidak pantas membawanya … Tidaklah disebut menyembunyikan, akan tetapi merupakan bentuk penjagaan, maka janganlah kamu cela.
Bait Syair 82: Menyembunyikan ilmu tiada lain menghalangi ilmu dari pencari … yang berhak mendapatkanya, maka pahamilah dan jangan keliru.

Ada Dua Pembahasan

Pembahasan Pertama: Hati-hati dari bahaya dan akibat menyembunyikan ilmu

Dalam bait syair 79, terhadap menyembunyikan ilmu hendaknya berhati-hati, karena orang menyembunyikan ilmu dilaknat Allah dan seluruh makhluk.

Dalam bait syari 80, karena hukumannya, sesungghunya di hari kiamat untuk orang yang menyembunyikan, dineraka akan di beri tali yang mengikat mulutnya seperti kendaraan yang diikat tali kekang (dari api neraka).

Hal ini disebut dalam Al-Quran:

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Alkitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, (Al-Baqarah:159)

Adapun mengenai diikat mulutnya dengan kekang dari api neraka, berdasarkan hadist:

Pembahasan Kedua: Yang dimaksud dengan menyembunyikan ilmu

Karena itu kewajiban kita adalah tidak menyembunyikan kebenaran, harus disampaikan. Sebagaimana firman Allah:

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima. (Al-Imran: 187)

Hendaknya kalian yang diberi kitab, menyampaikannya jangan menyembunyikannya. Namun demikian ada fiqih yang harus dipahami yang terdapat pada bait syair 81 bahwa orang yang menjaga ilmu dari orang yang tidak layak menyandangnya, tidak termasuk pada orang yang menyembunyikan ilmu, akan tetapi dinamakan menjaga kehormatan ilmu.

Maksudnya ini kepada orang yang belajar tapi bukan untuk mengambil manfaat. Contohnya bertanya sesuatu untuk berbuat jelek. Hal ini tidak perlu diajari ilmu untuknya.

Kemudian dalam bait syair 82, Yang dikatakan menyembunyikan itu apabila dia menahan ilmu itu dari orang yang mencarinya. Dan orang itu berhak mendapatkan ilmu itu. Maka pahamilah agar tidak keliru memahaminya.

Contoh lain apabila murid bertanya mengenai sesuatu, tetapi gurunya berpikir bahwa murid tersebut belum waktunya memahami hal tersebut. Karena belajar ada tahapannya.

Contoh lain apabila muridnya pemula, maka guru mengajarkan sebatas apa yang ada di kitab yang sedang dipelajari. Akan tetapi apabila muridnya buka pemula, guru mengajarkan lebih mendalam. Tidak hanya kitab yang dipelajari saja, akan tetapi dibahas kitab-kitab lain yang berhubungan.

Wallahu Ta’alla A’lam

11. Berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, serta tinggalkan pendapat orang belakangan

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Ini adalah intisari wasiat penuntut ilmu. Merupakan etika yang dipegang oleh penuntut ilmu. Wasiat untuk penuntut ilmu sangat luas. Tapi disini adalah intisari pokok bagi penuntut ilmu. Terkadang satu wasiat dari orang tua atau guru dalam menuntut ilmu, mencukupi kehidupannya dalam menuntut ilmu.

Syair 76: Tinggalkan pendapat orang belakangan yang mengaku berilmu … Berpeganglah selalu dengan para salaf.
Bait Syair 77: Ilmu itu tiada lain hanyalah Kitabullah atau As-Sunnah … Dengan cahaya petunjuknya setiap yang masih samar menjadi jelas.

Bait Syair 78: Tidaklah ada ilmu selain wahyu yang terang … dan apa-apa yang diambil darinya, ingatlah, sungguh beruntung bagi yang memanfaatkan waktunya.

Ada 3 Pembahasan

Pembahasan Pertama: Meninggalkan pengikutan kepada orang-orang belakangan.

Ini wasiat dalam belajar agar jangan terikat dengan orang-orang belakangan, harus nya terikat dengan salaf terdahulu. Hal ini dikarenakan ilmu itu datang dari Nabi dan para sahabatnya. Semakin dekat masa dengan nabi dan sahabat, maka semakin selamat ilmu nya. Sampai hari ini ilmu terwarisi, ketika kita belajar kepada para ulama di masa ini, bukan karena ilmu itu datang dari pribadi mereka, tapi mereka mewarisi ilmunya. Adapun dari orang belakangan yang kaidahnya berasal dari dia, maka harus ditinggalkan. Sehingga yang harus dipelajari adalah buku-buku terdahulu.

Pembahasan Kedua: Berpegang dengan perkara awal umat ini.

Hendaknya berpegang dengan perkara yang paling mendalam dan paling terdahulu. Ini adalah wasiat Nabi, diriwayatkan oleh Imam At-Tohawi dalam At-Tabroni dan selainnya:

Sungguh akan terjadi fitnah-fitnah, maka para sahabat bertanya bagaimana kami harus berbuat wahai Rasulullah?. Nabi berkata “Kalian kembali pada perkara kalian yang pertama”.

Dalam hadist lain mengenai fitnah, agar berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin.

Apabila ada yang keluar dari kaidah ini, maka akan menempuh jalan-jalan kesesatan yang banyak sekali.

Pembahasan Ketiga: Berpegang dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Atsar.

Ilmu itu hanya kitab Allah dan Atsar (maksudnya hadist dan ucapan sahabat) dan apa yang bercabang dari nya. Apabila berpegang dengan kitab Allah dan atsar, maka setiap yang tidak jelas akan menjadi terang.

Wallahu Ta’alla A’lam

10. Wajib mempelajari Ilmu Agama diatas Ilmu Dunia

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Ini adalah intisari wasiat penuntut ilmu. Merupakan etika yang dipegang oleh penuntut ilmu. Wasiat untuk penuntut ilmu sangat luas. Tapi disini adalah intisari pokok bagi penuntut ilmu. Terkadang satu wasiat dari orang tua atau guru dalam menuntut ilmu, mencukupi kehidupannya dalam menuntut ilmu.

Bait Syair 74: Dahulukan ilmu yang wajib, yaitu ilmu-ilmu agama, karena dengan ilmu tersebut … akan menjadi jelas jalan petunjuk dan jalan yang mendatangkan siksa.

Pembahasan Pertama: Wajib mempelajari ilmu agama diatas ilmu dunia.

Wajib mendahulukan ilmu-ilmu agama diatas ilmu-ilmu dunia, karena pada ilmu agama itu akan tampak jelas petunjuk dan jalan menuju kepada siksaan.

Maksudnya ada dua:

  1. Kalau belajar didahulukan ilmu agama
  2. Kalau belajar ilmu agama, dia akan bisa membedakan antara petunjuk dan hal yang bisa menyesatkan.

Mempelajari ilmu agama adalah pokoknya. Mempelajari ilmu dunia tidak dilarang sebatas yang diperlukan.

Pembahasan Kedua: Agama akan memperbaiki segala yang patah

Bait Syair 75: Semua patah yang dialami pemuda, maka agamalah yang memperbaikinya … Sedangkan jika yang patah itu dalam agamanya maka akan sulit dan tidak membaik.

Setiap kepatahan pada anak muda, agama yang akan memperbaiki dan menutupinya. Tapi kalau patah didalam agamanya, sulit untuk diperbaiki.

Sehingga harus ada perhatian besar terhadap agamanya karena ini merupakan harta yang paling besar. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam berdoa: “Ya Allah jangan engkau jadikan musibah yang menimpa kami, pada agama kami”.

Wallahu Ta’alla A’lam

9. Mulailah mempelajari ilmu dari yang paling penting, lalu yang tingkatannya dibawahnya.

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Ini adalah intisari wasiat penuntut ilmu. Merupakan etika yang dipegang oleh penuntut ilmu. Wasiat untuk penuntut ilmu sangat luas. Tapi disini adalah intisari pokok bagi penuntut ilmu. Terkadang satu wasiat dari orang tua atau guru dalam menuntut ilmu, mencukupi kehidupannya dalam menuntut ilmu.

Bait Syair 73: Mulailah mempelajari ilmu yang paling penting, lalu yang tingatannya di bawahnya … Dahulukan nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan curigailah pendapat-pendapat manusia.

Pembahasan Pertama: Menuntut ilmu secara bertahap, mulai dari yang prioritas kemudian prioritas setelahnya.

Ini dimaksudkan supaya kamu dapat ilmu itu, dari segala sudutnya. Ilmu terbagi dua ada yang fardu ain dan fardu kifayah. Didahulukan mempelajari ilmu yang fardu ain.

Kemudian dari setiap cabang ilmu, dimulai dari dasarnya. Sebagai contoh apabila ingin menghafal Al-Qur’an, mulai dulu dari surah-surah pendek. Apabila ingin menghafal hadist, mulai dulu dari Arba’in Nawawiyah (hadist2 pokok).

Dalam kuliah Mafatihul ‘Ilm, setiap cabang ilmu diambil dari yang dasarnya. Dinataranya pembahasan aqidah, fikih, hadist arbain nawawiyah, dalam ilmu al-quran ada zam-zami tentang umul quran dan pembahasan tajwid, ilmu hadist ada kitab al-baequniyah, dalam ushul ilmu fikih ada buku al-ushul min ilmu ushul, di maqoidu syariah ada buku dasarnya, dalam bahasa arab dasarnya.

Mempelajari ilmu secara bertahap (tadaruj) ada dasarnya dalam Al-Qur’an:

Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada alwāḥ Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman), “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik. (Al-A’raf: 145)

“Suruhlah kaummu untuk berpegang teguh pada yang terbaiknya”. Dan juga dalam ayat lain:

yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (Az-Zumar: 18)

“lalu mengikuti yang paling baiknya”.

Imam Syafe’i berkata: Ilmu itu tidak akan didapatkan oleh seseorang, walaupun belajar seribu tahun. Ilmu itu bagaikan laut yang sangat dalam. Maka ambilah dari segala sesuatunya yang paling baiknya.

Penting belajar ilmu kepada guru, karena guru dapat meringkas ilmu agar mudah dipahami. Yang apabila dipelajari satu per satu akan makan waktu yang lama.

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Alkitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata), “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbānī karena kamu selalu mengajarkan Alkitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Al-Imran: 79)

Terkait ayat ini, jadilah kalian sebagai rabani, karena kalian mengajarkan kitab disebabkan kamu tetap mempelajari. Rabani disini, dari Ibnu Abbas beliau berkata “adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar”.

Az-Zuhri rahmihullah beliau berkata “Siapa yang mencari ilmu langsung banyak, maka perginya juga langsung banyak. Tapi ilmu itu diambil satu hadist, dua hadist (sedikit-sedikit).

Hari ini dia mengambil sesuatu, besok sama seperti itu lagi. Kemudian dikumpulkan ilmu itu. Maka seseorang akan mendapatkan hikmah. Karena banjir itu, aliran air, asalnya dari kumpulan tetesan-tetesan air hujan.

Pembahasan Kedua: Selalu mendahulukan Nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan hendaknya berjelek sangka terhadap pendapatnya.

Maksud pendapat disini adalah pendapat yang tercela bukan pendapat yang terpuji.

Wallahu Ta’alla A’lam

8. Penuntut Ilmu jangan ujub yang dapat menghapuskan amalannya.

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Ini adalah intisari wasiat penuntut ilmu. Merupakan etika yang dipegang oleh penuntut ilmu. Wasiat untuk penuntut ilmu sangat luas. Tapi disini adalah intisari pokok bagi penuntut ilmu. Terkadang satu wasiat dari orang tua atau guru dalam menuntut ilmu, mencukupi kehidupannya dalam menuntut ilmu.

Bait Syair 72: Waspadailah sikap ujub karena ia akan menghanyutkan … amalan pelakunya dnegan banjirnya yang besar.

Pembahasan: Janganlah merasa bangga

Ujub adalah selalu memandang dirinya, merasa tinggi diatas manusia lainnya. Ini adalah hal yang berbahaya untuk penuntut ilmu. Karena Ujub ini menghabiskan amalan orang yang ujub, seperti banjir bandang yang sangat dahsat. Ujub menghabiskan amalan

Dalam hadist riwayat At-Tabrani dihasankan oleh Syeikh Al-Bani, dari Umar Bin Khatab radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Akan tampak Islam, sampai para pedagang berkeliling kesana dan kesini dilautan. Sampai kuda-kuda dimana-mana berperang dijalan Allah (saking tersebarnya agama ini). Kemudian tampaklah satu kaum, mereka membaca al-qur’an. Lalu mereka berkata siapa yang lebih bagus bacaannya dari kami, siapa yang lebih berilmu dari kami, siapa yang lebih fakih dari kami (dia banggakan dirinya). Kemudian Nabi berkata kepada para sahabat “Apakah mereka-mereka (para pembaca Al-Quran seperti ini) ini ada kebaikan?”. Para sahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Rasullaah mengatakan “mereka itu dari kalian ummat ini, dan mereka ini adalah pangang-panggang api neraka”. \

Kemudian dari hadist riwayat Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallhu alaihi wasallam bersabda:

Tidak akan masuk surga orang yang didalam hatinya ada satu biji sawi berupa kesombongan.

Ada satu kisah Nabi yang dikuatkan oleh syeikh Mukbil rahimahullah. Nabi ini punya umat yang banyak. Suatu hari beliau berkata “Siapakah yang bisa menandingi kaum ku ini?”. Maka turun teguran Allah kepadanya. Allah menyuruh untuk memilih satu dari tiga musibah yang akan menimpa ummat mu, yaitu:

  • Umat mu akan dikalahkan oleh musuhnya
  • Mereka saling membinasakan diantara mereka sendiri
  • Tertimpa kematian.

Maka Nabi ini meminta pendapat kaumnya, kemudian kaumnya berkata engkau adalah nabi, tentukanlah. Rasullullah mengatakan “Para Nabi, apabila tertimpa masalah besar, lansung mereka bersegera melakukan shalat”. Maka Nabi shalat dan memohon petunjuk Allah. Ya Allah kalo kami dikalahkan oleh musuh, kami tidak sanggup. Kami binasa oleh tangan sebagian dari kami, kami juga tidak sanggup. Tapi kami memilih kematian. Maka dihari itu meninggal dari kaum nya sebanyak 70 ribu orang. Ini satu kalimat yang ada bentuk Ujubnya, menimbulkan musibah yang luar biasa.

Seorang penuntut ilmu harus selalu menjaga dirinya, jangan pernah merasa yang didapatkan sudah banyak. Apabila dia sudah berbuat banyak bagi manusia. Dia menganggap dirinya belum berbuat apa-apa. Selalu membuat dirinya kurang. Ini adalah ciri ulama terdahulu.

Dalam biografi syeikh Mukbil rahimahullah, beliau diakhir hayatnya ketika sakit di Jeddah, beliau mengatakan saya belum berbuat apa-apa dan sedikit ikhlasnya. Padahal orang yang ada disekitar beliau sangat tahu akan jasa beliau, murid-muridnya ada dimana-mana.

Wallahu Ta’alla A’lam