بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Tafsyir As-Sa’di
Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di.
Firman Allah:
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ مِنْهُ ءَايَـٰتٌۭ مُّحْكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌۭ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌۭ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّۭ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ
“Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Al-Qur`ān) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat1, itulah pokok-pokok isi Al-Qur`ān dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat2. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 7)
Allah ﷻ memberitakan tentang keagunganNya dan kesempurnaan pengaturanNya, yakni bahwa Dia-lah yang Esa yang menurunkan kitab yang agung ini, yang tidak ditemukan dan tidak akan ditemukan tandingannya dan semisalnya dalam petunjuk, keindahan bahasa, kemukjizatan, dan kebaikannya bagi makhluk. Dan bahwasanya kitab ini mencakup yang muhkam, yakni yang jelas sekali artinya, yang terang, yang tidak samar tentangnya, dan juga mencakup ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung beberapa arti yang tidak ada satu pun dari arti-arti itu yang lebih kuat kalau hanya berpegang dengan ayat tersebut hingga disatukan kepada ayat yang muhkam. Orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, penyimpangan dan penyelewengan karena niat mereka yang buruk justru mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih tersebut. Mereka mengambilnya sebagai dalil demi memperkuat tulisan-tulisan mereka yang batil dan pemikiran-pemikiran mereka yang palsu, hanya untuk mengobarkan fitnah dan penyimpangan terhadap kitabullah, serta menjadikannya sebagai tafsiran untuknya sesuai dengan jalan dan madzhab mereka yang akhirnya mereka itu tersesat dan menyesatkan orang lain.
Adapun orang-orang yang berilmu lagi mendalam ilmunya yang ilmu dan keyakinan telah mencapai hati mereka, lalu membuahkan bagi mereka perbuatan dan pengetahuan, maka mereka ini mengetahui bahwa al-Quran itu semuanya dari sisi Allah, dan bahwa semua yang ada di dalamnya adalah haq, baik yang mutasyabih maupun yang muhkam, dan bahwasanya yang haq itu tidak akan saling bertentangan dan tidak saling berbeda. Dan karena mereka mengetahui dengan jelas bahwa ayat-ayat yang muhkam mengandung makna yang tegas dan jelas, maka mereka mengem-balikan ayat-ayat mustasyabih yang sering menimbulkan kebingungan bagi orang-orang yang kurang ilmu dan pengetahuan, kepada yang muhkam. Mereka mengembalikan ayat-ayat yang mutasyabih kepada ayat-ayat yang muhkam hingga akhirnya seluruhnya menjadi muhkam dan mereka berkata, اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
وَمَا يَذَّكَّرُ “Dan tidak dapat mengambil pelajaran, (dari padanya),” yakni perkara-perkara yang bermanfaat dan ilmu pengetahuan yang mendalam, اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ “melainkan orang-orang yang berakal,” yakni orang-orang yang memiliki akal yang cerdas.
Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sikap ini adalah tanda orang-orang yang berakal, dan bahwa mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih adalah sifat orang-orang yang pemikiran-nya sakit, akalnya rendah, dan tujuan-tujuannya yang buruk.
Dan FirmanNya, وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ “Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah,” apabila yang dimaksud dari takwil itu adalah pengetahuan tentang akibat dari suatu perkara, hasilnya, serta mengarah kepadanya, maka wajiblah berpatokan dengan, اِلَّا اللّٰهُ “melainkan Allah;” di mana hanya Allah saja yang melakukan takwil dengan makna tersebut. Namun apabila takwil tersebut dimaksudkan dengan makna tafsir dan ilmu tentang arti dari perkataan tersebut, maka yang lebih baik adalah menyam-bung dengan kalimat sebelumnya, hingga hal ini menjadi sebuah pujian terhadap orang-orang yang ilmunya mendalam, yaitu bah-wasanya mereka mengetahui bagaimana menempatkan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, baik yang muhkamnya maupun yang mutasyabihnya.
Wallahu Ta’alla ‘Alam