Memperingan Shalat Jama’ah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Memperingan Shalat Jama’ah

Hadits 330: Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Bahwa Nabi ﷺ besabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankan (shalatnya). Karena sesungguhnya di antara mereka terdapa anak kecil, orang tua (lanjut usia), orang yang lemah, dan yang mempunyai hajat. Namun bila ia shalat sendirian, maka ia boleh shalat sekehendaknya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Dianjurkan untuk meringankan shalat ketika mengimami manusia dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah, karena diantara makmum ada anak kecil, orang yang lanjut usia dan orang lemah yang tidak tahan dengan panjangnya shalat.
  • Begitu pula orang yang punya hajat (keperluan) yang pikirannya sedang tertuju kepada hajatnya dan khawatir terlewatkan atau rusak dan sebagainya.
  • Dari hadits ini dapat disimpulkan, bahwa bila jumlah makmumnya terbatas, dan mereka sudah terbiasa dengan panjangnya shalat, maka itu boleh (yakni, imam boleh memanjangkan shalatnya); karena mereka berhak untuk mendapatkan itu, bahkan terkadang keigninaan itu berasal dari mereka sendiri, maka tidak apa-apa memanjangkan shalat.
  • Adapun bila shalat sendirian, maka boleh shalat sesukanya; karena hal ini kembali kepada kehendak dan semangatnya.
  • Hadits ini mengandung anjuran untuk memperhatikan kaum yang lemah dalam semua urusan yang disertai oleh orang-orang yang kuat, baik itu dalam urusan agama maupun sosial.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Tafsir Tauhid dan Syahadat La Ilaha Illallah – dari Hadits

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullah

Bab 5: Tafsir Tauhid dan Syahadat La Ilaha Illallah

Hadits:

Dalam Ash-Shahih, dari Nabi , beliau bersabda, “Siapa saja yang mengucapkan La Ilaha Illallah dan mengingkari segala sembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang (perhitungan)nya terserah kepada Allah ﷻ

Keterangan tentang bab ini (akan datang) pada bab-bab berikutnya.

‘Menjadi haram harta dan darahnya’: artinya terlarang untuk mengambil harta dan membunuhnya berdasarkan hal yang tampak (lahiriah) dari orang tersebut.

‘dan hisabnya terserah kepada Allah’: yakni Allah yang akan mengurusi hisab orang yang mengucapkan kalimat ini, dan akan membalasnya sesuai dengan niat dan keyakinannya.

Makna Hadits Secara Global

Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa membunuh atau mengambil harta seseorang tidaklah haram, kecuali dengan terkumpulnya dua perkara:

  1. Ucapan La Ilaha Illallah
  2. Kufur terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah

Apabila dua perkara ini terdapat pada diri seseorang., (kita) wajib menahan diri terhadap orang tersebut secara zhahir dan menyertakan urusan batinnya kepada Allah. Apabila ia jujur dalam hatinya, Allah akan membalasnya dengan surga yang penuh dengan kenikmatan. (Namun), kalau ia munafik, Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang sangat pedih. Oleh karena itu, di dunia, seseorang berdasarkan zhahirnya (hal yang tampak).

Hubungan antara Ayat dan Bab

Hadits ini merupakan dalil terbesar yang menjelaskan makna La Ilaha Illallah, yaitu mengingkari semua yang disembah selain Allah

Faedah Ayat

  1. Bahwa makna La Ilaha Illallah adalah kufur terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah, seperti patung-patung, kuburan, dan selainnya.
  2. Bahwa sekedar mengucapkan La Illaha Illallah tanpa mengufuri sembahan selain Allah tidaklah mengharamkan darah dan harta seseorang, meskipun ia mengetahui makna dan mengamalkan kalimat tersebut, selama ia tidak menggabungkan sikap kufur terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah dengan (pengucapan kalimat) itu.
  3. Siapa saja yang menyatakan ketauhidan kepada Allah dan komitmen kepada syariat-syariat-Nya secara zhahir, (kita) wajib menahan diri darinya sampai perkara-perkara yang menyelisihi hal tersebut tampak jelas darinya.
  4. Kewajiban untuk menahan diri dari seorang kafir jika dia memeluk Islam-meskipun dalam keadaan perang-, sampai perkara-perkara yang menyelisihi hal tersebut tampak jelas darinya.
  5. Seseorang kadang mengucapkan La Ilaha Illallah, tetapi tidak mengufuri segala sesuatu yang disembah selain Allah.
  6. Bahwa hukum di dunia berdasarkan hal yang tampak (zhahir), sedangkan hukum di akhirat berdasarkan niat dan maksud.
  7. Keharaman harta dan darah seorang muslim, kecuali dengan haknya.

Makna Perkataan Penulis

“Keterangan tentang bab ini terdapat pada bab-bab berikutnya” adalah bahwa yang datang pada bab-bab setelah bab ini menerangkan tauhid dan menjelaskan makna La Ilaha Illallah serta menerangkan sekian banyak bentuk kesyirikan, baik besar maupun kecil, juga menjelaskan hal-hal yang bisa mengatar kepada kesyirikan, berupa sikap ghuluw dan bid’ah-bid’ah, yang wajib ditinggalkan sebagai kandungan kalimat La Ilaha Illallah.

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Dalam hadits ini dikatakan manusia tidak boleh dibunuh dan di ambil hartanya apabila menegakkan dua hal:

  1. Berucap La Ilaha Illallah
  2. Kafir terhadap segala yang diibadahi selain dari pada Allah

Sisi pendalilan adalah sangat jelas menerangkan makna la illaha illallah yaitu kafir terhadap segala yang diibadahi selain dari pada Allah.

Hadits ini juga menunjukan bahwa sekadar berucap La Illaha Illallah tidak cukup. La Ilaha Illallah ada konsekuensinya yaitu ada 8 syarat:

  1. Al-Ilmu: mempunyai ilmu mengenai La Ilaha Illalah, tidak jahil terhadapmya
  2. Yakin: mempunyai keyakinan dan tidak ragu.
  3. Ikhlas: ikhlas tidak boleh ada riya atau kesyirikan
  4. ASh-Syidiq: kejujuran tidak boleh kedustaan
  5. Al-Mahabah: cinta tidak boleh ada kebencian
  6. Al-Inkiyat: terikat tidak boleh meninggaklan
  7. AL-Qobul: Menerima tidak boleh menolak
  8. Kafir terhadap segala yang diibadahi selain dari pada Allah

Pembahasan: Terdapat penjelasan akan persoalan tersbesar dan terpenting (perkataan penulis):

  1. Tafsir tauhid dan kalimah Syahadah, dijelaskan dengan jelas, salah satunya dalam surat Al-Isra. Allah menerangkan padanya tersebut yang merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik yang berdoa dan meminta kepada orang-orang shalih. Pada ayat tersebut terdapat penjelasan bahwa perbuatan itu adalah syirik Akbar.
  2. Ayat dalam surah Al-Bara’ah, Allah menerangkan bahwa Ahlul Kitab menjadikan pada pendeta, orang alim dan ahli ibadah mereka, sebagai sembahan-semabahan selain daripada Allah. Mereka diperintah untuk menyembah yang maha satu saja. Mereka tidak berdoa dan meminta kepada alim ulama, akan tetapi mereka taati ulama dan ahli ibadah mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan.
  3. Perkataan al-khalil alaihi salam kepada Ayah dan kaumnya “Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala sesuatu yang kalian Ibadahi kecuali Dia yang menciptakan. Al-Bara dan Al-Muala atau Nafiyu wa Ishbat. Ini adalah tafsir syahadat La Ilaha Illallah, pada kelanjutan ayat “Allah menjadikan kalimat syahadat ini, berlaku sampai akhirnya”.
  4. Ayat dalam surat Al-Baqarah tentang kaum kafir, “Dan tidaklah mereka akan keluar dari api neraka”. Allah menyebutkan bahwa mereka mencintai sembahan-sembahan tandingan mereka sebagaimana kecintaan kepada Allah. Hal yang menunjukan bahwa mereka mencintai Allah dengan kecintaan yang besar tapi tidak menjadikan mereka masuk kedalam Islam. Karena dijadikan sama kecintaan dengan tandingan-tandingannya. Lantas bagaimana dengan mencintai tandingan Allah lebih besar daripada kepada Allah? Dan bagaiamana dengan orang yang tidak mencintai kecuali sembahan tandingan saja?
  5. Diantara penjelasan tafsir tauhid adalah sabda Rasulullah “Barangsiapa yang mengucapkan La Ilaha Illallah dan dia kafir mengibadahi selain Allah”. Ini adalah penjelasan yang paling utama dalam menerangkan kalimat La Ilaha Illallah. Karena hadits ini tidak menjadikan pengucapan kalimat la ilaha illallah sebagai pelindung atas darah dan harta. Berucap saja tidak cukup bahkan tidak pula memahami makna dan mengucapkannya. Dan juga tidak sebatas pengakuan hal tersebut, Tidak cukup beribadah kepada Allah semata. Namun harta dan darahnya tidak menjadi haram hingga menyertakan pada kalimat tersebut dengan kekafiran kekufuran terhadap segala yang disembah selain pada Allah. Apabila seseorang ragu atau berdiam diri (tidak menentukan sikap), tidaklah harta dan darahnya menjadi haram. Alangkah terangnya penjelasan ini, argumen yang memutus setiap yang membantah.

Wallahu Ta’ala A’lam

Ali ‘Imran Ayat 64: Dakwah Kepada Satu Agama, yang telah disepakati oleh para Nabi dan Rasul

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Tafsyir As-Sa’di

Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.

Dakwah Kepada Satu Agama, yang telah disepakati oleh para Nabi dan Rasul

Firman Allah:

قُلْ يَـٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَـٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍۢ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًۭٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًۭا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah, “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Ali ‘Imran: 64)

Ayat yang mulia ini adalah ayat yang ditulis (baca: dicantumkan) oleh Nabi ﷺ untuk dikirim kepada raja-raja Ahli Kitab.

Beliau (kadang) membacanya pada rakaat pertama dari shalat sunnah fajar, قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ “Katakanlah (hai orang-orang Mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah‘.” (Al-Baqarah: 136). Dan beliau membaca ayat tadi pada rakaat terakhir dari shalat sunnah Shubuh; karena mengandung dakwah kepada satu agama, yang telah disepakati oleh para Nabi dan Rasul.

Ayat itu juga mengandung tauhid uluhiyah yang berasaskan ibadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya. Dan agar diyakini bahwa manusia dan seluruh makhluk dalam kapasitas kemanusiaan, salah seorang di antara mereka tidak berhak sedikit pun memiliki sifat-sifat kerububiyahan dan tidak pula sifat-sifat keuluhiyahan.

Bila ahli Kitab dan selain mereka patuh terhadap hal itu, maka mereka telah mendapat petunjuk dan فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ “jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)‘.”

Ini persis seperti Firman Allah ﷻ

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

“Katakanlah, ‘Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku’.” (Al-Kafirun: 1-6).

Wallahu Ta’alla ‘Alam

Kisah Shalatnya Rasulullah ﷺ Saat Sakit

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Kisah Shalatnya Rasulullah ﷺ Saat Sakit

Hadits 329: Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, tentang kisah shalatnya Rasulullah ﷺ yang sedang sakit, bersama orang-orang. Ia mengatakan, “Beliau datang lalu duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Beliau mengimami orang-orang sambil duduk, sementara Abu Bakar berdiri mengikuti shalat Nabi ﷺ, sementara orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Ketika Nabi ﷺ sedang sakit, beliau bersabda, “Suruhlah Abu Bakar agar mengimami shalat“. Maka Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu pun mengimami orang-orang. Lalu Nabi ﷺ merasa agak baikan, beliau pun datang sementara orang-orang sedang shalat. Beliau duduk di sebelak kiri Abu Bakar, sehinnga Nabi ﷺ menjadi imam, beliau mengimami orang-orang sambil duduk, sementara Abu Bakar shalat sambil berdiri. Abu Bakar mengiktui shalatnya Nabi ﷺ, sementara orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar.
  • Bolehnya orang yang tidak mampu berdiri mengimami orang yang mampu berdiri.
  • Dibolehkan adanya mubaligh imam (orang yang menirukan takbir imam), bila hal ini diperlukan karena luasnya tempat dan banyaknya para makmum.
  • Posisi makmum disebelah kanan imam; Sementara Nabi ﷺ (dalam hadits ini) posisinya disebelah kiri Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu. Ini menunjukkan bahwa beliaulah imamnya.
  • Boleh meniatkan untuk menjadi imam shalat, walaupun shalat sudah berlangsung, dan boleh juga merubah niat dari imam menjadi makmum. dipertengahan shalat, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Keterasingan Islam dan Keutamaan Ghuraba’

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Fadhlul Islam

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Catatan: Tulisan dengan gaya tebal-miring adalah matan dari kitab Fahdlul Islam karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah

Bab Tentang Keterasingan Islam dan Keutamaan Ghuraba’

Pembahasan 1: Kesesuaian Bab dengan Buku: Bahwa Islam selalu mempunyai keutamaan sesuai dengan masa tempat dan keadaan.

Pada masa apa saja dan dimana saja, Islam selalu ada keutamaannya. Ketika Islam berjaya ada keutamaannya. Demikian pula ketika Islam terasing, ada keutamannya.

Pembahasan 2: Makna keterasingan islam dan keterasingan pengikutnya.

Islam dan pengikutnya dianggap asing bukan karena perkara yang salah (keluar dari agama Allah). Akan tetapi ketentuan dari Allah berupa ujian dan cobaan.

Sebagaimana awal Islam di anggap asing dan pada akhirnya akan dianggap asing lagi. Pada awal Islam pengikutnya sedikit. Pada akhirnya Islam dianggap asing bukan karena pengikutnya sedikit akan tetapi banyak orang yang berpaling dari tuntutan Islam. Ketika Isalm yang benar dari Nabi dikenalkan, banyak orang menganggapnya aneh.

Makna keterasingan bukan seseorang membuat jalan sendiri, membuat sesuatu yang aneh ditengah manusia. Seseorang sudah teguh diatas agama akan tetapi diantara manusia ada yang tidak mengenal jalan Islam.

Keterasingan ada dua jenis:

  1. Mutlak, hal ini terjadi diakhir jaman setelah datangnya Dajal dan turunnya Nabi Isa Alihi Salam.
  2. Muqoyad terikat waktu dan tempat. Islam terasing pada suatu masa atau pada sebuah tempat.

Firman Allah Ta’ala dalam Surat Hud ayat 116:

فَلَوْلَا كَانَ مِنَ ٱلْقُرُونِ مِن قَبْلِكُمْ أُو۟لُوا۟ بَقِيَّةٍۢ يَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْفَسَادِ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا قَلِيلًۭا مِّمَّنْ أَنجَيْنَا مِنْهُمْ ۗ

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka” (Hud: 116)

Ayat ini menjelaskan bahwa ada sedikit yang diselamatkan karena melarang kerusakan dimuka bumi.

Pembahasan 1: Al-Ghuraba, orang yang asing, mereka sedikit dan mereka yang selamat

Pembahasan 2: Sifat Al-Ghuraba adalah amar ma’ruf dan nahi munkar.

Memerintah yang ma’ruf dan melarang yang munkar. Dianggap asing bukan aritnya harus berbeda dengan orang-orang.

Pembahasan 3: Penyebab yang menyelamatkan dari kebinasaan.

Yaitu amal ma’ruf dan nahi munkar, berpegang pada agama

Hadits 1

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’, (beliau berkata), “Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan Kembali menjadi asing sebagaimana awalnya maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing (karena menjalankan Islam), “ Diriwayatkan oleh Muslim.

Pembahasan 1: Berita yang benar dari Nabi tentang keterasingan agama Islam

Hal ini sudah ketentuan yang dikabarkan oleh Nabi yang akan terjadi dimasa depan. Akan tetapi tidak dipahami harus berbeda dengan yang lain supaya dianggap asing. Hal ini dicela dalam agama yaitu keuar dari jama’ah. Ini adalah pengabaran dari Nabi, bukan anjuran untuk menjadi asing. Sehingga apabila terjadi menimpa seseorang, maka bersabar.

Pembahasan 2: Keutamaan orang yang dianggap asing

Orang yang dianggap asing adalah yang berpegang dengan Islam yang dibawa oleh Nabi.

Pembahasan 3: Bersabar diatas agama walauun dianggap asing

Hadits 2 mengenai sifat Al-Ghuraba

Diriwayatkan pula oleh Ahmad dari hadits Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, ditanyakan kepadanya, “Siapakah ghuraba, orang yang dianggap asing?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang berhijrah dan meninggalkan kabilahnya”

Dalam Riwayat lain (disebutkan), “Ghuraba” adalah orang-orang yang melakukan perbaikan Ketika manusia membuat kerusakan”

Juga diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Sa’ad bin Abu Waqqash, (disebutkan) padanya, “Keberuntunganlah bagi ghuraba pada hari tersebut tatkala manusia membuat kerusakan.

(Dalam Riwayat) At-Timidzy dari hadits Katsir bin Abdillah, dari ayahnya, dari kakeknya, (disebutkan) “Keberuntunganlah bagi ghuraba, yaitu orang-orang yang memperbaiki apa-apa yang dirusak oleh manusia berupa sunnahku”.

Pembahasan 1: Penjelasan sebagian sifat Al-Ghuraba

  1. Mereka meninggalkan negerinya karena Allah. Berpindah dari satu negeir ke negeri yang lain karena menjaga agamanya. Yang akhirnya menjadi asing. Seperti kisah Ahsbul Kahfi.
  2. Mereka bersabar dalam memperbaiki ditengah manusia. Selalu baik diatas agama walaupun banyak manusia tidak diatas agama. Atau bisa juga diartikan memperbaiki orang
  3. Mereka memperbaiki sunnah yang dirusak oleh manusia. Asing ditengah manusia yang berbuat tidak baik. Tidak mengikuti orang yang berbuat tidak baik. Tetap menjaga danmenghidupkan sunah Nabi.

Hadits 3

Dari Abu Umayyah, beliau berkata, “Saya menanyai Abu Tsa’labah Al-Khusynany Radhiallahu ‘Anhu, “Bagaimana pendapatmu tentang ayat ini, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. Tiadalah orang yang sesat itu dapat memudharatkan kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk” (Al-Maidah: 105)?

Beliau menjawab, “Ketahuilah, Demi Allah, sungguh saya telah bertanya kepada seseorang yang sangat mengetahui. Saya telah bertanya tentang ayat tersebut kepada Rasulullah ﷺ, dan (Rasulullah ﷺ) menjawab, “Hendaknya kalian senantiasa memerintahkan kepada yang ma’ruf dan saling melarang terhadap yang Munkar sampai, apabila kalian melihat kebakhilan yang diaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang lebih diutamakan, dan tiap-tiap orang bangga dengan pendapatnya, engkau wajib menyelamatkan diri sendiri dan meninggalkan orang awam karena sesungguhnya, di belakang kalian, akan datang hari-hari tatkala orang yang bersabar pada (hari-hari) tersebut seperti orang yang berpegang dengan bara api. Orang yang beramal pada (hari-hari) tersebut akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang beramal seperti amalan kalian.” Kami bertanya, ‘(Lima puluh kali lipat dari pahala) kami atau mereka?’ (Rasulullah ﷺ) menjawab,  ‘Dari kalian.’”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzy.

Hadits ini ada kelemahan dari sisi riwayat akan tetapi dari sisi makna ada riwayat lain yang menegaskan.

Yang semakna (dengan hadits tersebut) diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dari hadits Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dan lafadznya, “Sesungguhnya sepeninggal kalian akan datang hari-hari tatkala orang yang bersabar, dalam berpegang dengan apa-apa yang kalian kerjakan pada hari ini, akan mendapatkan pahala lima puluh orang dari kalian”.

Hadits ini juga ada kelemahan.

Kemudian (Ibnu Wadhdhah) berkata: Muhammad bin Sa’id mengabarkan kapada kami, (beliau berkata): Asad memberitakan kepada kami, beliau berkatan: Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami, dari Aslam Al-Bashry, dari Sa’d, saudara laki-laki Al-Hasan, secara marfu’,  (beliau berkata): Saya berkata kepada Sufyan: dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Ya”. (Nabi ﷺ) bersabda, “Sesungguhnya pada hari ini, kalian berada di atas kejelasan dari Rabb kalian. Kalian memerintahkan yang ma’ruf dan melarang terhadap yang mungkar, serta berjihad karena Allah, dan belum muncul dua perkara yang memabukkan pada kalian: mabuk kebodohan dan mabuk cinta kehidupan (dunia), sehingga kalian akan berubah dari keadaan tersebut. Kalian tidak lagi memerintahkan yang ma’ruf dan melarang terhadap yang Munkar, tidak berjihad karena Allah, serta muncul dua perkara yang memabukan diantara kalian. Oleh karena itu, orang-orang yang berpegang dengan Kitab dan Sunnah pada hari tersebut akan mendapatkan pahala lima puluh (orang).” Ditanyakan, “(Apakah lima puluh orang) dari mereka?” Beliau menjawab, “Bukan, melainkan lima puluh dari kalian”.

Sanadnya ada kelemahan yaitu dari Aslam Al-Bashry, yang majhul.

(Ibnu Wadhdhah) juga (meriwayatkan) dengan sanad dari AlMu’afiry, beliau berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Keberuntungan bagi ghuraba, yaitu orang-orang yang berpegang dengan Kitabullah ketika (Kitabullah) sudah ditinggalkan (oleh manusia) dan mengamalkan sunnah Ketika (sunnah itu) redam.”

Hadits shahih dari Nabi Shallalhu Alaihi Wasalalam “Akan ada suatu masa kepada mansua dimana orang yang berpegang dengan sunnahku bagiakan orang yang memegang bara api

Riwayat-riwayat mengenai ghuraba ada kelemahan akan tetapi makna nya benar. Hal ini adalah metode (ushluq) dari para ualam yang dari pada mengambil ucapan sendiri lebih baik mengambil dari riwayat yang walaupun ada kelemahtan tapi maknanya benar.

Pembahasan 1: Penjelasan tentang keterasingan islam di hari-hari sabar, memegang bara-bara api

Yaitu hari ketika manusia beramal, terganggu tapi harus tetap bersabar.

Pembahasan 2: Keutamaan Al-Ghuraba dengan dilipatgandakan pahala.

Pembahasan 3: Syarah hadits Abu Tsa’labah radhiallahu ‘anhu.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Tafsir Tauhid dan Syahadat La Ilaha Illallah – Surat Al-Baqarah Ayat 165

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullah

Bab 5: Tafsir Tauhid dan Syahadat La Ilaha Illallah

Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah Ayat 165:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًۭا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّۭا لِّلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓا۟ إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًۭا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat) bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”. (Al-Baqarah: 165)

Makna Ayat Secara Global

Allah Subhanahu menyebutkan keadaan orang-orang yang berbuat syirik terhadap-Nya, di dunia dan tempat Kembali mereka di akhirat, Ketika mereka mengadakan tandinga-tandingan dan padanan-padanan bagi Allah dengan menyamakan tandingan-tandingan tersebut dengan Allah dalam kecintaan.

Kemudian Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang beriman muwahhidun, bahwa mereka mencintai Allah melebihi kecintaan orang-orang (yang membuat tandingan) kepada tandingan-tandingan tersebut, atau melebihi kecintaan orang yang membuat tandingan kepada Allah. Karena, kecintaan orang-orang yang membuat tandingan adalah bercabang/tercampur.

Kemudian, Allah mengancam orang-orang musyrikin itu bahwa, seandainya mengetahui segala sesuatu yang akan dilihat dan menimpa kepada mereka, berupa perkara yang mengerikan dan adzab yang dahsyat nanti pada hari kiamat karena kesyirikan yang mereka lakukan, juga (mengetahui) keesaan Allah dalam kemampuan dan kemenangan terhadap tandinga-tandingan mereka, pasti mereka akan berhenti dari kesesatan yang mereka lakukan. Akan tetapi, hal itu tidak tergambar dalam diri mereka juga mereka tidak megimani hal itu.

Hubungan antara Ayat dan Bab

Ayat ini merupakan salah satu nash yang menjelaskan tafsir makna tauhid dan syahadat La Ilaha Illallah. Ayat menunjukkan bahwa siapa saja yang mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah dan mencintai (tandingan-tandingan) itu sebagaimana kecintaan kepada Allah berarti ia terlah berbuat kesyirikan. Sehingga, dapat diketahui bahwa maka tauhid adalah mengesakan Allah dengan kecintaan yang mengharuskan keikhlasan ibadah kepada Allah semata, perendahan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya.

Faedah Ayat

  1. Bahwa termasuk ke dalam makna tauhid dan syahadat La Ilaha Illallah: menunggalkan kecintaan kepada Allah dengan kecintaan yang mengharuskan adanya perendahan diri dan ketundukan.
  2. Bahwa orang-orang musyrikin mencintai Allah dengan kecintaan yang besar, tapi (kecintaan) tersebut belum dapat memasukkan mereka ke dalam Islam karena mereka menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam hal itu.
  3. Bahwa kesyrikan adalah kezhaliman.
  4. Ancaman terhadap orang-orang musyrikin pada hari kiamat.

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Kesyirikan yang disebutkan dalam ayat ini adalah setarakan Allah dengan selain Allah dalam hal kecintaan.

Cinta ada tiga jenis:

  1. Cinta ibadah, yaitu cinta kepada Allah (Tauhid), yang mengharuskan merendah kepada siapa yang dia cintai dan tunduk kepadanya.
  2. Cinta tabiat, yaitu cinta biasa seperti cinta kepada istri, anak, harta, negeri dan kampung halaman
  3. Cinta Bersama Allah yang bertentangan dengan kecintaan kepada Allah

Cinta yang ke-3 masuk dalam kesyirikan. Karena telah menjadikan tandingan kepada Allah dalam hal tersebut.

Wallahu Ta’ala A’lam

Tafsir Tauhid dan Syahadat La Ilaha Illallah – Surat At-Taubah Ayat 31

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Al-Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Pensyarah: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzahullah

Bab 5: Tafsir Tauhid dan Syahadat La Ilaha Illallah

Firman Allah Ta’la dalam Surat At-Taubah Ayat 31

ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَـٰنَهُمْ أَرْبَابًۭا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلْمَسِيحَ ٱبْنَ مَرْيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوٓا۟ إِلَـٰهًۭا وَٰحِدًۭا ۖ لَّآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَـٰنَهُۥ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)

ٱتَّخَذُوٓا۟ ‘mereka telah menjadikan’: yaitu orang-orang Yahudi dan Nashara telah menjadikan

أَحْبَارَهُمْ: yakni ulama-ulama mereka.

وَرُهْبَـٰنَهُمْ: yakni ahli-ahli ibadah mereka.

أَرْبَابًۭا ‘rabb-rabb’: yakni membuat syarait untuk mereka, dengan menghalalkan dan mengharamkan (sesuatu), sebab membuat syariat adalah kekhususan Rabb. Maka, siapa saja yang menaati makhluk dalam perkara tersebut, berarti ia telah menjadikan makhluk itu sebagai rabb.

وَٱلْمَسِيحَ ٱبْنَ مَرْيَمَ ‘dan Al-Masih, putra Maryam’: yakni mereka telah menjadikan Isa sebagai rabb dengan ibadah mereka kepadanya.

سُبْحَـٰنَهُۥ عَمَّا يُشْرِكُونَ ‘ Maha Suci Dia terhadap segala sesuatu yang mereka persekutukan’: yakni Allah membersihkan dan menyucikan diri-Nya terhadap adanya sekutu dan padanan.

Makna Ayat Secara Global

Allah Subhanahu mengabarkan tentang orang-orang Yahudi dan Nashara bahwa mereka meminta nasihat kepada tokoh-tokoh mereka, dari kalangan ulama dan ahli ibadah, maka mereka pun menaati (ulama dan ahli ibadah) itu dalam penghalalan segala sesuatu yang telah Allah haramkan dan pengharaman segala sesuatu yang telah Dia halalkan. Dengan demikian, mereka telah mendudukkan ulama dan ahli ibadah sebagai rabb yang memiliki kekhususan dalam penghalalan dan pengharaman sebagaimana orang-orang Nashara menyembah Isa dengan menyatakan bahwa Isa adalah anak Allah. Mereka telah mencampakkan kitab Allah, yang memerintahkan mereka untuk taat hanya kepada-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya semata -kabar dari Alah ini mengandung pengingkaran terhadap perbuatan mereka-. Oleh karena itu, Allah menucikan diri-Nya terhadap kesyirikan yang terkandaung dalam perbuatan mereka itu.

Hubungan antara Ayat dan Bab

Ayat ini menunjukkan bahwa, termasuk ke dalam makna tauhid dan syahadat La Ilaha Illallah: mengesakan ketaatan kepada Allah dalam menghalalkan sesuatu yang Allah halalkan dan mengharamkan sesuatu yang Dia haramkan. Bahwa, siapa saja yang menjadikan seseorang selain Allah, lalu ikut menghalalkan segala sesuatu yang orang tersebut halalkan dan mengharamkan segala sesuatu yang orang tersebut haramkan, ia telah musyrik.

Faedah Ayat

  1. Bahwa termasuk makna tauhid dan syahadat La Ilaha Illallah: menaati Allah dalam penghalalan dan pengharaman.
  2. Bahwa siapa saja yang menaati makhluk dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia telah mengjadikan makhluk tersebut sebagai sekutu bagi Allah.
  3. Bantahan terhadap orang Nashara akan keyakinan mereka tentang Isa, dan keterangan bahwa beliau adalah hamba Allah.
  4. Menyucikan Allah terhadap kesyirikan.

Sumber:

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (2021), Al-Mulakhkhas Syarh Kitab Tauhid (Cetakan Ketujuh), Makasar, Pustaka As-Sunnah.


Catatan Kajian

Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Mereka menjadikan ulama dan ahl ibadah mereka sebagai rab-rab selain daripada Allah

Penjelasan Ayat:

Ayat ini terkait pada ahlul kitab yang menjadikan ulama dan ahli ibadah mereka sebagai rabb. Maksud rabb disini adalah orang-orang yang mensyariatkan bagi mereka yaitu menghalalkan dan mengharamkan. Orang yang mensyariatkan dikatakan sebagai rabb karena pensyariatan adalah kekhusussan Allah. Allah yang mensyaraitkan menetapkan mana yang halal dan mana yang haram.

Sehingga Ketika orang yang Yahudi dan Nashara menjadikan ulama dan ahli ibadah sebagai orang yang menghalalkan yang diharamkan oleh Allah dan yang mengharamakan yang dihalalkan oleh Allah, maka hal ini yang menyebabkan kekafiran mereka.

mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan

Makna Tauhid dan La Ilaha Illallah

Ayat ini tegas menjelaskan makna tauhid dan La Ilaha Illallah. Dan juga makna kesyririkan. Yaitu mengesakan Allah dalam ketaatan, berupa penghalalan yang Allah halalkan dan pengharaman apa yang Allah haramkan.

Orang yang bertauhid meyakini bahwa hanya Allah yang menghalalkan yang halal dan hanya Allah yang mengharamkan yang haram. Dan Allah bersendirian dalam mensyariatkan.

Hukum orang yang taat kepada yang mensyariatkan selain Allah

Orang yang taat selain kepada Allah dalam menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Hukumnya terbagi menjadi dua

  1. Apabila orang tersebut mengikuti orang yang mensyariatkan selain Allah dalam mengganti hukum Allah serta dia meyakini tentang syariat tersebut maka ini adalah syirik akbar. Hal ini dikarenakan menjadikan orang pensyariat sebagai tandingan bagi Allah.
  2. Apabila orang itu tetap mengimani tentang pensyariatan dari Allah akan tetapi dia taat selain kepada Allah dalam maksiat. Ketaatannya bukan meyakini bahwa sesuatu itu boleh atau dilarang tapi karena syubhat atau hawa nafsu. Maka ini termasuk dosa besar.

Wallahu Ta’ala A’lam

Larangan Memperpanjang Shalat Jama’ah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Larangan Memperpanjang Shalat Jama’ah

Hadits 328: Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhuma, ia berkata: Mu’adz penah mengimami shalat Isya para sahabatnya yang dirasa panjang oleh mereka. Maka Nabi bersabda, “Apakah engkau ingin menjadi pemicu fitnah wahai Mu’adz? Apabila engkau mengimami orang-orang, maka bacalah wasyamsyi wa dhuhaaha (surah Asy-Syams), sabbihisma rabbikal a’laa (surah Al Al’laa), iqra’ bismi rabbika (surah Al ‘Alaq), dan wallaili idza yaghsyaa (surah Al-Lail)” (HR. Muttafaq ‘Alaih) lafazh ini adalah lafazh Muslim.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Tidak selayaknya imam membebani para makmum dengan memanjangkan shalat, karena di antara mereka terdapat orang yang tidak tahan dengan panjangnya shalat, yaitu mereka yang sudah lanjut usia, yang lemah, dan yang punya hajat.
  • Al Hafizh mengatakan, “Orang yang menempuh cara Nabi ﷺ dalam penyempurnaan shalat jama’ah tidak akan ada keluhan panjang. Sifat shalat Nabi sudah cukup diketahui. Karena itu, meringankan shalat yang diperintahkan itu adalah perkara yang relatif, namun harus merujuk kepada apa yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, yang beliau dawamkan dan beliau perintahkan, bukan berdasarkan kecenderungan para makmum. Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari Anas, ia berkata “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang imam yang shalatnya lebih ringan dan lebih sempurna daripada Nabi.”
  • Disebutkan didalam Al Mubdi’, “Para sahabat pernah mengukur shalat Nabi ﷺ, ternyata lamanya sujud beliau sekitar ucapan ‘subhaana rabbiyal a’laa‘ sepuluh kali, dan ruku juga seperti itu. Sementara beliau telah bersabda, ‘Shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihat aku shalat‘ (HR. Bukhari). Maka selayaknya yang dilakukan adalah yang sering dilakukan oleh Nabi ﷺ, bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan kemaslahatan, sebagaimana Nabi ﷺ kadang menambah dan kadang mengurangi untuk suatu kemaslahatan.”
  • Ibnu Adil Barr mengatakan, “Meringankan shalat merupakan kesepakatan para imam (ulama), tidak ada perbedaan pendapat mengenai sunnahnya hal ini. Lain lagi tentang mensyaratkannya dalam imamah (menjadi imam shalat)”
  • Dianjurkan untuk membaca surah-surah yang disebutkan di dalam hadits dan yang kadarnya setara dengan itu di dalam shalat (ketika mengimami makmum), dan disyariatkan pula agar ruku dan sujudnya sesuai dengan panjangan pendeknya bacaan.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Shalat Sunnah Afdhalnya dikerjakan di Rumah

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Shalat Jama’ah dan Imamah (Menjadi Imam)

Shalat Sunnah Afdhalnya dikerjakan di Rumah

Hadits 327: Dari Zaid bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah membatasi kamar dengan tikar lalu beliau shalat di dalamnya. Hal itu diketahui oleh orang-orang lalu mereka pun mengiktui shalat beliau …” Al Hadits. Didalam riawayat ini ada keterangan sabda beliau: “Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat fadhu” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Bolehnya bermakmum dengan imam yang berada di dalam sekat kamar yang tidak terlihat oleh makmum, atau alah satunya berada di atas sementara yang lainnya di bawah; karena kemungkinan untuk mengikuti bisa dilakukan bila imam dan makmum sama-sama berada di satu masjid. Bolehnya hal ini merupakan kesepakatan para imam (ulama).
  • Bolehnya membuat sekat (kamar atau ruangan ) di dalam masjid dan mengkhususkannya untuk ibadah dan istriahat bila hal itu diperlukan dan tidak menganggu (menyebabkan kesempatan) bagi orang-orang yang shalat.
  • Shalat sunnah di rumah adalah lebih utama; untuk menyinari rumah dengan shalat dan menjauhkan diri dari riya’ dan sum’ah. Adapun shalat-shalat fardhu, pelaksanannya wajib di masjid, kecuali bila ada udzur. Demikian hukumnya bagi kaum laki-laki yang mukallaf.

Wallahu Ta’ala ‘Alam

Bab Firman Allah dalam Surat Ar-Rum Ayat 30 – Bagian 2

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabatnya.

Kitab Fadhlul Islam

  • Penulis: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
  • Materi kajian oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizahullah. Rekaman video kajian lengkapnya bisa diakses disini.

Catatan: Tulisan dengan gaya tebal-miring adalah matan dari kitab Fahdlul Islam karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah

Bab: Firman Allah Ta’la: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)

Hadits 6:

Bagi (al-Bukhary dan Muslim) Riwayat dari hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu (disebutkan), “Maka aku mengatakan seperti yang dikatakan oleh hamba yang shalih, ‘Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau mewafatkanku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau (Maha Menyaksikan) atas segala sesuatu.’ (Al-Ma’idah:117)”

Hamba yang shalih disini adalah Nabi Isya Alaihi Salam.

Pembahasan 1: Nabi berlepas diri dari orang-orang yang mengadakan perkara baru atau yang mengganti agamanya.

Pembahasan 2: Tunduk dan menerima hukum Allah

Tunduk dan menerima terhadap takdir Allah.

Hadits 7:

Bagi (Al-Bukhary dan Muslim) Riwayat dari (Nabi ﷺ) secara marfu’, (disebutkan), “Tidak ada yang dilahirkan, kecuali dilahirkan atas fithrah, maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani dan Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak dalam keadaan sempurna (fisiknya), apakah engkau melihatnya memiliki cacat (pada telinga/tanduk)? Hingga engkaulah yang membuatnya cacat.” Kemudian Abu Hurairah membaca (Firman Allah Ta’la) “(Tetaplah diatas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar_Rum : 30) Muttafaqun ‘alaihi.

Pembahasan 1: Manusia diciptakan diatas fitrahnya

Asalnya semua bayi lahir adalah Islam.

Pembahasan 2: Mengada-ngadakan dan mengganti adalah mengeluarkan dari fitrah.

Pembahasan 3: Islam mencocoki fitrah.

Hadits 8:

Dari Hudzaifah Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata “Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena khawatir bila kejelekan tersebut menimpaku. Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami berada di dalam kejahilan dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini untuk kami. Apakah setelah kebaikan ini, akan ada kejelekan?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Saya bertanya, ‘Apakah setelah kejelekan itu, akan ada kebaikan?’ Beliau menjawab ‘Ya, tetapi ada asap padanya.” Saya bertanya, ‘Apa asapnya?’ Beliau menjawab, ‘Kaum yang mengambil sunnah bukan dengan sunnahku dan mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. Ada yang engkau anggap ma’ruf, ada pula yang engkau anggap mungkar.’ Saya bertanya, ‘Apakah setelah kebaikan tersebut, akan ada kejelekan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, fitnah yang membutakan, dan para dai yang menyeru kepada pintu-pintu jahanam. Barangsiapa yang menyambut mereka, mereka akan melemparkannya kedalam (neraka).’ Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sebutkan sifat-sifat mereka kepada kami.’ Beliau menjawab, ‘ Mereka (sama) dengan kulit kita, berbicara dengan Bahasa kita.’ Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepadaku kalau saya menjumpai hal tersebut?’ Beliau menjawab, ‘Berpeganglah terhadap jamaah dan imam kaum muslimin.’ Saya bertanya, ‘(bagaimana) kalau mereka tidak memilik jamaah tidak pula memiliki imam?’ Beliau menjawab, ‘Tinggalkanlah semua kelompok, meskipun engkau harus menggigit akar pohon sampai kematian mendatangimu, sementara engkau tetap dalam keadaan seperti itu.’” Dikeluarkan oleh (Al-Bukhary dan Muslim)

Imam Muslim menambahkan (dalam riwayatnya): (Hudzaifah Radhiallahu ‘Anhu bertanya), “Kemudian apa setelah itu?” (Rasulullah ﷺ) menjawab, “Kemudian Dajjal akan keluar dengan membawa air dan api. Barangsiapa yang masuk ke dalam apinya, dia wajib mendapatkan pahala dan digugurkan dosa-dosanya, dan barangsiapa yang masuk kedalam airnya, dia wajib mendapatkan dosa dan digugurkan pahalanya”. Saya bertanya, “Kemudian apa setelah itu?” Beliau menjawab, “Kiamat terjadi”.

Pembahasan 1: Nabi menceritakan tentang akan terjadinya pergantian dan perubahan

Sehingga diingatakan agar istiqomah yaitu tidak mengganti dan merubah.

Pembahasan 2: Cara istiqomah dan teguh adalah komitmen terhadap jamaah kaum muslimin dan imamnya.

Dimanapun muslim berada tetap Bersama kaum muslimin dan imamnya.

Pembahasan 3: Hati-hati dari bahaya fitnah

Pembahasan 4: Harus pandai membedakan antara hak dan bathil.

Hal ini bisa dilakukan apabila mengenal Islam benar.

Pembahasan 5: Hati-hati dari da’I da’I yang mengajak kepada pintu neraka jahanam

Apabila kita sudah mengenal islam dengar benar, maka kita bisa mengetahui dai-dai yang benar.

Pembahasan 6: Teguh diatas Islam dan Sunnah sampai kematian.

Pembahasan 7: Berhati-hati dari fitnah Dajjal

Hadits 9:

Abul ‘Aliyah Rahimahullah berkata, “Pelajarilah Islam. Apabila kalian mempelajarinya, janganlah kalian berpaling darinya. Kalian juga wajib berpegang dengan shirathal mustaqim ‘jalan yang lurus’ karena sesungguhnya itu adalah Islam. Janganlah kalian menyimpang kepada jalan yang ke kiri atau ke kanan. Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnah nabi kalian ﷺ, dan berhati-hatilah kalian terhadap hawa nafsu (bid’ah-bid’ah) ini.” Selesai (penukilan ucapanya).

Perhatikanlah ucapan Abu’Aliyah Rahimahullah tersebut! Betapa agung ucapan tersebut. Ketahuilah zaman beliau, (masa tatkala) beliau memperingatkan terhadap hawa nafsu, bahwa barangsiapa yang mengikuti hawa nafsu, berarti ia telah berpaling dari Islam. (Perhatikan pulalah) tafsiran Islam dengan sunnah, serta kekhwatiran beliau terhadap tokoh-tokoh dan ulama dari kalangan tabi’on perihal keluar dari sunnah dan kitab. (Kalau engkau memperhatikan itu semua), akan menjadi jelas bagimu makna firman-Nya Ta’ala.

“Ketika Rabb-nya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah! Ibrahim menajwab, “Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam’.” (Al-Baqarah: 131)

Dan firman-Nya,

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), ‘Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian maka janganlah kaian mati kecuali dalam keadaan memeluk Islam.’.” (Al-Baqarah: 132)

Dan Firman-Nya Ta’ala,

“Dan tidak ada yang membenci agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri.” (Al-Baqarah: 130)

Serta yang semisalnya dari pokok agung yang merupakan prinsip yang paling pokok, tetapi manusia lalai terhadapnya. Dengan mengetahui (ucapan Abul “Aliyah) tersebut, menjadi jelas makna hadits-hadits yang disebutkan dalam bab ini dan (hadits-hadits lain) yang semisal dengannya.

Adapun orang yang membaca (nash-nash teresebut) dan yang semisalnya, kemudian merasa aman, tenang, dan yakin bahwa dirinya tidak terkena (makna) nash tersebut, serta menyangka bahwa nash-nash tersebut ditujukan kepada orang lain, dia akan binasa. Maka, apakah mereka merasa aman terhadap adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? “Tiada yang merasa terhadap adzab Allah, kecuali orang-orang yang merugi.”

Pembahasan 1: Maksud dari dalil yang dibawahkan penulis ini adalah apa yang ditafsirkan oleh Abul Aliyah.

Bahwa Islam apabila sudah dipelajari, maka istiqomah jangan keluar dan ke kiri. Yaitu dengan mengikuti sunnah, selalu dijaga hingga kematian.

Pembahasan 2: Memperhatikan dalil-dalil dalam bab ini adalah penting.

Pembahasan 3: Tidak merasa aman terhadap makar Allah.

Jangan merasa aman, muslim selama masih hidup tidak pernah aman dari fitnah. Nabi Ibrahim dan Nabi Yaqub berwasiat untuk anaknya agar jangan meninggal kecuali dalam keadaan muslim.

Hadits 10:

Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ membuat suatu garis untuk kami, kemudian bersabda, ‘ini adalah jalan Allah.’ Selanjutnya, beliau membuat garis-garis di samping kanan dan disamping kiri garis tersebut, lalu berliau bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan. Pada setiap jalan, ada setan yang mengajak kepadanya.’ Dan membaca (firman Allah Ta’ala),

‘Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah (jalan) itu. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain) karena (jalan-jalan itu) mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh-Nya agar kalian bertakwa.’ (Al-An’am: 153).” Diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’iy.

Pembahasan 1: Jalan Allah adalah Islam

Pembahasan 2: Anjuran untuk teguh dan istiqomah

Pembahasan 3: Berhati-hati dari jalan-jalan kesesatan

Pembahasan 4: Semangat syaithon untuk menyesatkan manusia.

Syaithon adalah musuh yang tidak pernah tidur, berada dalam aliran darah manusia, sangat berpengalaman.

Pembahasan 5: Merealisasikan apa yang dibawa oleh Nabi dan tidak menentangnya

Wallahu Ta’ala ‘Alam