Pendahuluan – Enam Pelajaran Aqidah dari Sirah Nabi

Kitab Sittah Mawadhi’ Minas Sirah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

قَالَ الشَّيۡخُ الۡإِسۡلَامُ الشَّيۡخُ مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ الۡوَهَّابِ رَحِمَهُ اللهُ وَعَفَا عَنۡهُ… آمِين: تَأَمَّلۡ رَحِمَكَ اللهُ سِتَّةَ مَوَاضِعَ مِنَ السِّيرَةِ، وَافۡهَمۡهَا فَهۡمًا حَسَنًا.

لَعَلَّ اللهَ أَنۡ يُفۡهِمَكَ دِينَ الۡأَنۡبِيَاءِ لِتَتۡبَعَهُ، وَدِينَ الۡمُشۡرِكِينَ لِتَتۡرُكَهُ.

فَإِنَّ أَكۡثَرَ مَنۡ يَدَّعِي الدِّينَ وَيَدَّعِي أَنَّهُ مِنَ الۡمُوَحِّدِينَ لَا يَفۡهَمُ السِّتَّةَ كَمَا يَنۡبَغِي.

Syekh Islam Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab—semoga Allah merahmati dan memaafkannya, amin—berkata: Perhatikanlah—semoga Allah merahmatimu—enam peristiwa penting dari sejarah perjalanan hidup Rasulullah dan pahamilah dengan pemahaman yang baik. Dengan begitu, bisa jadi Allah akan memberimu pemahaman tentang agama para nabi sehingga engkau bisa mengikutinya dan agama orang-orang musyrik sehingga engkau bisa meninggalkannya. Karena, sungguh banyak orang yang mengaku memiliki agama dan mengaku termasuk golongan orang yang bertauhid, namun tidak memahami enam peristiwa ini sebagaimana mestinya.

Pembahasan:

Pertama: Doa rahmat dari Penulis

Diawali dengan kalimat بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ mengikuti Al-Qur’an dimana setiap surat diawali kalimat ini, kecuali surat At-Taubah. Juga mengikuti Sunnah Rasulullah dalam memulai tulisan dan surat-surat beliau.

Penulis membawakan doa semoga Allah merahmatimu.

Kedua: Anjuran agar mencermati dan memahami enam tempat dari sirah Nabi

Sirah maksudnya adalah perjalanan hidup Rasulullah . Terdapat sirah yang terkait dengan Nabi dan sirah terkait dengan Khulafaur Rasyidin.

Anjuran agar memperhatikan enam tempat dari Sirah , sehingga dipahami dengan baik. Banyak peristiwa dalam Sirah Nabi, penulis meminta untuk memperhatikan dan memahami enam tempat dari Sirah.

Terdapat pelajaran sirah yang wajib dipelajari, yang nanti akan dibahas pada kitab Tsalatsatu Ushul.

Pentingnya mempelajari Sirah:

  1. Mengingatkan akan agama yang dibawa Nabi Muhammad dari awal diutus sampai diwafatkan.
  2. Untuk mengenal Nabi Muhammad , yang merupakan salah satu pertanyaan di dalam kubur.
  3. Agar memahami keyakinan benar mengenai Sirah, karena ada beberapa yang membahas sirah dengan keyakinan yang keliru, termasuk hadits lemah/palsu, kisah yang tidak ada usal usulnya, dan keyakinan hawa nafsu yang menyimpang.

Ketiga: Beberapa manfaat memahami enam tempat dari sirah

Faedah dari mempelajari sirah agar:

  1. Memahami agama para nabi sehingga bisa mengikutinya
  2. Memahami agama orang-orang musyrik sehingga bisa meninggalkannya.

Keempat: Berhati-hati agar tidak terjatuh seperti kebanyakan orang yang mengaku punya ilmu agama tentang ketidakpahaman mereka akan enam pelajaran ini sebagaimana mestinya.

Banyak yang telah mempelajari sirah akan tetapi tidak memahami enam perkara ini sebagaimana mestinya.

Wallahu Ta’ala A’lam

Penjelasan Makna Thagut

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Penjelasan Makna Thagut

Karya Syaikh Muhammad At-Tamimy Rahimahullah

Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa sesungguhnya perkara paling pertama yang Allah wajibkan kepada anak Adam adalah kekafiran terhadap thaghut dan keimanan kepada Allah. Dalilnya adalah firman (Allah) ﷻ,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ ۖ

“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (semata), dan jauhilah Thaghut.’.” [An-Nahl: 36]

Adapun sifat kekafiran kepada thaghut adalah engkau meyakini kebatilan peribadahan kepada selain Allah, meninggalkan, membenci, dan mengafirkan pelaku (peribadahan) tersebut, serta memusuhi mereka (para pelakunya).

Adapun makna keimanan kepada Allah adalah engkau meyakini bahwa Allah­lah satu­-satunya Ilâh yang diibadahi tanpa selain­ Nya, mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah dan menafikan ibadah kepada setiap sesembahan selain Allah, mencintai orang-orang yang mengikhlaskan (seluruh ibadahnya hanya untuk Allah) dan memberi loyalitas kepada mereka, serta membenci dan memusuhi para pelaku kesyirikan.

Inilah agama (Nabi) Ibrahim, yang barangsiapa membenci agama beliau tergolong orang yang telah berbuat amat bodoh pada dirinya. Itulah beliau, suri teladan yang Allah kabarkan dalam firman-Nya,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌۭ فِىٓ إِبْرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذْ قَالُوا۟ لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُا۟ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةُ وَٱلْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَحْدَهُۥٓ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian, terhadap segala sesuatu yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari (kekafiran) kalian, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata.’.” [Al-Mumtahanah: 4]

Thaghut bersifat umum, meliputi segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dan ridha terhadap peribadahan tersebut, baik berupa sembahan yang diibadahi, atau sesuatu yang diikuti atau ditaati dalam ketaatan kepada selain Allah dan Rasul­Nya. Itulah Thaghut. Thaghut berjumlah sangat banyak, tetapi pokok mereka ada lima:

Pertama, syaithan yang menyeru kepada ibadah selain Allah.

Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,

۞ أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَـٰبَنِىٓ ءَادَمَ أَن لَّا تَعْبُدُوا۟ ٱلشَّيْطَـٰنَ ۖ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّۭ مُّبِينٌۭ ٦٠

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai Bani Adam, supaya kalian tidak menyembah syaithan? Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” [Yâsîn: 60]

Kedua, hakim yang sewenang-wenang yang mengubah hukum-­hukum Allah ﷻ.

Dalilnya adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا۟ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوٓا۟ إِلَى ٱلطَّـٰغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوٓا۟ أَن يَكْفُرُوا۟ بِهِۦ وَيُرِيدُ ٱلشَّيْطَـٰنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَـٰلًۢا بَعِيدًۭا ٦٠

“Apakah engkau tidak memerhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada (risalah) yang diturunkan kepadamu dan (risalah) yang diturunkan sebelummu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu, dan syaitahn bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [An-Nisâ`: 60]

Ketiga, orang yang berhukum dengan selain hukum Allah.

Dalilnya adalah firman (Allah) ﷻ,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَـٰفِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak berhukum berdasarkan (hukum) yang Allah turunkan, niscaya mereka adalah orang-orang kafir.” [Al-Mâ`idah: 44]

Keempat, orang yang mengaku tahu ilmu ghaib dari selain Allah.

Dalilnya adalah firman (Allah) ﷻ,

عَـٰلِمُ ٱلْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِۦٓ أَحَدًا ٢٦إِلَّا مَنِ ٱرْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍۢ فَإِنَّهُۥ يَسْلُكُ مِنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِۦ رَصَدًۭا ٢٧

“(Dia adalah Rabb) Yang Maha mengetahui hal ghaib maka Dia tidak memperlihatkan hal ghaib kepada seorang pun. Kecuali, kepada (rasul) yang Dia ridhai, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” [Al-Jinn: 26-27]

Juga firman (Allah) ﷻ,

۞ وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍۢ فِى ظُلُمَـٰتِ ٱلْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍۢ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍۢ مُّبِينٍۢ ٥٩

“Di sisi-Nyalah kunci-kunci semua hal ghaib. Tiada yang mengetahui hal (ghaib) itu, kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di daratan dan di lautan. Tiada sehelai daun pun yang gugur, kecuali bahwa Dia mengetahuinya (pula). Tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, serta tiada sesuatu yang basah, tiada pula yang kering, kecuali bahwa (hal itu telah tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Al-Mahfuzh).” [Al-An’âm: 59]

Kelima, orang yang diibadahi selain Allah, sedang dia ridha dengan ibadah tersebut.

Dalilnya adalah firman (Allah) ﷻ,

۞ وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّىٓ إِلَـٰهٌۭ مِّن دُونِهِۦ فَذَٰلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلظَّـٰلِمِينَ ٢٩

“Dan barangsiapa di antara mereka yang mengatakan, ‘Sesungguhnya aku adalah sembahan selain Allah’, maka dia Kami beri balasan dengan Jahannam. Demikianlah Kami membalas orang-orang zhalim.” [Al-Anbiyâ`: 29]

Ketahuilah bahwa manusia tidaklah menjadi beriman kepada Allah, kecuali dengan kekafiran terhadap thaghut. Dalilnya adalah firman (Allah) ﷻ,

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦

“[Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan kebenaran dari jalan kesesatan.] Oleh karena itu, barangsiapa yang ingkar terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 256]

Ar-Rusyd ‘petunjuk’ adalah agama Muhammad. Al-Ghayy ‘kesesatan’ adalah agama Abu Jahl. Al-‘Urwah Al-Wutsqâ ‘tali yang kokoh’ adalah syahadat Lâ Ilâha Illallâh yang mengandung (makna) penafian dan penetapan: Menafikan segala ibadah dari selain Allah b dan menetapkan bahwa seluruh ibadah hanya milik Allah semata, tiada serikat bagi­Nya.

Pilar-pilar pembahasan:

1. Penjelasan tentang awal kewajiban anak Adam.

2. Sifat kekufuran kepada thaghut.

3. Makna keimanan kepada Allah.

4. Hakikat agama Nabi Ibrahim Alaihi Salam.

5. Makna dan cakupan thaghut.

6. Macam­macam thaghut.

7. Lima pokok thaghut beserta dalil­ dalilnya.

8. Penegasan syarat keimanan kepada Allah.

Sumber:

Website Resmi Dzulqarnain Muhammad Sunusi, http://www.dzulqarnain.net/, tanggal akses November 2021.

Al-Qawa’id Al-Arba’ah

Kitab: Al-Qawa’id Al-Arba’ah (Mengenal 4 Kaidah Penting dalam Beragama)

Karya: Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab An-Najdy Rahimahullah

Mengenal 4 Kaidah Penting dalam Beragama

Untaian Doa Agung

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang.

Saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, Rabb arsy yang agung, agar engkau diberi walâyah ‘perlindungan’ di dunia dan akhirat, dan agar engkau diberkahi di manapun engkau berada, serta agar engkau dijadikan sebagai orang yang, apabila diberi, ia bersyukur, apabila diuji, ia bersabar, dan apabila berlaku dosa, ia momohon ampun. Sesungguhnya tiga perkara ini merupakanlambang kebahagiaan.

Beberapa Pendahuluan Penting

Ketahuilah, semoga Allah meluruskan (jalanmu) di atas ketaatan kepada-Nya, sesungguhnya Al-Hanifiyah, agama Nabi Ibrahim adalah bahwa engkau menyembah Allah semata dengan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya sebagaimana firman (Allah) Ta’âlâ,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka menyembah kepada-Ku.” [Adz-Dzâriyât: 56]

Bila engkau telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu hanya untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah bahwa sebuah ibadah tidaklah dinamakan ibadah, kecuali bersama tauhid, sebagaimana shalat tidaklah dinamakan shalat, kecuali bersama thaharah. Apabila kesyirikan masuk ke dalam ibadah, (kesyirikan) itu akan merusak (ibadah) tersebut sebagaimana apabila hadats masuk pada thaharah.

Bila engkau mengetahui bahwa kesyirikan, jika bercampur dengan ibadah, akan merusak (ibadah) itu, menghapuskan amalan, dan menjadikan pelakunya termasuk ke dalam orang-orang yang kekal dalam neraka, engkau pun mengetahui bahwa hal terpenting adalah mengetahui perkara tersebut supaya Allah membebaskanmu dari jerat ini, yaitu perbuatan syirik kepada Allah, yang Allah Ta’âlâ berfirman tentangnya,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ

Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, (tetapi) Dia mengampuni dosa yang bukan syirik bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” [An-Nisâ`: 48, 116]

Hal tersebut (ditempuh) dengan mengetahui empat kaidah yang telah Allah Ta’âlâ sebutkan di dalam kitab-Nya.

Kaidah Pertama

Hendaknya engkau mengetahui bahwa orang-orang kafir, yang diperangi oleh Rasulullah , mengakui bahwa Allah adalah Maha Pemberi Rezeki, Maha Mencipta, dan Maha Mengatur Segala Perkara, tetapi hal tersebut tidaklah memasukkan mereka ke dalam Islam. Dalilnya adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَـٰرَ وَمَن يُخْرِجُ ٱلْحَىَّ مِنَ ٱلْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ ٱلْمَيِّتَ مِنَ ٱلْحَىِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٣١

“Katakanlah, ‘Siapa yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapa yang berkuasa (untuk menciptakan) pendengaran dan penglihatan, siapa yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, serta siapa yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Oleh karena itu, katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’.” [Yûnus: 31]

Kaidah Kedua

Sesungguhnya mereka (orang-orang musyrikin, pent.) berkata, “Tidaklah kami berdoa kepada mereka tidak pula kami mengarahkan wajah kami (untuk menghadap) kepada mereka, kecuali untuk meminta al-qurbah ‘kedekatan’ dan syafaat.

Adapun dalil tentang al-qurbah adalah Firman (Allah) Ta’âlâ,

وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَـٰذِبٌۭ كَفَّارٌۭ ٣

Dan orang-orang, yang mengambil pelindung yang bukan (Allah), (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang sesuatu yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang pendusta dan sangat ingkar.” [Az-Zumar: 3]

Dalil tentang syafaat adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ

“Dan mereka menyembah yang bukan Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka tidak pula kemanfaatan, serta mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.’.” [Yûnus: 18]

Syafa’at ada dua jenis: syafaat manfiyah (syafaat yang ditiadakan) dan syafaat mutsbitah (syafaat yang ditetapkan).

Syafa’at manfiyah adalah sesuatu yang diminta dari yang bukan Allah terhadap hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh siapapun, kecuali Allah. Dalilnya adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِمَّا رَزَقْنَـٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ يَوْمٌۭ لَّا بَيْعٌۭ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌۭ وَلَا شَفَـٰعَةٌۭ ۗ وَٱلْكَـٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ٢٥٤

Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang hari yang, pada hari itu, tidak ada lagi jual-beli dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim.” [Al-Baqarah: 254]

Syafaat mutsbitah adalah sesuatu yang diminta dari Allah.

Pemberi syafaat adalah seseorang yang dimuliakan dengan syafaat, sementara penerima syafaat adalah orang yang ucapan dan amalannya diridhai oleh Allah setelah mendapat izin (dari-Nya) sebagaimana firman (Allah) Ta’âlâ,

مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ

Tiadalah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah, kecuali dengan seizin-Nya.” [Al-Baqarah: 255]

Kaidah Ketiga

Sesungguhnya Nabi tampak di tengah-tengah orang-orang yang berbeda-beda dalam ibadah mereka. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, di antara mereka ada yang menyembah nabi-nabi dan orang-orang shalih, di antara mereka ada yang menyembah pepohonan dan bebatuan, serta di antara mereka ada yang menyembah matahari dan bulan. Dalilnya adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

وَقَـٰتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌۭ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِ ۚ

Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” [Al-Anfâl: 39]

Dalil tentang (ada yang menyembah) matahari dan bulan adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

وَمِنْ ءَايَـٰتِهِ ٱلَّيْلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا۟ لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَٱسْجُدُوا۟ لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ٣٧

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah menyembah matahari maupun bulan, tetapi sembahlah Allah Yang menciptakannya jika kalian hanya hendak menyembah Dia.” [Fushshilat: 37]

Dalil tentang (ada yang menyembah) malaikat adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُوا۟ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةَ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ أَرْبَابًا ۗ

Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruh kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai rabb-rabb.” [Âli‘Imrân: 80]

Dalil tentang (ada yang menyembah) para nabi adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

وَإِذْ قَالَ ٱللَّهُ يَـٰعِيسَى ٱبْنَ مَرْيَمَ ءَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ ٱتَّخِذُونِى وَأُمِّىَ إِلَـٰهَيْنِ مِن دُونِ ٱللَّهِ ۖ قَالَ سُبْحَـٰنَكَ مَا يَكُونُ لِىٓ أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِى بِحَقٍّ ۚ إِن كُنتُ قُلْتُهُۥ فَقَدْ عَلِمْتَهُۥ ۚ تَعْلَمُ مَا فِى نَفْسِى وَلَآ أَعْلَمُ مَا فِى نَفْسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّـٰمُ ٱلْغُيُوبِ ١١٦

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa, putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah saya dan ibuku sebagai dua orang tuhan selain Allah?’.’ Isa menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan sesuatu yang bukan hakku. Jika saya pernah mengatakan hal itu, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui segala sesuatu yang ada pada diriku, (sedangkan) saya tidak mengetahui sesuatu yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara ghaib.’.” [Al-Mâ`idah: 116]

Dalil tentang (ada yang menyembah) orang-orang shalih adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓ ۚ

Orang-orang, yang mereka seru itu, juga mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah), mengharap rahmat-Nya, dan takut akan adzab-Nya.” [Al-Isrâ`: 57]

Dalil tentang (ada yang menyembah) pepohonan dan bebatuan adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

أَفَرَءَيْتُمُ ٱللَّـٰتَ وَٱلْعُزَّىٰ ١٩وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلْأُخْرَىٰٓ ٢٠

Maka apakah kalian (wahai orang-orang musyrik) patut menganggap Al-Lâta dan Al-‘Uzza, dan Manâh yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuanAllah)?” [An-Najm: 19-20]

Juga hadits Abu Wâqid Al-Laitsy Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau berkata,

“Kami keluar bersama Nabi ke Hunain, dan (saat itu) kami masih dekat dengan masa kekafiran (baru memeluk Islam, pent), sementara kaum musyrikin memiliki sebuah pohon bidara yang mereka beri’tikaf di sisi (pohon) itu dan menggantungkan senjata-senjata mereka pada (pohon) itu. Pohon itu disebut dzâtu anwâth. Maka, kami melalui pohon tersebut lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah dzâtu anwâth untuk kami sebagaimana mereka memiliki dzâtu anwâth ….’.”

Kaidah Keempat

Sesungguhnya kaum musyrikin pada zaman kini kesyirikannya lebih parah daripada orang-orang (musyrik) terdahulu. (Hal ini) karena orang-orang (musyrik) terdahulu melakukan kesyirikan pada waktu lapang, tetapi mereka mengikhlaskan (ibadah) pada waktu susah, sedangkan kaum musyrikin pada zaman kita kesyirikan mereka terus-menerus, pada waktu lapang maupun susah.

Dalilnya adalah firman (Allah) Ta’âlâ,

فَإِذَا رَكِبُوا۟ فِى ٱلْفُلْكِ دَعَوُا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمْ إِلَى ٱلْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ ٦٥

Maka, apabila menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; (Namun), tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabût: 65]

Selesai, Shallallâhu ‘Alâ Muhammadin Wa Âlihi Wa Shahbihi Wa Sallam.

Sumber:

Website Resmi Dzulqarnain Muhammad Sunusi, http://www.dzulqarnain.net/, tanggal akses November 2021.

Definisi dan Ayat yang Berkaitan dengan Takwa

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin
Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 6 Takwa

Definisi

Taqwa diambil dari kata wiqayah (perventif) yaitu seseorang mengerjakan sesuatu yang dapat menghindarkannya dari adzab Allah dan sesungguhnya yang dapat menghindarkanmu dari adzab Allah adalah dengan melakukan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.

Beberapa Ayat yang Berkaitan dengan Takwa:

Pertama: Firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran ayat 103:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya

Perintah di sini ditunjukan kepada orang-orang mukmin, karena orang mukminlah yang keimanannya dapat mendorongnya untuk bertakwa.

Sebenar-benarnya takwa ditafsirkan dalam ayat kedua, yaitu firman Allah, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.

Kedua: Firman Allah Ta’ala dalam surat At-Tagabhun Ayat 16:

فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu

Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ayat ini bukanlah dimaksudkan untuk mempermudah takwa kepada Allah, tetapi dimaksudkan untuk memberikan motivasi takwa sesuai dengan batas kemampuan.

Ketiga: Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Ahzab Ayat 70-71:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَقُولُوا۟ قَوْلًۭا سَدِيدًۭا ٧٠يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَـٰلَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.

Allah Ta’ala memerintahkan dengan dua perintah, bertakwa pada Allah dan memerintahkan sesorang untuk berkata benar. Ucapan yang benar termasuk dizkir atau mencari ilmu atau memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran atau ucapan-ucapan yang baik yang dapat menimbulkan rasa cinta dan kerinduan sesama manusia atau yang lainnya.

Ucapan yang tidak benar dari segi materinya yaitu ucapan yang mengandung cacian, makian, ghibah, namimah, dan lainya. Adapun ucapan yang tidak benar dari segi kesempatannya adalah ucapan yang pada hakikatnya baik akan tetapi diucapkan pada keadaan yang tidak baik.

Jika seseorang bertakwa dan berkata dengan ucapan yang benar maka ia akan mendapatkan dua hal “Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu” (Al-Ahzab: 71)

Keempat: Firman Allah Ta’ala dalam surat Ath-Thalaq ayat 2-3

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًۭا ٢وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya

Maka setiap ada kesempitan sedangkan ia bertakwa kepada Allah, maka Allah menjadikan baginya jalan keluar, apakah itu dalam kehidupannya, dalam harta-hartanya, anak-anaknya, dalam sosial kemasyarakatan, atau lain-lainnya.

Kelima: Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Anfal Ayat 29

إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًۭا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ

jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu Furqān1. Dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar

Terdapat tiga manfaat besar jika bertakwa kepada Allah:

  1. Allah akan jadikan bagimu sesuatu yang memisahkan antara hak dan batil, antara yang berbahaya dan yang bermanfaat..
  2. Allah akan memudahkan baginya melakukan amal-amal shaleh, yang dengannya Allah menghapus dosa-dosanya.
  3. Allah akan memudahkan baginya untuk beristigfar dan bertaubat.

Dan ayat-ayat dalam bab ini sangatlah banyak dan masyhur.

Wallahu A’lam

Hud Ayat 15-16: Barangsiapa yang Menghendaki Dunia saja, Allah akan cukupi. Akan Tetapi tidak dapat Akhirat.

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَـٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ١٥أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى ٱلْـَٔاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِيهَا وَبَـٰطِلٌۭ مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ ١٦

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15-16)

Allah ﷻ berfirman, مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya“, maksudnya segala keinginannya terbatas hanya pada kehidupan dunia berupa wanita, anak-anak, emas, dan perak yang melimpah, kuda pilihan, ternak dan tanah pertanian, maka sungguh dia telah memfokuskan keinginannya, usahanya dan pekerjaannya pada hal-hal ini, dan tidak terbetik dalam keinginannya untuk alam akhirat sedikit pun, orang ini tidak lain melainkan orang kafir karena jika dia adalah orang yang beriman, niscaya imannya menghalanginya untuk memberikan seluruh keinginannya kepada alam dunia, bahkan imannya itu sendiri dan amal perbuatan yang dilakukannya adalah salah satu tanda kalau dia itu menginginkan alam akhirat, akan tetapi orang yang sengsara ini yang sepertinya hanya diciptakan untuk dunia saja,

نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا “niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna.” Maksudnya, Kami memberi mereka sesuatu yang telah dibagikan kepada mereka di Ummul Kitab berupa balasan dunianya. وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ “Dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan“, tidak sedikit pun dari sesuatu yang ditakdirkan untuknya akan dikurangi, akan tetapi ini adalah puncak nikmat mereka.

أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ “Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka“, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, azabNya tidak terputus, mereka tidak mendapatkan balasan yang mulia. وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا “Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dalamnya,” yakni di dunia, maksudnya, batal dan lenyap rencana mereka untuk membuat makar bagi kebenaran dan pengikutnya, begitu pula amal kebaikan yang tidak berdasar dan tidak terpenuhi syaratnya, yaitu iman.

Wallahu Ta’alla ‘Alam


Penjelasan Ustadz Dzulqaranin Muhammad Sunusi,

Video Kajian: Tafsir Surat Hud 15-16

Ayat ini menjelaskan tentang orang yang beramal dengan maksud perkara dunia, tidak diinginkan mengharap wajah Allah. Maka tidak ada bagian diakhirat kecuali neraka, hancur perbuatannya, dan bathil seluruh amalannya.

Ayat ini mencakup pada 4 Golongan:

  1. Orang yang beramal dengan amalan yang shalih, ikhlas didalamnya akan tetapi dia hanya mengharapkan dunia.
  2. Orang yang beramal dengan amalan shalih, tapi yang diinginkan harta.
  3. Orang yang beramal dengan Riya.
  4. Orang yang beramal dengan amalan shalih tapi menyandang pembatal keislaman (Orang kafir atau berbuat kesyirikan).

Golongan Pertama: Orang yang beramal dengan amalan yang shalih, ikhlas didalamnya akan tetapi dia hanya mengharapkan dunia. Misalhnya: Orang yang berpuasa dengan ikhlas, sesuai dengan tuntunan Nabi. Akan tetapi niat puasa supaya badannya sehat saja.

Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan:

  1. Orang yang beramal dengan ikhlas, akan tetapi hancur amalan karena tujuan beramal tersebut untuk mencari dunia saja.
  2. Orang yang beramal shalih dengan ikhlas, akan tapi menghendaki dunia karena memang didalam Al-quran atau Hadits disebutkan pahala dari sudut dunia.

Misalnya: Siapa yang shalat duha di awal hari 4 rakaat, maka Allah akan cukupi perkaranya disiang hari. Mencukupi perkaranya termasuk dijaga, di beri rejeki dan lainnya. Akan tetapi banyak orang yang berkata, kalau ingin lancar urusan, terbuka rizeki, maka shalat duha disiang Hari. Sehingga dia sholat Duha memang supaya mendapatkan rejeki yang lancar.

Yang benar adalah, beramal dengan amalan akhirat, dengan tujuan untuk mendapat pahala di akhirat. Adapun pahala di dunia yang Allah janjikan, tidak usah dipikirkan. Tujuan dunia jangan menjadi dasar melakukan ibadah tersebut. Mengingat kebaikan akan amalan tersebut tidak mengapa sepanjang iklas mengharap wajah Allah

Nabi memberikan jatah harta rampasan perang kepada para sahabat. Bagi sahabat yang mengalahkan seorang musuh maka apa yang melekat dibadan musuh itu menjadi miliknya. Hal ini adalah dunia, tapi tidak dipermasalahkan karena dasar mereka berjihad adalah untuk meninggikan kalimat Allah.

Banyak yang keliru dalam memotivasi manusia dalam beribadah. Misalkan bersedekah dengan sebuah mobil, maka dapat 700 mobil. Memang ada haditsnya yaitu tentang seorang shahabat menginfak kan 1 ekor unta dijalan Allah, maka nabi berkata engkau akan dapat 700 unta dihari kiamat. Tapi bedanya sahabat ini ikhlas membawa untanya, dia mungkin tidak pernah berfikir mendapatkan sesuatu dunia.

Contoh lain adalah pergi beribadah Umrah dengan tujuan supaya lancar urusan, terbuka rizekinya. Hal ini semua perkara dunia. Jangan seseorang meniatkan pada dasar amalannya untuk dunia. Dia niatkan untuk Allah, ikhas untuk Allah, lakukan amalan untuk Allah. Setelah itu jangan dia fikir. Dunia itu akan datang dibelakangnya. Apa yang dijanjikan Allah dan rasulnya pasti dia dapatkan.

Golongan Kedua: Orang yang beramal dengan amalan shalih, tapi yang diinginkan harta. Seperti belajar ilmu syariat atau sekolah, tujuannya supaya dapat pekerjaan, penghasilan. Ini tidak ikhlas dalam belajar. Orang yang belajar apalagi itu ilmu agama, yaitu untuk mengangkat kejahilan dari dirinya, meraih rida Allah dan Rasuln-Nya (Allah mencintai orang yang belajar). Dia niatkan dengan yang baik, apabila setelah belajar ada yang perlu kepadanya maka tidak ada masalah karena pada dasarnya tidak diniatkan untuk itu. Allah tidak pernah menelantarkan orang-orang yang bertakwa.

Golongan Ketiga: Orang yang beramal Riya. Kelihatan amalannya shaleh tapi ingin dipuji oleh manusia. Ini adalah peringatan tentang bahaya ria.

Golongan Keempat: Orang yang beramal dengan amalan shalih tapi menyandang pembatal keislaman. Seperti orang kafir yang berbuat baik (sedekah, pengobatan, santunan dan lainnya. Tapi kekafiran dan kesyirikan mereka menghalangi kebaikan utnuk sampai kepada mereka.

Faedah Ayat:

Pertama: Kadang terfitnah, yaitu ketika beramal saleh dengan harapan dunia. Allah penuhi dunianya. Tapi diingatkan tidak dapat apa-apa diakhirat kecuali neraka.

Kedua: Jangan tertipu dengan dunia yang didapatkan. Karena hal tersebut bukan bukti Allah ridha kepada kita. Dunia diberikan kepada kafir dan muslim. Bahkan kafir lebih banyak mendapatkan dunia.

Ketiga: Yang diukur bukan dhohir amalan tapi niat amalannya.

Keempat: Harus pandai membedakan amalan dengan niat mengharap wajah Allah dan amalan yang dilakukan dengan niat menghendaki dunia.

Kelima: Terdapat hal-hal dalam pembatal amalan berupa kesyirikan, riya, dan mengungkit amalan yang telah dilakukan.

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Dalil 2: Hadits Imran bin Hushain, Larangan Memakai Gelang dengan Tujuan untuk Menolak Bahaya

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullah

Bab 6: Termasuk sebagai Kesyirikan Memakai Gelang, Benang dan Sejenisnya Sebagai Pengusir atau Penangkal Mara Bahaya

Dalil 2: Hadits Imran bin Hushain, Larangan Memakai Gelang dengan Tujuan untuk Menolak Bahaya

Dari ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, (beliau berkata), “Rasullullah melihat seeorang lelaki yang di tangannya terdapat gelang kuningan maka beliau bertanya, ‘(Gelang) apa ini?’

Lelaki itu menjawab, ‘(penangkal) al-wahinah’

Beliau pun bersabda, ‘Lepaskanlah (gelang) itu karena (gelang) itu tidak akan menambah sesuatu pada dirimu, kecuali kelemahan. Sebab, jika meningal dalam keadaan (gelang) itu (masih melekat) pada (tubuh)mu, engkau tidak akan beruntung selamanya.’.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang tidak mengapa.

Biografi

‘Imran adalah ‘Imran bin Hushain bin ‘Ubaid bin Khalaf Al-Khuza’iy, seorang sahabat dan anak dari seorang shahabat. Beliau memeluk Islam pada tahun terjadinya Perang Khaibar dan meninggal pada 52 H di Basrah.

‘al-wahinah’: sejenis penyakit yang menimpa tangan.

Makna Hadits Secara Global

Kepada kita, ‘Imran bin Hushain Radhiallahu ‘Anhuma meyebutkan salah satu sikap Rasulullah dalam memerangi kesyirikan dan membebaskan manusia dari kesyirikan. Sikap itu adalah: ketika melihat seseorang memakai gelang yang terbuat dari kuningan, beliau bertanya tentang sebab ia memakai gelang tersebut. Orang itu menjawab bahwa ia memakai gelang untuk melindungi diri dari penyakit maka beliau segera memerintah orang itu untuk melepas (gelang) tersebut dan mengabarkan bahwa hal itu tidak mendatangkan manfaat, bahkan akan membahayakan dan akan menambah penyakit, yang dengan alasan itu ia memakai gelang tersebut. Bahkan, lebih dari itu, seandainya terus memakai gelang itu sampai meninggal, ia akan diharamkan untuk mendapatkan keberuntungan di akhirat.

Hubungan antara Hadits dan Bab

Hadits ini menunjukkan larangan memakai gelang untuk menolak bahaya karena hal itu termasuk kesyirikan yang akan menghilangkan keberuntungan.

Faedah Hadits

  1. Memakai gelang atau selainnya untuk melindungi diri dari penyakit termasuk sebagai kesyirikan
  2. Larangan untuk berobat dengan sesuatu yang haram
  3. Mengingkari kemungkaran dan mengajari orang yang belum tahu
  4. Bahaya kesyirikan di dunia dan di akhirat
  5. Seorang mufti, secara lebih detail, menanyakan suatu masalah dan menghukumi sesuatu berdasarkan tujuan sesuatu tersebut
  6. Bahwa syirik kecil termasuk ke dalam dosa besar.
  7. Bahwa kesyirikan tidak menerima udzur berdasarkan ketidakahuan.
  8. Teguran keras dalam mengingkari pelaku kesyirikan dengan tujuan agar orang tersebut lari (menjauh) dari kesyirikan itu.

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Biografi

Perang Khaibar terjadi di tahun ke-7. Pada saat Fatul Makkah, banyak kabilah para sahabat yang hadir. ‘Imran membawa bendera Kabilah Khuja’ah. Kemudian beliau pindah ke Basrah dan meninggal pada tahun 52H.

Penjelasan Hadits

Di riwayat Al-Hakim yang memakai gelang ditangannya itu adalah ‘Imran sendiri. “Dilenganku ada lingkaran dari kuningan”.

Beberapa bentuk keyakinan kaum Musyrikin di masa jahiliyah:

  1. Memakai Gelang kuning, untuk menolak gangguan ‘ain dan jin serta yang semisalnya
  2. Memakai Gelang Perak, untuk mendatangkan keberkahan atau menolak penyakit bawasir
  3. Memakai Cincin yang ada ukiran, untuk penjagaan dari Jin

Benda-benda tersebut dipakai dengan tujuan dijadikan sebab untuk menolak bahaya.

Nabi bertanya, “Apa sebabnya memakai itu?” Ini adalah bentuk pertanyaan atau juga pengingkaran dalam bentuk pertanyaan.

Al-Wahina adalah penyakit yang membuat badan menjadi lemah. Penyakit ini ada pada urat yang menimpa bahu dan tangan.

Nabi berkata: “Lepaskanlah“. An-Naja mengambil dengan kekuatan. Disebagian riwayat, “Buang lah

Ini membahayakan karena membuatmu semakin lemah. Kaidah orang yang berbuat kesyirikan akan mendapatkan lawan apa yang dia cari.

Sanad dari hadits ini tidak masalah. Apabila dilihat pada rawi’nya ada kelemahan. Dari sisi makna benar tapi riwayat ada kelemahan.

Tidak beruntuk selamanya”: artinya tergantung masuk kepada syirik besar atau kecil.

  • Apabila syirik akbar maka tidak dapat sama sekali beruntung selama-lamanya.
  • Apabila syirik kecil, maka artinya menjauhkan keberuntungan dan bukan berarti tidak dapat sama sekali.

Maksud dibawakan hadits adalah bahwa memakai gelang untuk menolak bahaya adalah kesyirikan yang tidak membawa keberuntungan.

Wallahu Ta’ala A’lam

Dalil 1: Surat Az-Zumar Ayat 38

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullah

Bab 6: Termasuk sebagai Kesyirikan Memakai Gelang, Benang dan Sejenisnya Sebagai Pengusir atau Penangkal Mara Bahaya

Firman Allah dalam Surat Az-Zumar Ayat 38:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُ ۚ قُلْ أَفَرَءَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ إِنْ أَرَادَنِىَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَـٰشِفَـٰتُ ضُرِّهِۦٓ أَوْ أَرَادَنِى بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَـٰتُ رَحْمَتِهِۦ ۚ قُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ ٱلْمُتَوَكِّلُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab, “Allah”. Katakanlah, “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya? Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah bertawakal orang-orang yang berserah diri. (Az-Zumar: 38).

Hubungan antara Bab dan Kitab Tauhid

Bab ini memuat penyebutan sesuatu yang merupakan lawan dari tauhid, yaitu mencari penghilang atau pencegah bahaya berupa selain Allah, dalam rangka memperingatkan terhadap hal tersebut karena tauhid dapat diketahui melalui lawannya.

‘termasuk kesyirikan’: menunjukan sebagian, yaitu termasuk salah satu syirik besar meyakini bahwa sesuatu tersebut bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya dengan sendirinya, atau termasuk syirik kecil jika meyakini bahwa sesuatu tersebut menjadi sebab datangnya manfaat dan tertolaknya bahaya.

Makna Ayat Secara Global

Allah memerintahkan Nabi-Nya Muhammad untuk bertanya kepada kaum musyrikin -dengan pertanyaan pengingkaran- tentang patung-patung yang mereka sembah bersama Allah, apakah (patung-patung) itu mampu memberi manfaat atau menolak bahaya? Maka mereka pasti akan mengakui kelemahan patung-patung mereka terhadap hal itu. Kalau keadaan mereka demikian, telah batalah peribadahan kepada patung-patung tersebut.

Hubungan antara Ayat dan Bab

Ayat di atas merupakan dalil tentang batilnya kesyirikan. Memakai gelang dan benang adalah termasuk ke dalam (kesyirikan) tersebut, yang tidak mampu menolak bahaya atau mendatangkan mafaat.

Faedah Ayat

  1. Kebatilan perbuatan syirik, karena semua yang disembah selain Allah tidak berkuasa atas bahaya tidak pula manfaat bagi para penyembahnya.
  2. Peringatan terhadap memakai gelang, benang, atau selainnya dengan tujuan untuk mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Karena, hal itu tergolong sebagai kesyirikan yang sejenis dengan tujuan penyembahan kepada patung.
  3. Pensyariatan untuk mendebat kaum musyrikin guna membatilkan kesyirikan mereka.
  4. Kewajiban untuk bersandar kepada Allah semata dan menyerahkan semua urusan kepada-Nya

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Pendahuluan

Dalam bab selanjutnya diterangkan mengenai yang bertentangan dengan tauhid, yaitu kesyirikan yang besar dan yang kecil.

Tiga hal pokok dalam bab ini

  1. Hal yang bertentangan dengan Tauhid dari bentuk syirik akbar
  2. Hal yang berentangan dengan kesempurnaan tauhid berupa syirik asgar
  3. Hal yang bisa mengantar kepada kesyirikan: ghuluw, bid’ah dan selainnya.

Pembasan dimulai dari syirik kecil kemudian syirik besar. Karena syrik kecil adalah wasilah ke syirik akbar. Apabila sudah paham bahaya pada syirik kecil, maka akan lebih menyakini bahaya kesyirikan.

Pembahasan

Pembahasan pada bab ini yaitu memakai segala sesuatu yang melingkar dan digantung pada anggota badan dengan tujuan untuk mencari faedah mengangkat dan menolak bala. Bala adalah nama yang mencakup segala hal yang tidak menyenangkan menimpa manusia seperti: sakit, kefakiran, dan lainnya. Mengangkat bala yaitu mengangkat segala yang tidak menyenangkan yang sudah menimpa. Adapun menolak bala yaitu melindungi agar tidak terkena segala sesuatu yang tidak menyenangkan.

Hukum dari hal ini adalah kesyirikan. Jenis kesyirikannya tergantung keyakinannya pada hal tersebut. Hukumnya menjadi syirik kecil, apabila:

  1. Dia meyakini sesuatu menjadi sebab padahal itu bukan sebab syar’i dan bukan sebab qodari.
  2. Dia bergantung kepada sangkaan yang tidak memiliki hakikat. Maksudnya hanya sangkaan dan dugaan saja, padahal sebenarnya tidak demikian.

Hukumnya menjadi syirik besar apabila meyakini sesuatu yang melingkar dan digantung pada anggota badannya dapat memberi pengaruh dengan sendirinya. Misalnya menggantung jimat dengan keyakinan jimat ini bisa memberi manfaat atau bahaya dengan sendirinya. Menjadi syirik akbar karena menjadikan jimat itu sebagai pencipta selain Allah.

Pembahasan Sebab

Yang mengadakan sebab adalah Allah. Sehingga apabila yang mengadakan sebab selain Allah, maka termasuk menandingi atau menyamai Allah. Orang yang menganggap sesuatu menjadi sebab, padahal Allah tidak mensyariatkannya sebagai sebab dan Allah tidak pula menakdirkannya sebagai sebab, maka artinya menandingi Allah dalam mengadakan sebab.

Dalil-dalil menunjukan bahwa syirik menjadikan sebab adalah syirik kecil, tidak mengeluarkan keislamannya.

Sebab Syar’i

Sebab Sya’ri adalah Allah yang menjadikan sebab seperti masuk surga harus ada sebab syar’ir yaitu melakukan amalan shaleh. Sebagaimana firman Allah:

وَنُودُوٓا۟ أَن تِلْكُمُ ٱلْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan diserukan kepada mereka, “ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan”. (Al-Araf: 43)

Juga Allah menjadikan sebab Al-Qur’an sebagai penyembuh, sebagaimana firman Allah:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌۭ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًۭى وَرَحْمَةٌۭ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhan-mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus: 57)

Termasuk juga berobat dengan madu. Dalam Al-quran disebutkan madu obat untuk manusia.

Juga untuk mendapatkan anak sebab syar’i nya dengan menikah.

Orang yang mengingkari sebab syar’i, maka ada masalah dengan akidahnya.

Sebab Qadari

Sebab Qadari, Allah takdirkan sesuatu seperti itu. Adanya hubungan sebab akibat. Seperti api mati apabila disiram air. Juga apabila seseorang telalu banyak memakan sambel, maka menyebabkan sakit perut. Sehingga tidak perlu ditanyakan lagi dalilnya. Orang yang mengingkari sebab qodari, berarti ada masalah dengan akalnya.

Kaidah syirik kecil yaitu apabila meyakini sesuatu sebab tapi tidak ada sebab syar’i dan sebab qadari,

Ada beberapa yang masuk dalam syrik kecil ini yang berjalan ditengah masyaraat seperti anak bayi baru lahir dipakaikan penitik, dengan tujuan mengusir syaithon atau jin. Hal ini tidak ada sebab syar’i dan qadari.

Syirik asgar lebih besar dari dosa besar.

Manusia dalam hal sebab terbagi tiga golongan:

  1. Mengingkari sebab, menafikan hikmah. Dari golongan jabriyah dalam pembahasan takdir.
  2. Berlebihan dalam menetapkan sebab. Segala sesuatau dijadikan sebab, berlebihan (guluw).
  3. Pertengahan, jalan ahli sunnah. Yaitu mengimani adanya sebab (punya pengaruh) tapi dengan ijin Allah. Dan tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab kecuali apa yang Allah jadikan sebab syar’i dan qodari.

Dalil dari Surat Az-Zumar Ayat 38.

Makna ayat:

Allah memerintah kepada Nabi nya untuk berucap kepada kaum musyrikin. Bagaimana pendapat kalian mengenai orang-orang yang beribadah selain kepada Allah. Apabila Allah menghendaki bahaya untuk ku. Apakah kalian tahu bahwa mereka itu mampu untuk menyingkap bahaya itu? Atau apabila Allah mengehendaki kebaikan untu ku. Apakah yang kalian ibadahi itu bisa menahan dari rahmat Allah? Maka katakanlah, Allah lah yang mencukupi ku kepada nya lah bertawakal.

Sisi Pendalilan

Ayat ini memutus keterkaitan kaum musyrikin kepada siapa yang mereka ibadahi. Bahwa apa saja yang kalian meminta kepadanya, tidak bisa memberi manfaat dan tidak bisa menolak bahaya. Maka dengan demikian terputus segala ketergantungan pada yang kalian ibadahi, bukan tempat untuk bergantung.

Jadi apabila berlaha-berhala ini tidak bisa memberi manfaat dalam bentuk mendatangkan kebaikan atau menolak bahaya, maka demikian pula segala hal yang kalian jadikan sebagai sebab yang kalian bergantung kepadanya bukan sebab syar’i atau sebab qadari, tidak bisa memberikan manfaat bagi kalian.

Sehingga bathil segala ketergantunga mereka terhadap berhala-berhala. Karena tidak ada pengaruhnya dalam menyingkap bahaya atau mendatangkan manfaat.

Dengan bahasa lain, ayat ini menyinggung kaum musyirikin tentang siapa yang mereka ibadahi. Diputus sesembahan ini tidak bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya karena mereka tidak dijadikan sebab (syar’i dan qadari). Maka dengan itu dikiaskan segala hal yang bukan sebab syar’i dan qadari, sama seperti itu (tidak bisa memberikan manfaat dan madharat).

Wallahu Ta’ala A’lam

Orang yang Berhak Menjadi Imam – Bagian 2

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Orang yang Berhak Menjadi Imam

Hadits 332: Dari Abu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda,”Hendaknya yang menjadi imam suatu kaum adalah orang yang paling pandai di antara mereka dalam membaca Al-Qur’an. Jika kepandaian mereka dalam membaca (Al-Qur’an) sama, maka yang paling mengerti tentang As-Sunnah. Jika pengertian mereka tentang As-Sunnah sama, maka yang paling dahulu berhijrah. JIka waktu hijrah mereka sama, maka yang paling dahulu memeluk islam –Dalam riwayat lain: Yang paling tua -. Dan janganlah seorang laki-laki mengimami laki-laki di wilayah kekuasaannya, dan jangan pula duduk di tempat kehormatannya yang ada di dalam rumahnya kecuali atas seizinnya” (HR. Muslim).

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Dianjurkan otoritas menjadi imam diserahkan kepada yang paling utama kemudian yang utama. Keutamaan ini diukur dengan ilmu syar’i dan pengalamannya.
  • Semestinya hal ini menjadi pelajaran bagi kaum muslim dan semua otoritas (kewenangan), sehingga tidak membebankan kepemimpinan atau mengangkat imam (pemimpin) kecuali yang berkompeten dan memenuhi dua syarat utamanya, yaitu: amanah dan kuat (mampu menjalankan).
  • Firman Allah Ta’ala: “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (Al-Qashash: 26).
  • Kaum muslim tidak akan terhina dan kehilangan kemuliaan serta dilanda kerusakan, kecuali karena meninggalkan dan menyia-nyiakan amanah ini.
  • Rasulullah bersabda: “Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah datangnya Kiamat“. Seorang Badui bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana amanah disia-siakan?” Beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya“. (HR Al-Bukhariy)
  • Imamah menjadi hak orang yang paling banyak hafal Al-Qur’an; karena Al-Qur’an merupakan dasar semua ilmu yang bermanfaat. Jadi standarnya adalah lebih mengetahui Al-Qur’an dan memahaminya serta memahami shalat.
  • Jika hafalan Al-Qur’an mereka sama, maka yang lebih diutamakan adalah yang paling mengerti tentang sunnah Nabi .
  • Jika pengetahuan dan hafalan Al-Qur’an dan As-Sunnah sama, maka yang lebih diutamakan adalah yang lebih dulu berhijrah dari negeri kufur ke negeri Islam. Jika tidak ada hijrah, maka yang lebih dahulu taubat dan meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah, dan lebih mencerminkan perealisasian perintah-perintah Allah Ta’ala.
  • Dalam suatu riwayat disebutkan, “Maka yang paling tua“; demikian ini karena yang lebih tua adalah lebih dahulu memeluk Islam sehingga lebih banyak amal shalihnya.
  • Urutan ini selayaknya diperhatikan ketika datangnya jam’ah untuk melakukan shalat, atau ketika hendak mengangkat imam suatu mesjid. Tapi bila suatu mesjid sudah ada imam tetapnya, maka dialah yang lebih didahulukan, walaupun datang orang yang lebih utama darinya; berdasarkan sabda Nabi Dan janganlah seorang laki-laki mengimami laki-laki lain di wilayah kekuasannya.“.
  • Orang-orang yang paling berhak menjadi imam daripada yang lainnya:

a. Pemimpin kaum muslim, dan yang menangani urusan mereka, lebih berhak di wilayah kekuasannya daripada yang lain.

b. Pemilik rumah, atau pemilik gedung atau komplek lebih berhak menjadi imam daripada pengunjung (tamu).

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Orang yang Berhak Menjadi Imam – Bagian 1

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Orang yang Berhak Menjadi Imam

Hadits 331: Dari Amru bin Salamah Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: Ayaku mengatakan “Aku datang kepada kalian dari Nabi dengan suatu kebenaran, beliau bersabda, ‘Apabila datang waktu shalat, hendaklah seseorang di antara kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang megimami kalian adalah yang paling banyak hafalan Al-QU’rannya diantara kalian'”. Amru melanjutkan, “Lalu mereka berpikir, dan ternyata tidak ada orang yang lebih banyak hafalan Al-Qur’annya daripada aku. Maka mereka pun mendahulukan aku. Sementara saat itu aku masih berusia berusia enam atau tujuh tahun.” (HR. Al-Bukhariy, Abu Daud, dan An-Nasa’i)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Hadits ini menunjukan bahwa adzan hukumnya fadhu kifayah
  • Yang lebih berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya
  • Bolehnya anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan hal yang baik dan hal yang buruk) menjadi imam shalat.
  • Al-Qur’an menjadi sebab ditinggikannya derajat dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat.
  • Yang menjadi imam lebih utama daripada adzan; karena imam disandang oleh orang berilmu, sedangkan adzan bisa dipenuhi oleh setiap orang.

Perbedaan pendapat:

  • Madzhab Hanafi berpendapat, “Tidak sahnya imamah anak kecil yang belum baligh, baik untuk shalat fadhu maupun shalat sunnah”.
  • Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat,”Tidah sahnya imamah anak kecil untuk shalat fardhu, tapi sah untuk shalat sunnah”.
  • Mazhab Syafi’i berpendapat, “Sahnya imamah anak kecil, baik untuk shalat fadhu maupun shalat sunnah”.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Peringatan terhadap Bid’ah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Fadhlul Islam

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Catatan: Tulisan dengan gaya tebal-miring adalah matan dari kitab Fahdlul Islam karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah

Bab Peringatan terhadap Bid’ah

Pembahasan 1: Hubungan Bab dan Buku

Yaitu agar berhati-hati dengan bid’ah agar dapat keutamaan Islam.

Pembahasan 2: Definisi bid’ah dan pembagiannya

Bid’ah secara bahasa adalah sesuatu yang diadakan tidak ada contoh sebelumnya.

Bid’ah secara istilah adalah jalan dalam bergama dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala yang tidak ada petunjuk dari Nabi .

Ciri-ciri bid’ah

  • Bid’ah terkait dengan masalah agama, tidak terkait masalah dunia.
  • Dimaksudkan untuk taqorub, mendekatkan diri kepada Allah
  • Tidak ada tuntuntan dan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Bentuk-bentuk bid’ah: besar-kecil, mengeluarkan dari Islam dan tidak mengeluarkan dari Islam, asal dan mengikut.

Pembahasan detailnya akan dikaji pada pembahasan lainnya.

Diantara bahaya Bid’ah:

  1. Bid’ah lebih berbahaya dari dosa besar
  2. Pelaku bid’ah sulit untuk bertaubat
  3. Bid’ah lebih dicintai oleh iblis dari pada maksiat
  4. Bid;ah berdusta atas nama Allah
  5. Pelaku bid’ah diusir dari telaga.
  6. Pelaku bid’ah apabila diikuti orang, maka dosa jariah
  7. Menuduh Rasulullah berkhianat dalam menyampaikan agama.
  8. Mengkritik Allah dan Rasul-Nya

Hadits 1

Dari Al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Rasulullahmenasehati kami dengan nasihat yang sangat mendalam sehingga hat-hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan maka berwasiatlah kepada kami.” Beliau menjawab, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, serta mendengar dan taat, meskipun seorang budak yang memimpin kalian. Sesungguhnya, barangsiapa di antara kaian yang hidup (panjang), dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku. Gigitlah sunnah tersebut dengan geraham kalian. Berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena semua bid’ah adalah kesesatan.” At-Tirmidzy berkata, “Hadits hasan shahih”.

Pembahasan 1: Komitment diatas Sunnah Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk

Pembahasan 2: Berhati-hati dari Ibadah

Pembahasan 3: Agungnya hadits ini

Yaitu sampai bergetar hati dan menetes air mata para sahahabat. Sehingga Rasulullah memberikan wasiat.

Hadits 2

Hudzaifah Radhiallahu Anhu berkata, “Semua ibadah yang tidak dianggap ibadah oleh para sahabat Muhammad maka jangan pula kalian menganggapnya sebagai ibadah karena sesungguhnya (generasi) pertama sudah tidak meninggalkan tempat untuk mengatakan (sesuatu tentang agama) bagi (generasi) belakang. Oleh karena itu, bertaqwalah kepada Allah, wahai para Qurra’, dan ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian” Diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Pembahasan 1: Kewajiban mengikuti para shahabat dalam beribadah dan bergama

Sebagaimana Firman Allah:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

Ibnu Qadamah berkata: Telah tetap wajibnya mengikuti jalannya as-salaf berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, Sunnah dan kesepakatan Ulama.

Syikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tidak ada aib bagi orang yang menampakan jalan As-Salaf, bernisbat kepadanya, mengacu kepadanya, bahkan wajib menerima jalan As-Salaf. Karena jalan As-Salaf tidak lain kecuali kebenaran.

Pembahasan 2: Selamat ibadah para sahabat dan kesempurnaan jalan mereka

Hadits 3

Ad-Darimy berkata, Al-Hakam bin Al-Mubarak mengabarkan kepada kami, (beliau berkata): ‘Amr bin Yahya memberitakan kepada kami, beliau berkata: saya mendengar ayahku menceritakan, dari ayahnya, beliau berkata, “Kami duduk di depan pintu Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu sebelum shalat Zhuhur. Apabila beliau keluar (untuk mengerjakan shalat), kami berjalan Bersama beliau menuju ke masjid. Tiba-tiba, Abu Musa Al-Asy’ary Radhiallahu ‘Anhu  datang dan berkata. ‘Apakah Abu Abdurahman telah keluar menemui kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum’ Maka, Abu Musa duduk Bersama kami. Ketika Ibnu Mas’ud keluar, kami semua berdiri kepada beliau. Abu Musa berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya saya baru saja melihat perkara yang saya ingkari di masjid, tetapi saya tidak melihatnya (menganggapnya sebagai sesuatu) -segala puji bagi Allah- kecuali kebaikan.’ Beliau bertanya, ‘Perkara apa itu?’ Abu Musa berkata, ‘Nanti engkau akan melihat sendiri.’

Saya mengatakan, ‘Di masjid, saya melihat orang-orang duduk berhalaqah-halaqah sedang menunggu shalat. Pada setiap halaqah, ada seseorang yang memengang kerikil di tangannya, lalu berkata, “Bertakbirlah sebanyak seratus (kali).” Maka orang-orang bertakbir sebanyak serratus (kali). Kemudian dia berkata lagi, “Bertahlillah sebanyak serratus (kali),” maka orang-orang bertahlil sebanyak seratus (kali). Orang tersebut berkata lagi, “Bertasbihlah sebanyak serratus (kali),” maka orang-orang bertasbih sebanyak serratus (kali). Ibnu Mas’ud berkata kepada Abu Musa, ‘Apa yang sudah kamu katakan kepada mereka?’ Saya menjawab, ‘Saya belum mengatakan sesuatu kepada mereka karena menunggu pendapatmu, atau menunggu perintahmu’.

Ibnu Mas’ud berkata, ‘Kenapa tidak engkau memerintahkan mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka, dan memberi jaminan kepada mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan berkurang sedikitpun?’ Kemudian beliau berjalan maka kami pun berjalan Bersama beliau sampai tiba pada salah satu halaqah tersebut. Beliau berdiri di atas mereka dan bertanya, ‘Apa hal yang sedang melihat kalian melakukannya?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Abu Abdurrahman, ini kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih.’ Beliau berkata, ‘Hitunglah kejelekan-kejelekan kalian maka saya akan menjamin bahwa kalian tidak akan kehilangan kebaikan sedikitpun. Betapa memprihatinkan kalian, wahai umat Muhammad, betapa cepat kebinasaan kalian. Mereka, para shahabat Nabi kalian ﷺ, masih banyak (di sekitar kalian), dan pakaian beliau ini () belum using, serta bejana-bejana beliau belum pecah. Demi yang jiwa ini di tangan-Nya, sesungguhnya kalian berada di atas agama yang lebih mendapatkan petunjuk daripada agama Muhammad? Atau kalian telah membuka pintu kesesatan?’ Mereka menjawab, “Wahai Abu Abdurrahman. Demi Allah, kami tidaklah menginginkan sesuatu, kecuali kebaikan.’ Beliau mengatakan, ‘Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, tetapi tidak mendapatkanna. Sesungguhnya Rasulullah telah menceritakan kepada kami bahwa ada kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi (bacaannya) tidak melampaui tenggorokannya. Demi Allah, mungkin kebanyakan mereka berasal dari kalian.’ Kemudian beliau meninggalkan mereka”.

‘Amr bin Salamah Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Kami melihat bahwa mayoritas mereka, yang duduk-duduk di halaqah-halaqah tersebut, memerangi kami pada pertempuran Nahrawin Bersama orang-orang Khawarij”.

Pembahasan 1: Pengingkaran para shahabat dan keras terhadap bid’ah perkara baru

Pembahasan 2: Bid’ah pasti diantara dua kejelekan

Yaitu: Menganggap beragama lebih bagus dari Nabi atau membuka pintu kesesatan.

Pembahasan 3: Benarnya firasat Abdullah bin Masu’d

Yaitu berfirasat bahwa mereka adalah ciri-ciri orang khawarij yang membaca Al-Quran tidak melampuai tenggorokannya.

Pembahasan 4: Makna ucapan Imam Al-Barbari: hati-hati dari bid’ah yang kecil karena akan kembali dan menjadi bid’ah yang besar. Menyelisihi jalan yang lurus akhirnya keluar dari Islam (keseluruhan atau sebagian).

Pembahasan 5: Makna ucapan Ibnu Hazam: Tidaklah kami melihat sunnah yang ditelantarkan kecuali bersamanya ada bid’ah yang disyiarkan.

Apabila ingin mencocoki sunnah dilihat pada 6 hal:

  1. Sebabnya
  2. Jenisnya
  3. Jumlahnya
  4. Sifatnya (kaifiatnya)
  5. Tempatnya
  6. Waktunya

Contoh penerapan 6 hal yang mencocoki sunnah:

  1. Sebabnya: Misalkan shalat tahyatul masjid dilakukan karena masuk mesjid.
  2. Jenisnya: contohnya berqurban dengan jenis hewan yang disyariatkan: sapi, unta atau kambing
  3. Jumlahnya: shalat sudah ditentukan jumlahnya rakaatnya
  4. Sifatnya (kaifiat): yaitu bagiamana Nabi melakukan ibadah tersebut
  5. Tempatnya: Nabi melakukan suatu ibadah di tempat tertentu
  6. Waktunya: Nabi melakukan suatu ibadah pada waktu tertentu

Pembahasan 6: Baiknya adab para As-Salaf dalam mengungkan paara ulama

Pembahasan 7: Awal bid’ah amaliyah dalam Islam: Dzikir berjamaah

Penutup

Allah-lah Yang Maha Penolong, dan kepada-Nyalah segala tawakkal. Shalawat dan salam kepada pemimpin kita, Muhammad, serta kepada keluarga dan shahabat beliau seluruhnya.

Sanad Periwayatan Kitab Fadhlul Islam

Ustadz Dzulqaranin Muhammad Sunusi Hafizahullah meriwayatkan Kitab Fadhlul Islam Karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, melalui jalur guru beliau Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Aqil Al Hambali Rahimahullahu Ta’ala. Abdullah bin Abdul Aziz meriwayatkan dari gurunya Abdul Haq bin Abdul Wahid Al Hasyimi Rahimahullahu Ta’ala. Abdul Haq meriwayatkan dari Ahmad bin Abdillahi bin Salim Al Basyri Rahimahullahu Ta’ala. Ahmad bin Abdillahi meriwayakan dari Abdurahman bin Hasan Ahlu Syeikh (Penulis Kitab Fathul Majid) Rahimahullahu Ta’ala. Abdurahman bin Hasan meriwayatkan dari kakeknya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullahu Ta’ala.

Wallahu Ta’ala ‘Alam