Hukum orang yang tidak menegakkan Shalat

Kitab Syarah Riyadhus Shalihin
Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Bab 5 Muraqabah

Hadist 61 mengenai islam, iman dan ihsan

Bagaimana hukum orang yang tidak menegakkan shalat?

Orang yang tidak menegakkan shalatnya dengan sempurna, dia tidak mendapatkan kesempurnaan shalat, tetapi dia tidak berdosa.

Adapun orang yang sama sekali tidak menegakan shoalat, yakni meninggalkan shalat, maka ia adalah kafir dan murtad dari Islam. Pemerintah harus menyuruhnya untuk mengerjakan shalat. Jika ia mau shalat, maka ini diterima, dan jika tidak mau shalat, maka ia dibunuh karena murtad.

Hal tersebut berdasarkan Firman Allah, sabda Rasulullah, dan ucapan para sahabat beliau:

  1. Allah berfirman: “Dan jika mereka bertaubat, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, maka (berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama” (QS. At Taubah [9]:11).
    • Mereka saudara kita yang seagama. Jika tidak demikian, maka dia kafir. Karena setiap orang mukmin walaupun ia maksiat dengan dosa sebesar apapun, yang tidak mengeluarkan dari agama, maka ia adalah saudara kita.
  2. Rasulullah Shallaluhu Alaihi wa Sallam bersabda, “Yang memisahkan antara orang -Islam- dengan orang musyrik dan kafir adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim 82). Dalam riwayat lain “Yang membedakan antara kita dengan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah kafir” (HR. At-Tirmidzi 2621).
    • Pemisah berarti pembeda, bahwa orang ini tidak sama dengan orang itu.
    • Jadi jika ia meninggalkan shalat maka ia bukan muslim lagi, dan menjadi orang musyrik atau kafir.
  3. Ucapan para sahabat, Abdullah bin Syaqiq (Tabi’in yang termasyur) berkata “Para sahabat Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam tidak melihat adanya suatu amal yang apabila ditinggalkan menjadi kafir, selain shalat” (HR. At-Tirmidzi 2757).

Meskipun ada yang berlainan dalam pendapat ini, namun mayoritas ulama mengatakan bahwa dia kafir.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa meninggalkan shalat tidak menjadikan kafir dan mengeluarkannya dari agama. Mereka berdalil dengan beberapa nash. Namun nash-nash ini tidak keluar dari 5 hal:

  1. Nash itu tidak mengandung dalil yang menunjukkan masalah seperti yang mereka katakan. Dan justru bertentangan dengan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan dia mengampuni apa (dosa) selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS. An-Nisa [4]:48).
    • Antara dosa yang diampuni, menurut mereka adalah meninggalkan shalat.
    • Maka menurut kami, bahwa orang yang meninggalkan shalat berdasarkan hadist Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim adalah musyrik, meskipun iat tidak sujud kepada patung.
  2. Mereka berdalil dengan hadist-hadist yang muqayyad (dibatasi) dengan suatu sifat yang tidak mungkin bagi seseorang yang bersifat dengannya meninggalkan shalat, seperti sabda Nabi Shallallahu Alai wa Sallam “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan la ilaha illallah untuk mengharapkan wajah Allah.
    • Maka sabda beliau “untuk mengharapkan wajah Allah”, menunjukan bahwa seseorang yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan keridhaan Allah, tidak mungkin meninggalkan shalat.
  3. Dibatasi dengan keadaan -udzur- yang menghalangi seseorang untuk meninggalkan shalat. Seperti hadist Hudzaifah dalam Shahih, HR. Ubnu Majah (4096) dalam kaum yang tidak mengenal islam kecuali “la illaha illallah”.
    • Maka kami katakan, jika ada kaum yang berada di tempat yang terpencil, sehingga mereka tidak paham islam kecuali “la illaha illallah”, kemudian mereka meninggal dalam keadaan demikian, maka mereka bukanlah golongan orang-orang kafir.
  4. Mereka berdalil dengan hadist-hadist yang umum. Adapun kaidah-kaidah ushul fikih, bahwa dalil yang umum dikhususkan dengan dalil khusus.
  5. Mereka juga berdalil dengan hadist-hadist yang lemah yang tidak sepadan dengan hadis-hadist shahih yang menunjukan kafirnya orang yang meninggalkan shalat.

Ketahuilah, bahwa setiap perselisihan yang terjadi pada umat jika didorong oleh tujuan yang baik dan usaha keras serta kehat-hatian, maka pelakunya tidak dicela dan tidak disesatkan, karena ia telah berijtihad. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Jika seorang hakim menetapkan suatu hukum, lalu ia berijtihad dan salah maka baginya satu pahala, dan jika ia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tinggalkan komentar