Tasir As-Sa’di
Penulis: Syaikh Abdurahman bin Nashir As-Sa’di
هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ ٢٤ إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَـٰمًۭا ۖ قَالَ سَلَـٰمٌۭ قَوْمٌۭ مُّنكَرُونَ ٢٥ فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍۢ سَمِينٍۢ ٢٦ فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ ٢٧ فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةًۭ ۖ قَالُوا۟ لَا تَخَفْ ۖ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَـٰمٍ عَلِيمٍۢ ٢٨ فَأَقْبَلَتِ ٱمْرَأَتُهُۥ فِى صَرَّةٍۢ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌۭ ٢٩ قَالُوا۟ كَذَٰلِكِ قَالَ رَبُّكِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْحَكِيمُ ٱلْعَلِيمُ ٣٠۞ قَالَ فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا ٱلْمُرْسَلُونَ ٣١ قَالُوٓا۟ إِنَّآ أُرْسِلْنَآ إِلَىٰ قَوْمٍۢ مُّجْرِمِينَ ٣٢ لِنُرْسِلَ عَلَيْهِمْ حِجَارَةًۭ مِّن طِينٍۢ ٣٣ مُّسَوَّمَةً عِندَ رَبِّكَ لِلْمُسْرِفِينَ ٣٤ فَأَخْرَجْنَا مَن كَانَ فِيهَا مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٣٥ فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍۢ مِّنَ ٱلْمُسْلِمِينَ ٣٦ وَتَرَكْنَا فِيهَآ ءَايَةًۭ لِّلَّذِينَ يَخَافُونَ ٱلْعَذَابَ ٱلْأَلِيمَ ٣٧
Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrāhīm (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, “Salāman”. Ibrāhīm menjawab, “Salāmun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal”. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrāhīm lalu berkata, “Silakan kamu makan”. (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrāhīm merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Isḥāq). Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata, “(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul”. Mereka berkata, “Demikianlah Tuhan-mu memfirmankan. ” Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Ibrāhīm bertanya, “Apakah urusanmu, hai para utusan?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Lūṭ), agar kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah (yang keras), yang ditandai di sisi Tuhan-mu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas”1. Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Lūṭ itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang berserah diri1. Dan Kami tinggalkan pada negeri itu suatu tanda1 bagi orang-orang yang takut kepada siksa yang pedih. (QS. Adh-Dhaariyyat 24-37)
Didalam kisah ini terdapat beberapa hikmah dan hukum;
Pertama, di antara hikmah kisah yang dituturkan Allah subhanawataalla kepada hambaNya tentang orang-orang baik dan orang-orang keji adalah agar para hamba bisa mengambil pelajaran dari mereka dan sampai manakah kondisi mereka.
Kedua, keutamaan Nabi Ibrahim Alaihi Salam, kekasih Allah, dimana Allah memulai kisah kaum Nabi Luth dengan kisah nabi ibrahim yang menunjukan perhatian Allah terhadap kondisinya.
Ketiga, anjuran menjamu tamu. Menjamu tamu termasuk salah satu sunnah Nabi Ibrahim, di mana Allah memerintahkan Nabi Muhammad dan umatnya untuk mengikuti Agama Ibrahim. Kisah yang disebutkan Allah dalam topik ini adalah sebagai pujian dan sanjungan untuk Nabi Ibrahim
Keempat, tamu harus dihormati dengan berbagai macam penghormatan, baik dengan perkataan maupun perbuatan, sebab Allah menggambarkan tamu-tamu Ibrahim sebagai orang yang dimulaikan. Artinya mereka dimuliakan oleh Ibrahim. Allah menggambarkan bagaimana jamuan yang dilakukan Nabi Ibrahim, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dan para tamu Nabi Ibrahim juga dimuliakan disisi Allah.
Kelima, rumah Nabi Ibrahim menjadi tempat persinggahan tamu yang datang dimalam hari, sebab para tamu Ibrahim itu langsung masuk tanpa izin, namun menempuh cara beradab dengan memulai salam, kemudian Nabi Ibrahim membalas salam mereka secara lengkap dan sempurna. Balasan salam yang disebutkan Ibrahim berbentuk jumlah ismiyyah yang menunjukkan keteguhan dan ketetapan.
Keenam, anjuran untuk mengenal orang yang datang atau ketika terjadi semacam interaksi dengan seseorang, karena hal itu memilki banyak manfaat.
Ketujuh, sopan santun Nabi Ibrahim dan kelembutannya ketika berbicara karena beliau berkata “Kaum yang tidak dikenal” tidak berkata “Aku tidak mengeal kalian”, terdapat perbedaan jelas antara kedua kata tersebut.
Kedelapan, bersegera dalam menjamu tamu, sebab kebaikan yang paling utama adalah yang segera. Karena itulah Ibrahim segera menghidangkan jamuan makanan untuk para tamunya.
Kesembilan, hewan sembelihan yang sudah ada yang telah disiapkan untuk selain tamu sebelum tamu datang lalu disuguhkan untuk tamu bukan suatu penghinaan sama sekali, namun hal itu sebagai salah satu bentuk memuliakan tamu sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Allah sendiri memberitahukan bahwa para tamunya adalah terhormat.
Kesepuluh, Ibrahim adalah orang yang menjamu tamunya meski dia adalah kekasih Allah yang Maha Pengasih dan pemimpin pada orang yang menjamu tamu
Kesebelas, Ibrahim menyuguhkan makanan di tempat yang dekat dengan para tamu, tidak diletakan di tempat yang agak jauh dengan mengatakan “Silahkan” atau “Datangilah” karena hal itu lebih mudah dan lebih baik.
Kedua belas, melayani tamu dengan perkataan yang lembut khususnya ketika menghidangkan makanan, seperti yang dilakukan Ibrahim yang menyuguhkan dengan tutur kata lembut, “Apakah kalian tidak makan?” Bukan dngan tutur kata “Makanlah”, dan tutur kata lain yang lebih baik lagi, boleh menggunakan etika menawarkan makanan makanan untuk tamu dengan kata “Apakah kalian tidak makan?” “Apakah kaliam tidak mempersilahkan diri kalian?” Kami mendapatkan kemuliaan dan kalian berbuat baik terhadap kami …” atau kata-kata lain.
Ketiga belas, orang yang merasa takut pada seseorang karena adanya suatu sebab, maka yang ditakuti itu harus menghilangkan perasaan takutnya dengan menyebutkan sesuatu yang bia memberinya rasa aman dari rasa takut dan menentramkan kegelisahannya, sebagaiaman yang dikatakan oleh malaikat itu kepada Nabi Ibrahim ketika Nabi Ibrahim takut terhadap mereka, “Jangan takut”, kemudian mereka memberitahukan kabar gembira yang menyenangkan setelah sebelumnya Nabi Ibrahim ketakutan.
Keempat belas, Sarah istri Nabi Ibrahim, begitu gembira sehingga terjadilah apa yang terjadi, dengan memukul-mukul mukanya serta tingkah lakunya yang tidak seperti biasa.
Kelima belas, kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim dan isteri beliau berupa berita gembira akan lahirnya seorang putra yang alim.