Doa Istiftah, pembuka shalat

Kitab Syarah Bulugul Maram
Penulis: Abdullah bin Abdurahman Al Bassam

Bab Sifat Shalat

Doa Istiftah

Berikut ini adalah beberapa hadist yang berkaitan dengan doa istiftah:

Hadist 214: Dari AIi bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: Bahwasanya apabila beliau telah berdiri untuk melaksanakan shalat, beliau membaca, “Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi …hingga… dan aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri. Ya Allah Engkauhlah Raja, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah Tuhanku dan aku hamba-Mu …. sampai akhir. (HR. Muslim).

Hadist 215: Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bila telah takbir untuk melaksanakan shalat, beliau diam sejenak sebelum membaca. Lalu aku bertanya kepada beliau, beliau pun menjawab, ‘Aku membaca, ‘Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan ku, sebagaimana baju putih yang dibersihkan dari kotoroan. Ya Allah, basuhlah aku dari kesalahan-kesalahan dengan air, es dan embun (HR. Mutaffaq ‘Alaih)

Hadist 216: Dari Umar Radhiallahu Anhu, bahwasanya dia pemah membaca, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji pada-Mu Maha berkah nama-Mu, Maha Tinggi kebesaran-Mu, tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. (HR. Muslim) dengan sanad munqathi’ dan diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni secara maushul dan mauquf.

Hal-Hal Penting dari Hadits:

  • Pembukaan shalat, baik itu dianggap wajib maupun sunnah, dan baik itu berupa dzikir maupun doa, hal itu dibaca setelah takbiratul ihram, sebelum ta’awwudz dan bacaan Al Faatihah. Pembukaan ini hanya pada rakaat pertama dan tidak ada pada rakaat lainnya.
  • Hukumnya sunnah dan bukan wajib berdasarkan hadits terdahulu yang menyebutkan tentang orang yang buruk shalatnya.
  • Banyak lafadz pembukaan shalat yang telah diriwayatkan dan yang lebih utama adalah membaca salah satunya setiap kali shalat (secara bergantian) sehingga bisa mengamalkan semua lafazh yang ada. Namun bila sebagian saja, maka itu pun boleh.
  • Syaikhul Islam mengatakan, “Disunnahkan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang ada tuntunannya menurut berbagai cara (yang tuntunannya itu ada) pada setiap ibadah tersebut. Maka tidak boleh memadukannya (dalam satu pelaksanaan) dan tidak pula melanggengkan hanya pada salah satu cara saja.”
  • Bacaan istiftah secara pelan, kecuali bila diperlukan untuk dibaca nyaring, misalnya untuk mengajarkan kepada orang yang shalat di belakangnya (makmumnya), sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Radhiallahu Anhu.
  • Diamnya imam ketika shalat sebagaimana yang dituturkan As-Sunnah ada dua kondisi: setelah takbir pembukaan dan diam sejenak setelah bacaan (sekadar untuk memberi jarak bacaan).
  • Dalam Hadist 216 diatas, Ibnu Qayyim mengatakan “Adalah benar bahwa Umar Radhiallahu ‘Anhu ber-istiftah dengan doa itu dan ia mengeraskan bacaannya untuk mengajarkan kepada orang lain (para makmumnya).
  • Mengenai Hadist 216 diatas, Imam Ahmad mengatakan, “Aku berpendapat dengan doa isftiftah ini. Seandainya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pemah membacanya di dalam shalat fardhu, tentu Umar tidak akan melakukannya dan tidak akan diakui oleh kaum muslimin.”
  • Memohon perlindungan kepada Allah di dalam shalat adalah sunnah dan dianjurkan menurut jumhur ulama.
  • Lafazh yang dipilih untuk ta’awwudz adalah A’udzu billaahiminasysyaithaannir-rajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk), ada juga A’udzu billaahissamii’il’aliim minasysyaithaanir-rajiim (aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan syetan yang terkutuk).

Wallahu Ta’ala A’lam

Tinggalkan komentar