Kitab Manzhumah Mimiyyah
Penulis: Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah
Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Berikut ini adalah catatan dari kajian dengan tema: Kitab Manzhumah Mimiyah – Bab Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu, oleh Ustadz Dzulqarnain M Sunusi Hafizhahullah Ta’ala. Rekaman video kajian lengkapnya dapat diakses disini.
Ini adalah intisari wasiat penuntut ilmu. Merupakan etika yang dipegang oleh penuntut ilmu. Wasiat untuk penuntut ilmu sangat luas. Tapi disini adalah intisari pokok bagi penuntut ilmu. Terkadang satu wasiat dari orang tua atau guru dalam menuntut ilmu, mencukupi kehidupannya dalam menuntut ilmu.
Intisari Wasiat Untuk Penuntut Ilmu

Bait Syair 61: Wahai penuntut ilmu, jangan mencari aktivitas pengganti yang memalingkan dari mencari ilmu … Karena kamu telah berjaya, demi Rabb kertas dan pena
Wahai seorang penuntut ilmu, jangan kamu cari pengganti apapun untuk ilmu yang kamu cari itu. Sungguh engkau telah memperoleh keberhasilanmu, demi Allah (Rabb) yang memiliki lahul mahfudz dan pemilik Al-Qalam.
Ada dua pembahasan dari etika ilmu:
Pembahasan Pertama: Tidak pantas seorang penuntut ilmu mencari pengganti apapun untuk ilmu.
Etika ini akan menjadi kuat apabila telah memahami pembahasan sebelumnya yaitu keutamaan ilmu. Ini adalah kaidah untuk seorang penuntut ilmu. Firman Allah

Peringatan besar dalam Al-Qur’an bahwa mengganti sesuatu yang baik dengan yang lebih rendah?”. Teguran terhadap bani Israil yang sudah diberi Allah berbagai nikmat yang sangat besar: makanan yang luar biasa. Akan tetapi mereka mencari hal yang rendah: bawang dan kacang-kacangan.
Demikian pula seorang penuntut ilmu tidak boleh menggantikan sesuatu yang lebih tinggi yaitu ilmu dengan yang hina dan rendah. Apabila sudah mengenal nikmatnya agama, jangan berpaling pada lainnya.
Pembahasan Kedua: Keberhasilan dengan Ilmu
Keberhasilan ditandai dengan didapatkannya ilmu. Apabila belum mendapatkan ilmu artinya belum berhasil. Sebab keberuntungannya adalah pada ilmu dan mengamalkan ilmu.
Ini detekankan agar seorang penuntut ilmu fokus belajar, tidak mengganti arahnya. Karena apabila terrlalu banyak arah akan sulit mendapatkan kesuksessan meraih ilmu. Orang yang memecah semangatnya, susah akan behasil karena tidak fokus. Sehingga tidak berhasil.
Apabila ingin berhasil prinsip ini harus dipegang, yaitu jangan ganti ilmu dengan yang lainnya. Ilmu menjadi paling depan dibanding yang lainnya. Kebanyakan orang sibuk dengan selain ilmu kemudian disela-sela kesibukannya mengikuti taklim. Ini bagus, tapi kurang bagus. Apabila ingin lebih bagus, asal aktivitasnya adalah menuntut ilmu tapi jangan lupa kerja.
Allah berfirman:

“Carilah apa yang Allah datanglkan kepadamu dair kehidupa akhirat dan jangan lupa bagian mu dari kehidupan dunia”. Sehingga jangan dibalik dengan cari dunia tapi jangan lupa shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Perintah Allah adalah perintah mencari akhirat tapi jangan lupa kehidupan dunia. Apabila berprinsip seperti ini, mencair dunia pun akan menjadi ibadah. Kapan mencari dunia akan bernilai ibadah?. Kuncinya adalah dengan mempelajari ilmu. Karena dengan ilmu yang dipelajari, bisa mengetahui pintu-pintu ibadah yang tidak diketahui oleh orang lain.
Misalkan seorang alim yang duduk-duduk saja, tapi sesungguhnya telah banyak ibadah yang dikerjakan. Belum tentu banyak aktivitas, tanda ibadah lebih bagus. Karena ilmu tidak diukur dengan banyaknya aktivitas, tapi ukuran yang paling pokok adalah sesuatu yang bercokol didalam dada.
Para as-salaf berkata “Abu Bakr tidak mendahului kalian dengan banyaknya shalat, puasa, sedekah. Tapi Abu Bakr mendahului kalian dengan sesuatu yang bercokol didalam hatinya“. Ini yang menjadikan Abu Bakr lebih tinggi kedudukannya dibanding sahabat yang lain. Abu Bakr berjihad, shalat, puasa, begitupula sahabat yang lainnya. Tetapi tidak ada yang menyaingi pahala Abu Bakr karena keikhlasannya.
Jalan para sahabat seperti disebutkan oleh seorang penyair “Siapakah yang bisa memberiku seperti jalan mu yang santai itu. Engkau jalannya pelan-pelan tapi tibanya paling awal“. Ini lah jalannya parra sahabat yaitu jalannya pelan-pelan, yang lain jalannya cepat. Tapi begitu di garis finish para sahabat sudah berada di depan. Ini ada kaitannya dengan ilmu para sahabat dalam beramal.
Wallahu Ta’alla A’lam

