Kitab Manzhumah Mimiyyah
Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah
Bab: Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.
Setelah menguraikan tentang keutamaan ilmu dan sejumlah pembahasan terkait dengannya. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai keagungan Al-Quran, bagaimana kedudukannya, beberapa ketentuan terkait dengan Al-Qur’an: mengenal hukumnya, beramal, dan mengimani. Juga diterangkan mengenai sejumlah keutamaan dari Al-Quran: keutamaan membaca dan tadabur.
Berikutnya penulis membahas tentang etika terhadap Al-Qur’an.
Waspada penyimpangan Ahlul Bid’ah
Kemudian menjelaskan peringatan mengenai jalan ahlul bida’ah dalam penafsiran.
Bait syair 94: Jangan kamu taati ucapan orang yang memiliki penyimpangan, yang dia ini mengihasi ucapannya (membungkus dengan retorika yang memukau).
Siapakah dia?
Bait syair 95 yaitu ahli bidah yang dicurigai agamanya, orang yang kebingungan, tersesat dari jalan yang lurus dan terang, tidak pernah lurus
Kaidah penuntut ilmu, kalau sudah jelas jalan, maka jangan ikuti orang yang menyimpang. Sebagaimana Allah Ta’alla berfirman dalam Surat Al-Kahf ayat 28: “dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”

Hadist Aisyah dalam Bukahri dan Muslim, setelah membaca ayat Al-Imran mengenai mutasabih, Rasulullah bersabda:

Apabila engkau melihat orang-orang yang mengikuti mutsyabih, mereka inilah yang disebut dalam Al-Qur’an, maka berhati-hatilah dari mereka.
Seorang penuntut ilmu apabila sudah belajar, pandai membedakan antara yang manis dan pahit. Dia bukan orang yang lugu, apabila telah jatuh sekali ditempat yang sama, tidak akan terjatuh lagi. Dan ini adalah sifat seorang mukmin, sebagaiama dalam hadist Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

Sebagaimana juga dalam Surat Al-A’raf ayat 201: orang yang bertaqwa apabila sudah pernah disentuh oleh gangguan syaiton, maka mereka akang mengingat yang menyebabkan pandangannya lebih tajam.

Sehingga Nabi membuat panduan apabila ada orang yang disebut dalam ayat ini yaiut yang mengikuti mutasabih, maka berhati-hatilah kamu dari nya. Orang yang menyimpan ada ciri-ciri penyimpangannya. Wajar apabila kita berhati-hati terhadap orang yang menyimpang. Orang yang menyimpang belum tentu juga kafir atau ahlul bid’ah. Sehingga tahdir terhadap da’i-da’i yang menyimpang diperlukan untuk mengingatkan umat.
Terkait masalah tahdir, manusia terbagi menjadi tiga:
- Berlebihan dalam men-tahdir, ini orang-orang yang melampaui batas (ekstrim) dikarenakan kejahilannya. Semangat tapi tanpa didasari ilmu. Pemahamannya tidak seperti yang semestinya. Atau kadang juga mengikuti hawa nafsu.
- Menyepelekan terhadap tahdir, sampai ada yang membuat istilah jama’ah tahdir. Terkadang orang yang melarang tahdir, mereka itu sebenarnya jamaah tahdir. Dikarenakan mereka tidak mau di tahdir, tetapi mereka tahdir yang lainnya.
- Menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Umat ini perlu diingatkan pada sesuatu yang jelek supaya mereka tidak mengikutinya. Ini adalah keadaan setiap nabi dan rosul. Dari Abdullah bin Amr bin Ash dalam riwayat Muslim, Rasulullah bersabda:

Tidak adaseorang nabi pun sebelumku, kecuali wajib atas nabi ini menjelaskan kepada umatnya segala kebaikan yang diketahui untuk mereka. Dan wajib menjelaskan segala kejelekan yang bisa membahayakan umatnya.
Dan dalam hadist dari Hudaifal ibnul yaman dalam riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: “Ada dai-dai yang mengajak kepada neraka jahanam”.

Jalan penuntut ilmu adalah menuntunt ilmu dengan benar, jangan peduli ucapan orang yang tidak benar. Seperti jaman dahulu, ahli hadist dikatakan khawarij oleh golongan murjiah, sedangkan orang-orang khawarij mengatakan ahli hadist sebagai murjiah. Semua hal harus ditimbang dengan ilmu, jangan dengan kejahilan dan hawa nafsu.
Orang yang menyimpang biasanya pandai mengamas penyimpangannya. Sehingga orang yang mendengarkannya menyangka yang bathil menjadi yang haq. Sebagaimana Fir’aun ketika para tukang sihirnya beriman. Maka Fir’aun beretorika agar kaumnya tidak ikut beriman dengan mengucapkan (dalam Thoha:71) “Rupanya Nabi Musa ini pembesar kalian yang selama ini mengajari kalian sihir.

Ilmu tidak diukur dengan pandai bicara. Orang kafir juga banyak yang pandai dalam berbicara. Tapi yang menjadi ukuran adalah Al-Quran, As-Sunnah, dan Atsar para As-Salaf. Kita yang belajar jangan melihat pada retorika, tapi melihat apa yang disampaikan. Sehinga tidak tertipu.
Kemjudian kelanjutnya syair: “Dari setiap Ahlul bid’ah yang dicurigai agamanya”. Sebab ahlul bid’ah itu apabila disampaikan ayat, maka dia berkata kenapa begitu. Demikian juga apabila disampaikan hadist, dia mempertanyakan. Membuat tuntunan tidak ada dasarnya, sehingga harus dicurigai.
Imam Malik berkata Kalo ada yang mengatakan ada Bid’ah yang bagus dalam agama ini, maka artinya telah menuduh nabi Muhammad berdusta dalam menyampaikan risalah. Padahal dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 3 sudah disampaikan “Pada hari ini telah aku sempurnakan agama kalian untuk kalian , dan telah kucukupkan nikmat ku atas kalian serta ku ridhoi Islam sebagai agama kalian.

Kemudian sifat lainnya dari ahlul bid’ah adalah bingung, tersesat dari jalan yang lurus. Ahlul bid’ah sekali menyimpang maka akan bertambah lagi penyimpangannya. Sebagaiaman dalam ayat berikut:
- QS As-Shaf Ayat 5:

- Al-Baqarah Ayat 10:

- Maryam Ayat 75

Karena itu hati-hati jalan ahlul bid’ah selalu tidak lurus. Berbeda dengan Ahlu Sunnah, dikarenakan mengikuti al-Quran dan as-sunnah tampak sekali berada dijalan yang lurus. Sehingga pentingnya arti ilmu itu yang membuat jalnnya menjadi lurus.
Wallahu Ta’alla A’lam
