4. Jauhi larangan dan laksanakan perintah dalam Al-Qur’an serta mengembalikan ayat mutasabih kepada Allah

Kitab Manzhumah Mimiyyah

Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah

Bab: Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Wasiat agar Berpegang dengan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.

Setelah menguraikan tentang keutamaan ilmu dan sejumlah pembahasan terkait dengannya. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai keagungan Al-Quran, bagaimana kedudukannya, beberapa ketentuan terkait dengan Al-Qur’an: mengenal hukumnya, beramal, dan mengimani. Juga diterangkan mengenai sejumlah keutamaan dari Al-Quran: keutamaan membaca dan tadabur.

Berikutnya penulis membahas tentang etika terhadap Al-Qur’an.

Bait Syair 92:

Bait Syair 92: Menjauhlah dari larangan-larangannya, wahai teman … Sedangkan perintah yang ada didalamnya maka tetapilah tanpa ragu.

Dan terhadap larangan-larangan yang ada didalam Al-Qur’an, jadilah engkau wahai kawanku berhenti darinya. Dan perintah dari Al-Qur’an itu tanpa keraguan dia berpegang (Dilaksanakan)

Terhadap yang dilarang, dia berhenti dari larangan. Larangan memberi pengaruh kepadanya, dan reaksinya adalah berhenti darinya.

Ini adalah sifat seorang mukmin apabila larangan maka berhenti dan apabila perintah yang jelas maka dilaksanakan.

Dua hal:

  1. Berhenti dari larangan
  2. Dan melaksanakan perintah

Kemudian mengenai ayat-ayat mutasyabih (samar)

Bait Syair 93:

Bait Syair 93: Ayat yang mutasyabihat maka serahkan kepada Allah … dan jang kamu masuk terlalu dalam bisa menyebabkan siksa.

Pembahasan: Mengembalikan kata yang samar kepada Allah

Kata mutasyabih diartikan dalam bahasa arab adalah kemiripan (semisal) antara yang satu dengan yang lain. Dalam pengertian mutasyabih adalah kemiripan, seluruh Al-Quran adalah mutasyabih sebagaimana firman Allah:

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`ān yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan-nya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka pada waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pemberi petunjuk baginya. (QS. Az-Zumar: 23)

Allah yang menurunkan sebaik-bak pembicaraan sebuah kitab yang mutsyabih (sebagian mirip dengan yang lainnya). Misalnya: disatu surat ada ayat tentang surga, disurat yang lainnya juga ada ayat tentang surga, kemudian di satu surat ada ayat tentang neraka disurat lain juga ada tentang neraka yang semisal. Ini adalah mutasyabih, yang secara maknanya terang.

Akan tetapi mutasyabih yang dibahas penulis adalah sebagaimana dalam surat Al Imran ayat 7:

Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Al-Qur`ān) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur`ān dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat1. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Al-Imran: 7)

Dialah Allah yang menurunkan kepada nabi Muhammad Al-Qur’an, dalam kitab ini ada ayat-ayat yang muhkam (pokok isi induk al-quran) dan selainnya adalah mutasyabih.

Makna mutasyabih disini adalah ayat yang samar maknanya untuk sebagian orang. Atau ayat yang maknanya apabila dibawakan dengan ayat yang muhkam, keliatannya samar.

Kaidahnya adalah apabila ada yang mutasabih, disandarkan kepada Allah dan maknanya diarahkan kepada yang muhkam. Misalnya ayat yang terkait dengan sifat Allah, sifat berbicara dimana dalam bahasa arab jelas makna berbicara. Penetapan sifat berbicara itu adalah muhkam sudah tetap. Tapi bagaimana Allah berbicara ini adalah mutasabih, sehingga dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana kelanjutan ayat, orang yang dihatinya ada penyakit, dia mencari yang mutasabih karena mencari fitnah dan menghindari takwilnya. Padahal tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang yang paham ilmu.

Makna Takwil:

Takwil dalam Al-quran dan hadist ada dua makna:

  1. Takwil bermakna hakikat yang sesuatu kembali kepadanya. Misalnya Tentang hari kiamat, mereka tidak menduga hari kiamat kecuali takwilnya hari kiamat (Al-Araf 53). Maksudnya orang kafir tidak percaya pada hari kiamat kecuali hari kiamat telah benar-benar terjadi. Ini dinamakan takqiel yaitu kembali pada hakikatnya.
  2. Takwil bermakna tafsir.

Adapun takwil dengan makna lainnya biasanya dipakai orang-orang yang menyimpang yaitu dari makna yang jelas diarahkan kepada makna yang tidak jelas. Misalkan Allah memiliki wajah, Allah diibaratkan sebagai ridha Allah. ALlah memiliki tangan, tangan diartikan kekuasaan. Dalam bahasa arab wajah dan tangan jelas maknanya. Harusnya mudah saja kita tetapkan wajah dan tangan allah sebagaimana Allah tetapkan untuk dirinya. Wajah dan tangan semua orang paham secara bahasa. Adapun hakikat wajah dan tangan Allah tidak ada yang tau kecuali Allah. Sebagaimana dalam As Syura 11. Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun. Jadi kita yakini kita tidak tahu bagaimana wajah dan tangan allah, tapi kita yakini wajah dan tangan Allah tidak serupa dengan apapun. ALlah maha mendengan dan maha melihat.

Kaidah mutasabih, Apabila yang mutasabh dalam tafsir nya, maka dikembalikan kepada yang muhkam. Akan tetapi yang mutasabih terkait dengan hakikatnya, maka yang mutasanih ini dikembalikan kepada ALlah.

Penulis berkata: apa yang mutasabih darinya, maka serahkan kepada ALlah. Jangan kamu tenggelam dalam membicarakannya. Karena larutnya kamu didalamnya dapat kemurkaan Allah.

Ibnu abas berkata tafsir ada 4:

  1. Tafsir yang tidak semua orang pun diberi udzur memahaminya. Semua orang paham tafsirnya.
  2. Tafsir yang semua orang arab paham makna tafsir itu dari bahasa mereka
  3. Tafsir yang diketahui orang-orang yang kuat dalam ilmu
  4. Tafsir yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah

Wallahu Ta’alla A’lam

Tinggalkan komentar